Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Andi Makkasau, Patriot dari Suppa

Judul : Andi Makkasau Menakar Harga 40.000 Jiwa
Penulis : Sabriah Hasan
Penerbit : Pemkot Pare-Pare dan Penerbit Ombak, 2010
Halaman : xxi + 177 Halaman




Buku yang berjudul "Andi Makkasau, Menakar Harga 40.000 Jiwa" ini mengisahkan tentang kepatriotan Andi Makkasau, Datu Suppa Toa. Bersetting di era sebelum kemerdekaan, berlanjut pada revolusi mempertahankan kemerdekaan di daerah Ajatappareng secara umum.
Di bagian pertama, berkisah tentang latar belakang sejarah persentuhan dengan bangsa Eropa. Kemudian, pergolakan ditahun 1824 akibat perpindahan kekuasaan kolonial dari Inggris ke Belanda yang ditolak oleh penguasa lokal termasuk Suppa. Hingga politik pasifikasi tahun 1905 yang memaksa Raja-Raja se Sulawesi Selatan terpaksa menandatangani Korte Veklaring.

Latar belakang Andi Makkasau hingga diangkat menjadi Datu Suppa dibahas di bagian kedua. Pergerakan bawah tanah hingga terang terangan yang mendukung kemerdekaan Indonesia berujung pemecatan sebagai Datu Suppa ditahun 1938. Lepasnya tanggung jawab sebagai Datu Suppa, membuat Andi Makkasau lebih leluasa bergerak sebagai aktivis. Kemerdekaan Indonesia disikapi dengan pembentukan organisasi Penunjang Republik Indonesia (PRI).
Pasca Kemerdekaan dan Kedatangan tentara sekutu menjadi pembahasan berikutnya di bagian ketiga. Dimulai dengan Konfrensi Jongayya (15 Oktober 1945) disusul Konfrensi Pare-Pare (1 Desember 1945) yang dihadiri para aristokrat Sulawesi Selatan yang menolak kedatangan Belanda. Disusul dengan Konfrensi Malino yang diprakasai NICA (15-25 Juli 1945) yang berisi pembentukan NIT. Suasana makin memanas
Di bagian keempat, gejolak perlawanan semakin menggeliat. Sebagai realisasi Konfrensi Pare Pare, para pemuda mendaftarkan diri untuk dikirim ke Yogya mempertahankan kemerdekaan. Atas prakarsa Abdul Qahhar Muzakkar dan Andi Mattalatta setelah menghadap Jenderal Sudirman, maka dibentuklah TRI-Persiapan Sulawesi (hal.88). Selain itu, mulai bermunculan laskar laskar rakyat, salah satunya yang dibentuk Andi Makkasau. Dengan segala keterbatasan, Andi Makkasau bersama laskarnya bertempur dan bergerilya.

Kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda terpaksa menurunkan korps pasukan elitnya. Bagian kelima buku ini membahas tentang kedatangan pasukan elit Belanda pimpinan Kapten Raymond Westerling. Ia melakukan operasi pembersihan dengan cara cara biadab. Bahkan penuturan beberapa saksi yang pernah melihatnya, Westerling lebih mirip seorang psikopat yang tidak punya nurani dan menembak tanpa alasan ketimbang seorang pasukan elit yang terhormat. Ia membunuhi banyak orang orang yang tak bersalah. Oleh Letnan Jenderal Spoor dan Mayor Jenderal Buurman van Breeden, Westerling telah diberi wewenang untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil kalngkah langkah yang dipandang perlu (hal.100).

Melihat tindakan Westerling tersebut, Andi Makkasau memilih untuk tidak meninggalkan rakyatnya. Bahkan dibujuk beberapa kerabat dan pemuda pejuang untuk meninggalkan Pare Pare dan melanjutkan gerilya. Akan tetapi beliau tetap bersikeras untuk tidak pergi. Di bagian keenam, mengisahkan tentang ditangkapnya Andi Makkasau oleh tentara Belanda. Beliau bertiga dengan Kapten Tahir Dg. Tompo dan Andi Mangkau dalam keadaan terikat. Disiksa berjam jam oleh pasukan elit Belanda, ketiga patriot ini pantang menyerah. Permintaan terakhir beliau adalah bertemu istri dan anak yang baru berusia 9 bulan untuk berpamitan. Harga sebuah prinsip dan keyakinan yang begitu mahal. Yaitu berpisah dengan keluarga tercinta. Terakhir beliau ditenggelamkan di Marabombang dengan keadaan tangan terikat dan diberi batu pemberat. Innalillahi wa Innailahi rajiun. Telah gugur pejuang kusuma bangsa demi mempertahankan kemerdekaan. Kolonel TRIP Andi Makkasau sebelumnya pernah berpesan dalam bahasa Bugis "Mabbaja lalengma iyya', iko maneppa molai laleng barue" (saya hanya merintis jalan, kalian semua lah yang akan melewati jalan baru tersebut).

Baca pula resensi yang lain :





Kebangkitan Ekonomi Komunitas Wajo di Makassar

Setelah Perang Makassar usai (1669), Wajo menolak menyerah. Setelah pengepungan Tosora, ibukota Wajo, setelah 3 bulan, Tosora pun runtuh (Desember 1670). Kekalahan perang menyebabkan banyak orang Wajo kelaparan atau mati kelaparan. Hal ini mendorong migrasi besar-besaran. Mulai yang terdekat, yaitu Enrekang, Luwu, Mandar, Kaili, atau diseberang lautan macam Bima, Sumbawa, Paser, Kutai, Banjarmasin hingga Selangor di semenanjung Malaysia.

Setelah perdamaian tercipta, migran Wajo mulai menempatkan menempatkan diri di Makassar. Afiliasi politik dengan Gowa di era Perang Makassar ditambahkan posisi penguasa Sulawesi Selatan saat itu, La Patau Matanna Tikka sebagai Ranreng Tuwa di Wajo, menguatkan komunitas Wajo di Makassar. 

Sementara itu Arung Matowa Wajo ke-30, La Salewangeng To Tenrirua (1715-1736), memfokuskan kebijakan selama pemerintahannya pada penguatan ekonomi di Wajo. Selain mendirikan koperasi yang mendukung munculnya para pedagang, beliau juga menjaga jejaring migran Wajo diluar Wajo dengan pemerintah Wajo. Kebijakan itu terbukti mampu "menstabilkan" kas negara yang terkuras pasca Perang Makassar.

Kebangkitan ekonomi komunitas Wajo di Makassar, bukanlah terjadi seketika. Tetapi melewati proses yang konsisten selama berpuluh-puluh tahun. Pemimpin komunitas disebut Matoa, mengikuti pada jabatan komunitas pada struktur kerajaan di masa lalu. Matoa secara harfiah berarti orang yang dituakan. Berikut ini daftar Matoa Wajo di Makassar 

1. To Pabbuki' (1671 - 1676/1681), dari Bettempola
Di masanya, komunitas Wajo baru memulai aktifitas perdagangan. 

2. To Pakkalo (1676/1681 - 1697/1702), dari Menge (Tuwa)
Aktifitas perdagangan orang Wajo di Makassar mulai meningkat dimasanya. Bahkan telah ada orang-orang kaya yang muncul dari perdagangan yang memiliki perahu padewakkang. Hubungan dagang dari Tosora berjalan lancar. Komuditas utama adalah kain. 
Dimasanya juga dibangun langgar untuk beribadah dan aturan pedagang Wajo serta kewajibannya pada Matoa.



