Showing posts with label sosial budaya. Show all posts
Showing posts with label sosial budaya. Show all posts

UGIQ DALAM LA GALIGO

Sejak 2011 La Galigo ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO. Ini membanggakan kita sebagai anak bangsa. Penetapan tersebut mendorong kembali La Galigo ke permukaan. Setelah arus modernisasi di berbagai lini kehidupan mencerabut La Galigo dari masyarakat pemiliknya.


Kini, La Galigo makin marak kembali diperbincangkan. Baik mereka yang pernah mendengarkan tutur langsung dari tokoh adat, membaca langsung naskahnya, menyaksikan upacara adat yang berkaitan La Galigo, atau bahkan mereka yang tidak mampu mengeja huruf lontaraq sekalipun.


Meski berkisah tentang Luwu dan Cina, La Galigo bukan milik satu suku saja. Ia tersebar dan diwariskan dari generasi ke generasi di berbagai etnis di Sulawesi. Pewarisan La Galigo pada masyarakat, baik berupa kisah tutur, tradisi lisan massureq, manuskrip, praktik upacara adat seperti mallawolo, bahkan norma hingga nilai-nilai dasar kehidupan. Tentu saja model pewarisan La Galigo pada masing-masing generasi tidak seragam. Sangat tergantung bagaimana penyikapan sebuah masyarakat terhadap La Galigo. Namun terlepas dari hal tersebut, tokoh utama dalam La Galigo, yaitu Sawérigading dan Wé Cudai, dikenal oleh berbagai etnis di Sulawesi. Terutama kisah pernikahan antara keduanya.


Naskah La Galigo, tersebar di masyarakat dan terkadang dipusakakan. Dahulu kala, naskah ini dibacakan pada momen sakral tertentu. Seperti acara kelahiran, pernikahan, naik rumah baru, sebelum turun sawah, dan sebagainya. Juga pada momen umum, sebagai hiburan sekaligus edukasi. Semacam kegiatan menonton sinetron seperti saat ini. Pembacaan pada momen umum ini, dilakukan saat malam. Dengan cara seorang passureq membacakan naskah La Galigo, kemudian satu orang lagi menjelaskan makna tersirat pada pendengarnya. Tradisi ini bertahan sampai tahun 1980an. Hingga akhirnya hiburan TV dan elekton menggantikan posisi pembacaan La Galigo pada masyarakat.


Naskah La Galigo dibacakan oleh passureq dengan langgam yang khas yang disebut massureq selléang. Satu naskah terdiri satu episode yang disebut tereng. Terkadang dalam satu naskah tidak terdapat tanda baca untuk menandai akhir sebuah kalimat. Bahkan sering kali tidak ditemukan spasi antarkata dan kalimat. Sehingga  bagi pembaca pemula akan sangat kesulitan.


Akan tetapi bagi passureq, ini bukan masalah yang berarti. Sebab selain telah menjadi kebiasaaan, juga pola pembacaan dibagi lima penggal frasa atau kadang juga dua penggal frasa digabung menjadi 10 suku kata  dalam setiap jeda. Hal demikian dilakukan agar saat La Galigo dinyanyikan, passureq dapat menyesuaikan dengan irama lagunya.

 


Upaya pengumpulan dan penulisan ulang naskah La Galigo diinisiasi oleh B. F. Matthes. atas bantuan Colliq Pujié bersama timnya, akhirnya naskah La Galigo yang terdiri 12 jilid ini dirampungkan. Kemudian dibawa ke Belanda dan tersimpan di perpustakaan universitas Leiden dengan  kode NBG Boeg 188.


Tentu saja sulit merangkum keseluruhan La Galigo yang berbentuk naskah. Sebab naskah NBG Boeg 188 saja, sudah dinobatkan sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Sementara, masih ada episode La Galigo yang tidak terangkum dalam naskah NBG Boeg 188. Beberapa di antaranya adalah Musuna Karaéng Tompo, Méong Mpaloé, Taggilinna Sinapatié, dan sebagainya. Dapat dibayangkan, jika keseluruhan La Galigo yang tersebar di masyarakat, di berbagai perpustakaan baik dalam maupun luar negeri ini disatukan. Pastinya akan lebih panjang lagi.


Tokoh utama dalam La Galigo, yaitu Sawérigading, dikenal sebagai Opunna Wareq. Sementara istri sekaligus sepupu sekalinya (‘sepupu sekali’: istilah yang dikenal dalam budaya Bugis untuk sesama anak dari satu garis pertalian darah atau berasal dari orang tua yang bersaudara sekandung; anak dari dua bersaudara) yaitu We Cudai dikenal sebagai Datunna Cina. Ia mewarisi jabatan dari ayahnya La Sattumpugi Opunna Cina. Pernikahan keduanya senantiasa dikenang oleh pewaris La Galigo sebagai bagian utama dari epos ini. Pernikahan yang mengulang keagungan pernikahan Batara Guru dari Botillangi dengan Wé Nyiliq Timoq dari Uriq Liu, yang dilanjutkan dengan pernikahan Batara Lattuq dari Luwu dengan Wé Datu Sengngeng dari Tompo Tikka.


Jika membaca naskah La Galigo, memang kita tidak akan menemukan kata Bugis. Sebab kata Bugis adalah istilah yang muncul di belakang. Akan tetapi semua maklum bahwa Bugis adalah pengindonesiaan kata Ugiq.  Bila menelusuri La Galigo, akan banyak ditemukan kata Ugiq. Sebab tokoh utama Wé Cudai adalah To Ugiq. Selain itu, beberapa bagian dari epos ini berkaitan dengan tokoh dan negeri Ugiq.


Pada kesempatan ini, penulis mengangkat kata Ugiq dalam La Galigo. Lebih spesifik, berdasar naskah NBG Boeg 188. Perlu dipahami bahwa naskah La Galigo bukan hanya yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden yang diberi kode NBG 188. Tetapi masih banyak naskah La Galigo dari berbagai episode yang tersebar pada berbagai museum, kolektor, dan masyarakat. Untuk komparasi antarnaskah La Galigo NBG Boeg 188 dengan naskah La Galigo yang lain, membutuhkan penelitian khusus dari para ahli.


