Showing posts with label Nasionalisme. Show all posts
Showing posts with label Nasionalisme. Show all posts

Hari Jadi Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Selatan

Hari Jadi sebuah daerah adalah wujud kecintaan pada daerah tersebut. Yang merupakan bagian dari kecintaan pada bangsa dan negara. Hari Jadi tersebut menjadi sebuah momen untuk kilas balik dan mengevaluasi capaian pembangunan. Serta berbagi kebahagiaan dalam perayaan tersebut. Yang pada gilirannya akan menyentuh kesadaran individu tentang apa kontribusinya bagi pembangunan daerah.

Setelah pasifikasi tahun 1905/1906, Sulawesi Selatan secara keseluruhan ditundukkan Belanda. Melalui perjanjian pendek (Korte Veklaring) penguasa-penguasa lokal dipaksa untuk mengakui kedaulatan Belanda. Sejak itu, Pemerintah Kolonial Belanda mengatur administrasi pemerintahan secara berjenjang. Dari Provinsi Groote Oost terbagi menjadi Afdeling (wilayah). Kemudian Afdeling terbagi Onder Afdeling (sebagian besar jadi kabupaten). Kemudian Onder Afdeling dibagi Distrik (kelak disebut kecamatan). Dan Distrik terbagi dari Gallarang dan Wanua yang disebut Kampong. Kelak menjadi Desa.

Setelah Pemerintah Kolonial Belanda resmi meninggalkan Indonesia pasca Konferensi Meja Bunda, tata kelola pemerintahan pun berubah. Meski tidak begitu berbeda. Namun di awal kemerdekaan, hal itu tidak praktis dapat dilakukan disebabkan kondisi yang tidak stabil akibat pemberontakan DI/TII dan Permesta.

Sehingga setelah mulai mereda, terbit SK yang mengatur tentang pembentukan Kabupaten di Sulawesi Selatan. Beberapa bekas Onder-Afdeling (Wilayah Afdeling Bone) misalnya Bone, Wajo dan Soppeng menjadi masing masing Swapraja dan menjadi Kabupaten di tahun 1957. Sedang beberapa gabungan Onder Afdeling membentuk satu Kabupaten, seperti Barru, Pinrang dan Sidrap. 

Memasuki era Reformasi, terjadi pemekaran beberapa Kabupaten. Seperti Luwu yang dimekarkan menjadi Kotif Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur. Sedang Kabupaten Toraja dimekarkan menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.

Beberapa kabupaten menjadikan terbitnya SK tersebut sebagai dasar Hari Jadi Kabupaten/Kotanya. Namun beberapa Kabupaten lain melaksanakan kegiatan Seminar Hari Jadi yang mengacu pada sejarah di masa awal kerajaan. Sementara Provinsi Sulawesi Selatan sendiri mengacu pada Perjanjian Bongayya sebagai dasar Hari Jadi daerah.

Berikut ini Hari Jadi Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, diurut berdasar bulan dalam kalender.



Di zaman teknologi informasi ini, zaman dimana sekat-sekat ruang terasa nisbi. Zaman perdagangan bebas terus bergerak mencapai puncaknya. Kita dihadapkan dengan segala potensi daerah kita. Kekayaan alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Sehingga peran semua pihak untuk menggali potensi tersebut agar membawa kemajuan bagi daerah, perlu terus didorong. Yang nanti pada gilirannya, akan berkontribusi positif terhadap kemajuan bangsa dan negara

Tanya jawab seputar Lembaga Adat


Tanya (T) : Bagaimana posisi lembaga adat di era sekarang ?
Jawab (J) : Sebuah negara akan kuat, bila pemerintah dan rakyatnya bersatu. Memaksimalkan peran masing masing dalam pembangunan. Lembaga adat, adalah organisasi non pemerintah yang eksistensinya diatur oleh Permendagri, merupakan mitra pemerintah dalam pelestarian budaya. 

T : Peran apa yang harus dilaksanakan oleh lembaga adat ?
J : Peran sebagai mitra pemerintah diatur dalam Pasal 4 Permendagri no.39 tahun 2007 antara lain Inventarisasi adat, seni, budaya daerah, kekayaan budaya dan peninggalan sejarah. Penyusunan rencana pengelolaan dan pengembangan, pemeliharaan serta pendayagunaan aset budaya. Penelitian dan sebagainya. 

T : Apakah mendirikan lembaga adat berarti menghidupkan neo-feodalisme ?
J : Kita kembali ke definisi Feodal yang berarti tuan tanah. Masalah pertanahan diatur oleh negara. Kita kembalikan pada aturan yang berlaku.

T : Tetapi spirit demokrasi memberikan ruang yang sama kepada warga negara, sedang lembaga adat berarti kita memediasi trah politik masa lalu. Bagaimana dengan itu ?
J : Pada zaman sekarang, masih ada trah politik kok. Bukan cuma di Indonesia. Bahkan di negara yang katanya paling demokratis yakni AS. Bisa dijelaskan mengapa pernah presidennya dari bapak ke anak ? Kita mesti berpikir jernih. Negara ada dua jenis. Pertama republik, kedua kerajaan. Negara Republik tetap memediasi trah politik tertentu, cuma suksesinya melalui pemilu. Sedang kerajaan nusantara dimasa lalu, suksesinya melalui penunjukan oleh raja sebelumnya, atau melalui mekanisme pemilihan adat secara terbatas. Namun kita mesti ingat bahwa Lembaga adat bukan kerajaan. Akan tetapi dalam pemilihan anggota dan pemimpin lembaga adat mengacu pada aspek historisnya.

T : Iya benar, lembaga adat adalah organisasi non pemerintah. Tetapi strukturnya tidak memediasi diluar trah politik masa lalu untuk turut berpartisipasi didalamnya
J : Struktur lembaga adat masih bisa dikembangkan. Ia tidak kaku. Artinya, selain mengacu pada struktur kerajaan dimasa lalu, bisa juga ditambahkan struktur yang bersifat fungsional dan profesi. Misalnya bagian ekonomi, pertanian, perikanan dan sebagainya. Sehingga orang orang yang diluar keturunan atau trah politik masa lalu, dapat berpartisipasi dibidang sesuai kemampuannya.

T : Membahas tentang struktur. Disitu kan disebut tentang wilayah kekuasaan dan pemerintahannya. Apakah ini tidak berarti tumpang tindih dengan pemerintahan daerah ?
J : Kembali lagi ke bentuk lembaga adat. Lembaga adat bukanlah kerajaan. Lembaga adat bukan negara dalam negara. Tetapi lembaga adat adalah organisasi non pemerintah yang menjadi mitra pemerintah dalam pelestarian budaya.

T : Tetapi pelestarian budaya tidak berkaitan dengan ekonomi, perikanan seperti yang disebutkan sebelumnya 
J : Budaya harus dipahami secara luas. Selain itu, lembaga adat harus berkontribusi terhadap pembangunan agar negara kita kuat.

T : Bagaimana hubungan antara perpolitikan di daerah dengan lembaga adat serta tokoh adat
J : Ini bagian penting dan sensitif. Namun jika kita berpikir jernih, seharusnya tokoh adat dan lembaga adat berperan sebagai benteng budaya. Nilai nilai budaya harus terimplikasi pada lembaga adat dan prilaku tokoh adat. Sehingga bisa menjadi perekat masyarakat. Di sisi lain, bangsa kita masih belajar berdemokrasi, dan cost sosialnya mahal. Betapa banyak masyarakat kita yang dulunya rukun, akrab, bersahabat, menjadi jauh bahkan bermusuhan hanya karena beda pilihan politik. Belum lagi beberapa kasus pembakaran kantor KPUD dan kantor pemerintahan pada beberapa pilkada. Pada ajang pilkada sering kita lihat retaknya sebuah keluarga. Nilai gotong royong dan kebersamaan semakin pudar. Nah pada titik ini, lembaga adat dan tokoh adat mestinya berperan sebagai perekat sosial, bukan sebagai tim sukses dan pendulang suara calon tertentu. Sehingga seharusnya tokoh adat dan lembaga adat itu netral. 

T : Bagaimana dengan dualisme tokoh adat sekaligus kepala daerah seperti di Yogya?
J : Kita tidak menyoal tentang Yogya yang punya histori dan regulasi tersendiri. Kepala daerah dengan wewenang yang sangat besar di era otonomi daerah ini, punya tugas yang sangat berat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak perlu terlalu banyak dibebani dengan tugas tugas adat dan budaya. Sementara tokoh adat punya peran yang juga besar sebagai simbol adat budaya. Kedua jabatan itu punya tugas yang berat. Sulit menjalankan dengan sukses secara simultan.

T : Berarti bisa tidak simultan ?
J : Ya benar. Seorang tokoh adat punya hak politik sebagai warga negara. Dia berhak ikut pada kontestasi politik daerah. Namun, ia harus melepaskan jabatan dulu agar bisa fokus dengan tugas yang baru. Demikian pula sebaliknya. Seorang kepala daerah harus demisioner terlebih dahulu untuk dapat dipilih dewan adat sebagai pemimpin di lembaga adat tersebut. Agar juga bisa fokus dengan tugas beratnya yang baru.