3. La Patello Amannagappa (1697 - 1723), dari Pallekoreng (Talotenreng)
Kewajiban komunitas Wajo sebelumnya ditambahkan menjadi tujuh poin. Jika terjadi pelanggaran hingga tiga kali maka dihilangkan haknya untuk berdagang. Amanagappa menyempurnakan aturan yang sebelumnya dibangun To Pakkalo.
Amanagappa dipanggil oleh Arumpone (yang juga Ranreng Tuwa) menyampaikan keinginan Gubernur. Yaitu menempatkan seseorang yang dapat dipercaya untuk  mengepalai seluruh komunitas pedagang di Makassar. Setelahnya, Amanagappa membuat persepakatan dengan Kapten Cina (I Wakko kepala komunitas Tionghoa) dan Ance Cuka (kepala komunitas Melayu). 
Karya Amanagappa adalah Ade' Allopi-loping na pabbicaranna pabbalu'e yang kurang lebih berarti hukum pelayaran dan perdagangan.
La Patello AmannaGappa (dilukis oleh Mike Turusy) 

4. Amanna Moming (1723 - 1729), dari Menge (Tuwa)
Amanna Moming melanjutkan aturan yang diterapkan oleh Amanagappa
5. To Tangnga (1730 - 1732), dari Sengkang
Seperti pendahulunya, Amannamoming, To Tangga melanjutkan aturan Amanagappa. Ia juga menghukum dengan tegas pelanggar aturan tersebut.

6. To Dawe' (1732 - 1735)
Di masanya, La Maddukkelleng Arung Sengkang tiba dari Paser dan perang meletus. Ia menuju Tosora dan melibatkan diri dalam peperangan. Ia kemudian gugur diantara Arateng dan Belawa. Sepeninggal To Dawe, komunitas Wajo dipimpin pelaksana tugas Matoa yaitu Daeng Sitaba. 
- Daeng Sitaba (1735 - 1745) Pejabat Matoa

7. To Patte' (1745-1753)
Arumpone Batari Toja memanggil Matoa To Patte untuk menegur agar orang Wajo tetap memenuhi kewajiban pajak seperti biasanya. To Patte' pun bersumpah untuk memenuhi hal tersebut.

8. La Nongko (1757-1572), dari Menge limpo Tuwa
Orang orang Wajo yang tersebar dibeberapa kampung di Makassar, dipanggil dan dikonsentrasikan di kampung Wajo. Hasilnya adalah berkembangnya pasar. Ia juga melanjutkan peraturan yang telah diterapkan sebelumnya,

9. La Made Penna Pada (1772 - ), dari Patila
Menjabat sebagai Matoa duabelas hari setelah La Nongko dimakamkan. Ia berinisiatif memperbaiki mesjid. Setelah dana dan material terkumpul, mesjid direnovasi selama 48 hari. 
Sebelumnya, Arumpone memerintahkan membangun istana di kampung yang dinamai Tessililu, kelak disebut Malimongeng. Arumpone juga memerintahkan agar ditanam padi. 5 Juni 1775, Arumpone wafat dan bergelar anumerta MatinroE ri Malimongeng. Jenazah Arumpone diusung oleh orang Pammana dan Timurung untuk dimakamkan di Bontoala. Sebanyak 8 payung mengiringi jenazah dan santri santri dari Wajo selama 10 hari bertahlil di istana.

10. Penna Esa
Selama menjabat sebagai Matoa, ia sakit hingga meletakkan jabatan

11. To Kenynyang
Di masanya, Belawa diserang. Wajo terpecah, sebagian melawan sebagian tetap bertahan. Karena tidak mampu menyatukan komunitas Wajo, ia mengundurkan diri.

12. La Kaseng 
Bone menyerang Sidenreng di masa La Kaseng menjadi Matoa. Ia bersama orang Wajo ditugaskan menjaga Makassar. Hartanya disita oleh orang orang yang berada dibawah kewenangannya, sehingga menyebabkan Uwa'na Wewang tidak senang. Terjadi pertikaian yang menjadi sebab untuknya mengundurkan diri sebagai Matoa.

13. La Koda (1811 - ?)
Cucu Penna Esa, La Koda berdarah Wajo-Bone. Saat pertama diminta menjadi Matoa Wajo, ia menolak. Hingga Arumpone yang memintanya menjadi Matoa dan akhirnya menerima. 
Pernah Arumpone hendak meminjam uang pada pedagang Wajo, namun ditolak. Arumpone marah dan melarang orang Wajo berdagang di Makassar. Arumpone kemudian menyuruh membangun dinding Istana, empang, dan jalanan. 
Di masanya, terjadi perselisihan antara Gubernur Inggris, Commander Phillips dengan Arumpone yang berakhir dengan kekalahan Arumpone. Matoa Wajo diampuni dan dijadikan bagian dari EIC (British East India Company). Terjadi perubahan dari Matoa menjadi Kapten. 

14. La Useng / Husen La Wewang Daeng Mattone


(disarikan dari "The Wajorese Merchants in Makassar" oleh J.Noorduyn)

Kronologi Terbentuknya Koalisi TellumpoccoE berdasar Kroniek Van Wadjo (Bagian 3)

Pengantar


Pada bagian sebelumnya (kedua), atas permintaan Gowa, Wajo menyerang Batulappa dan Bulo Bulo. Gowa kemudian mengeratkan perjanjian Topaceddo II dengan menaikkan status Wajo sebagai sanak. Gowa juga mengembalikan bekas wilayah Wajo yang direbut Gowa yaitu Baringeng dan Mallusesalo. 
Dinamika Politik 1551 hingga terbentuknya TellumpoccoE

Setahun setelah perang Batulappa dan Bulo Bulo (1551), terjadi perselisihan antara Wajo dan Pammana. Tiga bulan berselisih akhirnya meletus perang yang dimenangkan Wajo. Tiga tahun kemudian (sekitar 1554) Timurung dilepas oleh Bone. Wajo menyerang Timurung. Tua dan Bettempola dipukul mundur, bahkan Pilla To Sangkawana hampir gugur apabila Arung Gilireng tidak mengorbankan dirinya. Sejak itu Gilireng mendapat posisi terhormat di Wajo. Sementara itu, Patola yang menyerang Timurung dari arah timur berhasil menembus pertahanan Timurung.

Terjadi perselisihan antara Wajo dan Lamuru tentang Citta tiga tahun setelah perang Timurung (sekitar 1557). Selama tiga bulan saling berkirim utusan namun tak tercapai kata sepakat. Akhirnya perang meletus. Wajo menyerang Lamuru, namun dipukul mundur berkat bantuan Gowa pada Lamuru. Arumpone mengambil inisiatif dengan mengirim utusan yang membawa pesan agar Gowa tidak mencampuri perang Wajo dan Lamuru. Tiga hari kemudian, Gowa mengirim pesan ke Arumpone agar membiarkan keterlibatan Gowa terhadap perang Wajo dan Lamuru. Akhirnya perang berakhir dengan kekalahan di pihak Wajo.

cek :

Tiga tahun setelah perang Wajo dan Lamuru (sekitar 1560), Gowa bersama sekutunya (Luwu, Soppeng dan Sidenreng) bersiap menyerang Bone. Wajo sebagai pihak kalah perang dengan Gowa pada perang sebelumnya berkewajiban membantu Gowa. Namun secara diam diam Arung Matowa mengirimkan utusannya ke Arumpone tentang rencana penyerangan.