Kembali ke naskah NBG Boeg 188, persebaran kata Ugiq dalam berbagai variasi selain nama tokoh sepupu sekali Sawérigading yaitu Panrita Ugiq, ditemukan sebanyak 310 kali. Dari total 12 jilid, hanya pada jilid 1, 3, dan 5 saja penulis tidak menemukan kata Ugiq. Kata Ugiq dalam La Galigo ini merujuk pada beberapa hal, antara lain. Komunitas, negeri, benda, bahasa.


Lebih jauh sekaitan Ugiq dalam La Galigo ini, tidak jarang kata Ugiq dipadankan dengan kata Cina. Terdapat 142 kali kemunculan kata Ugiq yang beriringan kata Cina. Baik merujuk pada komunitas dengan komunitas, komunitas dengan negeri. Adapun persebarannya ada pada jilid 2, 8, 9, 10, 11, dan 12. Sebagai contoh kutipan dari jilid 10 yaitu: “Tallettuq lempu ri Alé Cina makkélolangeng ri tana wugi”. Artinya, kita sampai dengan selamat di pusat negeri Cina, berkelana di tanah Bugis. 


Bila di naskah NBG Boeg 188 saja, telah ditemukan ratusan persebaran kata Ugiq. Bisa dibayangkan bila naskah La Galigo lainnya juga ditelusuri. Maka akan sulit untuk mengatakan, tidak ada Ugiq dalam La Galigo. Sehingga wajar bila La Galigo menjadi akar budaya To Ugiq yang dirawat dalam ingatan kolektif, upacara adat, hingga dituliskan pada naskah.


La Galigo adalah mata air kebudayaan yang tidak habis diperbincangkan. Tulisan ini tidak cukup untuk merangkum serba-serbi La Galigo. Mengingat banyaknya hal yang berkaitan La Galigo, mulai persebaran, kedudukan pada masyarakat, fungsi sosial, bahasa, konteks dan pemaknaan, aturan dan upacara adat, kondisi naskah, transformasi pengetahuan, dan sebagainya.


Namun lebih bijak bila La Galigo dibaca kembali oleh para pewarisnya. Ketimbang menjadi bahan perdebatan belaka namun masih buta huruf aksara lontaraq. Bukankah untuk majunya sebuah bangsa, buta huruf harus diberantas?


Memahami Perbedaan Pada Lontaraq dan Pappaseng

Perbedaan Pada Lontaraq dan Pappaseng sebagai Kekayaan Budaya
Sebelumnya perlu dipertegas bahwa saya bukan budayawan apalagi pallontara. Hanya pemerhati budaya yang beruntung sempat membaca beberapa naskah. Namun jauh masih banyak naskah yang belum sempat terbaca.
Saya tertarik sekaitan kearifan lokal leluhur dalam memaknai tanda tanda alam. Oleh karena itu lontara pananrang adalah favorit selama beberapa tahun belakangan ini. Apalagi hobi mancing baik di laut atau di empang "mewajibkan" pembelajaran tambahan tentang musim, cuaca dan geografis.
Suatu ketika saya diperlihatkan lontara pananrang di Maiwa Enrekang. Saat itu saya berada di Maiwa, dan saya perhatikan kejadian alam saat itu, sesuai yang tertulis di lontara. Namun pada hari yang sama, kejadian alam berbeda di tempat lain.



Gambar Ilustrasi Lontaraq TassipariamaE

Dari titik ini dapat dipahami bahwa, penulis lontara di masa lalu menulis berdasarkan pengalaman di daerahnya. Bukan daerah lain. Sementara, iklim pegunungan tentu berbeda dengan iklim pantai dan iklim dataran rendah.
Kesimpulan sementara saya adalah, penulis lontara pananrang melakukan "riset"kecil kecilan sebelum menulis lontaranya. Yaitu mencari trend dengan cara mengambil sampel selama beberapa tahun. Misalnya 1 ompona uleng (kemunculan bulan) tahun pertama = hujan, tahun kedua di tanggal sama hujan. Tahun ketiga gerimis. Tahun keempat hujan. Tahun kelima juga hujan. Dari 5 tahun sampel dari tanggal yang sama, misalnya 1 ompona uleng. Didapatkan trend 4 kali hujan dan 1 kali gerimis. Akhirnya ditulis di lontara pananrang. 1 ompona uleng : "bosi" (hujan). Kadang ditambahkan kalimat, narekko mappadai purallaloe (jika seperti sebelumnya). Jadi lebih kepada propabilitas dibanding memastikan.
Begitu pula soal kutika. Yaitu penentuan waktu waktu yang dianggap ideal melakukan sesuatu berdasar hitungan tertentu. Baik kelipatan empat, lima, tujuh, delapan, sepuluh atau yang lain. Tentu penulis memiliki landasan pengetahuan berdasar pengalaman dan kewilayahannya dalam menulis. Sehingga boleh jadi, secara umum antar kutika terdapat kesamaan. Tetapi secara khusus, terdapat perbedaan. 
Hal yang sama terdapat dalam dunia parewa bessi. Baik lontaraq maupun tutur tentang budaya parewa bessi ini ditemukan keragaman. Bahkan tidak jarang keragaman itu memiliki pendapat yang saling menegasi. Sebagai contoh : pemali wanua disambung dengan kayu lain. Artinya antara wanua dengan jonga jonga adalah satu kayu utuh. Sementara ada yang tidak mempemalikan hal tersebut. Ada yang mempemalikan pangulu tanru (gagang tanduk). Ada juga tidak. Masih banyak contoh contoh yang bisa kita lihat sebagai pertentangan.
Namun terlepas dari itu, yang penting adalah tentu orang orang tua dulu mewariskan pengetahuan berdasar pengalaman daerahnya kepada anak cucunya. Sehingga, dalam menghadapi perbedaan tersebut, yang penting adalah mencari pendapat yang berlaku didaerah atau keluarga masing masing.
Misalnya La Marupe dari daerah X yang mempemalikan pangulu tanru dan wanua sambung jonga jonga, maka kurang bijak bagi La Marupe memaksakan pendapat pada La Baco pada daerah Y yang juga punya kearifan lokal. Sekaitan perbedaan pendapat ini, contoh lain disampaikan guru kami. Misalnya La Marupe merendam dengan air kelapa bilah pusaka yang karatnya berat. Sementara, La Baco mempemalikan perendaman bilah pusaka dengan air kelapa. La Marupe mendapatkan teknik ini dari leluhurnya, yang boleh jadi waktu perendamannya tidak terlalu lama. Atau selama perendaman, selalu di periksa kondisi karat. Sehingga merendam bilah pusaka di air kelapa bisa membersihkan karat tetapi tidak sampai merusak pamor dan baja karena waktu perendaman tidak terlalu lama.
Sementara leluhur La Baco boleh jadi saat merendam bilah pusakanya dengan air kelapa terlalu lama. Sehingga reaksi kimiawi bukan hanya menghilangkan karat, tetapi juga merusak baja dan pamor pusaka. Dengan demikian wajar bila dipemalikan. Agar tidak terulang kesalahan yang sama.
Semakin general sebuah pengetahuan, maka semakin banyak kesamaan. Semakin detail, spesifik sebuah pengetahuan, maka akan terdapat semakin banyak perbedaan. Ilmu pananrang, kutika dan sissiqna gajangnge misalnya, akan seperti itu. Berbicara pada konteks umum, maka akan banyak kesamaan. Sedang semakin detail dan spesifik sesuatu itu dibanding sejenisnya, maka akan semakin banyak perbedaan. 
Tentu bukan tugas kita untuk menghakimi benar dan salah. Apalagi jika tidak memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni untuk menilai. Langkah bijak apabila, mengenali dan mempelajari kearifan lokal masing masing. Kemudian menghargai kearifan lokal lain yang berbeda. Sesungguhnya perbedaan adalah identitas agar bisa saling mengenali keragaman yang ada.

