Paradigma, Aksara dan Pengetahuan Lokal di Sulawesi Selatan

Dominannya paradigma positivistik di Eropa, berimbas ke bangsa-bangsa di nusantara. Termasuk masyarakat di Sulawesi Selatan. Interaksi ekonomi politik di era kolonialisme dan imperialisme, bukan hal yang mudah, dalam hal ini Belanda dalam menghadapi bangsa nusantara. Bahkan, Sulawesi Selatan baru benar benar bisa ditaklukkan ditahun 1905/6.

Sementara itu di Hindia Belanda, politik etis dengan tiga poin yaitu Educatie, Imigratie dan Irigatie baru bisa dilaksanakan di Sulawesi Selatan beberapa puluh tahun kemudian. Sehingga "pembangunan" baru bisa dilaksanakan setelah perlawanan melawan kolonial Belanda mulai agak mereda di tahun 1920-30an.

"Pembangunan" disini adalah pembangunan fisik (jalan, jembatan, bendungan) yang tentu bermanfaat bagi semua, hingga kita saat ini. Namun dibalik itu terdapat efek samping yaitu terlupakannya pembangunan manusianya. Sebab politik etis itu tentu dibuat untuk menguntungkan pengambil kebijakannya sendiri.


Di zaman dahulu, aksara Lontara adalah aksara yang hampir tiap orang di Sulawesi Selatan dapat membacanya. Aksara Lontara adalah medium transformasi pengetahuan lokal. Ia juga adalah sarana komunikasi. Hal ini tentu menyulitkan bagi Belanda untuk dapat mengakses pengetahuan lokal. Hingga dikirimkan sarjana seperti Matthes untuk mendokumentasikannya.
Aksara lain yang digunakan adalah huruf Serang, aksara hijaiyah yang dimodifikasi sesuai lidah orang melayu nusantara. Perbedaannya, penambahan beberapa karakter misalnya "ng", "e", yang tidak ada dalam aksara hijaiyah arab. Persuratan antar kesultanan dinusantara menggunakan aksara Serang berbahasa melayu.



Sekolah yang dibangun Belanda, kemudian terus dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia, berhasil menjadi sarana transformasi pengetahuan. Aksara latin perlahan mulai mendominasi. Bahkan pelajaran Bahasa Daerah yang mengajarkan aksara lontara pun mulai dihapus. Akibatnya, akses terhadap pengetahuan lokal semakin terbatas. Kedepan, hampir dapat dipastikan bahwa, pengetahuan lokal akan semakin hilang. Seiring dengan semakin parahnya kondisi naskah yang tersisa, orang yang mampu membaca aksara lontara juga semakin sedikit. Untungnya, beberapa proyek beberapa tahun silam telah mendigitalisasi naskah lontara tersebut.
Hampir bisa dipastikan, dengan tidak terakomodirnya pelajaran Bahasa Daerah dalam sistem pendidikan (demi menghadapi globalisasi katanya) maka beberapa puluh tahun kedepan, orang yang mampu membaca aksara lontara akan semakin sedikit hingga akan punah. Di saat itu, imbasnya adalah pengetahuan lokal akan semakin tergusur dan tidak ada lagi identitas lokal masyarakat Sulawesi Selatan.


EmoticonEmoticon