Dijelaskan pada Arumpone bahwa Gowa bersama Luwu dan Soppeng akan menyerang ibukota Watampone, sedang Wajo dan Sidenreng ditugaskan menyerang Palakka. Pasukan Wajo mengenakan pakaian hitam dan tidak menyerang Palakka. Sehingga memberi kesempatan pada pasukan Bone untuk berkonsentrasi menghadapi pasukan Gowa, Luwu dan Soppeng. Tanpa pertempuran berarti, Wajo bersama Sidenreng buru buru mengundurkan diri dari pertempuran agar memberi kesempatan pada pasukan Bone. Sementara pasukan Bone yang terkonsentrasi memukul mundur pasukan gabungan Gowa, Luwu dan Soppeng hingga ke Sailong. Pasukan Gabungan berhenti mundur sebab melihat bendera pasukan Wajo disekitar Sailong. Muncul kecurigaan Karaeng Gowa terhadap sikap setengah hati Wajo menyerang Bone. 

Gowa merapat di Cenrana tiga tahun kemudian (sekitar 1563) untuk menyerang Bone. Gowa melibatkan sekutunya termasuk Wajo dalam penyerangan ini. Setelah berperang selama tiga bulan, Bone mulai kewalahan. Palakka menjadi lawan. Karaeng Gowa membangun benteng pertahanan di Pappolo. Saat itulah Karaeng Tunipallangga sakit, dan tiga hari setelah tiba di Gowa beliau meninggal. Beliau digantikan oleh Karaeng ri CempaE sebagai Karaeng Gowa dan melanjutkan peperangan.
Perang 1563 yang menjadi salah satu penyebab terbentuknya persekutuan TELLUMPOCCOE

Dimalam hari, Wajo mengirim utusannya ke Bone dan diterima oleh Kajao Laliddong. Utusan Wajo menjelaskan bahwa hendaknya Bone tidak menyiapkan pasukan menghadapi Wajo sehingga pasukan Bone bisa berkonsentrasi menghadapi Gowa. Utusan Wajo berjanji, pasukan Wajo akan segera mundur tanpa bertemu pasukan Bone.

Keesokan harinya, pasukan Gowa dan sekutu merebut sebagian Bukaka. Saat itulah pasukan Wajo mundur sesuai komunikasi rahasia Arung Matoa dengan Kajao Laliddong. Di saat itulah pasukan Gowa dipukul mundur oleh pasukan Bone. Bahkan Karaeng Gowa ditebas. Perang akhirnya berakhir dengan Perjanjian damai antara Bone dan Gowa dengan menyandingkan Sudangnge dan La Teariduni. Lima malam setelah perdamaian, Daeng Patobo diangkat menjadi Karaeng Gowa. Selama menjabat Karaeng Gowa, tidak ada perang besar.

Tak lama ada utusan Gowa ke Wajo meminta agar orang Wajo ke Barru menurunkan tiang ke laut (untuk diangkut ke Gowa). Arung Matoa menjawab, bahwa bahkan jika tiang itu di Tamalate ia bersedia apalagi bila di Barru. Setelah utusan Gowa pulang, Wajo mengirim utusan ke Arumpone menjelaskan bahwa Wajo dipanggil ke Barru. Arumpone menjawab ke utusan Wajo bahwa ada baiknya bila Bone menemani Wajo ke Barru, dan lebih baik lagi bila kita mengajak kerabat kita di Soppeng. 
Maka Bone dan Soppeng pun menemani Wajo ke Barru. Setibanya di Barru, Karaeng Gowa Daeng Patobo bertanya pada Arumpone, mengapa Bone dan Soppeng ikut sedangkan hanya Wajo yang dipanggil. Arumpone menjawab, bahwa Wajo takut melewati perjalanan sehingga Bone dan Soppeng menemani dan membawa peralatan perang.

Setelah itu, pergilah orang Wajo, orang Bone dan orang Soppeng mengikat tiang. Bergantian Arung Matowa La Mungkace To Uddamang dan PollipuE. Setelah selesai mereka kembali dan bertemu di Amali. Arumpone bersama PollipuE dan Arung Matowa. Arumpone mengusulkan agar tujuh malam kedepan, mereka bertiga menyerang Cenrana, sebab masih wilayah Karaeng. Ketiganya setuju, dan kembali ke negeri masing masing mempersiapkan pasukan.

cek juga :

Di hari yang ditentukan, pasukan koalisi pertama Bone, Wajo dan Soppeng menyerang Cenrana. Inilah perang pertama sepanjang sejarah bahkan sebelum koalisi TellumpoccoE terbentuk. Perang perang sebelumnya, tidak berada pada sisi yang bersamaan meski telah terbangun kesepahaman.

Setelah bertempur selama sehari, Cenrana direbut pasukan gabungan. Hampir saja Datu Sanggaria gugur oleh pasukan Bone, bila Arung Matowa tidak segera mengingatkan Arumpone. Bahwa bila Datu Sanggaria gugur dalam pertempuran, maka akan terwariskan dendam ke anak cucu. Maka Datu Sanggaria pun dilepas oleh pasukan Bone. Seusai bertempur, duduk bertiga Arumpone, PollipuE dan Arung Matowa. Arumpone mengusulkan agar lima malam kedepan ketiganya bertemu di Timurung untuk mempersaudarakan ketiga negeri. PollipuE dan Arung Matowa pun setuju.

Di hari yang ditentukan, ketiganya bertemu di Timurung. Arumpone membuka pembicaraan. "Ada baiknya kita persaudarakan negeri kita, laksana saudara kandung seayah seibu", kata Arumpone. Arung Matowa menjawab, : "Bagaimana mungkin kita persaudarakan negeri kita, sedang Wajo menjadi abdi/bawahan Gowa (pasca perang dengan Lamuru) sedang Bone dan Gowa bersanak ?". Arumpone menjawab, : "Biarlah Bone melawan Gowa bila Gowa masih ingin memperabdi Wajo, bahkan kalau perlu kita bertiga melawan Gowa".

PollipuE angkat bicara, : "Baik pernyataan kalian berdua. Namun yang saya minta menjadikan Soppeng sebagai anak dari Wajo dan Bone, sebab hanya yang sederajat yang bersaudara". Arumpone kemudian meminta pendapat Arung Matowa tentang usulan Soppeng. Arung Matowa menjawab, : "Bila Soppeng menjadi 'anak' maka akan merusak kita semua (harusnya bertiga sederajat)". Arumpone mengiyakan Arung Matowa. Maka Arumpone menyerahkan Goagoa bersama vassalnya pada Soppeng. Arung Matowa angkat bicara dan menyerahkan Baringeng dengan vassalnya. Soppeng pun mengangguk tanda setuju.