Konteks Kekinian
Dapat dipahami bahwa lontaraq pananrang dibuat berdasarkan pengalaman empiris kondisi alam. Di masa lalu, kondisi alam relatif terjaga. Sehingga siklus alam lebih teratur. Dengan demikian, akan lebih mudah memprediksi kejadian kejadian alam yang akan terjadi.
Akan tetapi di masa kini, telah banyak perubahan dari alam kita. Pemanasan global, naiknya permukaan air laut, penggundulan hutan dan sebagainya. Akibatnya, siklus alam menjadi lebih "sulit ditebak". Sebagaimana diskusi dengan seorang nelayan yang curhat mengatakan : "Nappanna ndi uwita siruntu bosinna bare'e na timo'e". (Seumur hidup barusannya saya dapat dik bertemu hujannya bare dan timo). Sebuah kalimat yang menyiratkan perubahan alam yang membuatnya keliru ditebak. Bahkan ditempat lain beberapa orang mulai mengatakan, lontara pananrangnya sudah keliru dikarenakan tidak sesuai yang tertulis dan kejadian.
Pada beberapa hal, pengetahuan leluhur perlu direvisi karena perkembangan zaman yang boleh jadi tidak sempat diantisipasi para leluhur. Namun dalam beberapa hal, masih relevan di aplikasikan, bahkan di tempat lain. Sisi kemanusiaan kita tidak meniscayakan kemutlakan ada pada manusia. Tetapi manusia berikhtiar dan terus berikhtiar mencari kebenaran tanpa harus sibuk menyalahkan sesamanya manusia.

Tantangan dan Hambatan dalam Kerja Kerja Penyelamatan Budaya

Di era teknologi informasi dewasa ini, wacana lokalitas kebudayaan menjadi semakin penting. Kebutuhan akan adanya identitas dalam interaksi global yang menjadi spirit dan karakter, dalam pengakuan eksistensi. Pada gilirannya menjadi modal sosial sebuah komunitas pada skala kecil dan bahkan bangsa pada skala yang lebih besar.
Penetrasi kebudayaan asing yang massif menggelitik pemerhati budaya agar bisa menyelamatkan budayanya. Tentu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk komunitas, bangsa dan generasi yang akan datang.
Kebudayaan asing ini membawa beberapa hal sekaligus. Membawa nilai nilai positif yang bisa kita serap. Juga membawa nilai yang sebaliknya. Membawa hegemoni yang bisa jadi kedepan berujung dominasi baik secara politik maupun ekonomi.
Generasi muda yang menyadari kondisi yang rumit ini tertantang untuk bekerja untuk menyelamatkan budayanya. Bekerja dalam arti non profit, lebih pada inisiasi sesuai keterbatasan kemampuannya.
Disisi lain, budaya sifatnya dinamis. Meski ada yang paten, tentu ada yang perlu diubah, atau bahkan dihilangkan. Kalau perlu mengawinkan hal hal positif dari luar agar kebudayaan kita tidak jumud.

Berikut ini beberapa tantangan dan hambatan dalam kerja kerja penyelamatan budaya lokal

1. Informan
Seiring waktu, sangat disayangkan dengan meninggalnya beberapa informan dalam beberapa tahun terakhir. Lebih disayangkan lagi bila tidak sempat diwawancarai dan didokumentasikan pengetahuannya.
Sebagian informan yang tersisa, terkendala dengan fisik. Misalnya sakit sakitan, atau mulai pelupa. Kalaupun masih bisa berbagi pengetahuan, terkadang kendala bahasa menjadikan sulit proses transformasi pengetahuan.

2. Literatur dan artefak
Naskah lontara sebagai literatur klasik sangat sulit dijumpai dalam keadaan utuh saat ini. Banyak naskah lontara yang rusak, ikut terbakar, turun menjadi korban dalam situasi kacau Sulawesi Selatan tahun 1950an. Kalaupun ada naskah lontara tersisa, kondisinya sangat sulit terbaca. Mengingat kertasnya sudah rusak, robek atau termakan tinta.
Beruntung beberapa naskah lontara masih tersimpan di perpustakaan dalam dan luar negeri. Juga mikrofilmnya. Sehingga tantangan kedepan agar bisa ditulis ulang pada media yang lain, dilengkapi translasi dan terjemah untuk memudahkan pemahaman pada pembaca.
Artefak yang biasanya pusaka juga banyak yang rusak, ditanam, dibuang, dijual dan sebagainya. Sehingga sulit menemukan saat ini dalam kondisi original dan berada pemilik yang resmi. Kita biasanya hanya mendapatkan cerita bahwa dulu ada benda seperti ini itu dan sudah tidak ada lagi.