T : Terkesan bahwa lembaga adat yang dijelaskan merupakan pemimpin kultur ?
J : Iya benar, lembaga adat dan tokoh adat harusnya bisa merekatkan masyarakat. Terutama yang beragam pilihan politik. Dibutuhkan pemimpin kultur yang bisa menengahi dan memediasi kemungkinan konflik horizontal.

T : Tetapi kan sudah ada Polri dan Pemda ?

J : Kalau sebuah masalah bisa diselesaikan secara baik baik, mengapa mesti dibawa ke ranah hukum ? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang cinta damai dan suka gotong royong? Setidaknya lembaga adat dan tokoh adat dapat membantu tugas Kepolisian dan Pemda

T : Bisa dipertajam tentang peran Pemda terhadap lembaga adat
J : Jelas dalam permendagri tentang pedoman fasilitasi lembaga adat.



T : Bisa dipertajam tentang istilah "Benteng Budaya" di konfrontasikan dengan pernyataan banyak orang bahwa "budaya menghambat pembangunan"
J : Baik. Kita berada di zaman teknologi informasi. Beda di zaman orba dulu, akses internet masih sangat terbatas, dan media dikontrol penuh oleh pemerintah. Saat ini, banyak perubahan sikap generasi muda akibat akses internet yang kurang sehat dan tayangan media yang kurang baik. Sementara masyarakat selalu butuh publik figur yang pantas diteladani. Sayangnya, publik figur yang diangkat bukan lagi tokoh agama atau orang yang berprestasi, tetapi orang yang pintar menyanyi, pintar acting. Sayang sekali, yang dipublish sering masalah keluarga mereka yang tidak mendidik, misalnya perceraian. Kita punya modal sosial, yaitu nilai budaya kita. Nah untuk menerapkan nilai budaya itu lewat edukasi. Baik secara teoritis melalui pendidikan formal maupun praktek melalui prilaku, sikap dan tindakan tokoh adat di sebuah lembaga adat. Bila lembaga adat bisa berjalan seperti ini, maka lembaga adat menjadi benteng budaya kita terhadap gempuran budaya asing. 

T : Belum terjawab pertanyaan tentang "Budaya menghambat pembangunan"
J : Entah pernyataan itu darimana. Namun berbicara budaya, baik lokal maupun asing ini perlu didialogkan. Kita setuju, kedisiplinan dan ketertiban ala barat itu baik diterapkan. Tetapi tidak untuk pergaulan bebasnya. Sementara budaya lokal, yang tidak relevan misalnya perbudakan, itu harus ditinggalkan. Tetapi nilai seperti gotong royong, kebersamaan, justru harus dikembangkan. Itu yang sulit ditemui dibarat yang cenderung pragmatis masyarakatnya. Nah kalau sudah begini, jelas mana yang menghambat mana yang tidak menghambat pembangunan.

T : Bagaimana dengan UU No.6 Tentang Desa yang menyebut tentang lembaga adat tingkat desa
J : UU No.6 tentang Desa ini perlu disesuaikan dengan konteks daerah mengingat histori daerah di Indonesia tidak seragam. Mengacu ke aspek histori sebuah daerah. Ada kabupaten yang bekas kerajaan yang dahulu membawahi kerajaan kerajaan kecil. Ada kabupaten yang gabungan kerajaan yang masing masing juga membawahi bekas kerajaan kecil. Untuk saat ini, lebih mudah mendirikan lembaga adat tingkat kabupaten bila kabupaten itu bekas sebuah kerajaan. Untuk gabungan kerajaan, ini butuh kajian khusus. Agak sulit mendirikan lembaga adat tingkat desa dengan pertimbangan bahwa banyak pewaris yang migrasi ke kota. Tentu sulit meminta mereka kembali ke desa untuk mendirikan lembaga adat di desanya. Sementara bila diisi orang lain, justru muncul kemungkinan konflik. Nah ini harus dihindari. Lembaga adat mestinya merekatkan masyarakat, bukan menciptakan konflik. Tetapi bila ada desa yang pewaris sahnya tinggal didesa itu. Tidak menjabat sebagai kepala desa, tentu sangat relevan mendirikan lembaga adat tingkat desa seperti amanah undang undang. Tetapi tentu masalah tiap desa di Indonesia tidak sama. Kita belum lagi membahas tentang bekas kerajaan kecil yang menjadi desa, kemudian dibelakang hari terjadi pemekaran desa. Ini juga membutuhkan kajian serius.

T : Mengapa kita menolak orang orang yang dianggap raja palsu ?
J : Kita memahami prinsip "right man on the right place" biarkan orang yang tepat menduduki posisi yang pantas. Sebab jika tidak, kita hanya menunggu kehancuran. Bisa dibayangkan kalau raja sebagai pemimpin adat (bukan kepala negara) diduduki oleh orang yang sekadar ingin mereproduksi status, orang yang ingin bergaya ala adat tanpa mengemban amanah, maka tunggu kehancuran adat budaya di daerah itu.

T : Berarti tidak setuju kalau kepala daerah otomatis menjadi ketua lembaga adat (raja) atau sejenisnya ?
J : Jelas. Kembali ke pembahasan diatas. Tugas kepala daerah untuk mensejahterakan rakyat itu sangat berat. Jangan lagi dibebani dengan tugas tugas kultural yang sebenarnya masyarakat bisa berpartisipasi sebagai mitra pemerintah. Lagi pula kurang apa wewenang sebagai kepala daerah di era otonomi ini ? Kepala daerah yang bijak adalah memahami posisinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi didaerah, bukan turun kelas menjadi ketua sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak bidang adat budaya. Posisi pembina atau penasehat itu sangat layak bagi kepala daerah

Pembekalan Saksi Pemilukada

Di beberapa daerah di lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, tak lama lagi akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada/Pilkada). Para peserta Pemilu, sedang sibuk sibuknya mempersiapkan saksi. Terkadang, saksi hanya diminta mencatat perolehan suara calonnya. Padahal, saksi memiliki hak dan tanggung jawab. Salah satu hak saksi yaitu mendapatkan salinan formulir model C dan C1 KWK yaitu berita acara dan sertifikat perolehan suara di TPS.
Selain pembekalan yang disiapkan oleh tim pemenang, saksi juga harus dibekali tentang regulasi yang berlaku di TPS. Dan yang paling penting adalah, pemahaman saksi tentang angka angka di formulir perolehan suara. 

Walaupun pada dasarnya mudah, namun terkadang tim pemenang lupa untuk mempersiapkan saksinya untuk memperhatikan angka angka tersebut. Berikut ini cara mudah untuk memeriksa formulir model C1 KWK


Pertama, perhatikan C1 KWK Plano yang terpasang didinding. Pastikan angka angkanya telah tepat. Rumusnya :

Perolehan suara A + Perolehan Suara B = Jumlah Suara Sah (C)

Jumlah Suara Sah (C) + Jumlah Suara tidak Sah (D) = E

Bila C1 KWK Plano sudah tepat, maka tinggal mencocokkan dengan model C1 KWK (sertifikat perolehan suara calon yang diterima oleh saksi).

Kedua, perhatikan model C1 KWK (sertifikat perolehan suara calon yang diterima saksi)


Pada lembar model C1 KWK ini ada 4 kolom. 1) Data Pemilih dan Pengguna Hak Pilih, 2) Data Penggunaan Surat Suara, 3) Jumlah Suara sah dan tidak sah, 4) Data pemilih disabilitas. Poin terakhir adalah perbedaan model C1 dengan sebelumnya.


Kembali ke formulir model C1 KWK. Pada kolom ketiga (Data Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah) langsung dipindahkan dari model C1 Plano antara lain C (Jumlah suara sah), D (Jumlah suara tidak sah) dan E (Jumlah surat suara sah dan tidak sah atau surat suara yang digunakan).

Ketiga, perhatikan kolom kedua (Data Penggunaan Surat Suara). Jumlah surat suara yang digunakan (E) sama dengan jumlah surat suara sah dan tidak sah (poin 4). Surat suara yang tidak digunakan (F = poin 3), jelas. Surat suara yang dikembalikan/keliru coblos (G = poin 2) juga jelas. Terakhir, jumlah total surat suara termasuk cadangan adalah hasil jumlah dari semua surat suara.

rumus :
  E + F + G = H

Keempat, perlu diingat bahwa, jumlah surat suara selalu lebih banyak dari jumlah pemilih yang terdaftar di DPT. Selalu ada cadangan 2,5% untuk mengantisipasi pemilih dari TPS lain atau keliru coblos. Sehingga bila pemilih lebih banyak dari jumlah surat suara kemungkinannya adalah terlalu banyak pemilih dari TPS lain atau pemilih pengguna KTP yang tidak terdaftar di DPT. Sehingga penting bagi saksi untuk memperhatikan tiap pemilih yang menggunakan hak pilih di TPS tempat bertugas.


disarikan dari PKPU 10 tahun 2015

Orang Sakti dan Bela Negara

Kemerdekaan Indonesia, adalah hasil perjuangan segenap elemen bangsa. Mulai dari tokoh agama, tokoh adat, ormas, parpol, laskar rakyat, eks Peta, eks KNIL hingga pelajar. Perjuangannya pun beragam. Ada yang lewat jalur politik. Ada jalur perang fisik. Ada yang mendukung secara halus. Adapula yang membantu logistik dan lain sebagainya.

