Showing posts with label Renungan. Show all posts
Showing posts with label Renungan. Show all posts

Manusia dan Bilah Pusaka

Manusia dan (Bilah) Pusaka

Semulia-mulianya pusaka, tetap buatan manusia
Sehina-hinanya manusia, tetap ciptaan Tuhan

Sebagaimana manusia, bilah pusaka berasal dari empat unsur
Sebagaimana manusia, bilah pusaka punya karakter dasar (sissiq)



Sebagaimana bilah pusaka, manusia kuat disaat dingin dan lemah disaat panas
Sebagaimana bilah pusaka, manusia kadang dimuliakan kadang ditinggalkan
Sebagaimana bilah pusaka, manusia harus ditempa agar jiwanya terbentuk

Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka "dititipkan" kehebatan oleh Yang Maha Kuasa
Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka dijadikan simbol yang menyatukan kaumnya
Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka ditutupi kemegahan dan kemewahan yang menunjukkan strata dan tanggung jawabnya
Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka menyembunyikan kelebihannya dibalik lusuh dan kumalnya

Namun,
Bila besi, sebagai bahan bilah pusaka diturunkan dari langit
Maka ruh manusia ditiupkan oleh Tuhan 
Bila bilah pusaka menjelaskan dirinya melalui pamor dan aksesorinya
Maka manusia menjelaskan dirinya melalui pikiran dan perbuatannya
Bila bilah pusaka dibersihkan melalui proses "tompang"
Maka manusia membersihkan dirinya melalui proses "taubat"
Seseorang yang menghormati bilah pusaka, semestinya lebih menghargai sesama manusia

14 Maret 2017

Cerita tentang lembaga adat

Saat pertama mendengar wacana pembentukan lembaga adat 12 tahun lalu (Maret 2004), lembaga adat adalah hal yang amat asing. Sumbernya pun dari orang yang tak terduga, yaitu orang orang tua yang konon mendapat petunjuk. Beberapa orang memiliki gagasan pendirian lembaga adat, bahkan jauh lebih awal. Sekira pertengahan tahun 1980an.
Zaman orde baru, zaman dimana ada orang berada pada kungkungan ketakutan untuk berpendapat. Ego pengetahuan saya kesampingkan. Niat baik dan cita cita mulia yang membuat saya tertarik. Perlahan, saya menemukan rasionalisasi terhadap sesuatu yang awalnya “berbau mistik” tersebut.Tentu tidak mudah mengusung gagasan tersebut, apalagi memperjuangkannya. Berbagai cibiran harus diterima dengan lapang dada. Mulai dari tuduhan “tindak subversif ala orde baru”, hingga “menghidupkan kembali feodalisme”. Hal itu mesti ditanggapi dengan baik. Lembaga Adat bukanlah mendirikan kerajaan yang bermaksud merongrong NKRI, malah sebaliknya, justru menguatkan NKRI dalam bingkai ke bhinekaan. Malah, mulai dari amandemen UUD 1945 yang memberi perhatian terhadap lokalitas, hingga Permendagri no/71 tahun 2001.Tidak mudah untuk mendirikan lembaga adat.

Orang orang pasti kaget. Masyarakat kita 21 tahun dalam kuasa Orde lama dan 32 tahun dalam kuasa Orde baru yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga adat. Namun seiring waktu, keterbukaan informasi di era reformasi, membangun kesadaran untuk membangun identitas kebangsaan melalui budaya, spesifiknya pendirian lembaga adat.Pada titik ini, mendirikan lembaga adat perlu diperbaiki fondasinya. Yaitu bangunan dasar pemikiran pentingnya pendirian lembaga adat. Sebab jika keliru, tentu fondasinya lemah. Lembaga adat mestilah sejalan dengan aturan yang berlaku di NKRI. Lembaga adat, mestilah menjadi pusat syaraf budaya yang disalurkan ke masyarakat sehingga ada ketahanan budaya dan identitas kebangsaan ditengah gempuran budaya asing.

Lembaga adat mestilah berkontribusi terhadap pembangunan, khususnya manusia Indonesia. Lembaga adat mestilah bervisi kemanusiaan, sebab merayakan keberindonesiaan kita berarti menghapuskan praktek feodal dan perbudakan. Nah untuk itu, perlu kajian mendalam untuk mensinergiskan antara budaya, sejarah dan konteks kekinian. Mendirikan lembaga adat, tidak berarti kembali ke masa kerajaan dan masa penjajahan.

Ia harus kekinian. Lembaga adat harus kekinian, tetapi tidak berarti harus mempermaklumkan pola pola organisasi yang tidak mengacu pada sistem adat budaya setempat. Disini menariknya.Seiring waktu, makin banyak yang tertarik dengan lembaga adat. Malah, perkumpulan lembaga adat juga makin beragam. Mungkin orang kagum dengan “bergaya tradisional” saat festival keraton. Kelihatan gagah mungkin pikirnya.

Tetapi terpikirkah bahwa dibalik balutan “gaya adat” itu terdapat beban adat istiadat yang berat ? Ah sudahlah. Kurang bijak menilai orang lain. Itu haknya.Saya senang, banyak orang ingin mendirikan lembaga adat. Setidaknya, saya bisa berhenti untuk memikirkan dan mengusahakan mendirikannya. Pengorbanan selama 12 tahun, baik material maupun non material, biarlah Tuhan yang tahu. Yang saya pahami, andai berdiri lembaga adat, saya hanyalah seseorang yang duduk diluar pagar sambil tersenyum melihat para pembesar pembesar adat menjadikan dirinya “adat yang berjalan”.

Mari minum kopi, merayakan kebahagiaan. Memaafkan dan memaklumi orang yang lupa diri. Semoga kita tidak ikut lupa diri gara gara lembaga adat. Untuk menjadi sebaik baik manusia (yang paling banyak manfaatnya), masih banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya, dikehidupan yang fana ini, sudah berusaha meski itu sederhana.

Dialog Kebenaran III

Terpuruk. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan La Marufe' saat ini. Ia dipaksa berhenti dari pekerjaannya oleh bosnya. Pekerjaan yang membuatnya hidup layak. Pekerjaan yang membuatnya dapat membantu sesama. Parahnya, bosnya terhasut oleh seseorang yang dengki pada La Marufe'. Orang dengki tersebut adalah orang yang diperlakukan baik oleh La Marufe'. Meski teman sekantor La Marufe' selalu mengingatkan untuk berhati hati, namun La Marufe' selalu berprasangka baik. Sekarang, La Marufe' sudah menikmati prasangka baiknya. Yaitu kedengkian seseorang yang dianggap sahabat oleh La Marufe'. Air susu dibalas air aki, mungkin peribahasa yang tepat.
Pikiran dan perasaan La Marufe' berkecamuk. Satu sisi, ia ingin mengikhlaskan perlakuan buruk orang padanya. Namun sisi lain, ia punya kemampuan untuk berbuat buruk serupa. La Marufe' menyalahkan konsep "prasangka baik" dalam agama yang dipahaminya. Sebab "prasangka baik" membuatnya tidak sempat mengantisipasi perlakuan dengki sahabat padanya.

La Marufe' pun ingat, sahabatnya itu pernah ia bantu berkali kali. Seolah masih belum bisa terima kenyataan bahwa orang bisa jahat meski diperlakukan baik, La Marufe' menjadi depresi. Belum lagi, uangnya Rp.40 Juta dibawa lari orang, kebun dijual untuk biaya hidup, utang menumpuk, La Marufe' merasa semakin kacau.
Disaat puncak depresinya, ia mulai ingin mengumpat nasibnya. Namun diwaktu bersamaan, La Marufe' melihat sepasang suami istri yang renta. Suaminya buta, untuk berjalan harus dibimbing istrinya. Mereka sepasang suami istri yang tak punya rumah dan harta. Hidup mengandalkan sedekah orang lain. La Marufe' terpukul. Matanya masih baik. Ia punya rumah dan sedikit harta. Harta yang lebih banyak dari harta suami istri renta nan miskin itu. 

Lalu, La Marufe' berjalan dan berhenti disuatu tempat. Ia melihat pengamen yang anggota tubuhnya tak lengkap. Menyanyikan lagu tentang semangat hidup. Untuk kedua kalinya, La Marufe' tersentak. Ia melihat tangannya lengkap. Dengan tangannya ia bisa mengetik di laptopnya. Bisa memainkan gitar dan berbagai alat musik melebihi pengamen itu. Bisa membuat karya karya dari batu maupun kayu. 

La Marufe' tak ingin bersyukur membandingkan dirinya dengan sepasang suami istri renta dan pengamen itu. Sebab baginya, itu sama saja tidak menghargai kekurangan orang lain. La Marufe' sadar bahwa seharusnya ia tidak menyerah. Ia seharusnya berbuat lebih banyak lagi. Seharusnya La Marufe' membantu sepasang suami istri yang renta dan buta itu.

Move on...ya move on...La Marufe harus move on...live must go on...ini persoalan perspektif pikirnya. Bila sebuah masalah dilihat dari dalam masalah itu, maka seolah tidak ada masalah lain. Namun bila keluar dari masalah itu kemudian memandang lagi ke masalah tersebut...ternyata masalahnya adalah salah satu dari sekian ribu masalah yang boleh jadi lebih besar dan lebih berat.

