Showing posts with label tradisi. Show all posts
Showing posts with label tradisi. Show all posts

Komunikasi Cinta di Masa Lalu

Cinta adalah sesuatu yang bersifat universal. Tidak dibatasi ruang dan waktu. Cinta senantiasa menggelitik syaraf pujangga pecinta. Sehingga melahirkan kata dan kalimat yang indah untuk menggambarkan perasaan sang pecinta. Terutama saat sang pecinta berkomunikasi dengan yang didamba.


Teks bahasa, sebagai media komunikasi. Sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya serta geografi yang melatari. Sehingga dalam menafsirkan teks tersebut, perlu pengetahuan tentang konteks yang baik.


Kedalaman makna terhadap teks, menunjukkan pengetahuan seseorang atau masyarakat. Sisi estetika dari sebuah teks sangat tergantung pada pemahaman pembaca terhadap teks tersebut. Berikut ini beberapa pantun cinta leluhur Bugis di masa lalu. Sebagai contoh bagaimana sang pecinta berkomunikasi melalui teks.

Makebbate bate paleq
Lonreng natonagie
To masagalae
(Punya tanda tanda khusus, ternyata perempuan yang berbudi luhur)

Sinukeqmu jakka galung
Kumeneng tapping lopi
Kubuwang pesona
(Apakah saya bersalah kalau menyampaikan keinginanku padamu)

Gellang ri wata majjekko
Anrena i menreq e
bali ulu bale
(Saya mencintaimu)

Iyya teppaja kusappa
Rapanna rialae
Pallangga mariang
(Yang senantiasa saya cari adalah yang sehati)

Tenna ero kusillampe
Linoe makkedana
Melleqpo kumelleq
(Andaikan umurku sepanjang umur dunia, saya sudi menunggu cintamu)

Watammupa na watakkuq
Mattekka siawaru
Aja nasuromu
(Saya berharap terjalin hubungan cinta antara kita tanpa perantara)
Mau siya cicemmua
Unippi sipemmagga
To masagalae
(Namun sekali saja terlaksana impianku, akan puaslah hatiku)

Iyami rimarussemmu
Muleppang maminanga
Ri mase maseta
(Dikala engkau dilanda kesusahan hati, engkau singgah berlabuh pada kesederhanaanku)


Mabela usomperio
Ripauwang kutimang
To mase mase
(Dari jauh aku datang padamu membawa kesederhanaan)


Tenri lauq palakka waq
Ri ajang lerang manaq
Ri attang padolli
(Saya tidak akan mengubah rasa cinta kasihku padamu)

Ajja mai nattiwajo
Balanca butungede
Palebbai dimeng
(Jangan sampai dia menolak rasa rinduku karena sesuatu alasan)


Iya teppaja kusappa
Paddaung loloengngi
Aju marakkoe
(Mengharapkan terjalinnya kembali cinta yang telah diputuskan)

Tennapolo pakkaliye
Lalo topada dimeng
Ajja nalebbae
(Semoga hubungan kita terpelihara hingga akhir)


Disarikan dari :
Elokkelong sakke rupa (Bunga rampai pantun Bugis)
oleh : A. Muhammad Ali
Watampone 1988




Nasehat Leluhur untuk Pedagang

Berdagang, sebuah profesi yang selalu ada disetiap kebudayaan. Tak terkecuali pada salah satu kebudayaan nusantara yaitu Bugis. Tempaan peristiwa seiring gerak zaman, akan melahirkan pemikiran pemikiran yang ideal. Setidaknya, sesuai pada konteks dahulu. Namun terkadang, ada nilai yang masih relevan diimplementasikan pada konteks kekinian

Berikut ini Pappaseng atau pesan leluhur/nasehat kepada pedagang.

Eppa ritu passaleng naompo adecengengna seddie padangkang
Seuwani, alempurengnge
Maduanna, assiwolong-mpolongnge
Matelunna, amaccangnge
Maeppana, pongnge



Terjemahan.
Empat hal yang menyebabkan munculnya kebaikan pada seorang pedagang
Pertama, kejujuran
Kedua, pergaulan baik/silaturahmi
Ketiga, kepandaian
Keempat, modal

Penjelasan.
Kejujuran, adalah nilai kemanusiaan yang (seharusnya) dimiliki tiap manusia. Kejujuran adalah syarat adanya kepercayaan. Sedangkan kepercayaan merupakan dasar pergaulan (Assiwolong-mpolong). Kehilangan kepercayaan, menyebabkan seseorang akan ditinggalkan, bahkan dimusuhi. Pada pedagang, kehilangan kepercayaan berarti kehilangan pelanggan. Yang parah bila, pelanggan yang merasa "dibohongi" kemudian bercerita pada pelanggan atau calon pelanggan lain.