Contoh Naskah klasik beraksara Hijaiyah/Serang


3. Sakralisasi berlebih
Sakralisasi berlebih pada literatur dan artefak menyebabkan sulitnya diakses. Sebagai contoh, sebuah naskah lontara tidak boleh dibuka sembarang waktu. Itupun harus dipotongkan kerbau atau kambing. Saking berlebihannya penyakralan pada lontara tersebut sehingga lebih dipilih membiarkan lontara rusak hancur dimakan rayap daripada dipindahkan isinya ke media lain atau ditransformasikan pengetahuan yang ada didalamnya.
Memang di satu sisi, sakralisasi ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab menjadi pelajaran etika atau adab dalam mendapatkan pengetahuan. Tetapi, konteks zaman sudah berubah sehingga perlu di pikirkan kembali cara mendapatkan pengetahuan dari naskah lontara misalnya, dengan tetap menghormati nilai nilai yang ada, tanpa harus menyembelih kerbau.

4. Pola pikir dan perspektif masyarakat
Di era era awal maraknya diskusi kebudayaan di sosmed, ada kecenderungan seperti reduksi makna budaya dan budayawan. Bahwa yang mampu membaca lontara, menghapal silsilah, serta bertutur kisah masa lalu adalah budayawan. Sementara sejarah dan budaya tentu dua hal yang berbeda meski ada keterkaitan.
Akibatnya, budaya menjadi wacana elitis bangsawan. Seolah tata cara bertani, perbintangan, assikalabineng, dan sebagainya bukan bagian dari budaya. Dan juga sebaliknya, jika seseorang sudah bisa bahas silsilah, maka dianggap tahu segalanya.
Dengan elitisasi wacana kebudayaan, menjadikannya seperti momok bagi orang awam. Melahirkan apatisme terhadap penyelamatan budaya.

5. Ego sempit kedaerahan
Budaya kita sangat kaya dan beragam. Sehingga pada beberapa hal terjadi peririsan dengan budaya lain, atau pada budaya yang sama tetapi daerah yang berbeda. Hal ini kadang menimbulkan perdebatan perdebatan yang berbau arogan.
Sebenarnya, jika semua berkepala dingin, hal seperti itu mudah saja dituntaskan. Dengan saling memahami, saling menerima, saling mendorong dan saling mendukung. Maka kerja kerja penyelamatan budaya bisa saling menguatkan. Bukan saling melemahkan satu sama lain.
Ironisnya, ada pesan pesan leluhur tentang hal ini. Namun perlu lebih disosialisasikan dan diinternalisasikan.

Penting re-orientasi kerja kebudayaan
Dalam kerja kerja penyelamatan budaya, akan terpulang pada subyeknya masing masing. Mulai dari niat, target dan tujuan serta metode yang digunakan.
Pada tataran niat, menundukkan ego pribadi, ego daerah dan meleburkan pada ego yang lebih tinggi. Bahwa subyek hanyalah setitik debu kehidupan yang mencoba memaknai hidupnya dengan melakukan kerja kerja kebudayaan. Ego individu adalah penghambat keikhlasan. Tanpa keikhlasan, sulit mendapatkan keberkahan. Dan tanpa keberkahan, sulit mendapatkan kebaikan. Itulah sebab mengapa ego harus dileburkan pada ego yang lebih tinggi.

Hari Jadi Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Selatan

Hari Jadi sebuah daerah adalah wujud kecintaan pada daerah tersebut. Yang merupakan bagian dari kecintaan pada bangsa dan negara. Hari Jadi tersebut menjadi sebuah momen untuk kilas balik dan mengevaluasi capaian pembangunan. Serta berbagi kebahagiaan dalam perayaan tersebut. Yang pada gilirannya akan menyentuh kesadaran individu tentang apa kontribusinya bagi pembangunan daerah.

Setelah pasifikasi tahun 1905/1906, Sulawesi Selatan secara keseluruhan ditundukkan Belanda. Melalui perjanjian pendek (Korte Veklaring) penguasa-penguasa lokal dipaksa untuk mengakui kedaulatan Belanda. Sejak itu, Pemerintah Kolonial Belanda mengatur administrasi pemerintahan secara berjenjang. Dari Provinsi Groote Oost terbagi menjadi Afdeling (wilayah). Kemudian Afdeling terbagi Onder Afdeling (sebagian besar jadi kabupaten). Kemudian Onder Afdeling dibagi Distrik (kelak disebut kecamatan). Dan Distrik terbagi dari Gallarang dan Wanua yang disebut Kampong. Kelak menjadi Desa.

Setelah Pemerintah Kolonial Belanda resmi meninggalkan Indonesia pasca Konferensi Meja Bunda, tata kelola pemerintahan pun berubah. Meski tidak begitu berbeda. Namun di awal kemerdekaan, hal itu tidak praktis dapat dilakukan disebabkan kondisi yang tidak stabil akibat pemberontakan DI/TII dan Permesta.

Sehingga setelah mulai mereda, terbit SK yang mengatur tentang pembentukan Kabupaten di Sulawesi Selatan. Beberapa bekas Onder-Afdeling (Wilayah Afdeling Bone) misalnya Bone, Wajo dan Soppeng menjadi masing masing Swapraja dan menjadi Kabupaten di tahun 1957. Sedang beberapa gabungan Onder Afdeling membentuk satu Kabupaten, seperti Barru, Pinrang dan Sidrap. 

Memasuki era Reformasi, terjadi pemekaran beberapa Kabupaten. Seperti Luwu yang dimekarkan menjadi Kotif Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur. Sedang Kabupaten Toraja dimekarkan menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.

Beberapa kabupaten menjadikan terbitnya SK tersebut sebagai dasar Hari Jadi Kabupaten/Kotanya. Namun beberapa Kabupaten lain melaksanakan kegiatan Seminar Hari Jadi yang mengacu pada sejarah di masa awal kerajaan. Sementara Provinsi Sulawesi Selatan sendiri mengacu pada Perjanjian Bongayya sebagai dasar Hari Jadi daerah.

Berikut ini Hari Jadi Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, diurut berdasar bulan dalam kalender.