Bersabar dan bersyukur. Itu kuncinya. Waktu terus berjalan. Ada saat suka, ada pula duka. Suka duka datang silih berganti. Sekarang ia dititik nadir kedukaannya. La Marufe bangun dan kembali bekerja. Sebab awal dari suka telah menanti

Kado Tuhan di bulan Desember

Perairan Siwa Teluk Bone, 6 Desember 2014
Memancing bersama 2 orang teman (yang tidak pandai berenang) bersama tukang perahu. Langit dan laut nampak tenang sejak pagi hingga siang. Namun tak banyak hasil pancingan. Jam 2 siang, tangkapan kami bertambah. Namun langit mulai gelap dan ombak mulai besar. Para nelayan dan pemancing lain buru-buru masuk ke dermaga. Kami masih ditengah laut, sekitar 5-10 km dari pantai. Kedalaman laut sekitar 120-150 meter. Senar pancingku hampir habis untuk sampai kedasar. Ikan semakin bersemangat memakan umpan kami, kami pun semakin bersemangat memancing.

Sekitar jam 3-4 sore, angin kencang dari arah selatan. Berbeda dengan arus laut, yang justru dari arah utara. Buru-buru kami angkat jangkar. Namun tak bisa menghindari ombak besar setinggi 2 meter. Laut yang sebelumnya tenang bersahabat, tiba tiba memperlihatkan keperkasaannya. Untung tukang perahu kami cukup tangkas. Meski bibirnya putih karena kaget dengan terpaan ombak yang tiba tiba menghantam.

Kutipan ke-3 dari terakhir kamera digitalku

Lolos dari badai pertama, kami bangga. Sepanjang penglihatan mata, tak satupun perahu jolloro selain perahu kami. Rasanya, ikan dilaut milik kami semua. Tak ada pemancing yang lain. Kami melanjutkan pemancingan. Saya masih menyempatkan diri selfie sekali dua kali. Ternyata itulah kutipan terakhir kamera digitalku yang belum tergantikan hingga hari ini.

Tidak jauh dari lokasi pertama, jangkar diturunkan. Kami memancing lagi hingga jam menunjukkan pukul 5 sore. Dugaan kami keliru. Ternyata, badai datang lagi. Sekarang arahnya yang berbeda. Jika pada badai pertama, angin dari arah selatan, sekarang dari arah utara. Sebaliknya, arus air pun demikian. Badai pertama, arus dari arah utara, sekarang dari selatan. Kami heran, kok bisa demikian. Wajar, sebab kami tidak mewarisi pengetahuan laut leluhur kami.

Bentrok arus air laut dengan angin yang berbeda arah menghasilkan ombak setinggi 4 meter. Sekali lagi buru buru kami angkat jangkar. Perahu jolloro kami amat mudah terbalik menghadapi ombak seperti itu. Perahu kemasukan air. Kami berdoa, mungkin inilah saat terakhir kami. Mungkin ada teman yang mengumpat hobi mancing yang dapat berujung petaka. Saya melihat box ikan tangkapanku. Dalam benakku, bila perahu ini terbalik, saya hanya berusaha meraihnya agar tetap dapat terapung. Karena tak seorang pun dari kami membawa pelampung.

Hantaman ombak ke bagian depan perahu jolloro membuat perahu kemasukan air. Saya yang duduk paling depan, merasakan bagai air satu drum yang disiramkan ke tubuh saya. Semua basah kuyup. Kamera digitalku pun rusak. Buru buru plastik bulat saya raih untuk jadikan gayung. Untuk mengeluarkan air dari perahu sebanyak dan secepat mungkin. Berlomba dengan waktu dan ombak yang tak henti menghempaskan perahu.

selfie sebelum badai
Bayangan kematian kembali datang. Terbayang, bagaimana sedih dan tangis anak istri serta keluarga kami, bila mendengar 3 orang pemancing dan seorang tukang perahu hilang dilaut. Terbayang, bagaimana kami terombang ambing dilaut lepas dengan ombak 4 meter menjelang malam dan tak seorang dan perahu pun disekitar kami.

Pasrah...ya pasrah...biarkanlah Tuhan mengambil milikNya. Bila ini jalan kami untuk kembali padaNya, ya biarlah. Toh semua akan kembali padaNya. Teman teman berpegang erat di perahu. Tubuhku makin basah kuyup tersiram ombak menerpa perahu. Bagaikan air berdrum drum yang disiramkan ketubuhku. Berpegang pada sisi kiri kanan perahu adalah pilihan terbaik agar tak terjungkal dari perahu yang semakin tidak karuan posisinya. Dipermainkan ombak raksasa. Resiko berada didepan yah begitu.

Tukang perahu berusaha keras menghindari dengan mengitari ketinggian ombak. Ia mengarahkan perahu ke arah pantai. Dalam pikiran kami, kalaupun perahu kami terbalik, kami masih dekat dengan pantai. Bukan lagi 5-10km dari pantai yang tak mungkin kami renangi. Apalagi 2 orang teman kami tidak tahu berenang.

Pelan tapi pasti, kami menjauhi ketinggian ombak dan mendekati pantai. Setelah 1 jam menghadapi amukan ombak dan angin, akhirnya badai pun reda. Kami memilih lokasi sekitar 1 km didekat pelabuhan BangsalaE untuk menurunkan jangkar. Kedalamannya sekitar 20-30 meter. Sedikit kecewa, tapi setidaknya kami masih bisa berharap dapat ikan kerapu atau trevelly.

Dan strike. Bergantian kami merasakan sensasi tarikan ikan. Kenikmatannya mengobati rasa takut dan khawatir dari dua kali badai tadi sore. Tak terasa malam makin gelap. Kami terus menikmati pemancingan hingga sekitar jam 6:30. 

Badai ganas datang lagi. Sungguh diluar dugaan. Kali ini arahnya kembali berlawanan. Arus dari arah timur (tengah laut) dan angin dari arah barat (darat). Ini berbahaya, sebab mendorong perahu kami kembali ketengah. Buru-buru tukang perahu, yang kami gelari Nabie, angkat jangkar dan pulang. Walau tak lagi bertemu ombak setinggi 4 meter, namun kami masih harus berjuang hingga sampai kedermaga. Menghitung tangkapan kami dan bersyukur. Kami masih hidup.

24-26 Desember 2014
Kenangan perairan Siwa teluk Bone masih terasa. Kami sekeluarga (kakak, ipar dan tante), berencana ke Malaysia. Setelah cek jadwal pesawat, kami diberi dua pilihan. Pilihan pertama, naik Air Asia. Rute, Makassar-Surabaya-Singapura. Harga tiket 1,3 juta. Pilihan kedua, Lion Air. Rute Makassar-Surabaya-Batam. Harga tiket 1,5 juta.

Kakak mengajak kami berdiskusi mengenai pilihan ini. Kami setuju menyesuaikan rute. Singapura kemudian Johor lanjut Kuala Lumpur lalu pulang ke Makassar. Harga tiketnya pun bersahabat. Akhirnya kami sepakat booking tiket Air Asia. 

Sayang sekali, mendadak tiket Air Asia naik begitu cepat. Dari 1,3 juta menjadi 2 juta. Kembali kakak mendiskusikan dengan kami. Akhirnya, dengan berat hati kami sepakat untuk naik lion air yang harganya tetap 1,5 juta. Otomatis rute kami juga harus berubah. Batam-Johor-Singapura-Johor-Kuala Lumpur-Makassar.

Pesawat take off dari Makassar jam 3 dini hari. Tiba di bandara Juanda Surabaya jam 6 pagi. Pesawat Air Asia yang hampir kami booking, baru saja take off dari Surabaya ke Singapura. Kami masih harus transit di Juanda hingga jam 11 siang. Tentu membosankan. Rasanya, ingin mengutuk, mengapa tiket Air Asia tiba tiba naik. Selain murah, kami juga tidak perlu mengubah rute kami. Kami juga seharusnya telah tiba di Singapura. Bukan duduk menunggu di Juanda selama 5 jam.

Di sudut, ada orang marah marah. Mereka komplain ketinggalan Air Asia. Dalam hati saya tertawa. Ada teman saya yang gagal naik Air Asia. Bosan menunggu, saya menonton TV. Jam 9 atau 10 pagi, ada berita. Pesawat Air Asia yang hampir kami tumpangi, hilang kontak.

Kaget, tegang, bersyukur, sedih, dan berbagai perasaan bercampur aduk jadi satu. Terbayang, seandainya kami naik Air Asia. Tentu, keluarga kami akan khawatir. Segera saya menelpon keluarga bahwa saya baik baik saja. Tetapi kami masih harus naik pesawat jam 11.

Akhirnya jadwal keberangkatan tiba. Kami harus segera naik pesawat. Tidak ada urusan perasaan pribadi, pokoknya naik atau batal. Dan pilihannya, ya naik. Apapun yang terjadi. Dalam pikiran saya, bila ajal telah tiba, ia tidak mempersoalkan tempat. Apakah di udara, di laut atau bahkan dalam kamar dirumah kita.

Penerbangan berjalan lancar. Di angkasa Jawa Timur, Tengah dan Barat pesawat terbang dengan indahnya. Memasuki angkasa disekitar Sumatera, pesawat mulai bergoyang. Seperti mobil yang melewati jalan rusak. Dalam benakku, mungkin disekitar inilah pesawat Air Asia jatuh. Mungkin pesawat itu ada dibawah sana. Dan bisa jadi kami pun ikut jatuh, Tetapi saya sadar, Tuhan itu ada. Ajal datang kapan saja. Yang perlu hanyalah ikhlas dengan apapun kehendakNya. Sebab tiada daya dan upaya selain dariNya.