Arumpone berkata, : "Ketiga negeri kita adalah bersaudara kandung, seayah seibu. Bone saudara tua, Wajo saudara tengah, dan Soppeng saudara bungsu dan ketiganya disebut TELLUMPOCCOE. Bersepakatlah ketiganya antara dan mengambil telur, Arumpone MatinroE ri Gucinna, Arung Matowa MatinroE ri Kananna dan PollipuE MatinroE ri Tanana. Dilanjutkan dengan pengucapan ikrar TELLUMPOCCOE dan penanaman batu secara simbolik.


Kronologi Terbentuknya Koalisi TellumpoccoE Berdasar Kroniek Van Wadjo (Bagian 2)

PENGANTAR
Di bagian pertama telah disebutkan bahwa wilayah Wajo bagian utara sekitar tahun 1534 adalah hingga di Keera dan Utting. Hal ini dikarenakan Datu Luwu mengambil wilayah Siwa dan memasukkan dalam wilayahnya. Sementara Bone merebut Baringeng sebagai bentuk balasan atas dilaporkannya utusan rahasia Bone ke Wajo pada Karaeng Tunipallangga.
Sementara Datu Luwu Sanggaria bersama Karaeng Tunipallangga setelah menyerang Wajo, keduanya ke Cenrana dan kembali ke negeri masing masing.
- Karaeng Tunipallangga. Nama beliau adalah I Manriwagau Karaeng Tunipallangga Raja Gowa
- To Maddualeng. Nama beliau adalah La Paturusi To Maddualeng. Putra La Tiringeng to Taba. Menjabat sebagai Arung Bettempola
- Keera. Adalah sebuah kerajaan kecil disebelah utara Wajo dan sebelah selatan Siwa. Berbatasan langsung dengan Sidenreng/Maiwa di barat dan teluk Bone di Timur
- Akkotengeng. Adalah kerajaan kecil di sebelah utara Wajo. Berbatasan langsung dengan Keera.
- Pammana. Adalah kerajaan kecil disebelah selatan Wajo. Berbatasan langsung dengan Bone dan Soppeng
- Timurung. Adalah kerajaan kecil disebelah selatan Wajo. Berbatasan langsung dengan Pammana dan Soppeng.
- Utting. Kerajaan kecil disebelah utara Sidenreng
- Wajo riaja. Wajo barat. Terdiri dari tiga kerajaan kecil yang diketuai oleh Palippu. Menggabungkan diri ke Wajo dan menyebut dirinya Wajo riaja.
- Aru'. Secara harfiah berarti amuk. Namun pada konteks ini adalah ikrar setia pada pimpinan yang dilakukan sebelum perang. Aru' sering juga disebut osong.

DINAMIKA POLITIK 1535-1550 
Setelah menjabat selama kurang lebih 11 tahun sebagai Arung Matoa, La Tenripakado To Nampe wafat. Beliau digantikan oleh La Temmasonge. Hanya 3 tahun menjabat, La Temmasonge mengundurkan diri sebagai Arung Matoa. Selanjutnya digantikan oleh La Warani To Temmagiang (sekitar 1538).

Di tahun pertama (sekitar 1539) terjadi konflik antara Utting dan Sidenreng. Perang berkepanjangan hingga setahun (sekitar 1540), namun keduanya berimbang. Sidenreng kemudian meminta Karaeng Tunipallangga terlibat dan membela Sidenreng. Utting meminta bantuan pada Wajo. Setelah 10 hari berperang, pasukan gabungan Wajo dan Utting terdesak. Bahkan pasukan Wajo dipukul mundur hingga ke Sekkanasu. Untuk menghindari kekalahan yang lebih parah, maka To Maddualeng menyatakan kekalahan Wajo terhadap Gowa.

Sebagai pemenang perang, posisi Gowa sebagai "puang". Sementara sebagai pihak kalah perang, Wajo sebagai "ata". Wajo diwajibkan mematuhi perintah Gowa. To Maddualeng menjawab, sepanjang kemampuan dan kebaikan Wajo, maka Wajo bersedia. Karaeng Tunipallangga mengatakan, apakah ada "tuan" yang ingin mencelakakan hambanya.
Tiga hari kemudian, Pammana dan Timurung datang menghadap Karaeng Tunipallangga dan menggabungkan wilayahnya. Sebulan kemudian, menyusul Keera dan Akkotengeng menggabungkan wilayahnya ke Gowa.

Dua tahun kemudian (sekitar 1542) datanglah Karaeng Tunipallangga menyuruh orang Wajo untuk menebang kayu di Sumangki untuk dijadikan tiang. Selama 5 bulan, orang Wajo di Sumangki kemudian pulang. Setahun kemudian (1543) terjadi konflik internal antara orang Wajo dan Wajo riaja. Maka Arung Matoa mengirimkan persembahan pada Arung Palippu (penguasa Wajo riaja) agar mengingat perjanjian damai mereka dengan Wajo. Namun, ditampik. Perang saudara terus berlangsung hingga tiga tahun kemudian (1546).

Setahun perang saudara berlangsung (1544) Arung Matoa La Warani To Temmagiang wafat. Menurut Lontara Sukkuna Wajo, beliau digantikan oleh La Malagenni. Namun menurut Kroniek Van Wadjo, langsung digantikan oleh La Mappapuli to Appamadeng MassaolocciE dalam situasi perang. 
Saat menjadi Arung Matoa (sekitar tahun 1544), MassaolocciE kembali mengingatkan Arung Palippu tentang perjanjian Wajo dan Wajo riaja. Namun tetap ditolak.
Wajo terbelah. Orang Wajo dilarang ke danau (sebelah barat) oleh orang Wajo riaja. Namun perang saudara itu berakhir dengan kekalahan Wajo riaja. Statusnya diturunkan. Saat itulah La Mungkace To Uddamang (kelak menjadi Arung Matoa) memperlihatkan kemampuannya.

Tiga tahun menjabat Arung Matoa (sekitar 1550), datanglah utusan Gowa meminta agar Wajo memerangi Batulappa pada awal kemunculan bulan. Setelah tiga hari utusan Gowa menginap, pulanglah ke Gowa. Sementara Wajo bersama palilinya bersiap menyerang ke Batulappa.

Setelah berperang selama satu bulan, akhirnya Batulappa menyerah. Lalu orang Wajo kembali. Tak lama datanglah utusan Gowa mengatakan bahwa bila Wajo tak mampu mengalahkan Batulappa, hendaknya menyerang Bulo bulo. Namun Arung Matoa menjawab, bahwa Batulappa telah dikalahkan. To Maddualeng menyarankan Arung Matoa, meski telah memenuhi permintaan Karaeng Tunipallangga agar menaklukkan Batulappa, hendaknya tetap ke Bulo bulo. Arung Matoa mengiyakan namun meminta waktu 7 hari agar pasukan beristirahat. Kemudian mempersilakan utusan Gowa agar lebih dulu ke Bulo bulo.