Di zaman teknologi informasi ini, zaman dimana sekat-sekat ruang terasa nisbi. Zaman perdagangan bebas terus bergerak mencapai puncaknya. Kita dihadapkan dengan segala potensi daerah kita. Kekayaan alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Sehingga peran semua pihak untuk menggali potensi tersebut agar membawa kemajuan bagi daerah, perlu terus didorong. Yang nanti pada gilirannya, akan berkontribusi positif terhadap kemajuan bangsa dan negara

The Last Angkuru Bissu

Terhampar Widang Sao kain putih panjang. 
Bagai titian suci yang menyambut sang mempelai. 
Dituntun dengan Lawolo lalu dimelewati berbagai prosesi, 
seperti Ri pattudduq umpa sikati dan Ri pallejjaq tana menroja. 
Sementara Bissu lain menari diiringi tabuhan Genrang Tellu
Ditutup dengan sebuah dialog antar bissu yang menjelaskan bahwa sang mempelai bukanlah keturunan I La Bulisa. 
(Cuplikan Prosesi Pangadereng Bissu)


Cucubanna, berisi beras bertih. Salah satu perlengkapan ritual Bissu.
Sebagai simbol penyambutan (dok. pribadi)

Sedikit Tentang Bissu (1)
Demikian gambaran singkat sebuah prosesi adat yang melibatkan Bissu. Mallawolo membimbing mempelai menuju pelaminan. Dalam dialog yang berbahasa Bissu pada prosesi tersebut. Ada tanya jawab yang berisi tentang siapa sang mempelai, apakah keturunan Batara Guru atau I Labulisa (2).

Lawolu, kain yang dipilin. Ujungnya masing-masing dipegang oleh Bissu dan Mempelai (dok.pribadi)
Memang Bissu sangat terkait dengan Ilagaligo (3). Mulai dari episode diisinya dunia dunia tengah (ale kawa) dari keturunan dewa (PatotoE) yaitu Batara Guru yang ditemani oleh Bissu yang ditugaskan merawat pusakanya. Hingga We Tenriabeng. Saudara kembar La Maddukkelleng Opunna Ware Sawerigading, tokoh utama dalam epos Ilagaligo. Disebutkan, Sawerigading ingin menikahi saudara kembarnya, namun ditolak. Lalu ditawarkan sepupu mereka, We Cudai di negeri Cina. Lalu perjalanan melewati lautan dan perang laut pun dilakukan demi cinta. We Tenriabeng kemudian Mallajang. Naik ke Botinglangi atau kayangan. Di sana, ia menikah dengan La Remmang ri Langi. Kelak setelah pernikahannya, mereka berdua memberikan bantuan kesaktian pada Sawerigading saat kewalahan berperang.


Bissu juga disebutkan hadir di era awal berdirinya kerajaan Bone. Saat kondisi Sianre Bale (4) atau saling memangsa laksana ikan, sangat dibutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang adil dan mampu menciptakan ketentraman. Maka nampaklah seseorang yang dianggap To Manurung. Orang itu adalah pengawal To Manurung, dan dia adalah seorang Bissu.

Dalam perjalanannya, Bissu dipercaya memimpin ritual, menjaga arajang atau regalia kerajaan, dan mengelola pesta pernikahan. Pada kondisi perang, Bissu menjadi pengawal Raja. Melindungi jiwa dan raga Raja beserta keluarganya. Peran Bissu begitu dominan hingga Islam diterima secara resmi di Sulawesi Selatan. Parewa Saraq (5) diberi peran dibidang keagamaan sedang Bissu dibidang adat istiadat. 

Tidak semua daerah di Sulawesi Selatan memiliki Bissu. Selain Luwu (dahulu) dan Bone, Bissu juga ada di Soppeng dan Segeri Kabupaten Pangkep. Termasuk juga Pammana. Sebuah kerajaan kecil di wilayah Wajo. Dulunya disebut sebagai kerajaan Cina. Tersebut seorang Angkuru Bissu ia dikenal dengan nama Hj. Jannah. Ia bersama komunitas Bissu masih eksis hingga hari ini.

Hj. Jannah, The Last Angkuru
Menurut pengakuannya, hanya dua daerah yang memiliki Angkuru. Yaitu Pammana Wajo dan Barru Ketika ditanya apa itu "Angkuru", beliau menjawab singkat : "Natinroi bissue". Yang berarti yang mengikuti para Bissu.(6). Sebuah istilah yang sederhana untuk menjelaskan pemimpin Bissu Pammana Wajo.


Hj. Jannah, Angkuru Bissu Wajo (Dok.pribadi)
Sebelum menjadi Angkuru, terlebih dahulu ia menjadi Angkuru Lolo. Semacam wakil dari Angkuru. Hal itu berlaku pada Angkuru sebelumnya. Ia menyebut beberapa Angkuru yang mendahuluinya antara lain Angkuru Melleq, Angkuru Sakka, Angkuru Labacondong, Angkuru Palesangi, Angkuru Sawwaleng, Angkuru Indo Ringgi. (7). Saat ini, Angkuru Lolo adalah Hj. Fera. Disebutkan bahwa Angkuru tidak pernah terputus sejak awal adanya Bissu. Sayang sekali tidak ada catatan yang menuliskan Angkuru pertama hingga terakhir.

Anggota Bissu dengan Panampa dikepalanya (dok.pribadi)
Dilantik menjadi Angkuru sekitar tahun 2008, ia terpilih secara aklamasi oleh para Bissu. Meski ada Bissu yang lebih senior. Selama menjadi Angkuru, Hj Jannah selalu merawat Gau-gaukeng. Baik perawatan secara fisik, maupun ritual secara berkala. Gau-gaukeng itu kebanyakan diperoleh dari Angkuru sebelumnya yaitu Angkuru Melleq. Menurutnya (8), Angkuru Melleq rutin merawat gau-gaukeng tersebut di malam Senin, malam Rabu dan malam Jumat. Meski sibuk, Hj. Jannah tetap merawat gau-gaukeng tersebut meski tidak serutin pendahulunya, Angkuru Melleq.