Pergaulan yang baik/Silaturahmi. Rezki sesungguhnya dari Allah Swt, Tuhan yang Maha Pemberi. Akan tetapi agar rezki sampai ke kita, membutuhkan perantaraan. Yaitu dari sesama manusia. Sebagai contoh, nasi yang kita makan. Adalah rezki dari Allah Swt dengan menciptakan dan menumbuhkan tanaman padi. Namun, butuh proses seperti cocok tanam seperti yang dilakukan petani, kemudian pemasaran. Hingga dimasak menjadi nasi. Semakin banyak sahabat, saudara, kerabat maka semakin banyak pula jalannya rezki untuk mencapai kita. Putusnya satu jalinan silaturahmi, bukan hanya menghambat rezki. Akan tetapi juga mengganggu ketenangan jiwa.

Kepandaian. Kepandaian yang dimaksud adalah kemampuan manajerial. Mengelola barang dagangan agar terlihat apik dan menggairahkan pembeli. Kemampuan merayu pembeli. Termasuk pula, kemampuan mengelola relasi bisnis agar tetap terjaga dan berkembang (terkait poin 2). Ada yang menarik dalam tradisi Bugis yaitu memantangkan untuk berkata "tidak" terhadap barang yang dicari pelanggan. Jadi bila seseorang mencari barang namun tidak tersedia di dagangannya, ia akan mengatakan "masempo" yang secara harfiah berarti murah. Itu kata halus dari "tidak ada". Tidak digunakannya kata "De gaga" yang berarti "Tidak ada" bermaksud agar, pembeli tidak menyimpan ketiadaan dijual barang tersebut di memorinya. Sehingga penjual dapat segera mengadakan barang tersebut dan pembeli dapat datang kembali.

Modal Usaha. Dalam berbisnis, modal usaha hendaknya tidak diganggu. Salah satu nasehat orang Bugis sekaitan dengan ini adalah : "Masseajing watakkale temmaseajing waramparang". Artinya, diri boleh berkeluarga, namun harta tidak. Bila dicerna sepintas, terkesan adanya unsur pelit. Akan tetapi, poin yang bisa ditangkap dari hal ini adalah konsistensi menjaga modal demi keberlangsungan usaha. Adapun yang berhubungan dengan keluarga. Misalnya, membantu keluarga yang membutuhkan. Itu dilakukan setelah perdagangan pada hari itu usai dan tentunya tidak mengganggu modal yang ada.

Cara membuat Status FB menurut Kearifan Lokal Bugis

Dalam kurun dua dekade terakhir, kita menyaksikan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat. Baik perangkat lunak (Software) maupun perangkat keras (Hardware) dengan cepat berkembang.

Cek : NETGEN

Sebagian besar manusia, tidak menyadari dampak dari kemajuan tersebut. Yaitu obesitas informasi. Ya, Obesitas Informasi. Terlampau banyak informasi yang kita serap dalam sehari saat kita online. Sehingga bahkan informasi yang kita tidak butuh dan tidak penting pun kita konsumsi.

Salah satu buku yang menghimpun kearifan lokal Bugis
Beberapa sosial media tersedia, seperti Twitter, G+, dan yang paling populer Facebook. Saat ini memiliki pengguna hampir 2 Milyar akun aktif. Yang tiap hari membuat status, komentar, grup, mengupload gambar, mengiklan dan seterusnya.


Obesitas Informasi ini bukan hanya karena terbukanya ruang yang egaliter untuk aktualisasi diri. Sehingga tiap person punya hak sama untuk memasang status atau bahkan memamerkan ibadahnya. Obesitas Informasi ini juga karena adanya "tantangan" dari penyedia Sosial Media sendiri untuk menuliskan apa yang kita pikirkan.