Khusus untuk tentara pelajar, dizaman dahulu mereka kehilangan masa masa romantisnya. Di usia yang demikian belia, harus berpisah dengan keluarga, tidak sempat pacaran, dan harus berjuang mempertaruhkan nyawa melawan penjajah. Dapat dibandingkan dengan pelajar sekarang yang telah mampu merekam sendiri adegan p*rnonya.

Belum lagi kondisi geopolitik dunia yang kian memanas. Indonesia sebagai negara kaya SDM yang sedang dijarah kekayaan alamnya, tidak menutup kemungkinan kedepan akan diserang secara militer bangsa asing. Apalagi bila terjadi kekurangan pangan dunia. Otomatis, terjadi perebutan lahan subur.

Pada kondisi damai, adalah saat membangun sekaligus waspada. Membangun manusia dan infra struktur. Membangun sistem, hukum, sosial dan tentunya militer. Olehnya, TNI sebagai tulang punggung bela negara mesti ditunjang dengan peralatan yang sesuai kondisi zaman. (semoga Sukhoi 35 dan persenjataan termutakhir lain kelak dimiliki TNI)

Oleh karena itu, sesuai dengan UUD 1945, tiap warga negara wajib membela negara. Membela tumpah darah kita. Membela warisan leluhur kita. Membela masa depan anak cucu kita. Dari segala macam ancaman dari luar.

Untuk itu, kesadaran bela negara harus ditingkatkan dengan beragam cara. Mulai dari pengetahuan teoritik hingga praktek. Para pemuda mesti lebih mengenal dan mengidolakan para pahlawan daripada artis atau pemain bola. Ibu-ibu mesti lebih tahu cara survival dan mendukung perjuangan daripada gosip artis. Tayangan TV harus mampu membangkitkan nasionalisme, bukan mengumbar hujatan dan menjadikan anak bangsa pemimpi layaknya sinetron.
Penegakan hukum yang berkeadilan, adalah juga bentuk bela negara. Sebab tanpa itu, kesadaran kebangsaan dan nasionalisme akan tergerogoti. Perlakuan yang tidak adil terhadap rakyat kecil dan perlakuan istimewa pada orang orang tertentu membuat orang muak terhadap pemerintahan dan institusi yang terkait.

Pengelolaan kekayaan alam sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat, itu juga bentuk bela negara. Pelestarian budaya untuk menanamkan rasa cinta pada bangsa sehingga tidak bermental inlander, tidak bermental budak. Bangga sebagai bangsa Indonesia, bangga sebagai bangsa yang besar, juga bentuk bela negara.

baca juga : mental inlander

Memaksimalkan produksi dalam negeri sehingga meningkatkan pendapatan negara dan mensejahterakan petani dan pengusaha lokal, juga bentuk bela negara. Anak anak muda yang membuat film lokal, juga bentuk bela negara. Minimal tidak melulu mengkonsumsi film hollywood, bollywood dan hongkong.

Salah satu adegan dalam trailer Captain America : Winter Soldier
Film produksi hollywood ini berkisah tentang orang sakti versi modern
yang setia membela negaranya
Hakikatnya, bela negara adalah berbakti, berkorban untuk negara. Pada titik ini, konsep negara tidak sempit hanya pemerintah. Tetapi melibatkan unsur negara yang lain, yaitu penduduk, wilayah dan kedaulatan. Kita bosan, orang saling berdebat dan bully. Tetapi kontribusi nyatanya untuk negara masih dipertanyakan.
Rencana pemerintah untuk membentuk 100 juta kader bela negara menuai beragam reaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang membicarakan sisi partai politiknya. Ada yang membicarakan sisi militerisasinya. Ada yang membicarakan sisi anggarannya. Namun tak ada satupun (kecuali tulisan ini mungkin) yang membicarakan keterlibatan orang sakti dalam bela negara.

Mungkin kita masih ingat salah satu adegan film "Lebak Membara". Yaitu saat seseorang memanjat pagar (diperankan oleh H.I.M. Damsyik) ditembak oleh tentara Jepang tetapi tidak mempan. Kemudian tanpa sadar, jimatnya tersangkut di pagar. Nanti kemudian peluru menembus dadanya saat ingin menurunkan bendera Jepang baru ia sadar bahwa jimatnya terlepas. Film fiksi yang bersetting zaman pendudukan Jepang ini, memotret sisi nasionalisme dan bela negara pada saat itu.

Rencana mau turunkan bendera jepang
Ditembak tidak mempan, tetapi jimat tersangkut dipagar hehe :)
Sistem perang semesta yang dianut negara ini sesungguhnya sangat menggentarkan bangsa asing. Bayangkan, dengan pulau yang tersebar plus jumlah penduduk ratusan juta, menyerang Indonesia adalah sebuah pekerjaan besar. Tetapi perang semesta, APABILA dimaknai sempit, maka akan membonsai potensi bela negara itu sendiri. 

Betapa tidak, banyak orang sakti di Indonesia yang tidak terpublikasi. Mereka bisa jadi anti peluru, mampu menghilang, bisa terbang, bergerak cepat laksana flash gordon dan berbagai spesifikasi unik lainnya. Tetapi mereka bisa jadi tidak bisa diatur baris berbaris. Mereka bisa jadi malas disuruh push up beberapa set. Mereka bisa jadi TERSINGGUNG bila dibentak apalagi ditempeleng. Namun, mereka bisa jadi lebih cinta negeri ini daripada mereka yang ingin membubarkan KPK. Mereka mungkin lebih dapat dipegang kata katanya daripada mereka yang suka berjanji tentang kesejahteraan rakyat. Mereka mungkin lebih cinta tanah air daripada mereka yang membakar hutan. Mereka mungkin tidak pernah mendengar istilah "doktrin", tetapi boleh jadi mereka lebih siap menyerahkan nyawanya untuk bangsa daripada mereka yang meminta fee tiap proyek. Mereka bisa jadi tidak hafal Pancasila. Tetapi boleh jadi mereka lebih memaknai Pancasila ketimbang mereka yang berteriak bahwa "Garuda di dadaku". Mereka bisa jadi "pasukan khusus khas Indonesia". Mengapa tidak ??? Bukankah bela negara kewajiban semua warga negara, termasuk orang sakti ???

Lantas mengapa harus semuanya baris berbaris jika ada yang bisa terbang ? Mengapa semua harus push up kalau ada yang anti peluru ? Kenapa harus dibentak bila tutur sopan cukup menggerakkan mereka? Kenapa harus belajar bela diri impor jika ada bela diri lokal ? Untuk ini, mungkin perlu pengecualian dalam memahami bela negara.

Upin dan Ipin : Kartun sehat untuk anak

PENOKOHAN
Upin dan Ipin, dua saudara kembar adalah tokoh sentral dan kartun ini. Hidup bersama kakaknya (kak ros) dan neneknya (opah). Mereka adalah anak yatim piatu yang sederhana, punya cita cita, kreatif dan ceria. Upin sebagai kakak cenderung dominan, sementara Ipin cenderung mengikut dan selalu mengatakan "Betul betul betul"
Kak Ros, meski suka memarahi adiknya, namun sangat sayang pada kedua adiknya. 
Sementara sang nenek (Opah) adalah janda tua yang sederhana dan bijaksana. 
Kedua orang tuanya telah meninggal saat Upin dan Ipin masih bayi. Sebagai anak yatim piatu, Upin dan Ipin adalah anak yang hidup sederhana namun punya cita cita besar. Sebagai saudara kembar, Upin dan Ipin hampir identik. Baik secara penampilan maupun karakter.
Mei mei, seorang gadis keturunan Tionghoa berkarakter lembut, tekun, cerdas dan sangat feminim. Mei-Mei beragama Kong Hu Cu
Jarjit, keturunan India gemar berpantun dan jenaka. Selalu berusaha beradaptasi dengan teman temannya. "Marvelous" adalah kata khas yang sering keluar dari mulutnya.
Ismail bin Mail, penuh perhitungan. Sering menjadi juri atau wasit. Berjiwa wirausaha
Ehsan, si orang kaya. Suka makan dan pamer harta. Dalam permainan, karakternya selalu dikonfrontasikan dengan Upin Ipin yang sederhana. Namun, ia adalah ketua kelas yang bertanggung jawab.
Fizi, sepupu sekaligus sahabat setia Ehsan. Selalu mendampingi Ehsan
Datok Dalang, masih tergolong kakek Upin dan Ipin. Selalu membantu dan memotivasi anak anak khususnya Upin dan Ipin. 
Saleh/Sally, lelaki kemayu penjaga perpustakaan.