Sebagai Angkuru yang membawahi sekitar 30-an Bissu. Hj. Jannah berkewajiban membimbing anggotanya. Namun ia membatasi diri hanya sekadar mengingatkan dan menyampaikan saja. Bukan menekan, tambahnya. Angkuru Hj. Jannah sangat fasih membaca naskah Ilagaligo yang beraksara lontara. Sebuah kemampuan yang makin langka di Sulawesi Selatan. Dalam hal membimbing Bissu anggotanya, sampai saat ini baru satu orang yang mengikuti jejaknya dalam kefasihan membaca Lontara.

Kehidupan Sosial dan Ekonomi 
Perubahan struktur sosial politik dalam kurun satu abad terakhir, berdampak pada kehidupan para Bissu. Dulu mereka dijamin keberlangsungannya oleh pihak kerajaan. Setelah kerajaan bubar dan melebur ke Republik Indonesia, mereka dituntut bisa bertahan hidup dengan berbagai tekanan.

Mungkin para Bissu di Sulawesi Selatan adalah komunitas yang paling merasakan dampak dari peristiwa DI/TII. Betapa tidak, sistem kepercayaan yang cenderung sinkretis ditambah peran sebagai gender ke-5, menjadikan Bissu sebagai salah satu target Operasi Toba. Operasi yang dilancarkan DI/TII tahun 1955 untuk menegakkan Islam.

Tutur yang terwariskan adalah "Wettunna ikellu bissue". Ketika para Bissu dipaksa bercukur. Memang dahulu para Bissu memiliki rambut panjang menyerupai perempuan. Para Bissu dipaksa bercukur agar berambut pendek kembali menjadi lelaki.

Namun dengan berbagai keterbatasan, komunitas Bissu yang tersebar termasuk di Wajo ini masih bisa bertahan. Para Bissu berprinsip "deq nabotting nabbija" yang berarti tidak menikah tetapi berkembang biak. Seolah ingin menjelaskan bahwa para Bissu akan terus eksis sepanjang zaman.

Untuk bertahan hidup, para Bissu kadang bertani. Mereka hidup dengan bertanam palawija. Seperti jagung dan kacang-kacangan. Sesekali saat acara pengantin, jasa para Bissu dibutuhkan. Baik sebagai Indo Botting (9), Jennang (10), maupun sebagai pelengkap Pangadereng (11). Sementara, event budaya di daerah juga sering melibatkan para Bissu.

Angkuru Hj. Jannah dalam sebuah acara Mappadendang (dok.pribadi)
Belakangan ini, jasa Bissu makin dibutuhkan dalam acara pernikahan. Beberapa pejabat yang menikahkan putra-putri mereka, melibatkan peran Bissu. Testimoni dari tokoh besar beragam, namun semuanya positif. Tentu hal ini membanggakan para Bissu, terutama sang Angkuru.

Tidak disebutkan berapa nilai jasa yang ditetapkan Bissu saat tampil. Terkadang besar maupun kecil, tergantung kemampuan yang dibayarkan oleh pengguna jasa. Biasanya ia diberi uang jasa setelah selesai penampilan. Akan tetapi ada juga yang sampai sekarang masih ngutang.

Diperhatikan pemerintah dan tokoh adat, tidak berseberangan dengan pihak lain. Sudah cukup membahagiakan Angkuru Hj. Jannah dalam memimpin Bissu Pammana Wajo. Nampaknya sejauh ini, sang Angkuru puas dengan apa yang ada. Tidak banyak harapannya. Salah satunya, agar timing yang diatur panitia saat tampil tidak bersamaan dengan waktu shalat.

Gender Bissu Pammana di Ruang Sosial
Pelras menulis : "Orang Bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka, di mana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menenutukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki laki maupun perempuan mempunyai peran sejajar (walaupun berbeda) dalam kehidupan sosial.(12)

Di Sulawesi Selatan, khususnya orang Bugis. Perempuan ditempatkan pada posisi terhormat. Perempuan adalah Siriq (13) yang harus di jaga. Namun tidak berarti perempuan tidak mempunyai ruang sosial dan politik yang setara. Di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan di masa lalu, banyak Ratu yang memimpin. Bahkan tokoh pendiri kerajaan yang setengah mistis pun banyak yang perempuan.

Masih menurut Pelras, ia membagi 5 jenis gender di Sulawesi Selatan. Selain perempuan dan laki-laki, ada Calalai, Calabai dan Bissu. Calalai adalah perempuan yang berprilaku seperti laki-laki. Sebaliknya Calabai adalah laki laki yang berprilaku perempuan. Dari sini dapat dipahami bahwa Calabai berbeda dengan Bissu. 

Dalam hal pengorganisiran, komunitas Bissu di Wajo dipimpin oleh Angkuru Hj. Jannah. Sedang untuk Calabai atau waria punya lembaga sendiri yang dipimpin oleh Hj, Agung. Sesekali kedua lembaga ini saling mengundang. 

Ketika ditanyakan tentang bagaimana perlakuan masyarakat terhadap para Bissu, Hj Jannah menjelaskan bahwa selama ini tidak ada pelecehan maupun perlakuan yang kurang menyenangkan. Dibandingkan dengan Calabai atau Waria, Bissu diperlakukan lebih terhormat (14).

Sebagaimana Bissu lainnya. Terkadang mereka memiliki pasangan sementara. Seorang laki laki yang mereka jaga dan pelihara. Di istilahkan dengan To boto atau ane piara. Seorang Bissu yang memiliki ane piara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan laki laki tersebut secara finansial. Hingga dinikahkan dengan perempuan. Ketika ditanyakan, bagaimana pendapat orang tua ane piara tentang "hubungan" dengan bissu. Sang Angkuru menyebut, justru orang tua senang karena si anak tidak kemana-mana lagi.