Nah, dari titik ini. tiap orang (yang punya akun) punya kesempatan untuk membagi yang baik atau yang buruk, tergantung pada pemikiran yang bersangkutan.

Pada dasarnya, semua manusia baik. Manusia diciptakan dengan fitrah kemanusiaannya. Kejujuran, kebenaran, keadilan dan semua kualitas kebaikan lainnya merupakan hal yang terintegrasi pada diri manusia.

Namun, manusia bukan malaikat. Manusia memiliki emosi yang kadang stabil kadang sebaliknya. Banyak faktor yang memengaruhi emosi manusia. Namun yang penting untuk dipikirkan adalah, akibat dari kondisi emosi kita kepada orang lain.


Pada kasus sosial media. Bila kita menulis status atau komentarAda kemungkinan bias yang dapat disalahpahami oleh pembaca. Latar belakang, pengetahuan, dan kondisi emosi akan mempengaruhi penangkapan atas status atau komentar yang dibaca. Selanjutnya, status/komentar balasan (baik yang menyerang atau menyindir), dapat saja tertulis dan berakhir penyesalan.

"Narekko engka kedo ri atimmu, itai riolona, itai rimunrina, kira kirai tengngana, muinappa pegauk i, dek na tu naolai sesse kale. Pogaukni madecengnge, tettanni majak e, napojinotu Puang MappancajiE, apa ianatu riaseng pappakedo Puang".

Terjemahan :
Jika ada yang terlintas didalam hatimu, amatilah penyebabnya,lihatlah akibatnya, perkirakanlah pelaksanaannya, baru kemudian engkau lakukan. Tidak akan berakhir dengan penyesalan. Lakukan yang baik, tinggalkan yang buruk. Maka engkau akan disukai oleh Tuhan yang Maha Pencipta, karena itulah petunjuk dari Tuhan.
sumber : PANGAJAK TOMATOA 
Dihimpun oleh : Zainuddin Hakim

Ada baiknya kearifan lokal diangkat kembali. Meski sudah tua, namun belum usang. Pentingnya untuk melihat awal, akhir dan tengah suatu persoalan. Ternyata bisa diterapkan dalam menulis status dan komentar. Bersosial media, tidak memperturutkan hawa nafsu dan kebencian. Tetapi memikirkan matang matang sebelum diposting. Mempertimbangkan perasaan orang lain bila dibaca. Dan paling penting adalah jangka panjangnya. Yaitu ketika kita tutup usia tetapi tidak sempat tutup akun.


Cara Menentukan Lokasi Rumah yang Akan Didirikan

Rumah, bukan hanya kebutuhan primer manusia sebagai tempat bernaung dan tempat berkumpul. Lebih daripada itu, rumah juga adalah identitas pemilik serta bagian dari keselarasan dengan alam. Di masa lalu, belum ada jalan raya. Rumah didirikan tentu bukan karena faktor strategis lokasinya dari jalan raya. Akan tetapi, juga kesesuaian tanah tempat rumah akan didirikan dengan pemilik.


Oleh karena itu, dimasa lalu orang Bugis saat akan mendirikan rumah. Memulainya dengan mencari tempat yang dianggap baik dan menguntungkan. Kemudian mencari waktu baik untuk memulai pendirian rumah. Ada ritual yang mesti dilakukan saat mendirikan rumah. Ketika pendirian rumah selesai, diadakan acara selamatan seperti "Maccera Bola". Terkadang diganti dengan barzanji.

Berikut ini petikan naskah Lontara Bola tentang cara menentukan lokasi pendirian rumah

Transliterasi.
Passaleng pannesaingngi. Rekku maeloki mabbola. Patettong bola. Sappano tana madecengnge. Yinatu tana mapute. Na siso tana. Tana malotongnge. Na mawangi wangi wawunna. Madeceng riappatettongi bola. Matanre ri ajae. Namatuna ri lau. Namatanre riattang. Namatuna ri awang. Muyinayi masse ro. Lampe e. Yina masero deceng. Ri appatettongi bola. Nayirekko. Engkana tana. Muelori. Muabbolai. Awangngi wenno. Cucubanna. Enrengnge manu. Ota malappa. Minynya. Dupa mutunui. Dupae. Mupatto’i aju. Kuwae tairajanna. Mattanroi masse. Muakkeda palei. Reddui rekko temmuelorangngi. Iko monroangengngi. Tanae. Nagenne’pa tellumpenni.  Mulao mitai. Yinae lego. Riappalingangarengngi. Ajja muabbolaiwi. Yirekko. Tellegoi. Tennamareddu toi. Appatettongini bola. Narekko mappepasui. Bola. Malai manu cella. Tapanrei pasu’e. Silaong limatta. Paeto. Mattaratatti.