SETTING
Kartun Upin dan Ipin bersetting dikampung Durian Runtuh. Mereka jauh dari hiruk pikuk kota besar. Masih menggunakan permainan tradisional, namun mulai tersentuh modernisasi. Sangat pas untuk menggambarkan generasi kekinian.
Sekolah (TK), rumah dan halaman, adalah tempat utama  kisah Upin dan Ipin. Mulai dari masalah dalam rumah, usaha Upin dan Ipin untuk dapat izin bermain, bermain dengan teman sekolahnya, suasana didalam kelas, hingga tempat khusus misalnya mesjid.


MUATAN CERITA
Dari berbagai seri, secara umum dapat dilihat muatan cerita kartun Upin Ipin sebagai berikut. Sikap Kak Ros yang tegas berdialektika dengan sikap Opah yang bijak dalam menyikapi Upin dan Ipin yang terkadang bandel. Saat bermain, Upin dan Ipin yang sederhana sering dikonfrontasikan dengan Ehsan yang hidup serba ada serta Fizi pengikut Ehsan.
Jarjit selalu datang dibelakang dan tidak nyambung alur permainannya. Namun ia selalu berusaha untuk beradaptasi. Sementara Ismail bin Mail, selalu menjadi juri. Kalau tidak, Ismail bin Mail akan berjualan atau melihat potensi bisnis. 
Datok Dalang, selalu memberi ruang pada Upin dan Ipin dalam membuat permainan, meski dengan segala keterbatasan. 

NILAI EDUKASI
1. Nilai Agama
Di beberapa seri, Upin dan Ipin bersama teman temannya berpuasa dan tarawih, Ini mengajarkan anak sedari dini untuk taat beribadah,
2. Nilai kemanusiaan dan persahabatan
Kehadiran karakter Mei Mei dan Jarjit yang berbeda etnis dan agama dengan Upin dan Ipin, mengajarkan tentang pentingnya saling menghargai antar etnis dan agama. Meski berbeda etnis dan agama, mereka selalu akur dan ceria. Perbedaan bukan alasan bagi mereka untuk saling membenci.
3. Nilai penghormatan pada guru dan orang tua
Tak satupun serial Upin Ipin yang mencemooh orang yang lebih tua. Setegas-tegasnya Kak Ros dan Bang Saleh (sally), tak satupun sikap melawan atau menghina yang dilakukan oleh Upin dan Ipin. Belum lagi setiap kelas dimulai, maka Ehsan langsung berdiri (diikuti teman temannya) akan memberi penghormatan pada guru (selamat pagi cik gu)
4. Motivasi, Kreativitas dan Kesederhanaan
Dalam bermain, Upin dan Ipin tidak selalu mempunyai permainan sebagus Ehsan yang kaya. Sebagai anak yatim, bukan tantangan bagi Upin dan Ipin untuk menikmati masa kanak-kanaknya dengan permainan. Datok Dalang lah yang biasa membantu membuatkan Upin dan Ipin permainan, sekaligus mengajarkan cara membuat permainan itu sendiri. Kalaupun harus dibeli, maka Upin dan Ipin harus merengek atau memecah tabungannya.
5. Nasionalisme
Adanya bendera Malaysia dalam beberapa seri Upin dan Ipin merupakan pembiasaan pada anak untuk mencintai bangsa dan negaranya. (Demikian pula film hollywood untuk konteks film dewasa). Sementara dibidang olahraga, yaitu sepakbola dan bulutangkis, berisi cita cita Upin dan Ipin untuk menjadi atlet yang mengharumkan nama bangsa dan negara. Di bidang teknologi, Upin dan Ipin bercita cita menjadi astronot pertama Malaysia. Ini menstimulus anak agar bercita cita besar untuk mengharumkan nama bangsa dan negara.

PENUTUP
Selain sebagai hiburan, kartun Upin dan Ipin memiliki muatan nilai yang sangat positif terhadap perkembangan anak. Nilai nilai yang terselip di tiap serial, memberi pelajaran secara halus pada anak. Anak tidak didoktrin dan dipaksa untuk melalukan sesuatu yang baik. Tetapi anak dapat menikmati kartun sambil belajar. Saya kira anda sepakat bila kartun ini sangat baik untuk perkembangan anak. Betul betul betul.

Nasionalisme dan Budaya India dalam Film Kuch Kuch Hota Hai

Scene pertemuan Rahul dan Tina di Kampus dalam Film Kuch Kuch Hota Hai
Kehadiran mahasiswi baru yang cantik, Tina Malhotra (diperankan  Ranee Mukerji) membuat sang macan kampus, Rahul Khanna (diperankan Shah Rukh Khan) klepek klepek. Ia berusaha menampakkan eksistensinya sebagai jagoan. Sementara Tina Malhotra, putri dekan, adalah mahasiswi pindahan dari Inggris. 

Dalam benak Rahul, Tina yang lahir dan besar di Inggris, sudah tak tahu lagi lagu dan budaya India. Rahul menemukan cara untuk mendekati Tina, yaitu menantang Tina menyanyikan lagu India. 
Rahul menantang Tina menyanyikan lagu India
Rahul hampir sangat yakin, Tina tak mampu lagi menyanyikan lagu India. Mungkin dalam pikirannya, bila Tina tak tahu lagu India, maka Rahul akan mengajarkan sebagai bentuk pendekatannya pada Tina. Tetapi. saat Tina mulai menyanyi, roman wajah Rahul dan kawan kawannya pun berubah. Tina menyanyikan lagu Om Jay Jagadish Hare. Lagu puji pujian terhadap Dewa dalam bahasa hindi
Tina menyanyikan lagu "Om Jay Jagadish Hare"

Sisi Nasionalisme Film India
India melalui Bollywoodnya adalah salah satu penghasil film terbesar dunia. Film India selalu menggunakan bahasa Urdu dalam dialognya. Hal tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk kecintaan pada bahasa lokal. Meski dalam proses perjalanan sejarahnya, India pernah dijajah Inggris beratus tahun, namun identitas India tak pernah hilang dalam film filmnya.Selain bahasa, film India selalu menonjolkan aspek budayanya yang lain. Misalnya kain sari yang selalu digunakan perempuan India. Rumah dengan tata ruang khas India 
Dalam film Kuch-Kuch Hota hai, karakter Tina adalah simbol keturunan India yang termodernisasi di Inggris. Sementara Inggris, (sebagai tempat lahir dan besar Tina), adalah bekas penjajah India. Inggris bukan hanya sebagai simbol penjajah, tetapi simbol kemajuan peradaban yang dipertegas sebagai tempat Tina menuntut ilmu sebelum melanjutkan kuliahnya di India, kampung halaman leluhurnya. Karakter Tina Malhotra sebagai mahasiswi pindahan Inggris memberi makna seseorang keturunan India yang lahir dan besar dalam budaya barat, namun tetap cinta pada budayanya. 
Kecintaan karakter Tina Malhotra pada budaya India tercermin saat ia menyanyikan kidung suci "Om Jay Jagadish Hare" yang dikarang oleh Pandit Sharda Raam Phillauri di Punjab. Lagu ini mungkin terinspirasi oleh Dasavatara bab Gita Govinda. Tina Malhotra, bukanlah gadis India yang lupa negeri leluhurnya. Bukan pula gadis India yang lupa budaya dan kidung sucinya. Tetapi, Tina Malhotra adalah gadis India yang modern dan maju dibidang ilmu pengetahuan, namun tidak melupakan negara dan budayanya.

Antara Kompetensi, Prestasi dan Regulasi

Banyak orang mempersoalkan latar belakang para Menteri di Kabinet Kerja. Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti adalah yang paling sering di sorot. Sebagai lulusan SMP, Susi dianggap tidak layak menduduki jabatan menteri.

Seorang professor yang ketiban sial, "diduga" kedapatan nyabu, M sering dibenturkan dengan Menteri Susi. Posisi sebagai Wakil Rektor III sebuah perguruan tinggi negeri dan berlatar guru besar fakultas hukum melengkapi kesialannya. 

Publik mulai bertanya-tanya. Apakah tidak perlu bersekolah tinggi ? Toh nanti ujung-ujungnya kedapatan nyabu (tanpa melihat fakta professor lain macam Anies Baswedan yang berprestasi). Tidak masalah tak sekolah tinggi yang penting kaya (tanpa melihat fakta lain fenomena putus sekolah).