Mendekati bandara di Batam, ketegangan belum berakhir. Kami masih harus menerima kenyataan bahwa pesawat masih berputar putar karena ada sedikit persoalan teknis sebelum mendarat. Untung hal itu tidak berlangsung lama. Kami segera mendarat di Batam dengan selamat. 

Dari Bandara, segera kami ke pelabuhan naik fery ke Johor Malaysia. Kami berburu dengan waktu jadwal keberangkatan Fery. Sebab bila terlambat, kami harus menginap di Batam. Dan itu berarti, kesempatan berlibur menjadi kurang.

Di atas ferry, ombak menghantam. ABK berbicara melalui pengeras suara agar kami lebih hati hati. Sebab sekarang ombak lebih besar dari biasanya. Saya melihat keluar, ombak Teluk Bone lebih besar daripada ombak Selat Malaka yang memisahkan Johor dan Batam. Namun, laut tidak boleh dianggap enteng. Sekali lagi, saya harus memasrahkan hidupku, bersiap apapun terjadi. 

Selama di Malaysia, berita yang TV yang dominan cuma dua. Pertama, Pesawat Air Asia yang hampir kami tumpangi dan bencana banjir di salah satu negara bagian Malaysia. Sultan Johor mengeluarkan larangan merayakan tahun baru dan petasan untuk menghormati korban Air Asia dan Bencana Banjir.

Setelah jadwal libur kami selesai, saatnya pulang. Kami ke Kuala Lumpur untuk naik pesawat tujuan Makassar. Kami bertiga pulang, kakak tetap tinggal untuk menyelesaikan studinya. Saat itu kami naik pesawat Air Asia. Saat itu, maskapai Air Asia sedang menerima kritikan pedas dari berbagai pihak atas jatuhnya pesawatnya. 

Lama penerbangan, 3,5 jam dari Kuala Lumpur ke Makassar. Satu jam pertama, masih diatas jazirah melayu cuaca cerah. Dengan jelas terlihat daratan, pohon, mobil dan rumah. Hingga perlahan yang terlihat dibawah hanya laut, kapal meski sangat kecil. Tentu ketinggian pesawat bertambah dan berada diatas Selat Malaka. Satu jam pertama, penerbangan sangat menyenangkan.

Memasuki jam kedua, tak terlihat apapun dibawah sana. Goncangan tak henti terasa didalam pesawat. Nampaknya pesawat mencoba menembus badai diluar sana. Bayangkan kematian kembali hadir. Tetapi hanya pasrah yang dapat dilakukan. Untuk tidur, sangat sulit. Sebab pikiran berkecamuk. Mata terus terjaga. Goncangan pun tak terhenti. 

Memasuki jam kedua, sempat langit dibawah terbuka. Yang sempat saya lihat adalah hutan. Dalam pikiranku, mungkin kami berada diatas kalimantan. Ketika masih ingin melihat kebawah, kembali tertutup awan. Goncangan berlanjut tak henti.

Akhirnya, tiba tiba langit terbuka. Ternyata pesawat terbang semakin rendah. Laut, darat, pulau nampak jelas. Rasanya ketinggian pesawat tidak melebihi 1000 meter. Jejeran pulau Samalona, Barang lompo, Barang Caddi terlihat jelas. Demikian pula cahaya lampu kota Makassar. Dalam pikiranku, bila ternyata pesawat yang kami tumpangi harus jatuh, setidaknya mayat kami tidak sulit ditemukan tim SAR. Pasrah menghadang maut, sambil tersenyum bila akhirnya kelak saya mati dan tidak membuat kesulitan tim SAR untuk menemukan mayatku. Saya akan dimakamkan dengan layak pikirku sambil tersenyum.

Setahun sebelumnya
Program penghancuran karakter berjalan secara halus, tersembunyi dan mematikan. Targetnya, adalah saya. Efek penghancuran karakter itu membuat masa depanku, masa depan anak anakku menjadi suram. Namun, saya masih hidup. 

Dalam hidup yang sengsara, tidak ada alasan untuk mengeluh. Sebab, tak lama kemudian akan ada orang yang saya temui. Orang yang hidupnya jauh lebih sengsara dariku. Dan itu bukan sekali, tapi berkali kali. Tuhan menjawab kegalauanku dengan memperlihatkan orang yang lebih susah. Seolah Tuhan ingin berkata padaku, bersyukurlah dengan apa yang ada pada dirimu.

Kado Tuhan Bulan Desember
Selama 2 tahun terakhir, banyak pelajaran dari Sang Maha Tahu tentang makna kehidupan dan kematian. Banyak ruh telah pergi menghadapNya, Dia yang Menghidupkan, Dia yang Mematikan. Siap tidak siap, jika waktunya tiba, harus siap. Lalu apa yang dipersembahkan pada Sang Pemilik Segala Sesuatu ?

Jabatan ?.....ah.....tidak ada presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota kpu, ketua jurusan, professor, konsultan, camat dimata Tuhan. Apa yang dibanggakan ?
Harta ?.....tanah hanya menjepit dikuburan. Uang, tak dapat dibelanjakan di akhirat. Mobil ??? ah tidak berguna
Amal ?....tapi kan sangat sedikit. Sedangkan membalas nikmat Tuhan saja kita tidak mampu, lantas mengapa merasa amal kita cukup untuk masuk surga ?

Hmmmmmm....................

Banyak orang serakah dan tamak saat ini. Sampai hati mengorbankan keluarga dan sahabat demi harta dan jabatan. Tuhan memberikan kadonya di bulan Desember. Yang hanya dimengerti bagi orang yang paham arti hidup dan mati. Arti memaknai kehidupan dan kematian.

Hidup adalah siklus. Setelah kehidupan, ada kematian. Setelah Desember, akan ada Januari. Mari angkat kopinya dan merayakan kehidupan. Persoalannya adalah, apakah di bulan Januari kita menjadi orang yang lebih baik dibanding bulan Desember.

Iyya teppaja kusappa
Paccolli loloengngi
Aju MarakkoE

(yang tak henti kucari, yang menumbuhkan pucuk muda, kayu kering)

Cerita Rp.500M (berrrr)

Echa alias Reza, pengusaha turunan Arab yang sering disebut inisial R sedang galau. Pasalnya, tadi malam ia bermimpi tentang tanah leluhurnya. Tanah kelahiran Rasulullah, yang menjadi asal para penyebar agama di nusantara. Lalu dalam mimpinya, ia bertemu dengan seseorang yang bertanya mau ia apakan harta yang berlimpah. Sementara dunia hanya sementara. Bukankah sebaiknya ia beramal saleh ?
1/500juta dari 500M
R terbangun dengan keringat dingin. Ia begitu tertekan. Ia tersadar, ia hidup bermegah megahan ditengah penduduk asli nusantara yang miskin bahkan kelaparan. Sementara, ia menghisap rezeki ditanah nusantara yang kaya, tetapi leluhurnya adalah pendatang dari tanah Arab. Tanah para Nabi. Tak lama, ia teringat seorang karyawannya yakni La Marufe. Semua orang menyebut La Marufe adalah orang jujur. Segera ditelponnya La Marufe agar segera merapat diruangannya pukul 08.00.

Ditempat dan waktu yang ditentukan, pak bos R telah hadir. Tak ingin terlambat, La Marufe datang terlebih dulu sambil menunggu dipersilahkan masuk. Pak bos R menceritakan mimpinya pada La Marufe dan meminta pandangannya. "Saya takut pertanyaan malaikat nanti Marufe" : kata Pak Bos MR. "Apa yang bisa saya bantu Pak Bos" : tanya Marufe. "Kamu kan orang jujur, tolong bantu saya menginvestasikan Rp.500 M agar ada amal jariyah saya kelak setelah meninggal" : tutur pak bos cemas. "Tetapi, saya ingin mendengar pandanganmu, Marufe. Bila kuberi engkau Rp.500M dalam jangka 5 tahun kedepan, apa yang kau lakukan" : lanjut pak bos R.

La Marufe menghela nafas panjang. Singkat kata, ia memulai presentasinya.
Pak Bos, pertama saya akan mencari orang orang jujur dan berkompeten sebagai tim work. Bukan titipan orang orang tertentu yang tidak punya 2 syarat itu. Kemudian saya akan buatkan divisinya. Divisi ekologi, Divisi ekonomi, Divisi Sosial Budaya, Divisi litbang. Tidak perlu struktur yang gemuk. Yang penting, orang orangnya bisa bekerja efisien dan efektif.

Pak Bos R menyimak. La Marufe melanjutkan presentasinya

Divisi Ekologi. Akan melakukan penanaman kembali pada hutan hutan yang telah digunduli. Ditanami dengan tanaman endemik agar tak punah. Ditanami dengan tanaman produksi, agar bernilai ekonomi, Ditanami dengan tanaman obat herbal, agar bisa bermanfaat bagi kesehatan. Ditanami dengan berbagai spesies agar menjadi rumah bagi hewan. Divisi ini juga akan melakukan transplantasi karang, agar kita bisa meminimalisir kerusakan terumbu karang. Akibat keserakahan manusia yang gemar membom ikan. Divisi ini juga melakukan pengerukan terhadap danau dan sungai yang mengalami sedimentasi.

Pak Bos menyela. Mengapa mesti ada divisi ekologi Marufe ?