Terjemahan bebas
Pasal yang menjelaskan apabila hendak mendirikan rumah. Carilah tanah yang baik, yaitu tanah putih dan siso tana. Tanah yang berwarna hitam dan berbau wangi. (Adalah) baik untuk didirikan rumah. Tinggi dibagian barat dan rendah dibagian timur. Tinggi dibagian selatan, dan rendah dibagian utara. 
Dan apabila telah ada tanah yang engkau anggap baik, maka berikanlah berondong jagung, beras bertih, serta ayam. Daun sirih yang lebar. Minyak. Dupa dan dibakar. Tancapkanlah kayu dan berikrar, "Wahai yang menjaga tanah ini, cabutlah kayu ini bila engkau tak berkenan (didirikan rumah). Bila cukup tiga malam, lihatlah (kayu tersebut). Bila bergoyang, jangan dirikan rumah di tempat tersebut. Jika tidak bergoyang (tetap tertancap dengan kuat), maka dirikan lah rumah disitu.

cek : SukeQ
(cara mengukur panjang senjata, rumah, kendaraan)

Tradisi orang Bugis dimasa lalu ini dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk menyelaraskan antara manusia dan alam. Hal itu ditempuh dengan cara upaya komunikasi dengan "penguasa tanah" untuk mengetahui persetujuannya dalam mendirikan rumah dilokasi tersebut.

Rumah Bugis dengan ornamen hias yang khas

Cucubanna, Pesseq Pelleng, Tallattu, Lawolu dan Menrawe dalam sebuah ritual adat Bugis
Persetujuan dari "penguasa tanah" ditandai dengan longgar atau tidak longgarnya kayu yang ditancapkan sebelumnya. Longgarnya kayu yang ditancapkan adalah sebuah pesan dari "penguasa tanah" kepada manusia bahwa lokasi tersebut kurang baik untuk didirikan rumah. Dengan demikian, bisa dimaknai agar manusia mencari lagi lokasi yang lebih baik. Sebaliknya, bila kayu yang ditancapkan masih kokoh. Maka hal tersebut dimaknai sebagai pesan dari "penguasa tanah" bahwa lokasi tersebut baik untuk didirikan rumah.

Wallahu a'lam 


SUKEQ

Dalam tradisi Bugis dimasa lalu, pengukuran panjang disebut dengan istilah Sukeq. Sukeq tidak hanya berarti ukuran panjang sebuah benda. Tetapi juga berarti "mengukur nilai karakter" seseorang. Misalnya pada kalimat "Teawa nasukeq" yang berarti kira kira "Saya tidak ingin (Sifat/Karakter/kemampuan) saya dinilai.

Sukeq

Sekaitan dengan penilaian, pepatah Bugis mengatakan "Olaq mu muakkolaki" yang berarti, takaranmulah yang kau jadikan takaran. Maksudnya, sebelum melakukan sesuatu, nilailah akibat perbuatan itu, bila kita tidak suka, maka tentu orang lain pun demikian.

Kembali ke SukeQ. Berbeda dengan di Eropa dengan satuan meter dan yard, satuan ukuran dalam Sukeq bersifat spesifik, tidak bersifat general. Sukeq sangat tergantung dari orang yang bersangkutan. Alat ukur dalam teknik SukeQ, adalah organ tubuh yang bersangkutan.

Untuk sesuatu yang dipegang, seperti Kawali, Alameng, Bessi dan senjata dari besi lainnya, yang digunakan adalah tangan dan jari. Dikenal istilah Sijakka, Sipajello, Siuncu untuk panjang badik atau keris atau mata tombak. Adapun pedang Alameng terkadang digunakan sukeq reppa. Kadang yang digunakan adalah jari jari dengan kelipatan 4 atau 5.