===<><><><>===

Catatan
(1) Didefinisikan secara umum sebagai pendeta agama Bugis kuno.
(2) I Labulisa, salah satu tokoh antagonis dalam ILaligo. Dikenal sebagai seorang pelayan yang haus kuasa yang mencuri simbol kebesaran Batara Guru demi menjadi raja.
(3) ILagaligo. Epos terpanjang didunia. Berisi tentang kosongnya dunia tengah (Ale Kawa) kemudian diisi oleh keturunan dewa dewa dari dunia atas (Botinglangi) dan dunia bawah (Uri liu). Dilanjutkan dengan cucu manusia pertama (La Tongelangi Batara Guru) yaitu Sawerigading berjuang untuk mendapatkan cinta We Cudai serta keturunan terakhirnya.
(4) Sianre Bale = saling memangsa laksana ikan, siapa kuat dia menang. Sebuah istilah dalam naskah Lontara untuk menyebut periode antara akhir Ilagaligo dan awal kedatangan Tomanurung pembentuk kerajaan Bugis akhir. Sebuah kondisi kacau tanpa pemimpin yang kuat
(5) Parewa Saraq = pejabat syariat. Terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib, Bilal dan Doja. Berfungsi sebagai urusan keagamaan setelah kerajaan-kerajaan Bugis menerima Islam secara resmi sekitar awal abad ke-17
(6) Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017
(7) Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017
(8) Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017
(9) Secara harfiah berarti ibunya pengantin. Orang yang bertanggung jawab mengurus calon mempelai.
(10) Secara harfiah berarti pemimpin bidang tertentu. Pada konteks ini adalah pemimpin yang mengurusi bidang konsumsi pesta pernikahan.
(11) Secara harfiah berarti aturan adat istiadat. Pada konteks ini adalah ritual adat yang melibatkan peran Bissu seperti yang dipaparkan diatas.
(12) Manusia Bugis, karya Christian Pelras (185:2006)
(13) Siriq berarti malu, harga diri, kehormatan, motivasi.
(14)Wawancara dengan Hj. Jannah, 7 Juli 2017

Era Sosmed, Era Massifnya Labelling

"..social groups create deviance by making rules whose infraction creates deviance.."
(Howard Becker)

Pada dasarnya, tiap individu dan masyarakat memiliki kekhasannya masing-masing. Yang kemudian mengidentifikasi dirinya dengan konsep ideal. Sebuah konsep yang tersepakati secara umum apa yang seharusnya dilakukan sebagai sebuah "kebaikan". 

Apabila ada "pelanggaran" terhadap konsep ideal tersebut, maka dilekatkanlah sebuah teks yang berkonotasi negatif sebagai Label pada individu dalam masyarakat tersebut. Secara sederhana, ini yang dimaksud dengan labelling.

Fenomena Labelling bisa ditemukan dalam bentuk positif maupun negatif. "Sang Pahlawan", "Ayam Jantan dari Timur", adalah contoh labelling yang bernuansa positif. Bila mengikuti pendapat Howard Becker, Labelling hanya bernuasa negatif. Yaitu individu devian, yang berbeda dengan kebanyakan yang dianggap buruk. Misalnya "pengkhianat", "munafik" dan sebagainya.

Labelling bila dilihat pada konteks yang berbeda, pada dasarnya adalah penyederhanaan identitas terhadap entitas yang berbeda dengan kebanyakan. Misalnya, "Pemimpin Besar Revolusi" adalah penyederhanaan pada identitas pada tokoh yang dengan segala kerumitannya memperjuangkan sebuah revolusi. Atau contoh lain. "Bapak Pembangunan" adalah identitas yang dilekatkan pada tokoh dengan segala kerumitan pembangunan yang disematkan padanya.

Labelling, sangat dipengaruhi oleh perspektif si penilai. Misalnya, tokoh sejarah yang memerangi bangsa asing akan dilabelkan sebagai "Pahlawan". Sementara justru akan dilihat berbeda oleh musuhnya yang dilabelkan sebagai "Bajak laut" misalnya. Hal ini sudah terjadi sejak lama. 

Yang agak sensitif adalah interaksi antar masyarakat. Dimana tiap masyarakat memiliki identitas dan idealitas yang berbeda. Yang sedikit memunculkan persoalan adalah ketika idealitas diantaranya justru sebaliknya. Sebagai contoh antara orang Jawa dan orang Sulawesi dalam hal penggunaan keris. Orang Jawa memahami bahwa idealnya keris diselipkan di belakang/pinggang. Hal ini tidak terlepas dari idealitas Masyarakat Jawa yang memahami bahwa mendahulukan dialog daripada kekerasan. Sebaliknya, Orang Sulawesi memahami bahwa idealnya keris diselipkan didepan. Hal ini tidak terlepas dari idealitas orang Sulawesi yang apa adanya dan memperkenalkan identitas melalui kerisnya.


Dalam hal tersebut, orang Jawa memahami kurang baik bila keris didepan dan sebaliknya orang Sulawesi memahami kurang baik bila keris di belakang. Baik Jawa maupun Sulawesi punya "labelling" pada individu/masyarakat yang devian. Atau menyimpang dari konvensi kebenaran dari pendapat masing masing. 

Labelling, kadang mengacu pada fisik, sikap atau tindakan. Sebagai contoh La pute mata sebagai labelling orang Sulawesi pada orang Belanda. Sebaliknya orang Belanda (khususnya yang bertugas di Sulawesi masa penjajahan) menyebut orang Sulawesi sebagai "pemberontak" "penganggu keamanan".Contoh seperti ini bisa dilihat pada interaksi antar etnis, komunitas, juga agama.

Labelling, pada dasarnya sudah terjadi sejak lama. Labelling bukan milik satu kelompok saja. Tetapi terkadang terjadi aksi saling labelling diantara keduanya. Pergesekan kepentingan ekonomi dan politik adalah pra kondisi yang cukup, untuk menciptakan proses labelling pada kedua belah pihak. 

Di era teknologi informasi sekarang ini. Labelling sangat mudah ditemukan. Apalagi sosial media terbukti punya pengaruh kuat dalam membangun opini massa. Sehingga pihak pihak yang berkepentingan sering menggunakan Labelling ini untuk memuluskan tujuannya.

Bagaimana menyikapi ?
Manusia diciptakan memiliki dua mata, dua telinga dan satu mulut. Seolah Tuhan Sang Pencipta ingin mengatakan pada hambaNya, agar melihat dan mendengar dua kali. Membandingkan, barulah berkomentar satu kali.

Ketika kita menemukan Black Labelling atau label buruk yang dilekatkan pada seseorang/kelompok, hendaknya kita melihat dan mendengarkan baik baik dari pihak yang dilabelkan tersebut. Apakah memang demikian adanya. Bangun empati, bagaimana sekiranya kitalah yang korban labelling tersebut. Apakah kita terima atau tidak ?