La Marufe melanjutkan. Begini pak bos. Manusia hidup diatas bumi, lalu demi harta, manusia tega merusak dan menghancurkan alam. Akibatnya, kembali pada manusia sendiri. Setidaknya, kita berterimakasih pada alam atas segala kekayaannya dengan mengusahakan keseimbangan ekologis

Pak Bos mengangguk, lanjutkan Marufe

Divisi Ekonomi. Kita akan buatkan lembaga ekonomi, yang memberi dana bergulir pada pengusaha kecil dan menengah. Kita juga membuat peluang peluang usaha dengan memanfaatkan hal hal sederhana yang ada disekeliling. Berbagai upaya peningkatan ekonomi kecil menengah akan dimaksimalkan. Tetapi kita tidak akan memberi mereka mimpi dapat bonus kapal pesiar setelah berhasil memprospek orang.

Divisi Sosial Budaya. Kita akan berdayakan para seniman lokal. Mereka harus diberi penghargaan yang layak. Setidaknya tiap pekan, ada pementasan agar mereka tetap eksist. Dengan demikian, generasi muda juga punya kesempatan untuk menikmati budayanya sendiri. Anak muda harus disibukkan dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Mendukung tiap even, mulai dari festival musik hingga road race. Supaya mereka tidak lagi mendengar istilah "bagus kegiatanmu dek, tapi tidak ada anggaran". Divisi ini akan membuat pelatihan dan festival film pendek antar sekolah secara berkala. Supaya para remaja lebih sibuk membuat film karya mereka sendiri daripada menikmati sampah yang bernama sinetron. Selain itu, membuat film sendiri, lebih mengasah kreativitas para remaja ketimbang nonton infoTAImen.

Divisi Litbang. Akan melakukan penelitian diberbagai bidang. Mulai dari budaya budaya yang terancam punah. Naskah tua. Artefak dan berbagai bukti sejarah. Sebab jika sebuah bangsa kehilangan sejarahnya, maka otomatis ia kehilangan identitasnya. Kita harus membangun bangsa yang kuat dan berkarakter. Dan untuk itu, kita harus menggali sejarah dan budaya. Kita juga harus meneliti tentang pengobatan alternatif. Baik itu bekam, atau pengobatan herbal. Sebab, kesehatan jauh lebih penting daripada formalitas "masuk rumah sakit" yang administrasinya berbelit belit yang harus diselesaikan pasien.  Divisi litbang juga harus meneliti spesies spesies endemik yang terancam punah. Divisi ini juga harus meneliti teknologi tepat guna. Agar tidak tergantung lagi pada alat yang mahal. Divisi ini harus menemukan mesin yang berbahan bakar air. Agar tak ada lagi orang yang tergantung pada minyak dan mafia minyak seperti pak boss. Berbagai hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi divisi lainnya.

"Apakah Rp.500 M habis dengan itu semua Marufe "? Tanya pak bos R. Soalnya, pendapatan harian saya Rp.60M. Bagaimana menghabiskan itu semua ? Bagaimana kalau kita bangun rumah ibadah ?

Itu bagus pak Boss. Tapi lebih bagus lagi jika orang yang mau kerumah ibadah yang dibangun. Buat apa mesjid berkubah emas jika orang yang shalat hanya melakukan gerak gerik menyerupai shalat. Gerakan menyerupai shalat tetapi tidak membuatnya menghindari perbuatan keji dan mungkar. Pak Boss, banyak mesjid didaerah pelosok yang kondisinya kurang baik. Ini yang harus diperbaiki pak boss. Tetapi, kita juga harus perbaiki hati orang orang yang kondisinya juga kurang baik. Negeri asal pak boss penuh dengan pertumpahan darah. Bangunlah rumah ibadah dan mesjid yang didalamnya orang saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menghormati. Bukan saling mencaci, dan berkelahi.

Bila masih ada dana tersisa, kita akan buat jalan dan jembatan di daerah pelosok. Agar transportasi masyarakat lancar. Saya kira, dengan pendapatan Rp.60 M/hari, kita bisa membangun jalan dan jembatan berkilo kilo

Adapun manfaatnya untuk pak Boss
Semua orang yang meningkat usahanya dari divisi ekonomi, maka pak boss mendapat pahala yang sangat luar biasa. Sebab, boleh jadi ada orang berbuat jahat karena miskin. Namun karena pak Boss menyelamatkan orang dari kemiskinan, maka orang itu terhindar dari kejahatan. Pahalanya pasti untuk pak Boss

Para leluhur nusantara yang diselamatkan sejarahnya dari divisi sosial budaya akan senang hati menemani pak boss di akhirat nanti. Sebab boleh jadi tokoh sejarah itu telah terlupakan, akan tetapi dengan penggalian sejarah itu, tokoh sejarah itu akan bangga berteman dengan pak boss yang kelak juga menjadi tokoh sejarah. Jadi sesama tokoh sejarah duduk berdampingan. Adapun para generasi yang selamat dari proyek penghancuran generasi melalu berbagai macam cara tersebut, maka pak Boss mendapat pahala yang sangat luar biasa. Bayangkan kalau ada orang yang boleh jadi akan teracuni otaknya oleh sinetron dan infoTAImen, tetapi mampu berkarya dan menggali kreativitasnya. Maka pak boss menyelamatkan banyak umat manusia. 

Bila divisi ekologi bekerja maksimal. Maka hewan dan tumbuhan yang bisa dikonservasi akan berterimakasih dan mendoakan pak boss. Tidak apa apa bila pohon sawit tidak mendoakan pak bos. Tetapi orang utan, kayu ulin, rotan dan berbagai spesies endemik baik yang terancam punah atau tidak, akan sama sama mendoakan pak boss. Belum lagi orang orang yang sehat melalui penggunaan pengobatan herbal. Mereka bisa sembuh dengan murah, tanpa harus teriak teriak meminta pelayanan kesehatan gratis. Toh obatnya ada dihalaman rumah mereka. Belum lagi doa para nelayan yang mendapatkan ikan melimpah, karena terumbu karang kembali hidup. Doa para divers yang menikmati pesona alam bawah laut. Apalagi kalau menjadi obyek wisata, toh bisa menghidupi masyarakat setempat.

Selama orang beribadah di rumah ibadah yang pak boss perbaiki, maka selama itu pula pahala pak boss mengalir. Selama orang beramal saleh karena usaha pak boss, maka selama itu pula pahala pak boss lancar. Selama orang menggunakan jembatan dan jalan yang pak boss bangun, maka selama itu pula pahala pak boss lancar.

La Marufe menjelaskan dengan penuh semangat. Pak Bos R menyimak dengan mata berbinar binar. Tiba tiba air di ember La Marufe tumpah. Ia baru tersadar, bahwa ia sedang melamun sambil menampung air di ember. Cucian masih banyak, dan ia tak mampu beli mesin cuci. Dan ia juga belum mandi.

Dialog Kebenaran II

Tak terasa La Marufe telah setahun di rantauannya. Kesibukan telah mengantarkannya pada kesuksesan duniawi. Sesekali ia menikmati hidup dengan menyalurkan hobinya, yaitu mancing dan naik motor. Ia masih mengingat pesan gurunya. Namun, ia merasa kering dan hambar. Jiwanya menuntut untuk pengetahuan maknawi.


Sehabis bekerja, La Marufe kembali ke kontrakannya. Merapikan semuanya, melaksanakan tugasnya. Lalu beristirahat. Ia kemudian bermimpi berada ditempat yang tinggi. Sepertinya sebuah gunung. Gunung yang tidak terasa asing. Lalu, muncul seorang kakek. Ternyata gurunya, Puang Nene. Betapa senang La Marufe dalam mimpinya. Sebab berkesempatan bertemu kembali dengan gurunya yang telah terpisah jauh.

Dalam mimpinya, buru-buru La Marufe mengucap salam, meraih tangan gurunya. Lalu menjabat dan menciumnya. Terlihat senyum tipis sang guru kemudian menyuruhnya duduk.

Puang Nene : Nampak jiwamu kering anakku.
La Marufe : Iyye puang.
Puang Nene : Apakah kemilau dunia menyilaukan matamu nak ? 
La Marufe : Maksudta puang ?
Puang Nene : Apakah engkau terlalu sibuk memikirkan harta, orang lain, ketimbang bercengkrama dengan dirimu sendiri ?
La Marufe : Iyye puang.

La Marufe memperbaiki posisi duduknya dan bertanya
La Marufe : Bagaimana membasahi jiwaku yang kering puang ?
Puang Nene : (Sambil tertawa). Kemarau di hatimu mengeringkan jiwamu sehingga tumbuhan kehidupan menjadi layu anakku. Itu lebih baik bagimu daripada mempersoalkan kemusyrikan dan keyakinan orang lain anakku. Baik bagimu menyembuhkan luka dihatimu daripada melukai hati orang lain. Baik bagimu memperbaiki agamamu daripada memperbaiki agama orang lain.
La Marufe : Bagaimana caranya puang ? Sementara jidatku tidak hitam puang
Puang Nene : Banyak ahli sujud tidak hitam jidatnya anakku. Ada juga orang hitam jidatnya tetapi baru beberapa bulan belajar sujud. Hatimu lebih penting untuk bersujud ketimbang penampilanmu. Engkau tidak perlu penilaian manusia dalam hal itu anakku. Engkau butuh keridhaan Tuhan.

