Buta Huruf, dulu dan sekarang

Dahulu kala, hampir semua leluhur kita mampu membaca dan menulis aksara serang/jawi dan aksara lontara. Ilmu pengetahuan di sampaikan melalui naskah lontara kepada generasi berikutnya.
sebab, keterbatasan manusia untuk menyampaikan langsung ilmu/pengetahuan kepada manusia lainnya. keterbatasan itu berupa keterbatasan ruang dan waktu


Aksara latin telah dikenal seiring dengan kedatangan bangsa eropa ke nusantara. namun setelah adanya "sekolah" latin mulai menjadi aksara standar komunikasi. demikian pula penggunaan kalender masehi yang menggeser penggunaan kalender hijriyah
Orang-orang tua yang tidak bersekolah (sekolah formal) tidak mampu membaca aksara latin namun mampu mengaji dan menulis aksara lontara dicap BUTA HURUF.
Selama sekian puluh tahun, akhirnya aksara latin (seperti yang kita gunakan saat ini) menjadi aksara keseharian kita. dan kita tak lagi selancar atau malah tak mampu membaca aksara lontara. perlahan, kita makin tercerabut dari akar ilmu/pengetahuan kita...dan kita kemudian perlahan menjadi "orang lain"....
==================================================================
Transformasi pengetahuan dari generasi lalu ke generasi berikutnya melalui media tutur yaitu Pappaseng dan tulis yaitu Lontara. Disini pentingnya penggunaan dan pelajaran Bahasa Daerah. Namun pada kenyataannya, pelajaran Bahasa Daerah semakin berkurang di banyak sekolah dasar dan menengah. Sementara di rumah, penggunaan Bahasa Indonesia semakin massif sehingga banyak anak anak yang kurang mampu berbahasa Daerah.

Naskah tentang Fiqhi dan Senjata ditulis 1257H

Bila ini terus berlanjut, dapat diprediksi bahwa Pappaseng yang berfungsi sebagai pembentukan karakter akan hilang. Terlebih lagi lontara, kondisinya semakin memprihatinkan.
Banyak naskah tua. Ada yang tersebar di rumah penduduk. Ada di gedung arsip. Ada pula di museum luar negeri dan beberapa tempat lainnya. Naskah yang ada dirumah penduduk, kebanyakan kondisinya sudah memprihatinkan. Rapuh dan sulit terbaca. Itupun kalau diizinkan dibaca. Sebab terkadang perlakuan yang terlalu sakral justru membuat naskah terproteksi dari pembacanya. Ini dengan catatan, naskah tersebut selamat dari berbagai peristiwa luar dugaan seperti kebakaran, banjir, perang dan lainnya. Naskah yang ada di gedung arsip, museum apalagi di luar negeri juga sulit diakses karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mencari informasi.
Akibatnya, Pappaseng akan perlahan terlupakan. Lontara pun tak terbaca. Generasi muda akan gagal mewarisi ilmu pengetahuan dari leluhurnya. Kedepan, generasi muda akan kehilangan identitas dan akan mewariskan ketidaktahuannya pada identitas serta pengetahuannya pada generasi berikut.
Oleh karena itu, sangat penting melakukan revitalisasi. Menyemarakkan kembali penggunaan Bahasa Daerah di rumah dan di masyarakat. Mendorong agar Bahasa Daerah tetap diajarkan di sekolah. Naskah naskah tua di transliterasi, diterjemahkan dan diterbitkan menjadi buku agar mudah dibaca oleh segenap kalangan tanpa merusak fisik naskah yang sudah rapuh tersebut.
==================================================================
Memberantas Buta huruf...ternyata membuat kita justru buta huruf terhadap aksara dan pengetahuan lokal kita...Ironis


EmoticonEmoticon