Teknik Sukeq pada bilah badik (sumber : Tenriewa)
Untuk sesuatu yang ditempati, seperti rumah, yang digunakan untuk Massukeq adalah jarak antar lutut saat duduk bersila yang kemudian dihitung kelipatannya. Sementara untuk tinggi rumah, adalah jarak antara tenggorokan hingga ke pusar, dan kelipatannya. 

Sementara yang dikendarai (Ri Tonangi) yang digunakan Massukeq adalah tapak kaki dan kelipatannya. Adapun kendaraan yang dimaksud adalah perahu, bendi dan sebagainya.


Sehubungan dengan tidak berlaku generalnya sukeq, maka boleh jadi satu benda yang di sukeq sesuai untuk seseorang namun tidak sesuai untuk orang lain. 

Filosofi Sukeq
Boleh jadi orang akan berpikir, mengapa leluhur Bugis tidak menciptakan satuan ukuran panjang yang bersifat general tetapi bersifat parsial. Hal itu tidak terlepas dari konsep kosmologi orang Bugis. Bahwa ada dua alam, yaitu alam dalam diri dan alam diluar diri. 

Bahwa orang Bugis berprinsip, "Ajja muassappa ri saliweng reppa" yang kira kira berarti jangan mencari diluar jangkauanmu. Sementara Reppa adalah salah satu cara Sukeq. Sehingga alam dalam diri yang termanifestasi dalam struktur fisiklah yang menjadi satuan ukuran Sukeq. 

Adapun alam diluar diri, seperti kita ketahui bahwa, Tuhan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan ukuran masing-masing. Tidak satupun ciptaanNya yang berlebihan atau berkekurangan. Sebab DIA Tuhan yang Maha Adil yang menciptakan hamba-hambaNYA sesuai Qadarnya.

Ketika manusia Bugis mencipta atau menggunakan alat (rumah, pedang, badik, perahu, bendi dan sebagainya), maka digunakanlah organ tubuhnya (jakka, reppa, tudang sulekka, dan seterusnya) berikut kelipatannya agar tercipta kesesuaian antara manusia, alat dan alam diluar dirinya.

Wallahu a'lam bishshawab.

Rokok, Budaya Merokok dan Hubungan Sosial di Sulawesi Selatan

Di masa lalu, tradisi makan sirih (mangota) adalah jamak bagi masyarakat nusantara, termasuk di Sulawesi Selatan. Tradisi ini dilakukan setiap saat, apalagi menjamu tamu. Tamu akan disuguhkan sirih beserta perangkatnya sebagai bentuk keakraban pada hubungan sosial di masa lalu. Namun seiring zaman, rokok diperkenalkan ke nusantara. Perlahan tradisi makan sirih beralih ke tradisi merokok. 

Rokok sejatinya dapat dinikmati bersama minuman seperti teh dan kopi. Gencarnya kampanye anti rokok yang didukung berbagai regulasi, akhirnya menyebabkan perokok kian tersudutkan. Sedikit demi sedikit, terjadi perubahan paradigma tentang rokok dan merokok dalam beberapa dasawarsa terakhir. Walaupun merokok bukan perbuatan yang menyehatkan di satu sisi, namun merokok dapat membantu suasana rileks yang mengkondisikan dialog yang serius maupun ringan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, merokok umumnya dilakukan oleh laki laki dan perempuan tua. Merokok bukan hanya sebagai "alat bantu suasana rileks", akan tetapi perekat hubungan sosial. 

Saat berada di ruang sosial yang baru. Salah satu cara untuk memulai pembicaraan dengan orang orang yang tidak dikenal adalah dengan menawarkan rokok. Setelah itu, baru dimulai beberapa dialog yang pada akhirnya menciptakan keakraban diantara orang orang yang ada disekitarnya.

Dalam budaya merokok di Sulawesi Selatan, ~pada ruang sosial yang anggotanya saling mengenal~ menaruh rokok dikantong saat bercengkrama dianggap pelit. Rokok selalu ditaruh di meja dan dipersilahkan kepada semua orang untuk mengisapnya. Saat menawarkan rokok, kedua tangan terbuka dan menyodorkan rokok ke arah orang. 