La Marufe termenung dan memikirkan kalimat gurunya.
Puang Nene : (Memindahkan topik pembicaraan) Anakku, jangan persempit arti ibadah hanya sekedar ritual anakku. Bahkan dalam kesenanganmu engkau bisa beribadah.
La Marufe : Bagaimana itu puang ?
Puang Nene : Engkau suka memancing dilaut anakku. Mengapa engkau tidak memikirkan tanda-tanda kebesaranNya ? Mengapa engkau tidak bercerita dengan dirimu sendiri ? Engkau suka naik motor sendiri ke suatu tempat yang tidak pernah kau datangi. Mengapa engkau mempelajari dirimu sendiri ?

Lalu La Marufe terbangun dari mimpinya. Ia mengingat tentang memancing dan naik motor. Saat memancing, ia berada diatas air. Air adalah ketenangan. Air adalah kehidupan. Air adalah kedamaian. Ia mengingat dikota kota besar biasanya ada air mancur. Dalam rumah rumah, biasa ada aquarium. Pikirannya semakin liar, ia mengingat iklan air mineral yang katanya 90% tubuh terdiri dari air. 

La Marufe tersadar. Mendapatkan ikan dalam memancing adalah hal kedua. Hal terpenting sebenarnya adalah ketika ia menemukan kedamaian. Ia merasakan hidupnya yang lemah ditengah lautan yang hanya bersandar pada kuasaNya. Hidup adalah terberi dari sang Maha Hidup. Akhirnya, La Marufe memahami makna berguru diatas air.

Berguru diatas air dan angin
Apa hubungannya naik motor sendiri ke suatu tempat dengan mempelajari diri sendiri. La Marufe kembali mengingat. Ia selalu menenangkan diri sebelum berangkat. Meski demikian, ia bisa merasakan bagaimana emosinya naik saat didepannya asap knalpot mobil truk mengotori udara yang ia hirup. Bagaimana lambatnya mobil truk dan menghalangi jalannya sehingga hawa panas terasa ditubuhnya seiring emosinya.

Kenangan saat terjatuh dari motor juga muncul dalam ingatan La Marufe. Ia mengingat, beberapa kali kecelakaan, ia berada pada kondisi "teddeng paringeranna" atau hilang kesadarannya. Ia juga mengingat, berkendara adalah berkonsentrasi pada jalan, kendaraan lain, dan mengontrol kendaraan sendiri. Kecelakaan adalah kondisi dimana terjadi kegagalan dalam mengontrol kendaraan terhadap kendaraan atau jalan lain.

Makna berguru diatas angin telah dipahami oleh La Marufe. Yaitu, mengendalikan sifat sifat angin yang mudah berubah. Dalam dirinya, penting baginya untuk mengendalikan agar kesejukan hembus angin tidak berubah menjadi angin puting beliung yang merusak. Sifat angin akan membesarkan api emosi dalam diri.
La Marufe tersadar, ia bermotor sendirian tetapi kurang mempelajari perubahan dalam jiwanya. Ia juga sadari, masih kurang kemampuan mengontrol "angin" dalam dirinya. Ia memancing sekedar hobi, bukan berkontemplasi. Akhirnya La Marufe sampai pada sebuah titik kesadaran. Bahkan dalam menyalurkan hobi pun manusia bisa mengenal dirinya, yang menjadi jalan mengenal Tuhannya.

DIALOG KEBENARAN

La Marufe telah dewasa, saatnya ia berlayar mengarungi samudra. Merantau membuktikan kedewasaannya. Maka mendakilah ia ke puncak Pattirosompe untuk meminta nasehat dari gurunya. Sebagai bekal untuk masa depannya.

Puang Nene, begitu La Marufe menyebut gurunya. Ia dekati lalu mencium tangannya tanda hormat seorang murid. Lalu dipersilahkan duduk. 

La Marufe : Puang Nene, ajarkan aku tentang kebenaran, pintanya
Puang Nene : Nak, kebenaran ada dalam dirimu
La Marufe : Bagian yang mana pada diriku Puang, bukankah hanya kepala, tangan, kaki dan tubuh ?
Puang Nene : Cobalah pahami dirimu lebih dari yang engkau lihat nak
La Marufe : Mohon dijelaskan puang
Puang Nene : Nak, pernahkah kau berdusta, atau berbuat salah lainnya ?
La Marufe : (sedikit terbata-bata), pe pe pernah puang
Puang Nene : Saat kau berbuat salah, apakah ada dalam dirimu mengatakan bahwa kau salah ? Menegurmu dan mengingatkanmu agar tidak melakukan itu ?
La Marufe : Iya ada pernah puang
Puang Nene : Nah itu dia nak. Belajarlah untuk selalu mendengar suara itu. Suara yang selalu menunjukkanmu pada kebenaran. Ia ada dalam dirimu. Ia tidak pernah berbohong padamu.
La Marufe : Apakah itu disebut hati, sanubari, instink atau apa puang ?
Puang Nene : Nak, mengapa engkau lebih mementingkan persoalan semantik ketimbang makna ? Terserah orang mau menamai apa, yang jelas, engkau tahu suara dalam dirimu itu nak.
La Marufe : Iya terimakasih. Tetapi guru, kadang aku mendengarnya begitu jelas, kadang sayup sayup. Bagaimana dengan hal itu guru ?
Puang Nene : Saat engkau mendengarnya begitu jelas, sebelumnya engkau selalu berkata, berbuat dan bertindak benar. Sehingga kebenaran begitu nyata mengingatkanmu pada kebenaran. Saat engkau nafikan kebenaran, maka pada saat itu suara itu menjadi sayup sayup. Semakin sering engkau berdusta, maka itu akan menutupi dirimu. Bagai tabir yang menutupmu pada kebenaran.
La Marufe : Jadi bagaimana baiknya puang, guru ?


Puang Nene : Biasakan berkata benar anakku. Biasakan berbuat benar anakku. Biarkan kebenaran itu sendiri yang datang menjelaskan dirinya.
La Marufe : Terimakasih puang. Tambahkanlah lagi pelajaran padaku tentang kebenaran guru
Puang Nene : Nak, ketahuilah hanya satu manusia. Yang banyak hanya ragamnya.
La Marufe : Jelaskan padaku puang.
Puang Nene : Nak pemahamanmu kelak akan berkembang seiring usia, usaha dan pengalamanmu. Aku hanya menjelaskan garis besarnya saja nak.
La Marufe : Iya guru, dengan senang hati
Puang Nene : Nak, kebenaran dalam dirimu ada juga pada orang lain. Setiap manusia memiliki itu. Itulah sebenarnya manusia. Manusia adalah yang bertindak benar. 
La Marufe : Jelaskan maksudnya puang
Puang Nene : Kalau seseorang merampas hak orang lain, maka sebenarnya ia abaikan kebenaran pada dirinya. Ia telah berperilaku binatang buas anakku. Jika ia terus ulang menjadi tabiatnya, maka pada dasarnya ia kehilangann kemanusiaannya dan telah menjadi binatang buas anakku. 
La Marufe : (Berpikir sejenak). Jadi manusia yang sebenar benarnya manusia adalah yang selalu berlaku dan bertindak benar ya puang ?
Puang Nene : Benar anakku.