Setelah sepekan, orang Wajo berangkat ke Bulo bulo. Selama tiga hari perjalanan akhirnya sampai. Didapatilah Arumpone dan Karaeng Gowa duduk. Lalu bertanya Karaeng Gowa, tentang permintaannya pada Wajo agar mengalahkan Batulappa. Orang Wajo mengiyakan. Karaeng Gowa meminta lagi agar Wajo memerangi Bulo Bulo. Bila Wajo menang, derajat Wajo dari palili Gowa akan dinaikkan menjadi "sanak" Gowa. Karaeng Gowa menyuruh bawahannya agar menyerahkan gelang pada orang Wajo. Namun hanya La Mungkace dan BangkaibottoE yang mengambil. Lalu keduanya pun melakukan aru.

Setelah makan malam, La Mungkace dan Bangkaibottoe bersama masing masing 20 orang orangnya masuk ke Bulo bulo. Perang malam berlangsung hingga pagi hari. Bulo bulo akhirnya menyerah. Atas keberhasilan tersebut, Karaeng Gowa mengembalikan Baringeng dan MallusesaloE pada Wajo serta menjadikan Wajo sebagai sanak. Tiga hari kemudian, mereka semua kembali ke negeri masing masing.

Baca juga :
Kronologi terbentuknya koalisi TellumpoccoE berdasar Kroniek Van Wadjo (Bagian pertama)
Kronologi terbentuknya koalisi TellumpoccoE berdasar Kroniek Van Wadjo (Bagian ketiga)
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian I)
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian II)
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian III)

Kronologi Terbentuknya Koalisi TellumpoccoE berdasar Kroniek Van Wadjo (bagian I)

Pengantar
TellumpoccoE, adalah konfederasi kerajaan Bugis dimasa lalu yang melibatkan Bone, Wajo dan Soppeng. Terbentuknya konfederasi ini tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi. Bone sebagai kerajaan terkuat dan terluas, diangkat sebagai saudara tua. Menyusul Wajo sebagai saudara tengah dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Konfederasi TellumpoccoE menyebut ketiga kerajaan itu bersaudara. 

Di masa lalu, hubungan antara kerajaan satu dengan yang lain diibaratkan sebagai berikut :
1. Ibu dan Anak. Jika sebuah kerajaan bergabung pada kerajaan yang lebih besar dan membutuhkan petunjuk dalam pengelolaan negara dari kerajaan induk, maka statusnya adalah anak. Sedang kerajaan Induk statusnya sebagai Ibu. Biasanya kerajaan "anak" adalah kerajaan taklukan yang diperlakukan khusus dan mendapat perlindungan dari kerajaan Induk.
2. Ata. Jika sebuah kerajaan ditaklukkan oleh kerajaan besar. Posisinya sebagai "ata" dalam artian bahwa kerajaan taklukan ini harus mengikuti kebijakan dari pemerintah kerajaan pusat. Baik itu perintah untuk ikut perang, upeti dan sebagainya. Biasanya disebut kerajaan Palili.
3. Saudara. Jika sebuah atau beberapa kerajaan, menggabungkan dirinya secara sukarela. Bisa berbentuk federasi atau konfederasi.

TellumpoccoE adalah sebuah konfederasi, dimana ketiga kerajaan ini berstatus sama dan berdaulat. Ketiganya saling menghormati hukum yang berlaku diwilayah masing masing. Namun tetap memberi ruang untuk saling memberi masukan. Yang paling penting adalah adanya kewajiban dari ketiganya untuk saling membantu pertahanan dari serangan luar.

Masa kejayaan Wajo di pemerintahan Arung Matoa IV La Tadampare puang rimaggalatung. Di utara, wilayah Wajo hingga ke Larompong, Massenrempulu. Sementara di selatan, wilayah Wajo hingga Mampu, Soppeng dan Lamuru. Larompong diberikan oleh Datu Luwu Dewaraja atas partisipasi Wajo semasa perang Luwu - Sidenreng. Sementara Mampu, Soppeng dan Lamuru menggabung dengan sukarela.

Dinamika Politik 1525-1534
Di masa Arung Matoa Wajo yang kedua, La Obbi Settiriware, Wajo mulai berkembang dan bersentuhan dengan kerajaan tua dan besar yaitu Luwu. Melalui perjanjian Topaceddo I, Wajo menjadi "anak" Luwu. Sebagai kerajaan yang tergolong baru dan dikelilingi oleh kerajaan palili Luwu, pilihan Wajo untuk menjadi "anak" Luwu sangat realistis. Hal ini menyiratkan adanya perlindungan Luwu sebagai kerajaan induk kepada kerajaan Wajo sebagai anak

Setahun setelah menjabat Arung Matoa (sekitar tahun 1525), La Tenripakado To Nampe menerima utusan dari Luwu. Utusan tersebut meminta agar Wajo "Mabbarata", sebagai tanda persahabatan dan posisi Wajo sebagai anak. Mabbarata yaitu pernyataan dan sikap berduka atas meninggalnya Datu Luwu Dewaraja. Namun To Maddualeng, Arung Betteng menolak dengan alasan bahwa perjanjian Allamungpatue ri Topaceddo bukan membahas tentang "Mabbarata".


Perang antar Tallo dan Gowa, disebut terjadi dimasa tahun kedua Daeng Leba menjabat sebagai Makkedang Tanae ri Luwu. Sebelumnya disebut bahwa Daeng Leba menjabat sebagai Makkedang Tana mengikuti Datu Luwu Sanggaria menggantikan kakandanya yang meninggal (Dewaraja)

Ditahun kedua masa jabatan Arung Matoa La Tenripakado To Nampe (sekitar tahun 1526), Karaeng Tunipallangga menyerang Cenrana bersama orang Bone. Setelah sebulan berperang, Cenrana akhirnya kalah dan Datu Luwu menyerah. Saat itu Cenrana masih wilayah/palili dari kerajaan Luwu. Wajo sebagai sekutu Luwu berposisi netral. Lima bulan kemudian, Orang Makassar bersama Bone menyerang Soppeng. Untuk kedua kalinya Wajo berposisi netral. Setelah tiga bulan berperang, Soppeng akhirnya menyerah. Wilayah terluar Wajo saat itu adalah Wage, Pammana dan Timurung. 

Setahun setelah ditaklukkannya Cenrana oleh Makassar dan Bone (sekitar 1527), datang utusan Luwu mempertanyakan sikap Wajo yang netral saat Cenrana diserang. To Maddualeng beralasan bahwa tidak ada pemberitahuan atau permintaan pasukan dari Luwu sehingga Wajo diam.

Pada tahun yang sama, Datu Luwu Sanggaria menyerang Wajo sebagai hukuman atas sikap netral Wajo waktu perang Cenrana. Wajo menyerah dan To Maddualeng menemui Datu Luwu di Siwa.  Perjanjian Topaceddo kembali dipertegas bahwa posisi Luwu sebagai "ibu" dan Wajo sebagai "anak". Namun Datu Luwu Sanggaria mengambil kembali Larompong dari Wajo dengan alasan bahwa Cenrana tak bersama Wajo lagi.

Setahun kemudian (sekitar 1528), Datu Luwu Sanggaria diturunkan dari tahtanya dan pergi ke Wajo untuk bermukim. Selama tiga tahun di Wajo, Sanggaria kembali ke Luwu. Sementara itu dua tahun pasca perang Cenrana, Arumpone La Uliyo Bote'e meninggal dan digantikan putranya, La Tenrirawe Bongkangnge. Sebulan setelah menjadi Arumpone, Mampu dikepung dan diserang. Setelah dua tahun pengepungan Bone pada Mampu, akhirnya Mampu menyerah dan menjadi palili Bone (sekitar 1529).

