Cerita tentang lembaga adat

Saat pertama mendengar wacana pembentukan lembaga adat 12 tahun lalu (Maret 2004), lembaga adat adalah hal yang amat asing. Sumbernya pun dari orang yang tak terduga, yaitu orang orang tua yang konon mendapat petunjuk. Beberapa orang memiliki gagasan pendirian lembaga adat, bahkan jauh lebih awal. Sekira pertengahan tahun 1980an.
Zaman orde baru, zaman dimana ada orang berada pada kungkungan ketakutan untuk berpendapat. Ego pengetahuan saya kesampingkan. Niat baik dan cita cita mulia yang membuat saya tertarik. Perlahan, saya menemukan rasionalisasi terhadap sesuatu yang awalnya “berbau mistik” tersebut.Tentu tidak mudah mengusung gagasan tersebut, apalagi memperjuangkannya. Berbagai cibiran harus diterima dengan lapang dada. Mulai dari tuduhan “tindak subversif ala orde baru”, hingga “menghidupkan kembali feodalisme”. Hal itu mesti ditanggapi dengan baik. Lembaga Adat bukanlah mendirikan kerajaan yang bermaksud merongrong NKRI, malah sebaliknya, justru menguatkan NKRI dalam bingkai ke bhinekaan. Malah, mulai dari amandemen UUD 1945 yang memberi perhatian terhadap lokalitas, hingga Permendagri no/71 tahun 2001.Tidak mudah untuk mendirikan lembaga adat.

Orang orang pasti kaget. Masyarakat kita 21 tahun dalam kuasa Orde lama dan 32 tahun dalam kuasa Orde baru yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga adat. Namun seiring waktu, keterbukaan informasi di era reformasi, membangun kesadaran untuk membangun identitas kebangsaan melalui budaya, spesifiknya pendirian lembaga adat.Pada titik ini, mendirikan lembaga adat perlu diperbaiki fondasinya. Yaitu bangunan dasar pemikiran pentingnya pendirian lembaga adat. Sebab jika keliru, tentu fondasinya lemah. Lembaga adat mestilah sejalan dengan aturan yang berlaku di NKRI. Lembaga adat, mestilah menjadi pusat syaraf budaya yang disalurkan ke masyarakat sehingga ada ketahanan budaya dan identitas kebangsaan ditengah gempuran budaya asing.

Lembaga adat mestilah berkontribusi terhadap pembangunan, khususnya manusia Indonesia. Lembaga adat mestilah bervisi kemanusiaan, sebab merayakan keberindonesiaan kita berarti menghapuskan praktek feodal dan perbudakan. Nah untuk itu, perlu kajian mendalam untuk mensinergiskan antara budaya, sejarah dan konteks kekinian. Mendirikan lembaga adat, tidak berarti kembali ke masa kerajaan dan masa penjajahan.

Ia harus kekinian. Lembaga adat harus kekinian, tetapi tidak berarti harus mempermaklumkan pola pola organisasi yang tidak mengacu pada sistem adat budaya setempat. Disini menariknya.Seiring waktu, makin banyak yang tertarik dengan lembaga adat. Malah, perkumpulan lembaga adat juga makin beragam. Mungkin orang kagum dengan “bergaya tradisional” saat festival keraton. Kelihatan gagah mungkin pikirnya.

Tetapi terpikirkah bahwa dibalik balutan “gaya adat” itu terdapat beban adat istiadat yang berat ? Ah sudahlah. Kurang bijak menilai orang lain. Itu haknya.Saya senang, banyak orang ingin mendirikan lembaga adat. Setidaknya, saya bisa berhenti untuk memikirkan dan mengusahakan mendirikannya. Pengorbanan selama 12 tahun, baik material maupun non material, biarlah Tuhan yang tahu. Yang saya pahami, andai berdiri lembaga adat, saya hanyalah seseorang yang duduk diluar pagar sambil tersenyum melihat para pembesar pembesar adat menjadikan dirinya “adat yang berjalan”.

Mari minum kopi, merayakan kebahagiaan. Memaafkan dan memaklumi orang yang lupa diri. Semoga kita tidak ikut lupa diri gara gara lembaga adat. Untuk menjadi sebaik baik manusia (yang paling banyak manfaatnya), masih banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya, dikehidupan yang fana ini, sudah berusaha meski itu sederhana.


EmoticonEmoticon