La Marufe : Puang, banyak orang mengaku benar. Bagaimana cara aku menilai kebenaran.
Puang Nene : Anakku, meski nyata bersalah, seseorang masih saja merasa benar. Walau terkadang memutar balikkan fakta. Ini tindakan yang menutup mati hati anakku. Serendah-rendahnya perbuatan benar setelah berbuat salah adalah mengakui kesalahan. Bukankah mengakui kesalahan adalah sebuah kebenaran bagi orang yang salah anakku ?
La Marufe : (menyimak)
Puang Nene : Kelak, bila engkau khilaf, sehingga berbuat salah. Setidaknya engkau jujur pada dirimu. Jujur bahwa engkau salah. Itulah dasar untuk memperbaiki kesalahan sebagai tindak lanjutnya.
La Marufe : (Mengangguk) Mohon puang nene sudi melanjutkan
Puang Nene : Anakku, seseorang menjadi benar bukan karena memutar balikkan fakta. Seseorang tidak menjadi benar hanya karena menuduh yang lain salah.
La Marufe : Toncona eh contohnya guru ? (sambil tersenyum)
Puang Nene : Jika engkau tuduh orang lain mencuri, apakah orang itu lantas menjadi pencuri dan dirimu bukan pencuri ?
La Marufe : Belum tentu guru. Bisa jadi aku menfitnah orang lain, entah itu sengaja atau tidak sengaja. Bisa jadi pula, aku menuduh orang lain pencuri untuk menutupi hasil curianku. Biar orang lain yang digeledah.
Puang Nene : Benar anakku. Kita tidak menjadi benar hanya karena menyalahkan orang lain. Anakku, Permata tetap permata meski ia dilumpur. Kotoran tetap kotoran meski ia disinggasana. 
La Marufe : Puang, di rantau nanti, kemana aku berguru
Puang Nene : Bergurulah dan terus berguru. Tambah pengetahuanmu hingga ajal menjemputmu anakku. Kelak di rantau, jika engkau ingin berguru, carilah orang yang memiliki kebenaran.
La Marufe : Yang mana itu guru
Puang Nene : Nak, lihat bagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Itu indikator pertamamu. Biar ngomongnya secanggih apapun, biar merangkai firman Tuhan sepandai apapun, namun ia tidak menghargai sesamanya manusia, maka ia tidak layak menjadi gurumu. Orang seperti itu pandai memelintir firman suciNya untuk kepentingan diri dan kelompoknya anakku.
La Marufe : Iya terimakasih ilmunya puang, mohon dilanjutkan guru
Puang Nene : Anakku carilah orang yang berdiri diatas kebenaran. Kebenaran perkataannya. Kebenaran perbuatannya. Dan manfaatnya bagi orang sekelilingnya. Jangan cari orang yang hanya pandai menyalahkan orang lain. Sebab itu tidak membuatnya menjadi orang benar. Anakku, carilah orang yang disaat ia tiada, ia senantiasa dikenang. Bukan hanya kelompoknya, tetapi kelompok yang lain. Jika ia hanya dicari oleh orang orang dikelompoknya, maka cahaya kebenarannya hanya terbatas pada kelompoknya saja. Itu indikator keduamu anakku.
La Marufe : (Menyimak)
Puang Nene : Anakku, kita ini terus menyempurnakan kebenaran kebenaran dalam diri kita. Begitupun orang lain. Bisa jadi kebenaran keluar dari mulut seorang pendosa. Sebaliknya, bisa jadi kesalahan keluar dari mulut orang yang saleh. Maka, ada kondisi engkau memetik kebenaran bukan karena siapa yang mengatakan, tapi apa yang ia katakan.
La Marufe : Maksudnya guru ?
Puang Nene : Jangan engkau menganggap remeh seorang pendosa. Bisa jadi ia menyadari kesalahannya, sehingga pintu kebenaran terbuka. Jangan pula engkau menganggap suci orang saleh. Bisa jadi ia takabur dengan ibadahnya sehingga pintu kebenarannya tertutup. Meski demikian, ini bukan alasan bagimu dan bagi semua orang untuk menjadi pendosa. Biar bagaimanapun, engkau harus berusaha menjadi orang saleh. Orang yang efek ibadahnya dirasakan berupa tersebarnya kebaikan bagi sesamanya.
La Marufe : Ajarkan aku lagi guru
Puang Nene : Anakku, aku bangga dengan semangat belajarmu. Namun engkau terkadang harus mengendalikannya, dan menyesuaikan dengan kemampuan jiwamu. Cukup itu saja yang ku ajarkan tentang kebenaran, semoga kelak engkau menemukan lebih banyak lagi kebenaran dari perjalanan hidupmu. Setidaknya, engkau sudah punya pegangan untuk hidup dizaman yang penuh fitnah ini.
La Marufe : (Tertunduk)
Puang Nene : Angkat wajahmu anakku, hadapi kerasnya kehidupan dengan semangat dan doa.Ingat, benar beda dengan betul. Sebab benar adalah syarat kebenaran sedang betul adalah syarat kebetulan.
La Marufe : Tetapi kan kebetulan aku yang jadi murid dan puang nene yang jadi guru ?
Puang Nene : Anakku, janganlah melepas kuasa Sang Maha Benar yang telah menetapkan kebenaran dengan memahami adanya kebetulan anakku. Bahkan orang yang membaca tulisan ini dari awal sampai dibagian ini bukanlah kebetulan anakku.
La Marufe : Terimakasih ilmunya guru. Izinkan aku mencium tanganmu, memohon restu dan doamu. Agar hidupku tetap dalam kebenaran guru
Puang Nene : Engkau mencium tanganku, bukan berarti aku lebih baik daripada engkau anakku. Itu hanya menunjukkan akhlakmu. Pergilah arungi samudra kehidupan. Semoga engkau tetap pada kebenaran dan tergolong orang orang yang selamat anakku.



Permata bukan sekadar perhiasan !!!

Demam batu permata akhir akhir ini menuai berbagai tanggapan. Mulai yang positif, hingga yang terkesan mendiskreditkan. Namun yang pasti, hobi yang kembali muncul ini, telah menjadi budaya yang egaliter. Permata tidak lagi identik dengan raja, dukun dan orang orang tertentu lainnya. Ia menjadi milik semua masyarakat yang menginginkannya. Entah itu pejabat, pengusaha, orang biasa bahkan anak anak.

Di sosial media beredar berbagai tulisan yang ingin mempertegas bahwa Akik atau permata, tak lebih dari sekadar perhiasan. Ada semacam kekhawatiran (atau mungkin tepatnya phobia) akan syiriknya orang lain gara gara permata. Padahal permata bukanlah barang baru. Ia digunakan jauh sebelum kelompok sempalan lahir. Bahkan jauh sebelum para Nabi pendiri agama besar dilahirkan dimuka bumi. Dan beberapa Nabi disebutkan mengenakan cincin permata. Dan ternyata, permata juga punya manfaat pada kesehatan.


Belajar Merasakan Energi pada Batu Permata
Sebenarnya mudah saja untuk merasakan energi pada Batu permata. Hal ini bukan persoalan kesaktian, sama sekali bukan. Ini adalah persoalan kepekaan. Intinya, bagaimana syaraf kita mampu merasakan energi pada batu permata.

Untuk belajar merasakan energi, yang pertama harus dilakukan adalah merasakan organ organ tubuh. Pada saat konsentrasi, kita akan mampu mendengar detak jantung, aliran darah, posisi paru paru, lambung, usus besar, usus kecil, hati dan seterusnya.

Kedua, kita melatih kepekaan syaraf. Biasanya tapak tangan terdapat syaraf yang sensitif, sehingga tepat untuk merasakan energi pada batu permata.

Ketiga melakukan sampling. Menurut pengalaman kami, Kecubung es memiliki hawa energi yang cenderung paling sejuk sedang Bacan yang paling hangat. Sehingga tentu kecubung es cocok dipakai saat panas (terutama bagi rider yang suka touring siang siang) dan bacan cocok dipakai didaerah dingin.

Idocrase memiliki hawa yang hangat mirip Bacan
Keempat, meletakkan batu di tapak tangan dan merasakan perubahan yang terjadi pada tubuh. Entah itu pada aliran darah, detak jantung, otot, syaraf atau listrik statisnya. Perubahan yang terjadi itu bisa jadi detak jantung menguat, darah mengalir lancar, atau lainnya. Batu jenis Black Jade dari Aceh, bila diletakkan di tapak tangan, akan terasa efeknya pada (maaf) pangkal kelelakian. Sehingga dipercaya menambah keperkasaan lelaki :)

Black Jade Aceh berfungsi penetral racun dan penambah keperkasaan
Dengan melatih kepekaan syaraf, kita bisa mengetahui pengaruh penggunaan permata pada tubuh kita. Jadi, bukan hanya melihat sisi estetiknya sebagai perhiasan, tetapi juga sisi kesehatannya.

Permata, Pengobatan, Murah Rezki dan Panjang Umur : Bagaimana Rasionalisasinya ?
Pengobatan menggunakan media batu permata telah dilakukan ratusan atau mungkin ribuan tahun silam. Bangsa Tiongkok telah mencatat sejarah tersebut. Selain itu, bangsa Mesir, Persia, India juga punya tradisi yang kurang lebih sama meski tidak sedetail Tiongkok.

Berhubung proses terciptanya permata dengan kandungan mineralnya yang beragam, menyebabkan kandungan hawa dan energinya pun tak seragam. Bila dipakai dalam jangka waktu yang lama, tentu akan mempengaruhi pemakainya. Ya memang hal yang dipakai dapat mempengaruhi pemakainya. Sebagai contoh, jika seseorang memakai baju dinas tentu psikologinya berbeda saat dia pakai baju koko atau baju yang lain.


Energi yang ada pada batu permata beragam. Ada yang mempengaruhi darah (melancarkan/ memperlambat) peredaran darah. Sehingga ada yang cocok bagi yang suka begadang dan mengidap tekanan darah rendah (yang memperlancar peredaran darah). Contohnya badar besi. Bahkan Badar besi (Hematit) dari dulu dikenal sebagai batu darah. Dengan lancarnya peredaran darah, tentu membuat pemakainya akan lebih bersemangat dalam bekerja. Ada pula yang cocok bagi pengidap tekanan darah tinggi (yang memperlambat peredaran darah).

Badara Cera' (red jasper) sejak dulu kala digunakan untuk menyembuhkan mimisan oleh leluhur
Batu jenis Badara Cera', dahulu kala sering dicelup diair lalu diminum airnya untuk mengobati mimisan. Selain diikat dan dijadikan permata, juga disimpan dalam bentuk bongkahan. Ada juga jenis batu tertentu yang membantu kinerja sel sel tubuh, sehingga dapat meningkatkan kesehatan. Contohnya Ocean Jasper. Logikanya, (terlepas dari faktor takdir) orang sehat punya peluang hidup lebih lama. Sehingga orang orang dulu menyebut bahwa permata tersebut dapat memanjangkan umur.

Cek juga : Nephrite Zebra

Nefrit Zebra
Ada juga jenis batu tertentu yang mampu mempengaruhi psikologi pemakainya sehingga selalu merasa nyaman. Perasaan nyaman ini sangat dibutuhkan bagi mereka yang berdagang. Bisa kita bayangkan bila ada 2 toko yang menjual barang yang sama. Toko pertama penjualnya selalu bermuka masam sedang toko kedua penjualnya selalu senyum ramah karena hatinya selalu nyaman dan bahagia. Maka tentu sang pembeli akan memilih di toko yang penjualnya selalu tersenyum.
Badar besi, cocok bagi mereka yang kurang semangat. Tetapi kurang pas bagi mereka yang terkena hipertensi
Logika sederhananya adalah, orang yang hatinya selalu nyaman (manyameng kininnawa) memiliki peluang mendapatkan rezki yang lebih besar (masempo dalle). Batu jenis Blue Safir salah satu contohnya.