Dalam Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 disebutkan "Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden".  Hal ini memberi petunjuk bahwa pengangkatan menteri adalah wewenang dari Presiden. Beda halnya dengan Presiden, Kepala Daerah, Anggota DPR, DPD dan DPRD

Pada pasal  14 ayat 1 poin c UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disebutkan "bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah". Sangat jelas bahwa untuk menjadi seorang Presiden, cukup tamat SMA atau sederajat. Sementara itu, di pasal 13 ayat 1 point c UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah disebutkan "berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan  tingkat  atas  atau sederajat". Bagaimana dengan DPR, DPD dan DPRD ? Untuk DPR dan DPR disebutkan pada pasal 51 ayat 1 poin e UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPR sebagai berikut : "berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat". Pada UU yang sama, pasal 68 ayat 2 poin b disebutkan "bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar (STTB), syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah"

Ini berarti, regulasi kita memberikan ruang pada tamatan SMA sederajat untuk menjadi Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Anggota DPR, DPD dan DPRD. Bahkan untuk menjadi menteri, itu menjadi kewenangan Presiden belaka.



Kita sederhanakan perhubungan diantara regulasi, kompetensi, prestasi, akademik dan ekspektasi masyarakat sebagai berikut

Menteri adalah pembantu Presiden. Seorang menteri baru dikatakan berprestasi dan memenuhi ekspektasi masyarakat jika ia mampu memberikan perubahan yang signifikan dibidangnya. Presiden mempunyai visi misi yang dituangkan dalam bentuk program dalam satu periode. Seorang menteri harus bekerja memenuhi target yang diberikan oleh Presiden sehingga dituangkan dalam bentuk Tupoksi.

Menilai kinerja seorang menteri, tak seyogyanya melihat aspek pribadi yang bersangkutan. Ia merokok, pakai tatto, itu bukan urusan masyarakat. Tetapi urusan masyarakat adalah apakah sang menteri telah bekerja sesuai SOP dan Tupoksinya sehingga menghasilkan prestasi yang nyata.

Begitu pula dengan Presiden, Kepala Daerah dan Anggota DPR, DPD dan DPRD. Kurang elok mempersoalkan latar belakang keluarga dan akademiknya. Sebagai misalnya, bukan urusan masyarakat mempersoalkan berapa istri Bung Karno. Tetapi urusan masyarakat adalah apa yang telah Bung Karno berikan untuk rakyat Indonesia. Kita patut mempersoalkan kompetensi semua pejabat yang dibiayai APBN/APBD, indikator keberhasilan, prestasi dan bukan masalah pribadi yang bersangkutan. 

Kompetensi itu lahir bukan semata mata produk kuliahan. Bukan sebuah kemestian bahwa orang yang lulus kuliah summa cum laude di kampus mesti memiliki kualitas SDM yang mumpuni dan kompetensi yang cukup dibidangnya. Banyak faktor X, misalnya pengalaman yang tidak diajarkan di kampus.Tantangan bagi dunia akademik, untuk merancang kurikulum dan model pembelajaran yang lebih efisien, efektif dalam peningkatan kualitas SDM. Di Kabinet Kerja, beban berat dipundak Bapak Menteri Pendidikan, Professor Anis Baswedan untuk membangun dunia akademik Indonesia yang lebih signifikan ketimbang mempersoalkan keterlambatan soal UAN seperti periode sebelumnya. 

Masyarakat harus tahu indikator keberhasilan dari pemimpinnya. Baik eksekutif dan legislatif. Kemudian, masyarakat juga harus tahu saluran untuk mengkritisi kinerja pemimpinnya. Soal pribadi para pemimpin, selama dia tidak melanggar hukum dan tidak mengganggu orang lain, tidak perlu dicampuri. Seolah kita sebagai masyarakat tidak punya masalah sendiri sampai suka mencampuri masalah pribadi orang lain. Aneh bin tragis.

Memang banyak orang terlihat aneh atau KEPO Abal abal. Tahu tatto menterinya, tetapi tidak tahu programnya. Tahu latar belakang pendidikan pejabatnya, tetapi tidak (mau) tahu prestasinya. Ada juga sebaliknya. Belum berbuat apalagi berprestasi, namun seolah semua urusan kebangsaan sudah tuntas.

Mencoba untuk bijak, mari kita sama-sama belajar. Belajar tentang apa program pemerintah. Belajar tentang indikator keberhasilan sebuah kementerian/instansi dalam sebuah periode. Belajar untuk tahu cara mengkritisi yang baik. Belajar untuk turut berpartisipasi (berbuat) semampu kita demi Indonesia tercinta. Memang, kadang mengkritik lebih mudah ketimbang berbuat.

Demokrasi Vs Nepotisme : Memetik Makna dari Sejarah

Gerakan Reformasi 1998 mengangkat isu menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Nepotisme yang dilakukan rezim Orba saat itu dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan dengan demokrasi. Demokrasi "secara teoritis" memberi ruang yang sama bagi tiap warga negara untuk berkompetisi diranah politik. Hal ini berlawanan dengan Nepotisme yang memberi jalan pintas bagi anak anak tertentu untuk masuk dalam ranah politik.

============================== 494 tahun lalu ============================

Arung Matowa* Wajo La Tadampare Puang ri Maggalatung** sudah mulai uzur. Ia berwasiat agar kelak digantikan oleh "anaknya". Sementara, 47 tahun sebelumnya, orang Wajo sudah bersepakat. Jabatan Arung Matowa tidak boleh diwariskan tetapi dipilih melalui hadat Wajo. Tiga bulan lamanya hadat Wajo bersidang, namun tidak ada kata sepakat. 

Hadat Wajo terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu tetap bertahan bahwa Wajo tidak boleh meninggalkan konstitusinya. Yaitu, jabatan Arung Matowa tidak dapat diwariskan. Kubu yang lain berpendapat bahwa La Tadampare adalah raja Wajo yang sangat berjasa. Sehingga tidak mengapa bila wasiatnya dikabulkan sebagai bentuk terimakasih orang Wajo pada La Tadampare.

Saat sidang yang menjemukan itu, seorang anak kecil yang berusia sekitar 8 tahun yaitu La Paturusi To Maddualeng tertawa mendengar riuh sidang di Baruga***. Dari bawah, sambil memainkan kemiri****, ia memandang remeh persoalan rumit yang membingungkan orang Wajo. Salah seorang Hadat Wajo mencoba untuk mendengar pendapat La Paturusi, namun ayah La Paturusi seorang anggota Hadat yang lain mengabaikannya sebab dianggap masih anak anak.

Sidang yang tak kunjung usai itu terus berlangsung sehingga Hadat Wajo mendesak ayah La Paturusi yaitu La Tiringeng agar mendengar masukan La Paturusi. Akhirnya diiyakan. Maka diusunglah La Paturusi menuju rumah Arung Matowa. Dari balik jendela, La Tadampare bersedih melihat hal tersebut. Dalam hatinya, mengapa orang Wajo mesti mengutus seorang anak kecil untuk menjawab permintaan wasiatku.

Setelah naik kerumah La Tadampare, maka La Paturusi dipersilahkan duduk. Ia pun mulai berbicara. Dengan lantang La Paturusi mengatakan bahwa, siapapun orang tuanya bila seseorang menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo, maka itulah anakmu. Namun, walaupun itu anak kandungmu, bahkan keluar dari biji matamu, namun tidak menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo maka dia bukan anakmu. 

Mendengar jawaban La Paturusi, maka La Tadampare Puangrimaggalatung pun puas. Ia bisa turun tahta dengan tenang.

========================== kembali ke tahun 2014 ===========================

Demokrasi, seperti yang dikatakan sebelumnya, sebenarnya sangat baik. Sebab memberi ruang setara kepada warga negara untuk berkompetisi secara politik tanpa mempersoalkan asal usulnya. Tetapi sayangnya, justru menutup ruang bagi orang yang "kebetulan" terlahir dari orang tua yang bergaris nasib sebagai pejabat.

Karena alasan menolak "nepotisme" maka seorang keluarga dekat Bupati/Walikota/Gubernur tidak boleh berkontestasi dipanggung politik. Demokrasi justru menjadi tidak demokratis. Orang orang menolak nepotisme dengan alasan bahwa "Tidak seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua yang melahirkannya". Sehingga ruang kontestasi harus dibuka secara adil. Tetapi disaat yang sama,  "Tidak ada seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua pejabat". Sayangnya, ruang kontestasi justru ditutup secara tidak adil. Standar ganda pastinya.

Jika alasan keluarga pejabat dilarang untuk masuk ruang kontestasi karena dikhawatirkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Maka solusinya adalah membangun sistem yang kuat agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Bukannya menutup ruang kontestasi keluarga pejabat. Substansi persoalan sebenarnya adalah komitmen untuk membangun. Siapapun itu, apakah anak pejabat atau anak orang biasa, selama punya komitmen dan tentunya kemampuan, maka ruang kontestasi bagi mereka haruslah dibuka sama lebarnya. Ini demokrasi bukan ?

Saya ingin katakan bahwa, apa yang Bangsa Indonesia persoalkan hari ini adalah hal yang sudah dituntaskan oleh kerajaan Wajo 494 tahun lalu. Tetapi memang kita malas belajar dari sejarah. Atau mungkin sejarah tidak perlu dipelajari lagi, entah lah. Saya cuma tertawa sebagaimana La Paturusi tertawa melihat Hadat Wajo 494 tahun lalu.