Sepertinya tradisi menyuguhkan sirih dimasa lalu telah bermetamorfosa di tradisi merokok. Ketika ada orang minta rokok, etikanya ia tidak akan langsung mengambil rokok tersebut. Ia akan bertanya siapa pemilik rokok. Bila pemilik rokok mengatakan "rokokku", maka orang itu tidak akan mengambilnya. Namun bila pemilik rokok mengatakan "rokokta" (maksudnya rokok kita), maka orang itu akan memulai merokok.

Wacana kenaikan harga rokok yang tentu tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan perokok untuk membeli rokok, akan menyebabkan perubahan tradisi merokok di Sulawesi Selatan. Perubahan itu kira kira dengan tidak ditawarkannya rokok di tempat umum. Pemilik rokok akan menyembunyikan rokoknya menghindari teman yang minta rokok. Kalau perlu rokok batangan di simpan didompet demi memenuhi kebutuhan merokok saat persediaan rokok di ruang sosial semakin kurang. Sederhananya, orang di Sulawesi Selatan, akan pelit dengan rokoknya masing masing. Sehingga keakraban, kesantunan dan kedermawanan antara sesama perokok akan tergantikan dengan prinsip "untukmulah rokokmu dan untukkulah rokokku". 

Tanya jawab seputar Lembaga Adat


Tanya (T) : Bagaimana posisi lembaga adat di era sekarang ?
Jawab (J) : Sebuah negara akan kuat, bila pemerintah dan rakyatnya bersatu. Memaksimalkan peran masing masing dalam pembangunan. Lembaga adat, adalah organisasi non pemerintah yang eksistensinya diatur oleh Permendagri, merupakan mitra pemerintah dalam pelestarian budaya. 

T : Peran apa yang harus dilaksanakan oleh lembaga adat ?
J : Peran sebagai mitra pemerintah diatur dalam Pasal 4 Permendagri no.39 tahun 2007 antara lain Inventarisasi adat, seni, budaya daerah, kekayaan budaya dan peninggalan sejarah. Penyusunan rencana pengelolaan dan pengembangan, pemeliharaan serta pendayagunaan aset budaya. Penelitian dan sebagainya. 

T : Apakah mendirikan lembaga adat berarti menghidupkan neo-feodalisme ?
J : Kita kembali ke definisi Feodal yang berarti tuan tanah. Masalah pertanahan diatur oleh negara. Kita kembalikan pada aturan yang berlaku.

T : Tetapi spirit demokrasi memberikan ruang yang sama kepada warga negara, sedang lembaga adat berarti kita memediasi trah politik masa lalu. Bagaimana dengan itu ?
J : Pada zaman sekarang, masih ada trah politik kok. Bukan cuma di Indonesia. Bahkan di negara yang katanya paling demokratis yakni AS. Bisa dijelaskan mengapa pernah presidennya dari bapak ke anak ? Kita mesti berpikir jernih. Negara ada dua jenis. Pertama republik, kedua kerajaan. Negara Republik tetap memediasi trah politik tertentu, cuma suksesinya melalui pemilu. Sedang kerajaan nusantara dimasa lalu, suksesinya melalui penunjukan oleh raja sebelumnya, atau melalui mekanisme pemilihan adat secara terbatas. Namun kita mesti ingat bahwa Lembaga adat bukan kerajaan. Akan tetapi dalam pemilihan anggota dan pemimpin lembaga adat mengacu pada aspek historisnya.

T : Iya benar, lembaga adat adalah organisasi non pemerintah. Tetapi strukturnya tidak memediasi diluar trah politik masa lalu untuk turut berpartisipasi didalamnya
J : Struktur lembaga adat masih bisa dikembangkan. Ia tidak kaku. Artinya, selain mengacu pada struktur kerajaan dimasa lalu, bisa juga ditambahkan struktur yang bersifat fungsional dan profesi. Misalnya bagian ekonomi, pertanian, perikanan dan sebagainya. Sehingga orang orang yang diluar keturunan atau trah politik masa lalu, dapat berpartisipasi dibidang sesuai kemampuannya.

T : Membahas tentang struktur. Disitu kan disebut tentang wilayah kekuasaan dan pemerintahannya. Apakah ini tidak berarti tumpang tindih dengan pemerintahan daerah ?
J : Kembali lagi ke bentuk lembaga adat. Lembaga adat bukanlah kerajaan. Lembaga adat bukan negara dalam negara. Tetapi lembaga adat adalah organisasi non pemerintah yang menjadi mitra pemerintah dalam pelestarian budaya.