Penutup
Pada dasarnya, permata dengan kandungan mineralnya bila digunakan dalam jangka waktu lama, dapat mempengaruhi tubuh manusia. Tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan dan energi pada batu permata itu sendiri.

Adapun pada sisi teologis, kemusyrikan terjadi bila menafikan eksistensi Tuhan Sang Maha Pencipta, Sebab dari Segala Sebab. Sehingga kita berpandangan bahwa energi (kekuatan/Quwwah) yang ada pada batu permata sesungguhnya bersumber pada Tuhan (Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah = Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah). Sementara batu permata hanya perantara dan fasilitas yang memiliki manfaat sebagaimana ciptaan Tuhan lainnya seperti makhluk hidup dan benda mati.

Balapan di Negeri diatas Awan

Mereka berlima tumbuh bersamaan, melewati masa kanak kanak yang ceria. Perlahan, mereka menjelang remaja dan menjalani hidup masing masing. Terpisah hingga mereka dewasa, akil balig. Mereka berjanji akan bertemu lagi setelah mendapatkan motor andalannya. Hingga tibalah saatnya mereka untuk mengikuti balapan, mereka kembali di negeri diatas awan dengan motor masing masing. Mereka ingin balapan sebab mereka dewasa dan berakal.

Disebuah balai bambu di negeri diatas awan, kelima pemuda itu berkumpul. Seseorang maju menceritakan pengalamannya. Ia pun mulai berkisah. Saat remaja, saya melihat motor scooter matic. Motor generasi terakhir, yang tak perlu persneling. Ditambah bagasi, motor scooter maticku bisa muat banyak barang, ujarnya dengan bangga. Inilah motor terbaik lagi praktis,  sambungnya.

Disinggung soal perseneling, pemuda yang satupun tersinggung. Ia berdiri menggantikan temannya. Ia pun bertutur. Sebelum tiba disini, saya bertemu dengan orang yang naik moped (motor bebek). Dari dulu, leluhur kita pakai motor bebek. Sangat multi fungsi, Bisa lewati beragam medan. Memang betul masih ada acara pindah pindah gigi. Tetapi itu membuat kita paham proses dan kekuatan. Bukan cuma menarik gas, ujarnya.

Temannya mulai geram, dan mulai berbicara. Hai kalian pemuja scooter matic dan moped, lihatlah motorku naked. Kubikasinya lebih besar dari kalian berdua. Memang benar motor nakedku tidak bisa muat barang banyak seperti kalian. Memang benar, koplingku membedakan motorku dengan motor kalian berdua yang lebih simpel dan praktis. Tetapi kopling, kubikasi dan power besar serta model yang jantan adalah untuk mereka yang lelaki. Kalian berdua juga tidak memahami stabilitas motor pada kecepatan tinggi. Motor kalian berdua motor untuk kecepatan rendah.

Tak mau kalah, yang satu angkat bicara. Bro sekalian, perkenalkan motorku. Namanya, trail. Asli motor segala medan. Suaranya kencang, sekencang tarikannya. Meski kita sama sama jantan, tetapi engkau dengan motor nakedmu hanya cocok dijalan aspal. Sedang kalian berdua, dengan motor scooter matic dan mopedmu adalah motor perempuan. 



He ehm, terdengar suara mendehem memecah suasana. Tiba tiba jadi hening. Saat itulah pemuda kelima yang angkat bicara. Kenalkan ini motorku, namanya superbike. Supernya para motor. Tidak perlu saya jelaskan kelebihan motorku, ucapnya. Silakan nonton TV, balapan paling bergengsi pake motor apa saudaraku semua ?

Semua terdiam, si pemilik motor superbike merasa menang. Merasa terdesak, pemilik motor scooter matic murka. Kalian semua sesat, kafir. Hanya motorku yang sebenar benarnya motor. Motor kalian semua itu sesat, kafir, ujarnya mengulang. 

Si pemilik motor moped ikut marah. Tidak boleh begitu saudara. Motorku lebih baik dari motormu, mengapa kau klaim motor kami berlima semuanya salah ? Mereka berlima berdebat, saling bertengkar bahkan saling memukul. Ini hanya karena merasa motornyalah yang terhebat.

Seorang tua datang melerai. Hai kalian 5 anak muda mengapa bertengkar ? Bukankah kalian semua bersaudara ? Tenanglah wahai anak muda. Tahan emosi kalian. Motor bukan untuk dipertengkarkan, tetapi untuk dikendarai.

Mereka berlima pun tersadar. Mereka khilaf. Betapa indah kenangan masa lalu saat kanak kanak, hilang hanya karena arogansi bermotor. Lebih parah, mereka lupa bahwa mereka sedang ingin balapan. Pak tua pun terus menenangkan mereka hingga kelimanya menjadi pendengar.

Pak Tua duduk dikelilingi kelima pemuda itu. Ia mulai bercerita. Nak, saya dulu pun seperti kalian. Arogan dengan satu jenis motor. Namun setelahnya saya sadar. Bukan motor yang penting. Tetapi tujuan dan pengendara. Motor hanyalah kendaraan. Kalian berlima hendaknya fokus pada tujuan, yaitu garis finish. Kalian juga harus fokus pada diri kalian. 

Meski kubikasi motormu besar, namun tak kau nyalakan mesinnya, maka engkau tetap ditempat. Perjalanan tak kau mulai dengan menyalakan mesinnya, maka mustahil sampai garis finish. Demikian pula motormu yang berkubikasi rendah, sambil melihat pemilik moped dan scooter matic, tetapi jika kalian berdua konsisten pada kecepatan maka garis finish dapat kalian gapai. Kalian berlima, sambil melanjutkan, berpeluang menjadi finish pertama sekaligus finish terakhir. Bahkan, kalian berlima juga berpeluang untuk kecelakaan, bila tidak hati hati mengendarai motor kalian.

Si pemilik trail pun nyeletuk memotong pembicaraan pak tua. Kalau begitu pak tua berarti semua motor sama saja, ucapnya ketus. Dengan tenang pak tua menjawab. Tujuan motor adalah kendaraan yang digunakan pengguna untuk sampai tujuan. Pada titik itu, semua motor sama. Namun tiap motor punya keunikan, kekhasan tersendiri. Pilihlah motor yang kalian anggap paling kuat, paling cepat sampai tujuan. Tetapi jangan habiskan waktumu untuk menyalahkan motor orang lain disaat kalian bahkan belum memulai balapan.

Kalian terlalu cepat untuk mengenal jenis jenis motor. Semestinya, kalian pelajari dulu tentang diri sendiri, kemudian mempelajari garis finish. Lalu mempelajari definisi motor. Syarat minimal motor itu adalah punya ban, mesin, stir, dan rangka. Motor kalian berlima memenuhi syarat itu. Sehingga tidak ada motor sesat, motor kafir. Kecuali jika motor kalian tidak pakai mesin, itu namanya sepeda. Kecuali jika bannya empat trus ganti stir, itu namanya mobil.

Si pemilik motor superbike angkat bicara. Jadi, meski motor saya adalah motornya para juara, bukan jaminan bahwa saya akan memenangkan balapan ini ya pak tua ?. Pak tua mengangguk. Namun di gigi satu, pada motormu setara dengan gigi 4 atau 5 pada motor yang lain anakku jawabnya dengan bijak.

Semua pemuda itu akhirnya paham. Bahwa tiap orang harus memilih motor yang akan dikendarai. Sebab bingung memilih motor tak akan menyebabkan orang akan memulai balapan. Jika tidak mulai balapan, mereka tentu takkan finish. Mereka kembali saling menyayangi dan menghormati pilihan masing masing. Berlaku sportif, saling mendorong dan mendoakan semoga semua temannya bisa finish bersamaan. Untuk itu fokus pada tujuan semula, yaitu mencapai garis finish.

Namun si pemilik scooter matic merasa bahwa ia telah dijamin finish duluan. Ia tetap menyalahkan keempat temannya. Bahkan tak segan menghalalkan darah keempat saudaranya. Baginya, membunuh orang kafir karena tidak naik motor scooter matic itu sah sah saja. Tak peduli bahwa mereka dulunya sahabat. Ia memang bebal, keras hati dan tertutup hatinya serta percaya diri pemilik tropi pemenang juara balap.

Sepotong kisah tentang pemilihan ketua lembaga mahasiswa

Suatu ketika, seorang yunior mengirim pesan lewat inboks FB saya. Setelah berbasa basi ucapkan salam dan kabar, ia langsung menanyakan tentang strategi pemenangan pada pemilihan lembaga mahasiswa. Saya cuma menanyakan dua hal. Pertama, jika terpilih mau apa ? Kedua, jika tidak terpilih mau apa ? Tak ada lagi pesan saya terima setelah saya kirimkan pertanyaan itu. Padahal kedua pertanyaan saya itu adalah pertanyaan standar. Selalu saya tanyakan pada siapapun yang "ingin maju" sebagai ketua disebuah lembaga. 