Lima tahun setelah kalahnya Cenrana (sekitar 1532), Makassar dan Bone menyerang Luwu. Setelah setahun berperang (1533) akhirnya Datu Luwu Sanggaria menyerah. Wajo untuk sekian kalinya memilih untuk netral. Setelah perang, Karaeng Tunipallangga singgah di Cenrana. Ia mengirim utusan pada Wajo untuk mempertanyakan sikap politiknya yang sebelumnya berafiliasi ke Luwu yang telah dikalahkan Makassar. Namun To Maddualeng menjawab bahwa Wajo tetap netral dan tak mempertuan siapapun. Tak mengomentari kemenangan siapapun dan kekalahan siapapun.

Dua bulan setelah jatuhnya Ware, datang utusan dari Luwu ke Wajo mempertanyakan sikap Wajo yang tak membantu Luwu. To Maddualeng menjawab dengan perandaian bahwa ayam yang bertengger akan menjadi dahan yang kuat. Dahan yang patah akan ditinggalkan ayam tersebut dan mencari dahan yang lebih kuat.

Setahun setelah kalahnya Luwu (1534), datanglah Karaeng Tunipallangga bersama pasukannya di Cenrana. Kedatangan Karaeng Tunipallangga bersama pasukannya atas permintaan Luwu agar menyerang Wajo. Bersama, Bone, Luwu dan Soppeng, Makassar bersiap menyerang. Wajo sejauh itu belum menentukan sikap politiknya. Dari Cenrana Makassar dan Luwu bergerak menuju Topaceddo. Setelah tiga malam, diam-diam Bone mengirim utusan ke Wajo. Bone hendak mempertanyakan mengapa Wajo diam, padahal sudah tiga malam Karaeng Tunipallangga menunggu utusan Wajo.

To Maddualeng menjawab utusan Bone, bahwa Wajo bersiap melawan Luwu dan Makassar, nanti pemenang perang yang menentukan posisi Wajo. Utusan Bone kembali menghadap Arumpone dan menyampaikan pesan To Maddualeng. Utusan Bone kembali menghadap To Maddualeng menyampaikan pesan Arumpone. Arumpone menyarankan agar Wajo menghindari perang melawan koalisi Luwu dan Makassar. Arumpone juga menyarankan agar Wajo mempersembahkan kerbau belang kepada Luwu. Saran Arumpone diterima oleh To Maddualeng

Esoknya, To Maddualeng datang menghadap Datu Luwu membawa kerbau belang dan tiga gelang. To Maddualeng menyerahkan kerbau belang dan tiga gelang kepada Datu Luwu dan meminta agar tidak menyerang Wajo dan pulang ke Luwu. Namun Datu Luwu marah. Sebab kerbau belang adalah pantangan bagi rakyat Luwu terlebih rajanya dan menganggap persembahan tersebut adalah penghinaan. Datu Luwu menolak keras persembahan orang Wajo. To Maddualeng kembali.

Menjelang malam, datang utusan Bone menghadap To Maddualeng. Utusan Bone menjelaskan tentang posisi pasukan. Bahwa pasukan Makassar dan Luwu menyatukan dirinya menjadi satu grup pasukan yang menyerang dari Barat. Sementara pasukan Bone, akan menyerang Wajo dari timur bersama pasukan Bugis lainnya yaitu Soppeng.



Utusan Bone juga menyampaikan pesan Arumpone bahwa hendaknya Wajo hanya menyiapkan satu pasukan untuk menghadapi pasukan Bone dari timur. Agar terkesan bahwa pasukan Bugis yang dipimpin Bone memang akan menyerang Wajo. Dan Wajo hendaknya mengkonsentrasikan pasukannya menyambut pasukan koalisi Luwu dan Makassar. Bila Wajo mampu mengalahkan pasukan koalisi hendaknya pasukan Wajo terus mengejar pasukan koalisi hingga Payung Arumpone melintas. To Maddualeng menyampaikan pada utusan Bone bahwa Wajo akan melaksanakan saran strategi perang Arumpone.

Dini hari, pasukan Bone menduduki Cinnotabi dan membakar. Api yang menyala terlihat oleh pasukan Luwu dan Makassar. Melihat kondisi yang nampak tidak menguntungkan Wajo, pasukan koalisi Luwu dan Makassar buru buru menyiapkan pasukan. Pasukan koalisi tidak menyadari jebakan yang dipersiapkan Wajo atas usul Bone tersebut. Pasukan Bone pura pura mundur, sehingga punya alasan seolah olah kalah dari Wajo. Pasukan Wajo yang terkonsentrasi dan sudah siap menyerang balik pasukan koalisi Luwu dan Makassar yang belum siap tersebut. 

Pasukan koalisi Luwu dan Makassar akhirnya terdesak dan dipukul mundur oleh pasukan Wajo. Sesuai saran Arumpone, saat itulah Payung Arumpone melintas dan pasukan Wajo menghentikan pengejarannya. Hampir saja Datu Luwu dan Karaeng Gowa ditebas andai payung Bone di timur tidak segera melintas ke front barat. Lebih seribu korban dari pihak Luwu demikian pula dari pihak Makassar atas serangan yang gagal tersebut.

Pertempuran berakhir saat senja. Lalu datanglah utusan Arumpone menghadap ke To Maddualeng. Arumpone mengusulkan agar Wajo menahan diri atas kemenangan strategis tersebut. Wajo juga disarankan agar menghormati Luwu dan Makassar dengan cara menyerahkan persembahan pada Datu Luwu dan Karaeng Gowa. Dengan menyerah, maka serangan lanjutan dari Luwu dan Gowa bisa dihindari. Bila Luwu dan Makassar menolak persembahan Wajo, atau memperpanjang pertempuran, maka Bone akan berbalik menyerang Luwu dan Makassar. To Maddualeng menerima usul Arumpone.

Esok harinya, To Maddualeng membawa persembahan. Duduk bertiga Karaeng Gowa, Datu Luwu dan Arumpone. To Maddualeng menyampaikan pernyataan menyerah (meski memenangkan pertempuran) pada Karaeng Gowa. To Maddualeng juga mengatakan hendaknya Karaeng Gowa tidak perlu menyusahkan diri hanya karena ingin melihat orang Wajo. Sebaiknya Karaeng Gowa pulang. Karaeng Tunipallangga Somba Gowa bertanya pada Arumpone La Tenrirawe Bongkangnge tentang sikap Wajo tersebut. Arumpone mengusulkan agar Makassar menerima pernyataan menyerah Wajo. Karaeng Tunipallangga pun setuju. Maka kembalilah orang Wajo kenegerinya demikian pula Bone, sedang Datu Luwu dan Karaeng Tunipallangga ke Cenrana. 
Tiga malam kemudian, datanglah utusan Arumpone ke Wajo, Ia menyampaikan bahwa Makassar telah mengetahui bahwa Bone dan Wajo tidak saling memusuhi (Tessipettuang perru). To Sanrangeng dari Baringeng yang membocorkan pada Karaeng Gowa bahwa ada utusan dan komunikasi rahasia antara Bone dan Wajo. Bone mengusulkan agar bersama Wajo menyerang pasukan Makassar saat masih di Cenrana. Namun usul Bone ditolak To Maddualeng dengan alasan bahwa kita belum bersama Dewata SeuwaE. Nantilah jika telah bersama Dewata SeuwaE maka kita menyerang Makassar.