T : Tetapi pelestarian budaya tidak berkaitan dengan ekonomi, perikanan seperti yang disebutkan sebelumnya 
J : Budaya harus dipahami secara luas. Selain itu, lembaga adat harus berkontribusi terhadap pembangunan agar negara kita kuat.

T : Bagaimana hubungan antara perpolitikan di daerah dengan lembaga adat serta tokoh adat
J : Ini bagian penting dan sensitif. Namun jika kita berpikir jernih, seharusnya tokoh adat dan lembaga adat berperan sebagai benteng budaya. Nilai nilai budaya harus terimplikasi pada lembaga adat dan prilaku tokoh adat. Sehingga bisa menjadi perekat masyarakat. Di sisi lain, bangsa kita masih belajar berdemokrasi, dan cost sosialnya mahal. Betapa banyak masyarakat kita yang dulunya rukun, akrab, bersahabat, menjadi jauh bahkan bermusuhan hanya karena beda pilihan politik. Belum lagi beberapa kasus pembakaran kantor KPUD dan kantor pemerintahan pada beberapa pilkada. Pada ajang pilkada sering kita lihat retaknya sebuah keluarga. Nilai gotong royong dan kebersamaan semakin pudar. Nah pada titik ini, lembaga adat dan tokoh adat mestinya berperan sebagai perekat sosial, bukan sebagai tim sukses dan pendulang suara calon tertentu. Sehingga seharusnya tokoh adat dan lembaga adat itu netral. 

T : Bagaimana dengan dualisme tokoh adat sekaligus kepala daerah seperti di Yogya?
J : Kita tidak menyoal tentang Yogya yang punya histori dan regulasi tersendiri. Kepala daerah dengan wewenang yang sangat besar di era otonomi daerah ini, punya tugas yang sangat berat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak perlu terlalu banyak dibebani dengan tugas tugas adat dan budaya. Sementara tokoh adat punya peran yang juga besar sebagai simbol adat budaya. Kedua jabatan itu punya tugas yang berat. Sulit menjalankan dengan sukses secara simultan.

T : Berarti bisa tidak simultan ?
J : Ya benar. Seorang tokoh adat punya hak politik sebagai warga negara. Dia berhak ikut pada kontestasi politik daerah. Namun, ia harus melepaskan jabatan dulu agar bisa fokus dengan tugas yang baru. Demikian pula sebaliknya. Seorang kepala daerah harus demisioner terlebih dahulu untuk dapat dipilih dewan adat sebagai pemimpin di lembaga adat tersebut. Agar juga bisa fokus dengan tugas beratnya yang baru.

T : Terkesan bahwa lembaga adat yang dijelaskan merupakan pemimpin kultur ?
J : Iya benar, lembaga adat dan tokoh adat harusnya bisa merekatkan masyarakat. Terutama yang beragam pilihan politik. Dibutuhkan pemimpin kultur yang bisa menengahi dan memediasi kemungkinan konflik horizontal.

T : Tetapi kan sudah ada Polri dan Pemda ?

J : Kalau sebuah masalah bisa diselesaikan secara baik baik, mengapa mesti dibawa ke ranah hukum ? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang cinta damai dan suka gotong royong? Setidaknya lembaga adat dan tokoh adat dapat membantu tugas Kepolisian dan Pemda

T : Bisa dipertajam tentang peran Pemda terhadap lembaga adat
J : Jelas dalam permendagri tentang pedoman fasilitasi lembaga adat.