Mulai muncul beberapa pertanyaan dalam benak. Apakah anak sekarang cuma beraninya lewat inboks, bukannya datang baik baik untuk bertemu ? Apakah pertanyaan saya "terlalu kejam" sehingga melukai hatinya yang rapuh, lembek dan cengeng ? Serapuh itukah hatinya sehingga perasaannya lebih terasah ketimbang nalarnya yang bagiku terkesan buntu ? 

Padahal masih ada pertanyaan yang lebih substansial yang mengantri dibenakku. Mengapa engkau merasa layak untuk menduduki jabatan tersebut ? Kapasitas apa yang engkau miliki ? Visi misi berlembagamu seperti apa ? Apa yang akan kau beri pada lembaga bila terpilih dan tidak terpilih ? Apakah kompetitormu adalah musuhmu yang harus dikalahkan dengan berbagai macam cara ? Apakah engkau memilih " kekalahan" daripada "kemenangan" yang diperoleh dari strategi yang licik ? Mampukah engkau menahan diri untuk tidak menggunakan strategi yang tidak etis ?

Yunior saya mungkin melihat saya sebagai orang yang menguasai strategi pemenangan sehingga berani menanyakan cara pemenangan. Sebenarnya, saya tidak menganggap itu penting dikuasai walaupun itu mudah. Bagi saya, pertanyaan pertanyaan substansial diatas harus dituntaskan dulu baru berbicara strategi pemenangan.

Efek samping demokrasi

Memenangkan sebuah pemilihan, hanyalah selisih dari hasil usaha tim kawan dengan tim lawan ditambah/dikurangi faktor X.Intinya bahwa, bagaimana agar suara kita lebih banyak dengan cara apapun.

Sebenarnya mudah untuk memenangkan sebuah pemilihan. Yang sulit adalah, bagaimana membawa visi misi yang pas dengan kondisi lembaga, kapasitas calon ketua dan pengurus dan tentunya metode pemenangan yang elegan. 

Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia yang lemah jiwanya, menganggap kompetitornya sebagai musuh. Bila menang, langsung mengabaikan kompetitornya. Bila kalah, selalu merasa dicurangi. Dan proses pemenangan dianggap "perang suci". Visi misi, pengembangan lembaga dan hal hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, tidak terlalu dianggap penting.

Bila seseorang berani mencalonkan diri menjadi ketua pada sebuah lembaga, patut diapresiasi. Memang lembaga butuh orang untuk menjalankan roda organisasi. Namun, jangan sampai kapasitas yang tidak mumpuni melampaui semangat untuk mengabdi pada lembaga. Jangan sampai juga, seolah olah memperjuangkan lembaga, namun memperjuangkan ego untuk berkuasa. Menjadi seorang pemimpin, tidak cukup hanya penguasaan strategi taktik. Tetapi juga kemapanan emosi dan kecerdasan nalar. Akan menyedihkan bila mahasiswa lebih memprioritaskan perebutan posisi pada lembaga ketimbang memperkuat fondasi intelektual dan emosionalnya.

Sekadar saran untuk adik adik mahasiswa, hendaknya memperkuat fondasinya dulu. Baik secara intelektual maupun emosional. Banyak banyaklah bergaul dengan berbagai karakter manusia. Agar lebih dewasa dan bijak dalam mengambil keputusan. Hal tersebut sangat dibutuhkan seorang pemimpin. Ambisi biasanya menjatuhkan orang. Apalagi bila ambisi berada pada orang yang tidak punya kapasitas. Bila berhasil, ia akan menghancurkan lembaga. Bila gagal, ia akan memecah belah lembaga. Buatlah dirimu berarti, baik sebagai ketua, pengurus lembaga atau bukan. 

Renungan Kematian

Kematian adalah perpisahan ruh dan raga yang merupakan pintu ke alam lain. Kematian adalah niscaya bagi setiap yang bernyawa. Sehingga tidak semestinya takut pada kematian itu sendiri. Meski diberitakan bahwa saat berpisahnya ruh dan raga itu akan terasa sakit, namun bukankah itu mesti dilalui ? Seberat apapun masalah tentu dapat dilalui seiring dengan waktu. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana kemampuan mempertahankan keyakinan saat sakit yang maha dahsyat di sakratul maut.

Proses kematian hanya punya satu persoalan, yaitu mempertahankan keyakinan saat merasakan sakit tersebut. Namun masalah tidak sampai disitu. Masalah berikutnya adalah bahwa kematian itu menyisakan duka pada orang yang dicintai. Menyisakan urusan jenazah pada keluarga dan kerabat yang masih hidup hingga proses penguburannya. Dilanjutkan lagi dengan urusan pertanyaan dalam kubur. Itu belum termasuk pertanyaan bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan

Oh betapa sulitnya melalui itu semua. Tapi kita tetap harus mati sampai ajal yang ditentukan datang.

Setelah itu, kita masih harus menunggu proses penghitungan amal dan dosa pada kondisi yang tidak menyenangkan. Dimana jarak matahari dan ubun ubun hanya sejengkal. Oh betapa sulitnya melalui itu semua

Mungkin saja amal kita banyak, namun ada orang yang pernah tersakiti dan belum memaafkan. Mungkin saja amal kita banyak, namun ada utang dan janji yang belum terlunaskan. Mungkin saja amal kita banyak, namun kita gagal mendidik anak agar menjadi saleh. Bagaimana mungkin melewati itu semua dengan selamat, jika ternyata dosa kita lebih banyak dari amal saleh kita

Oh betapa sulitnya melalui itu semua. Tapi kita tetap harus mati sampai ajal yang ditentukan datang.

Bukankah indah meninggal dalam keadaan tenang dan tersenyum?
Bukankah indah tidak menyulitkan orang yang ditinggalkan ?
Bukankah indah jenazah kita diantar oleh banyak keluarga dan sahabat kita?
Bukankah indah jika kubur kita diluaskan dan diterangi cahaya?
Bukankah indah jika malaikat tak menyiksa di alam kubur?
Bukankah indah jika penghisaban dilalui dengan cepat?

Oh betapa sulitnya mencapai kemuliaan itu
Kupasrahkan diriku pada kuasaMu wahai yang Maha Menghidupkan lagi Maha Mematikan
Tak ada perhiasan yang layak kubanggakan jika kelak menghadapMu wahai yang Maha Mengampuni lagi Maha Menyayangi

Teori Lidi Versus Teori Mairo

Sewaktu SD, kita diajarkan tentang pentingnya persatuan. Bapak Ibu guru kita biasanya mencontohkan dengan lidi. Seorang murid disuruh kedepan untuk mematahkan sebatang lidi, dan murid lainnya disuruh untuk memperhatikan secara seksama. Prak, dengan mudah lidi itu patah. Murid sekelas pun tertegun. Bapak Ibu guru mengumpulkan beberapa batang lidi dan menyuruh lagi murid lainnya untuk mematahkan sekaligus, namun (seperti yang kita prediksi) ternyata lidi itu tidak bisa patah. Guru mulai menjelaskan. Bahwa sebatang lidi mudah dipatahkan dan banyak lidi tidak mudah dipatahkan. Itulah gambaran sederhana tentang pentingnya persatuan.

Teori Lidi ini seolah tak terbantahkan, hingga ikan teri (Teori Mairo) menggugurkannya. Lidi, dengan bersatu menjadi kuat, tidak demikian halnya dengan ikan mairo. Ikan teri, sekali gigit habis. Ia bersatu untuk cukup sekali dihabisi. Teori Lidi dan Teori Mairo keduanya menggunakan prinsip konsentrasi. Namun Teori Lidi menjelaskan konsentrasi yang berhasil sedang sebaliknya Teori Mairo justru menjelaskan tentang konsentrasi yang gagal.

Dalam sejarah perang, penumpukan kekuatan pada satu titik, pernah dipraktekkan Jerman Perang Dunia II. Tank dimasa itu tak lebih dari pengawal pasukan infanteri. Namun Heinz Guderian, seorang panglima Nazi Jerman mengusulkan agar tank menjadi satuan pasukan tersendiri. Terbukti diawal dan pertengahan Perang Dunia II, pasukan Tank Jerman tampil dominan terhadap pasukan sekutu yang menyebar tanknya. Kisah sang Jenderal Heinz Guderian cukup menjadi contoh Teori Lidi.

Di era tiga kerajaan di China kuno, Perdana Menteri Cao Cao bersiap menyerang negeri Wei yang bersekutu dengan Liu Bei. Liu Bei adalah seorang mayor desersi Cao Cao sehingga menjadi buronan kelas kakap. Meski demikian, Liu Bei mendapat simpati rakyatnya karena keberpihakannya pada rakyatnya. Pasukan gabungan Liu Bei dan Wei tidaklah cukup menandingi pasukan Cao Cao. Sementara Cao Cao tengah mempersiapkan serangan final ke jantung pertahanan Wei menggunakan angkatan lautnya. Ternyata keberuntungan tidak dipihak Cao Cao. Tiba-tiba arah angin berubah, sehingga dengan mudah pasukan gabungan Liu Bei dan Wei dapat membakar semua kapal-kapal Cao Cao yang saling terikat satu sama lain. Jumlah menjadi tak berguna, ia dibakar massal. Kisah ini dapat disaksikan di sekuel kedua Red Cliff. Kisah ini contoh sempurna tentang Teori Mairo.

Cuplikan film Red Cliff II
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui, cuma ingin melengkapi pelajaran dari guru waktu SD yang tidak tuntas tentang hubungan persatuan dan kekuatan sebuah kelompok/komunitas. Semoga bermanfaat.