Tiga bulan kemudian, Bone menyerang Baringeng, hingga Cinnong dan Jampu. Sementara itu, Datu Luwu yang sebelumnya mengambil kembali Larompong, mengambil juga Siwa. Batas utara Wajo saat itu hingga Keera dan Utting. Adapun Cenrana, kembali menjadi wilayah Luwu.

Kontrak Hindia-Belanda dan Wajo 1888

Kerajaan Wajo terpaksa menandatangani perjanjian Bongayya tahun 1670. Namun ditahun 1737-1738, Kerajaan Wajo bahkan terang-terangan menentang Kompeni dan menolak hasil perjanjian. Dinamika berjalan sedemikian rupa, hingga ditahun 1824, Kompeni kembali lagi mendekati pemerintah Kerajaan Wajo untuk memperbaharui perjanjian Bongayya yang berkaitan dengan Wajo. Nanti kemudian, Abdul Rahman La Koro Arung Padali menjadi Arung Matowa, pemerintah Hindia Belanda memperbaharui kontraknya dengan Wajo.
Kontrak yang ditandatangani Johan Albert George Brugman mewakili Pemerintah Hindia Belanda dan La Koro Arung Matowa mewakili Wajo per tanggal 8 November 1888. Isi Kontrak terdiri  19 pasal, berisi beberapa tema penting antara lain ; wilayah, pemilihan Arung Matowa, komunikasi hadat Wajo pada pemerintah Hindia Belanda, larangan jual beli budak, senjata dan amunisi, dan beberapa hal teknis lainnya.



Adapun daerah daerah yang diakui Pemerintah hindia Belanda sebagai wilayah kerajaan Wajo antara lain :
1. Tosora, terdiri dari kampung kampung
- Aka Tuwa
- Lompa
- Menge
- Kampiri
- Palekoreng
- Botto
- Lowa lowa
- Ujung Kalakkang
- Bettempola Majauleng
- Talibolong
- Ta
- Ciung
- Talotenreng Amessangeng
- Wajo wajo
- Latamperu
- Lecceng leccengnge
2. Pammana, terdiri dari kampung kampung
- Lagosi
- Tampangeng
- Kessi boro
- Tosampa
- Palaguna
- Patila
- Lakaraco
- Sabbang
- Katena
- Kampong To tempe
- Amateng paowe
- Kulo
- Nusa' E
- Olongeng
- Balang
- Kampiri
- Teppo Batu E
- Tobakko
- Cempa E
- Lapatolo
- Larompo
- Malingongo
- Allaporengnge
- Padaelo

3. Sengkang, terdiri dari kampung
- Sengkang
- Palla'E
- Sura E
- Amessangeng
- Atakka
- Tongko E
- Cempalagi

4. Ugi, terdiri dari kampung
- Ugi
- Cella Mata
- Panresampa
- Ka E
- Leko lampe E
- Sumpang Bila
- Salo pokko E
- Salo Tengnga E
- Bola MallimpoE

5. Daerah yang bersatu
- Sompe
- Canru
- Caleko

6. Liu, terdiri dari kampung
- Liu
- Tosiang
- Pali E
- Appasarengnge
- Buajing Bukue
- Toddang SaloE
- TopalammaE
- Peawung
- Tomalampe
- Cilellang
- Bila
- TeppobatuE
- Amateng bungae
- Malaka
- Tokare

7. Wage terdiri dari kampung
- Wage
- Ujung awo
- Laleng buajaE
- BakkaE

8. Tempe, terdiri dari kampung
- Tempe
- Turungeng Lappa E
- Cappawengeng
- Ta E
- Pincengpute
- Empaga E
- Pajalele
- Ujung E
- Padaelo
- Amessangeng
- LabangangE
- BakkaE
- Kampong Baru lamangiso
- Benteng LompoE
- Pao Joppongnge
- Lamasapa
- Ujung AkaE
- Bonto te'ne
- Abuang AlliriE

9. Impa-impa, terdiri dari kampung
- Impa-impa
- Nepo
- Kampong Baru
- Palloro
- Totinco
- Data orai 
- Data alau

10. Tancung, terdiri dari kampung
- Ujung tana E
- Amessangeng
- Kampong Baru

11. Belawa, terdiri dari kampung
- Tancung purai
- Menrelli
- Belawa orai
- Belawa alau
- Malakke
- Bulu bangiE
- OngkoE
- Belawa
- Surabaia
- Balla awo E
- Tippulu E

12. Lowa, terdiri dari kampung
- PolewaliE
- Cenra cenranaE
- Ujung kessiE
- Cakke Lowa
- Bila bilaE
- Lamacauie
- Lamarrung
- Awa Ta
- Tonrongnge
- Bacu bacuE
- Kampong baru
- Lowa
- Bontouse
- Labuangpatu
- SappewaliE
- CempaE

13. Bila, terdiri dari kampung
- CempaE
- Labukkang
- Apurungnge
- SalotelluE
- Tacimpo
- Amessangeng
- Kalosi orai
- Pakkasalo
- Wela E

14. Kalola, terdiri dari kampung
- Kalola
- Awo tarraE
- Lacume DongiE
- Labuangtello
Daerah dengan perjanjian khusus
- Pabala E
- Lompo E
- Settung
- Macinna
- Coppengnge
- Pongawe
- BajaE
- Tingara possi E

15. Anabanua, terdiri dari kampung
- Anabanua
- Bulo E
- JongkangngE
- Salo dua
- CipiE salo
- LampaE

16. Gilireng, terdiri dari kampung
- Lalliseng
- Awo
- Lamata
- LuraE
- Ale LimpoE
- Sumpang Lejja
- Waji
- Macanang
- Lebongnge
- Gilireng

17. Paria, terdiri dari kampung
- Paria
- Laerung
- Pasa pasaE
- La baje
- Lacoppa
- Labukkang
- Batu tampung pacongangngE
- JokkaE
- Lapaboling
- LapituE
- Lamabolong
- Topaja
- Lagele
- AluppangngE
- Lamalappa
- TokauE
- Daraung
- Palisse tuoE
- SadangngE
- CacaE
- Lametagi
- IampiriE
- GattungengngE
- LamapanniE
- Lapakka
- Patimpa Lejja
- Topanai
- Lapacamarrung
- CallaccuE
- Lapabatta
- CempalagiE
- Lawalatte
- Maroanging
- Caleppa
- Lacebba
- Lawengi
- Lacamma
- Acciccingnge
- Aju maddoriE
- Liu liu
- Laparapa
- Laporobukang
- Lacempa
- Tallang
- Lamamma
- Tosuso
- Panrasetang
- Latindoro
- LasobatuE
- Nanange
- Lagolla
- Tengga
- Uraiyang
- Lompo
- Botto