* Arung Matowa adalah gelar raja utama di kerajaan Wajo. Sebelumnya gelar raja adalah Batara Wajo. Sebuah jabatan yang bersifat Monarki Absolut. Sedang Arung Matowa bersifat Monarki Konstitusional. Perubahan gelar ini mengikuti perubahan sistem konstitusi melalui Perjanjian Lapadeppa yang berisi pengakuan hak hak rakyat Wajo,
** La Tadampare Puangrimaggalatung, Arung Matowa Wajo IV. Berkuasa sekitar tahun 1491-1521. Ia adalah raja Wajo yang paling sukses sepanjang sejarah Wajo
*** Baruga adalah bangunan kayu bertiang khas Sulawesi Selatan, tempat diadakannya rapat atau musyawarah.
**** Permainan tradisional dimasa lalu sebelum kelereng dimainkan

Perbedaan Mahasiswa Generasi 80-90an dengan Generasi 2000an

Mahasiswa angkatan 80-90an memiliki karakter yang berbeda dengan angkatan 2000an kebawah. Kondisi eksternal dan internal kemahasiswaan yang berbeda menyebabkan hal tersebut. Berikut ini beberapa perbedaan Mahasiswa

1. Kondisi Kebangsaan
Hidup dicengkraman orde baru yang dominan membuat mahasiswa saat itu cenderung militan dan tertutup. Sangat mudah bagi orang yang kritis untuk dituduh "makar" atau "tindak subversif" atau malah dituduh "komunis". Lembaga mahasiswa begitu diproteksi dari penguasa. Aktivis mahasiswa cenderung jual mahal terhadap pejabat-pejabat.
Sementara mahasiswa generasi 2000an berproses pada kondisi yang cenderung terbuka. Sebab arus reformasi yang mengalir membuka keran keran kebebasan. Akibatnya adalah militansi mahasiswa cenderung menurun akibat termanjakan kondisi yang lebih sejuk. Aktivis mahasiswa bisa bebas berteriak dimana mana tanpa harus khawatir dituduh "makar", "subversif" atau malah "komunis". Aktivis mahasiswa cenderung lebih mudah berinteraksi dengan para pejabat. Bisa di cek di nomor kontak di HP aktivis mahasiswa generasi 2000an hampir bisa dipastikan bisa ditemukan nomor HP Pejabat disitu.

2. Teknologi
Di tahun 80-90an, teknologi masih sederhana. Komunikasi masih mengandalkan cara langsung. Di akhir 90an,memiliki pager (apalagi HP) adalah sebuah kebanggaan, Sebab dimasa itu pager dan HP adalah produk teknologi yang sangat elit dan mahal. Lebih sebagai perlambang simbol status sosial ketimbang alat komunikasi. Mahasiswa generasi 80-90an sangat mengandalkan telpon koin dan wartel untuk komunikasi jarak jauhnya.
Motor adalah perlambang kesejahteraan. Biasanya dalam satu angkatan, jumlah pemilik motor ditahun 90an bisa dipastikan dibawah 10 buah. Di jurusan saya (tiga angkatan) hanya ada 4 motor, yang kami bergantian meminjamnya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengeksekusi persoalan transportasi dengan kondisi seperti itu.
Kegiatan mahasiswa biasanya membutuhkan spanduk dan baliho. Seperti Ospek, Raker, dan sebagainya. Berhubung digital printing belum ada dan komputer masih sederhana, maka spanduk dan baliho dibuat secara manual. Menggunakan kain polos yang dibeli di toko kain. Lalu mengambil kertas, mengusahakan agar seimbang. Menghitung jumlah huruf dan merekatkan dikain. Lain lagi kalau baliho, dibutuhkan jiwa seni untuk bisa melukis. Sekarang kreatifitas seperti itu sudah tergantikan dengan keahlian desain grafis.

3. Pengkaderan
Keras. Satu kata itu sudah cukup merangkum bagaimana model pengkaderan di lembaga kemahasiswaan. Tujuannya jelas. Membentuk mahasiswa yang bermental baja dan militan dalam menghadapi penguasa.
Keras disini dalam artian fisik dan pikiran. Di zaman dimana mesin ketik belum tergantikan oleh laptop dan printer, mesin ketik selalu mewarnai dimalam malam pengkaderan. Sebelum memasuki sebuah pengkaderan formal lembaga (baik intra maupun ekstra kampus), mahasiswa diwajibkan membuat makalah dengan jumlah referensi yang banyak. Setelah itu, tiap materi yang diterima harus dibuatkan resume dengan jumlah referensi tertentu. Kerasnya proses pengkaderan memaksa mahasiswa untuk menguasai banyak bidang pengetahuan secara cepat.

baca juga -->

Rumus Pengisian Formulir Model C1 PPWP

Pada setiap Pemilu, termasuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (PPWP), saksi calon di TPS berhak mendapatkan salinan model C1 beserta lampirannya. Saksi tentunya harus mencermati suara sah ketika penghitungan suara dan penulisannya di model C1 ukuran plano. Dari model C1 ukuran Plano ini disalin ke model C1 beserta lampiran untuk saksi. Sebelum saksi menerima model C1 dan lampiran tersebut, tentu sebaiknya saksi mencermati angka-angka yang ada didalamnya. 

Teknis pemungutan dan penghitungan suara pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 ini didasarkan pada PKPU no. 19 tahun 2014. Berikut ini adalah rumus dan teknik untuk pencermatan angka angka pada formulir model C1 beserta lampiran

1. Pastikan angka-angka pada model C1 ukuran plano telah benar. Jika ada kekeliruan, saksi berhak menyampaikan keberatan. Tentu berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Pastikan angka-angka perolehan suara calon telah benar. Penjumlahan perolehan suara kedua calon sama dengan suara sah (bagian II lembar pertama)
3. Penjumlahan suara sah dan suara tidak sah sama dengan surat suara yang terpakai/digunakan

4. Pada bagian I (paling atas lembar pertama) tentang jumlah pemilih secara detail.
5. Jumlah surat suara yang terpakai sama dengan jumlah pemilih di DPT, DPTb, DPK, DPKTb yang menggunakan hak pilihnya. Bisa jadi seorang pemilih menggunakan dua lembar surat suara. Satunya dikembalikan karena keliru coblos dan yang satunya masuk dikotak, entah sah atau tidak sah. Namun jumlah suara sah dan tidak sah yang berarti sama dengan jumlah surat suara yang terpakai itu juga sama dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya. 

6. Adapun pemilih yang terdaftar di DPT tidak berarti sama dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya; Sebab bisajadi karena sesuatu dan lain hal, yang bersangkutan tidak menggunakan hak pilihnya sehingga surat suara tidak digunakan.

Cara mudah memahami PKPU 19 tahun 2014 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014

PEMILIH (pasal 6-13)
- Pemilih yang terdaftar di DPT
- Pemilih yang terdaftar di DPTb (terdaftar di DPT tapi menggunakan hak pilih di TPS lain)
- Pemilih yang terdaftar di DPK (tidak terdaftar di DPT dan DPTb tapi terdaftar di model A PPWP)
- Pemilih yang terdaftar di DPKTb (Pemilih yang tidak terdaftar di DPT, DPTb dan DPK yang menggunakan KTP atau identitas lain)
- Maksimal 800 tiap TPS

PEMUNGUTAN SUARA (Pasal 14-41)

- Ketua KPPS menyampaikan model C6 pada pemilih yang terdaftar di DPT, DPTb dan DPK tiga hari sebelum pemungutan suara
- Bila formulir model C6 hilang, maka pemilih melapor pada KPPS paling lambat sehari sebelum pemungutan suara dengan menunjukkan KTP atau identitas lain
- Ukuran TPS minimal 10 meter x 8 meter disesuaikan kondisi setempat
- Jumlah kursi di TPS sebanyak 25
- Jumlah surat suara di TPS sebanyak di DPT ditambah 2% dari DPT di TPS bersangkutan
- Saksi berhak mendapatkan 1)salinan berita acara 2)salinan sertifikat penghitungan dan lampiran 3)salinan DPT, DPTb, DPK 4)salinan kejadian khusus dan keberatan saksi
- Pemungutan suara dimulai pukul 07.00 - 13.00 waktu setempat
- Pemilih yang terdaftar di DPKTb menggunakan hak pilihnya 1 jam sebelum pemungutan suara berakhir

PENGHITUNGAN SUARA (Pasal 42-88)

- Dimulai setelah pemungutan suara berakhir (13.00 hingga selesai)
- KPPS, Saksi dan PPL didalam TPS
- Pemilih, pemantau diluar TPS
- Tanda coblos satu kali pada kolom yang memuat satu pasang calon dinyatakan sah untuk satu suara
- Tanda coblos lebih satu kali pada kolom yang memuat satu pasang calon dinyatakan sah untuk satu suara
- Penghitungan suara dilakukan ditempat terbuka dan pencahayaan yang cukup
- Saksi, Pemantau, PPL diberi kesempatan mendokumentasikan formulir model C1 PPWP Plano
- Keberatan dapat diajukan saksi dan PPL bila ada selisih antara model C1 PPWP Plano dengan model C1 beserta lampirannya. Bila keberatannya diterima maka KPPS segera melakukan pembetulan
- Bila KPPS sudah melakukan pembetulan namun saksi masih keberatan maka KPPS meminta pendapat dari PPL dan wajib menindaklanjuti rekomendasi PPL


