Mengapa Pemilu/Pemilukada itu Mahal?

Banyak pihak menyebut biaya pemilu itu mahal. Wajar saja, sebab langsung melihat total anggaran Pemilu/pemilukada tanpa melihat rincian dana yang akan digunakan. Namanya saja pemilihan umum, bukan pemilihan khusus. Tentunya melibatkan banyak pihak. Belum lagi proses yang panjang hingga klimaks yaitu hari pemungutan suara dan penetapan calon terpilih.

Setidaknya ada dua pihak yang menggunakan biaya mahal untuk pemilu/pemilukada. Pertama, yaitu penyelenggara sendiri, baik KPU, KPUD, Bawaslu maupun jajarannya. Kedua yaitu peserta pemilu/pemilukada, yaitu para calon presiden/wakil presiden, calon gubernur/wakil gubernur, calon walikota/wakil walikota, calon bupati/wakil bupati, calon anggota legislatif. Tentu didalamnya termasuk biaya kerjasama dengan partai pengusung, tim pemenang, lembaga survey, dan operasional pemenangan.

Bagi penyelenggara, tentu anggaran yang besar tersebut akan terbagi hingga ketiap TPS dan jenjang ke atasnya. Mulai dari perjalanan, belanja bahan, honor dan sebagainya. Bisa dibayangkan dengan jumlah TPS Pilpres seluruh Indonesia 478.685 dikalikan honor sekitar 350 ribu kali 7 orang tiap TPS. Itu belum termasuk biaya pembuatan TPS. Belum lagi administrasi dan sebagainya. Sehingga pernyataan yang mengatakan bahwa biaya pemilu kita terlalu mahal, itu laksana pernyataan orang yang tidak pernah menjadi panitia di sebuah hajatan massal.

Bagi calon, biaya besar digunakan untuk survey. Mulai beberapa bulan sebelum pemilihan. Seorang calon mesti mengetahui berapa persen tingkat elektabilitas dan akseptabilitasnya. Dengan demikian, memudahkan untuk menyusun strategi pemenangan. Itu belum termasuk biaya survey untuk Quick Count pada hari pemilihan. Belum juga termasuk biaya mahar untuk meminang partai pengusung (jika ada) dan honor tim hingga tingkatan desa bahkan TPS. Bagaimana dengan operasionalnya? Tentu calon bersangkutan harus mengantisipasi biaya kampanyenya, biaya penggandaan alat peraga berupa selebaran, kalender, poster, baliho, kartu nama yang jumlahnya bahkan mencapai ribuan. Belum lagi transportasi dan konsumsi tim. Juga belum termasuk biaya pertemuan dengan masyarakat.

Di satu sisi, mahalnya biaya pemilu/pemilukada memiliki beberapa konsekwensi :
1. Melimpahnya rezki baik itu berupa pemberian sembako gratis, kalender gratis, makanan gratis, bahkan terkadang money politics yang menyebabkan beberapa orang mendadak punya uang banyak (untuk ukuran orang miskin, 300ribu itu sudah bisa menghidupi selama sebulan atau lebih)
2. Berputarnya ekonomi makro yang digerakkan oleh tingginya konsumsi masyarakat.  Konsumsi yang tinggi disebabkan adanya penghasilan tambahan berupa honor sebagai penyelenggara pemilu atau sebagai tim pemenang. Belum lagi berputarnya usaha kecil dan menengah seperti percetakan, catering dan sebagainya.
Sebuah proses pelegitimasian kekuasaan !!!

Di lain sisi, mahalnya biaya pemilu/pemilukada menyebabkan
1. Orang miskin "dilarang" mencalonkan diri sebab tidak punya uang untuk biayai tim pemenang dan operasional pemenangan. Imbasnya adalah, berputarnya kekuasaan pada orang orang berpunya saja. Sementara orang tak punya tetap menjadi penonton saja.
2. Teralihkannya anggaran negara/daerah yang sebaiknya untuk pembangunan ke proses pemilu/ pemilukada.

Terlepas dari itu semua, itulah sebagian wajah demokrasi kita. Menjadi PR bagi kita semua bagaimana proses demokrasi itu bisa memberikan ruang yang setara terhadap orang yang kaya dan miskin. Ruang yang dimaksud tentu bukan ruang administrasi yang sekedar mengisi formulir dan menempel materai. Tetapi ruang berkompetisi yang setara. Sehingga orang orang yang memiliki kapabilitas namun kurang berduit, dapat berkompetisi dalam riuh rendah demokratisasi kita.


EmoticonEmoticon