18. Rumpia, terdiri dari kampung
- Rumpia
- Pao pao
- SarammaE
- CingkiE
- Lakado
- Laupe
- LalopiE
- Pajalele
- Bulu
- Kampong Baru
- Lapatola
- Bunne
- Pao jawaE
- Latapao
- EmpagaE

19. Akkotengeng, terdiri dari kampung
- Akkotengeng
- Boli boliE
- Jalang

20. Akkajeng

21. Peneki, terdiri dari kampung
- Paneki
- Parigi
- JakkaE
- Labulang
- Mualla

22. Bola, terdiri dari kampung
- Bola
- Solo
- PalisoE
- Mangiso
- Lempong
- Kading
- Tonrongbola

23. Penrang, terdiri dari kampung
- Sekkanasu
- Cempaga
- CelluE
- Cinnongtabi

24. Palippu, terdiri dari kampung
- Galla-gallaE
- Dori-doriE
- OtaE
- Piampo
- Uwae tuwo
- Mario
- Alogoungnge
- Setampulu
- LuraE
- TaoniE
- Taro taroE
- Palippu
- Walanga
- Doping dan
- Lampulung

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian III)

(Bagian III)
Dari Sidenreng, ke Wajo dan menuju Bone

James Brooke mencatat bahwa Lontara dari ketiga daerah (Wajo, Bone dan Soppeng) menyebut bahwa perang terakhir antara La Patongai Datu Lompulle di keempat distrik Sidenreng yaitu Wettareng, Wanio, Lise dan Belokka, dimana La Panguriseng berhasil mempertahankan tahta dan regalia Sidenreng. La Patongai kembali mempersiapkan peperangan berikutnya dengan melibatkan Wajo. Namun Tomarilaleng Bone mengancam akan mendeklarasikan perang melawan Wajo bila Wajo melibatkan diri pada konflik di Sidenreng.

Tanggal 14 Februari 1840, James Brooke diundang Teteaji, dikediaman Addatuang Sidenreng La Panguriseng. Ia bersama penerjemahnya dijamu dengan baik oleh Addatuang Sidenreng. James Brooke mencatat bahwa ia dan rombongannya pulang dengan bahagia setelah bertemu Addatuang.

Setelah mencoba membangun komunikasi, akhirnya Petta Betteng menyetujui pertemuan dengan James Brooke. Tanggal 21 Februari 1840, bersama dengan Datu Lompulle, Arung Ujung dan Datu Tempe diiringi sekitar 300 atau 400an pasukan berkuda meninggalkan Tempe menuju Tancung, 

Petta Betteng datang bersama ribuan pengikutnya dan berjarak sekitar setengah mil dengan James Brooke dan rombongannya. Terdengar teriakan keras dan gemuruh diikuti oleh sejumlah pasukan berkuda dan infanteri. Tombak ekor kuda (banranga), keris yang berkilau dan kuda yang berjingkrak memberi efek yang menyenangkan. Ketika kedua rombongan bertemu, mereka berpasangan. Pasukan berkuda dengan pasukan berkuda. Pasukan infanteri dengan pasukan infanteri. 

Mereka kemudian diantar untuk bertemu langsung dengan Petta Betteng. James Brooke menggambarkan Petta Betteng sebagai orang yang berusia 40an tahun, mata yang tajam, dan mirip orang Turki. Ia menuju kediaman Petta Betteng kemudian menginterview selama beberapa saat secara hati hati.


4 hari kemudian, Said Abdullah datang menemui James Brooke. Ia menggambarkan betapa berbedanya seorang arab macam Said Abdullah dengan tulisan tulisan Eropa tentang orang Arab di melayu. Ia juga menyebut bahwa Said Abdullah adalah tempat anggota komunitas Arab bergantung. Said Abdullah juga disebut sebagai orang yang memiliki reputasi baik di daerah Bone, Wajo dan Soppeng yang berdomisili di Tempe.

30 Februari 1840, ia menuju Palippu. Beberapa kuil, baik besar maupun kecil ia temukan. Dugaannya, sisa pengaruh Hindu yang bercampur dengan "Mohammadenism". Pada kuil tersebut, dipercikkan air dan minyak oleh penduduk setempat. Orang Bugis dalam pandangan James Brooke, mempercayai berbagai roh roh. Baik itu roh binatang maupun benda. Rumah, keris, perahu dianggap mampu menentukan nasib. Beberapa pendahulu disebut mampu meramalkan karamnya kapal berdasar alur yang aneh pada kayu.

Tempe, 3 Maret 1840, Dr Leyden menjelaskan beberapa lontara pada James Brooke. Yaitu perjalanan Sawerigading dan beberapa pesan pesan leluhur. Orang Wajo disebut kurang tertarik pada seni dan nyanyian. Hanya pada ritual tertentu. Dalam hal perdagangan, ia menyebut bahwa katun Bugis sulit bersaing di Singapura sebab harganya lebih mahal. Dengan perahu Bugis, barang berupa kulit kura-kura, emas, mutiara dan kerang diimpor. Demikian pula senjata, bubuk mesiu, opium dan katun. Sedang sarung dan kopi diekspor. 

James Brooke sangat senang menerima undangan dari Petta MangkauE. Tanggal 9 Maret 1840 di Tosora undangan diterima dan Daeng Matara tiba di Bone 4 hari kemudian untuk mempersiapkan pertemuan. Audiens dengan Petta MangkauE akhirnya terealisasi tanggal 26-27 Maret 1840.

Mendarat di BajoE, dengan 10 orang berkuda menuju istana Bone. Ia menggambarkan ibukota Bone saat itu banyak puing sisa terbakar waktu perang melawan Belanda namun beberapa rumah baru dibangun dengan megah. Di gerbang, ia dijemput Arung Tanete yang menyetujui audiensnya dengan Petta MangkauE. Terdapat sekitar 3000-4000 pasukan dihalaman istana. Pasukan itu mengenakan helm, keris dan sarung berwarna biru. Di pintu masuk, terdapat 8 atau 10 pasukan bertombak yang mengenakan baju rantai.
Petta MangkauE duduk diatas singgasana. Di sebelah kanannya duduk Tomarilaleng yaitu Arung Tanete dan duduk pula Arung Tibojong. Duduk pula disebelah kanan Petta MangkauE yaitu putra mahkota. Petta MangkauE berusia sekitar 40an tahun, berekspresi dengan cara menyenangkan. Petta MangkauE mengenakan jubah polos yang panjang dengan sejumlah kancing emas. Dilengkapi songkok hitam dan keris.

Pada kesempatan itu, James Brooke memaparkan kebahagiaannya atas undangan Petta MangkauE. Ia menjelaskan bahwa ia adalah seorang petualang yang tak terhubung dengan pemerintah manapun, termasuk Inggris. Bila Petta MangkauE berdiri, semua berdiri. Demikian pula bila Petta MangkauE duduk, semua ikut duduk. Ia menggambarkan kekuasaan Petta MangkauE nampak tak terbatas yang tidak bisa dibandingkan dengan kekuasaan Arung Matoa maupun Datu Soppeng. Selama di Bone, James Brooke menyempatkan diri berkunjung ke goa Mampu atas izin dan perlindungan Arung Tanete.

Baca juga :
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan (Bagian I)
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan (Bagian II)