Perbedaan Mahasiswa Generasi 80-90an dengan Generasi 2000an

Mahasiswa angkatan 80-90an memiliki karakter yang berbeda dengan angkatan 2000an kebawah. Kondisi eksternal dan internal kemahasiswaan yang berbeda menyebabkan hal tersebut. Berikut ini beberapa perbedaan Mahasiswa

1. Kondisi Kebangsaan
Hidup dicengkraman orde baru yang dominan membuat mahasiswa saat itu cenderung militan dan tertutup. Sangat mudah bagi orang yang kritis untuk dituduh "makar" atau "tindak subversif" atau malah dituduh "komunis". Lembaga mahasiswa begitu diproteksi dari penguasa. Aktivis mahasiswa cenderung jual mahal terhadap pejabat-pejabat.
Sementara mahasiswa generasi 2000an berproses pada kondisi yang cenderung terbuka. Sebab arus reformasi yang mengalir membuka keran keran kebebasan. Akibatnya adalah militansi mahasiswa cenderung menurun akibat termanjakan kondisi yang lebih sejuk. Aktivis mahasiswa bisa bebas berteriak dimana mana tanpa harus khawatir dituduh "makar", "subversif" atau malah "komunis". Aktivis mahasiswa cenderung lebih mudah berinteraksi dengan para pejabat. Bisa di cek di nomor kontak di HP aktivis mahasiswa generasi 2000an hampir bisa dipastikan bisa ditemukan nomor HP Pejabat disitu.

2. Teknologi
Di tahun 80-90an, teknologi masih sederhana. Komunikasi masih mengandalkan cara langsung. Di akhir 90an,memiliki pager (apalagi HP) adalah sebuah kebanggaan, Sebab dimasa itu pager dan HP adalah produk teknologi yang sangat elit dan mahal. Lebih sebagai perlambang simbol status sosial ketimbang alat komunikasi. Mahasiswa generasi 80-90an sangat mengandalkan telpon koin dan wartel untuk komunikasi jarak jauhnya.
Motor adalah perlambang kesejahteraan. Biasanya dalam satu angkatan, jumlah pemilik motor ditahun 90an bisa dipastikan dibawah 10 buah. Di jurusan saya (tiga angkatan) hanya ada 4 motor, yang kami bergantian meminjamnya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengeksekusi persoalan transportasi dengan kondisi seperti itu.
Kegiatan mahasiswa biasanya membutuhkan spanduk dan baliho. Seperti Ospek, Raker, dan sebagainya. Berhubung digital printing belum ada dan komputer masih sederhana, maka spanduk dan baliho dibuat secara manual. Menggunakan kain polos yang dibeli di toko kain. Lalu mengambil kertas, mengusahakan agar seimbang. Menghitung jumlah huruf dan merekatkan dikain. Lain lagi kalau baliho, dibutuhkan jiwa seni untuk bisa melukis. Sekarang kreatifitas seperti itu sudah tergantikan dengan keahlian desain grafis.

3. Pengkaderan
Keras. Satu kata itu sudah cukup merangkum bagaimana model pengkaderan di lembaga kemahasiswaan. Tujuannya jelas. Membentuk mahasiswa yang bermental baja dan militan dalam menghadapi penguasa.
Keras disini dalam artian fisik dan pikiran. Di zaman dimana mesin ketik belum tergantikan oleh laptop dan printer, mesin ketik selalu mewarnai dimalam malam pengkaderan. Sebelum memasuki sebuah pengkaderan formal lembaga (baik intra maupun ekstra kampus), mahasiswa diwajibkan membuat makalah dengan jumlah referensi yang banyak. Setelah itu, tiap materi yang diterima harus dibuatkan resume dengan jumlah referensi tertentu. Kerasnya proses pengkaderan memaksa mahasiswa untuk menguasai banyak bidang pengetahuan secara cepat.

baca juga -->


EmoticonEmoticon