JENIS FORMULIR

C : Berita Acara
C 1 : Sertifikat hasil dan rincian hasil penghitungan perolehan suara
C 1 Plano : Catatan hasil penghitungan perolehan suara
C 2 : Catatan Kejadian khusus
C 3 : Pendamping pemilih
C 4 : Surat Pengantar
C 5 : Tanda terima
C 6 : Surat Undangan Pemilih
C 7 : Daftar hadir pemilih

Pendidikan yang Berkeindonesiaan

=======================================================================
Berbagai keanehan produk pendidikan kita :
1. Lebih mampu mengutip tokoh intelektual asing ketimbang tokoh sejarah yang arif didaerahnya
2. Lebih mampu berbahasa asing ketimbang berbahasa daerahnya
3. Lebih mengenal budaya asing ketimbang budaya daerahnya
4. Lebih siap bekerja ketimbang membuat pekerjaan
5. Lebih memahami tokoh asing ketimbang potensi alam didaerahnya
Secara pribadi saya sulit untuk mengatakan bahwa pendidikan kita telah berkeindonesiaan seutuhnya.
=======================================================================

Pendidikan, adalah hal yang mutlak bagi warga negara. Sehingga negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi warganya. Pendidikan tentunya haruslah diarahkan pada peningkatan kualitas SDM. Dengan demikian, warga negara dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan di negara yang bersangkutan

Tiap negara punya kekhasan sendiri, sehingga proses pendidikannya pun semestinya berangkat dari kekhasannya masing masing. Indonesia, sebagai negara yang majemuk dan kaya sumber daya alamnya, tentu pendidikannya mengarah pada konsep tersebut.

Mata pelajaran harusnya mengangkat keragaman lokalitas. Banyaknya suku bahasa membuat kita kesulitan untuk memasukkan semuanya ke kurikulum. Namun setidaknya ada representasi tentang bagaimana budaya yang ada di ujung barat yaitu Aceh hingga ujung timur yaitu Papua. Sehingga anak bangsa bisa saling mengenal melalui pendidikannya. Dalam hal semboyan atau petuah petuah atau pesan leluhur, hendaknya dimasukkan dalam sistem pendidikan. Sehingga dapat membentuk karakter bangsa yang berkepribadian.
 
Hal ini berarti menanamkan prinsip egaliter dan kebangsaan yang kuat. Sehingga kesadaran sebagai bangsa yang satu itu bisa semakin dikuatkan. 

Tiap daerah harusnya menyelenggarakan pendidikan bahasa daerah. Jangan sampai hanya karena watak mental inlander sehingga hal hal yang berbau budaya lokal dianggap kampungan. Bahasa daerah adalah kekayaan budaya bangsa yang harus dilestarikan melalui pengintegrasian pada pendidikan.

Selanjutnya yaitu alam daerah bersangkutan. Semestinya di sekolah diajarkan tentang daerah bersangkutan. Mulai dari jumlah kecamatan, desa/kelurahan, potensi alam dan wisata, serta hal hal lain berkaitan dengan daerah. Sehingga peserta didik bisa mengenal sendiri alamnya dan bisa kreatif mengelola sumber daya alam yang ada disekelilingnya.

Transformasi teknologi merupakan hal yang tak kalah penting dalam pendidikan. Untuk itu penjurusan di sekolah harus disesuaikan. Misalnya, pelajaran integral, pertidaksamaan, aljabar, itu tidak perlu diajarkan pada SMP. Tetapi cukup matematika umum saja. Nanti setelah penjurusan ke teknik, maka sudah selayaknya kerumitan matematika diajarkan. Untuk SMP, malah lebih penting diajarkan tentang pesan moral leluhur untuk pembentukan karakter dan kepribadiannya ketimbang memborbardir otaknya dengan aljabar. Memang agak repot kalau yang dibilang pintar yaitu yang jago matematika saja.

Gotong Royong dan Demokrasi

Bangsa Indonesia, terdiri dari beragam masyarakat dengan tradisinya masing-masing yang dominan pada tradisi agraris dan maritim. Berangkat dari tingginya relasi kekerabatan sehingga menyebabkan kohesi sosial yang tinggi.

Sementara itu, dengan sistem pertanian yang sederhana, maka dibutuhkan kerja sama dalam mengelola lahan untuk kepentingan bersama. Sehingga terkondisikan sebuah sistem untuk bergotong royong. Di masa lalu, gotong royong adalah ciri khas bangsa Indonesia yang memiliki relasi kekerabatan tinggi dan teknologi pertanian yang masih rendah.

Seiring perkembangan zaman, terjadi intensifikasi pertanian diiringi pertambahan penduduk serta urbanisasi yang tinggi. Relasi kekerabatan semakin rendah. Dahulu, banyak orang menghafal diluar kepala anggota anggota keluarganya hingga sepupu 5 kali. Saat ini, orang banyak melupakan keluarga dekatnya.

Lahan pertanian pun semakin membutuhkan sedikit orang dalam proses penggarapannya diakibatkan peningkatan teknologi pertanian. Saat ini, satu orang petani dapat menggarap beberapa hektar sawah sendirian tanpa melibatkan orang lain (anggota kelompok) dengan hanya mengandalkan buruh tani atau traktor

Coba kita lihat dikota kota besar, apakah gotong royong masih terasa? Dengan segala keterbatasan, saya mengatakan bahwa bahkan di desa pun semangat gotong royong semakin pudar. Orang orang sekarang cenderung individualistis.

Mari kita tengok tentang demokrasi. 
Proses demokratisasi kita sangat menonjol pada pemilu. Mulai dari pilkades hingga pilpres. Dalam proses pemenangan calon, berbagai variabel digunakan sebagai sarana pemenangan. Misalnya, ikatan kekeluargaan, agama/aliran, suku/asal daerah, dan seterusnya. Sehingga pemilu menyebabkan masyarakat terpetak petak pada beberapa sumbu kepentingan politik. Kohesi sosial masyarakat pun semakin menurun. Walhasil, pola pergaulan, pola kekerabatan menjadi sempit seiring pilihan politik. Sehingga semangat gotong royong itu semakin pudar saja

Kita bisa lihat, betapa banyak orang bersaudara, bersepupu, paman/tante dengan kemenakan, yang mesti bersitegang hanya karena berbeda pilihan saat pemilu. Begitu banyak hubungan sosial yang rusak karena pemilu. Memang biaya pemilu mahal, tapi lebih mahal lagi kehilangan keluarga dan sahabat hanya karena berbeda pilihan saat pemilu. Karena keluarga dan sahabat tidak dijual

Sindrom Politisi Dini (Politician Premature Syndrome)

Sindrom Politisi Dini, adalah sekumpulan tanda-tanda, gejala, fenomena yang memungkinkan kita mendiagnosa seseorang bahwa ia mengidap sebuah persoalan psikologi yaitu terlalu dini ingin menjadi politisi.

Menjadi politisi, adalah cita cita bagi banyak kaum muda . Tentu itu bukan sebuah kesalahan. Namun memahami politik sebagai seni untuk mengelola kekuasaan dan mengambil kebijakan (polis) adalah sebuah proses yang tidak singkat.

Disinilah persoalan terjadi. Dimasa seharusnya seorang mahasiswa berproses dikampus (urus lembaga kemahasiswaan, akademik dan cintanya), ia terjun ke medan percaturan politik praktis. Tentu ada yang berhasil, dan ada juga yang gigit jari.
Sindrom politisi dini alias politician premature syndrome (biar keren sedikit), dapat dikenali dengan beberapa ciri 
  1. Masih berproses dikampus, masih ada beberapa atau puluhan SKS yang belum dituntaskan dan terjun dipolitik praktis diluar kampus
  2. Biasanya lebih suka mengekspresikan wacana politiknya secara verbal daripada menuliskannya (sebab malas atau kurang tahu menulis)
  3. Lebih suka nonton berita politik daripada membaca buku referensi yang relevan
  4. Lebih tertarik pada isu daripada data
  5. Militan pada calon yang didukung, sangat kritis pada calon lain
  6. Biasanya di HP nya tersimpan nomor HP orang besar meski tidak pernah dihubungi
Sebagai sebuah sindrom, tentu belum menjadi penyakit. Sindrom hanya gejala yang menjadi dasar dalam mendiagnosa. Jika memang diagnosanya tepat, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang masih kuliah tersebut mengidap sebuah penyakit psikologi. Yaitu hasrat berpolitik yang terlalu dini mendahului kesiapan mental, keluasan wawasan, kedalaman analisa, dan tentunya ketahanan spiritual.