T : Bisa dipertajam tentang istilah "Benteng Budaya" di konfrontasikan dengan pernyataan banyak orang bahwa "budaya menghambat pembangunan"
J : Baik. Kita berada di zaman teknologi informasi. Beda di zaman orba dulu, akses internet masih sangat terbatas, dan media dikontrol penuh oleh pemerintah. Saat ini, banyak perubahan sikap generasi muda akibat akses internet yang kurang sehat dan tayangan media yang kurang baik. Sementara masyarakat selalu butuh publik figur yang pantas diteladani. Sayangnya, publik figur yang diangkat bukan lagi tokoh agama atau orang yang berprestasi, tetapi orang yang pintar menyanyi, pintar acting. Sayang sekali, yang dipublish sering masalah keluarga mereka yang tidak mendidik, misalnya perceraian. Kita punya modal sosial, yaitu nilai budaya kita. Nah untuk menerapkan nilai budaya itu lewat edukasi. Baik secara teoritis melalui pendidikan formal maupun praktek melalui prilaku, sikap dan tindakan tokoh adat di sebuah lembaga adat. Bila lembaga adat bisa berjalan seperti ini, maka lembaga adat menjadi benteng budaya kita terhadap gempuran budaya asing. 

T : Belum terjawab pertanyaan tentang "Budaya menghambat pembangunan"
J : Entah pernyataan itu darimana. Namun berbicara budaya, baik lokal maupun asing ini perlu didialogkan. Kita setuju, kedisiplinan dan ketertiban ala barat itu baik diterapkan. Tetapi tidak untuk pergaulan bebasnya. Sementara budaya lokal, yang tidak relevan misalnya perbudakan, itu harus ditinggalkan. Tetapi nilai seperti gotong royong, kebersamaan, justru harus dikembangkan. Itu yang sulit ditemui dibarat yang cenderung pragmatis masyarakatnya. Nah kalau sudah begini, jelas mana yang menghambat mana yang tidak menghambat pembangunan.

T : Bagaimana dengan UU No.6 Tentang Desa yang menyebut tentang lembaga adat tingkat desa
J : UU No.6 tentang Desa ini perlu disesuaikan dengan konteks daerah mengingat histori daerah di Indonesia tidak seragam. Mengacu ke aspek histori sebuah daerah. Ada kabupaten yang bekas kerajaan yang dahulu membawahi kerajaan kerajaan kecil. Ada kabupaten yang gabungan kerajaan yang masing masing juga membawahi bekas kerajaan kecil. Untuk saat ini, lebih mudah mendirikan lembaga adat tingkat kabupaten bila kabupaten itu bekas sebuah kerajaan. Untuk gabungan kerajaan, ini butuh kajian khusus. Agak sulit mendirikan lembaga adat tingkat desa dengan pertimbangan bahwa banyak pewaris yang migrasi ke kota. Tentu sulit meminta mereka kembali ke desa untuk mendirikan lembaga adat di desanya. Sementara bila diisi orang lain, justru muncul kemungkinan konflik. Nah ini harus dihindari. Lembaga adat mestinya merekatkan masyarakat, bukan menciptakan konflik. Tetapi bila ada desa yang pewaris sahnya tinggal didesa itu. Tidak menjabat sebagai kepala desa, tentu sangat relevan mendirikan lembaga adat tingkat desa seperti amanah undang undang. Tetapi tentu masalah tiap desa di Indonesia tidak sama. Kita belum lagi membahas tentang bekas kerajaan kecil yang menjadi desa, kemudian dibelakang hari terjadi pemekaran desa. Ini juga membutuhkan kajian serius.

T : Mengapa kita menolak orang orang yang dianggap raja palsu ?
J : Kita memahami prinsip "right man on the right place" biarkan orang yang tepat menduduki posisi yang pantas. Sebab jika tidak, kita hanya menunggu kehancuran. Bisa dibayangkan kalau raja sebagai pemimpin adat (bukan kepala negara) diduduki oleh orang yang sekadar ingin mereproduksi status, orang yang ingin bergaya ala adat tanpa mengemban amanah, maka tunggu kehancuran adat budaya di daerah itu.

T : Berarti tidak setuju kalau kepala daerah otomatis menjadi ketua lembaga adat (raja) atau sejenisnya ?
J : Jelas. Kembali ke pembahasan diatas. Tugas kepala daerah untuk mensejahterakan rakyat itu sangat berat. Jangan lagi dibebani dengan tugas tugas kultural yang sebenarnya masyarakat bisa berpartisipasi sebagai mitra pemerintah. Lagi pula kurang apa wewenang sebagai kepala daerah di era otonomi ini ? Kepala daerah yang bijak adalah memahami posisinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi didaerah, bukan turun kelas menjadi ketua sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak bidang adat budaya. Posisi pembina atau penasehat itu sangat layak bagi kepala daerah