Tentu kita berbangga, jika dunia politik kita diwarnai oleh para pemuda. Namun kita tentu lebih berbangga, jika dibarengi dengan kedewasaan bersikap. Terlepas dari hal itu, Karl Marx jauh jauh hari mengingatkan melalui teori strukturnya. Bahwa basic structure (ekonomi) mempengaruhi supra structure (politik). Akhirnya para kaum muda yang berpolitik akan terbentur pada kendala klasik. Ekonomi !!!. Bukankah cost politik itu mahal kawan ???

Baca juga -->

Cara Mudah Memahami UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Undang Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terdiri dari 262 pasal dan 21 (XXI) bab. Undang Undang Nomor 42 tahun 2008 ini mulai diundangkan pada tanggal 14 November 2008.

Bisa dibayangkan sulitnya mencari pasal yang menjelaskan tentang sesuatu yang spesifik. Oleh karena itu, sangat perlu memudahkan bagi siapapun untuk memahami Undang Undang Nomor 42 tahun 2008. Adapun tentang pembagian bab sebagai berikut

Bab I : Ketentuan Umum
(Pasal 1)

Bab II : Asas, Pelaksanaan, dan Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal 2-4)

Bab III : Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dan tata cara penentuan pasangan Calon presiden dan Calon wakil presiden
(Pasal 5-12)

Bab IV : Pengusulan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden dan penetapan Capres dan Cawapres
(Pasal 13-26)

Bab V : Hak Memilih
(Pasal 27-28)

Bab VI : Penyusunan Daftar Pemilih
(Pasal 29-32)

Bab VII : Kampanye
(Pasal 33-103)

Bab VIII : Perlengkapan Penyelenggaraan Pilpres
(Pasal 104-110)

Bab IX : Pemungutan Suara
(Pasal 111-131)

Bab X : Penghitungan Suara
(Pasal 132-157)

Bab XI : Penetapan Hasil Pemilu Pres dan Wapres
(Pasal 158)

Bab XII : Penetapan Pasangan Calon Pres dan Wapres Terpilih
(Pasal 159-160)

Bab XIII : Pelantikan
(Pasal 161-163)

Bab XIV : Pemungutan Suara Ulang, Penghitungan Suara Ulang, Penetapan Hasil Ulang
 (Pasal 164-169)

Bab XV : Pemilu Pres dan Wapres Lanjutan dan Susulan
(Pasal 170-172)

Bab XVI : Pemantauan Pilpres
(Pasal 173-185)

Bab XVII : Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pilpres
(Pasal 186-189)

Bab XVIII : Penyelesaian Pelanggaran Pemilu dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu
(Pasal 190-201)

Bab XIX : Ketentuan Pidana
(Pasal 202-259)

Bab XX : Ketentuan Peralihan
(Pasal 260)

Bab XXI : Penutup
(Pasal 261-262)

Serangan Fajar, yang dicaci dan dinanti

Serangan Fajar adalah sebuah istilah untuk menjelaskan politik uang yang dilakukan pada hari H atau malam menjelang pemilih datang ke TPS. Dalam strategi taktik yang tidak mengenal nilai agama, moral dan aturan formal, Serangan Fajar adalah "kartu as" untuk meningkatkan elektabilitas secara instan. Dari perspektif agama, moral dan aturan formal, "serangan fajar" sebagai salah satu variasi politik uang, adalah sesuatu yang hina, dicaci, diganjar dosa dan segala pelabelan negatif. Termasuk resiko hukuman pidana bagi pelakunya.

Pada tulisan ini, saya tidak perlu membicarakan tentang kehinaan, kejelekan, keburukan dari Serangan Fajar. Bukan berarti setuju dengan Serangan Fajar dan Politik Uang, namun ada baiknya jika kita melihat pada perspektif lain.

Dalam teori, pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang menentukan Pemimpin dan wakilnya dalam mengelola negara dan daerah. Sehingga pemilu diidentikkan sebagai upaya perbaikan bangsa dan negara. Mungkin persoalan kesejahteraan masih sangat debatable. Namun yang pasti bahwa, banyak orang tidak bisa merasakan efek langsung pilihannya waktu saat pemilu dengan kesejahteraannya. Banyak mimpi-mimpi kesejahteraan yang dijual saat kampanye yang tidak berefek (atau mungkin tidak terasa) setelah calon terpilih duduk.

Ada uang ada suara, menerima serangan fajar- Siapa yang salah ??

Kedua, pemilih juga manusia. Ia punya perasaan. Tentu tidak menyenangkan jika seseorang tiba-tiba baik kepada kita ketika ada maunya (mau dipilih) kemudian setelah itu "menutup kaca mobilnya jika lewat didepan rumah". Mental pejabat telah melahirkan kesombongan hingga merasa tak pantas lagi berbaur dengan orang kecil. Sehingga ada hubungan yang terputus antara konstituen dan calon yang terpilih. Masyarakat bukanlah sekedar angka yang menentukan keterpilihan yang tidak mempunyai rasa. Ini yang mungkin luput dipikirkan para ahli demokrasi yang terkungkung dimenara gading teorinya.

Saya ingin katakan bahwa, sebagian masyarakat "frustasi" dengan kehidupan. Banyak diantara mereka yang miskin dinegara kaya. Belum lagi pajak membebani masyarakat yang bukannya berkurang, malah semakin banyak item yang harus dipajaki demi peningkatan PAD dan Pendapatan Negara. Memang banyak pemimpin yang kurang kreatif lebih suka membebani rakyatnya dengan pajak untuk membiayai pembangunan ketimbang memaksimalkan sumber daya yang ada.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa penggemar Serangan Fajar itu bukan pemilih cerdas. Mungkin sebagian dari mereka adalah "pemburu dollar murni". Namun tidak bisa digeneralisir. 

Merekalah sesungguhnya pemilih cerdas. Bukan professor abal-abal
Mereka muak dibodoh-bodohi. Meski mereka tak sekolah
Mereka muak dibohongi. Karena kejujuran telah diinjak-injak
Mereka muak dicueki oleh kesombongan pejabat
Mereka muak dijanji perbaikan kualitas hidup. 
Mereka muak dimiskinkan dinegara kaya

Maka mereka pun mempertahankan diri
Mereka sadar tidak punya kekuatan untuk melawan dan menyerang
Sebab mereka hanyalah orang kecil yang miskin lagi terlemahkan
Maka serangan fajar pun dinanti
Sebab lusa mereka akan dilupakan lagi
Dan menjalani kehidupan susah lagi
Dan menunggu 5 tahun kedepan untuk dijanji lagi

Mari kita berandai-andai. Andai anda orang miskin yang kurang diperhatikan, tentu ada akan melihat betapa berartinya uang 100ribu. Anda akan malas berurusan dengan hukum dengan melaporkan uang 100ribu itu ke panwaslu. Anda pasti diinterogasi dan dijadikan saksi politik uang. Uang itu akan dijadikan barang bukti. Lalu anda tidak mendapat apa-apa (termasuk uang 100ribu itu) kecuali kebencian orang yang terjerat hukum gara-gara anda. Mau ???


Cara Menetapkan Calon Terpilih Pada Pemilu 2014

1.       DPD Terpilih
Sistem yang digunakan dalam Pemilihan anggota DPD adalah sistem Distrik Berwakil Banyak. Tiap Provinsi memiliki 4 (empat) orang anggota DPD untuk mewakilinya. Cara penetapannya yaitu berdasar suara terbanyak pertama, kedua, ketiga dan keempat otomatis terpilih menjadi anggota DPD

2.       DPR dan DPRD Terpilih
Sistem yang digunakan dalam Pemilihan anggota DPR, DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sistem proporsional terbuka. Proporsional berarti jumlah anggota legislatif disesuaikan dengan jumlah penduduk. Terbuka berarti konstituen dapat langsung memilih calon yang dikehendaki.
Setelah penghitungan suara, maka perolehan suara sah seluruh partai didapil tersebut dijumlahkan. Kemudian dibagi jumlah kursi yang diperebutkan. Maka didapatkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)

Penghitungan Tahap Pertama
Suara sah seluruh calon pada suatu partai dan dapil, dijumlahkan dengan suara sah partai. Jumlahnya disebut suara partai yang akan dimasukkan dalam penghitungan perolehan kursi partai. Adapun suara terbanyak dari caleg akan mewakili partai tersebut dari dapil tertentu. Penghitungan tahap pertama dilakukan dengan menghitung jumlah suara sah partai politik sama dengan atau lebih tinggi dari BPP. 
Partai politik akan memperoleh kursi sebanyak kelipatan BPP. Apabila ada kelebihan suara dari BPP maka akan dikategorikan sebagai suara sisa yang dihitung pada tahap kedua. Sedangkan partai politik yang perolehan suaranya lebih rendah dari BPP maka tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama dan dikategorikan sebagai suara sisa.

Contoh Simulasi cara penetapan perolehan kursi
Penghitungan Tahap Kedua
Apabila masih ada kursi yang tersisa pada Dapil tersebut, maka dibagikan berturut-turut kepada Partai Politik dengan perolehan sisa suara terbanyak