Tentu tiap kita punya konsep ideal yang boleh jadi orang lain berlaku tidak seperti kita. Dan diluar idealitas individu/kelompok, ada idealitas yang bersifat universal. "Sopan" misalnya, adalah konsep ideal yang bersifat universal, lintas suku, bangsa dan agama. Namun secara detail, bagaimana berprilaku sopan, itu sangat tergantung pada idealitas individu atau kelompok tersebut. Sehingga, bila kita menemukan orang/kelompok lain yang berprilaku "kurang sopan" menurut kita, hendaknya mendahulukan untuk memahami pemikiran orang/kelompok tersebut sebelum menilai. Dan tentunya meski kita kurang senang dengan pemikiran atau prilaku orang/kelompok lain, hendaknya menghindari Black Labelling.

Pesan Indera Patara


Dahulu kala di istana kerajaan Bugis, (LangkanaE, Salassaq, Saoraja), Indera Patara kerap dikisahkan kepada putra dan putri Raja setelah usai shalat magrib. Mirip fungsi film kartun saat ini. Para pangeran dan putri raja pun senantiasa menyimak kisah Indera Patara ini dengan cermat.

Sebagai fiksi edukasi, Indera Patara ini memiliki muatan tentang pentingnya tanggung jawab pemimpin. Bahwa kekuasaan bukanlah permainan belaka. Dan yang penting adalah, meski layak memimpin, Indera Patara bukanlah orang yang haus kekuasaan. Apalagi menghalalkan segala cara demi kuasa.

Kisah Indera Patara adalah serapan yang cenderung fiksi. Namun mengandung unsur edukasi. Indera Patara ditokohkan sebagai seorang pangeran yang disenangi oleh Raja Buhtasyar bersama rakyatnya untuk memimpin negerinya. Meski demikian, ia menolak tahta karena pemahaman tentang beratnya konsekwensi kepemimpinan.

Berikut ini kutipan Indera Patara dari Lontara Sejarah yang ditulis oleh Petta Sulewatang Amali 20 Januari 1939 yang berisi percakapan Indera Patara dengan ayahnya, Raja Buhtasyar bersama rakyatnya. Saat diminta menjadi Raja namun menolak karena merasa tidak sanggup mengemban amanah yang sangat berat.


Kutipan Kisah Indera Patara dalam Lontara Sejarah karya Petta Sulewatang Amali

pslE pnEseaGi riwEtu riasiturusin aiedrptEr ritau meagea mealo mlai aru mpert.
Passaleng pannesaengngi ri wettu ri assiturusina indera patera ritau maegae maelo malai arung mapparenta
Pasal yang menjelaskan saat disepakatinya Indera Patera oleh orang banyak untuk mengangkatnya sebagai Raja

nkEd arueG buhEtsrE ea anku tomlEbiku.
Nakkeda  arungnge buhtasyar, e anakku tomalebikku.
Berkata Raja Buhtasyar, oh anakku yang mulia

msituruai tomeagea aiymnE.
Massiturui tomaegae iyamaneng
Disepakati oleh semua orang banyak

naikon paop pelGEGi tnea.
Naikona paoppang palengengngi tanae
Dan engkaulah yang menelungkupkan menengadahkan tanah (maksudnya berhak atas kepemimpinan)

sprGi mk npoedecGEeG wnuaea.
Sapparangngi maka napodecengengnge wanuae
Carikanlah kebaikan untuk negeri

nkEdn aidEr ptr. aupetai ri auluku puw. Pmest.
Nakkedana indera patara, upatteq i ri ulukku puwang. Pammaseta
Berkatalah Indera Patara, kukatakan tidak Puwang atas anugrahnya

edai riy riaesGE apert.
deq i riyaq riasengnge apparentang
Tidak ada pada diriku kepemimpinan

ap aiy akrGEeG 3 etluai srn nwEdi mCji mpert mrj tauew.
Apaq iya akkarungengnge 3 tellui saraqna nawedding mancaji tomapparenta maraja tauwe.
Karena kekuasaan ada 3 syarat baru dapat seseorang menjadi pemimpin yang besar

1 esauwni rieabrai an lolo wnuw ri pertea.
1 seuwani riebaraq i anaq lolo wanuwa ri parentae
Pertama, negeri diibaratkan bayi oleh pemimpin

naiy arueG rieabrai aido.
Naiya arungnge riebaraq i indoq
Adapun Raja diibaratkan ibu

naiy aidoea ndojaiGi ann.
Naiya indoq e nadojaingngi anaq na
Adapun ibu, senantiasa menjaga anaknya hingga malam

naiy anea riklimuripi.
naiya anaq e rikalimuripi
Adapun anak, mestilah diselimuti

nerko mcEekai neaKliG topi etri ann npkuru npdEepai npsusuai.
Narekko macekkeq i naengkalinga topi terri anaqna napakkuru napaddeppei napasusui
Apabila kedinginan, dan mendengarnya menangis, maka disayangi didekati dan disusui

naiy riasEeG ndojai ri eaKliGai adrrin toripertea.
Naiya riasengnge nadojai, ri engkalingai addararinna toriparentae
Adapun yang disebut dijaga hingga malam, yaitu didengar keluh kesah rakyatnya

naiy riasEeG riklimuri ripeblaiyGi abln.
Naiya riasengnge rikalimuri ripabelaiyangngi abalana
Adapun yang disebut dengan diselimuti adalah dijauhkan dari bencana

naiy riasEeG ripmimiri riewerewerGi edea.
Naiya riasengnge ripammimmiri ri werewerengngi deq e
Adapun yang disebut dikecupkan yaitu dengan diberikan yang tidak diinginkan (maksudnya menumbuhkan harapan dan semangat)

riatutuaiwi wrPrn aiy aEKea.
Riatutuiwi waramparanna iya engkae
Dijaga harta bendanya yang ada

siruptopi eabrn akruGEeG.
Sirupatopi ebaraq na akarungengnge
Satu ibaratnya kekuasaan

rieabrai tnEtnE mlailaiGE rupn.
Ri ebaraq i taneng taneng mallaing laingnge rupanna
Di ibaratkan tanaman yang berlainan jenis

naiy tnE tnEeG ri plpi.
Naiya taneng tanengnge ri pallappi
Adapun tanaman mestilah dipagar

ribjaipi riaoRoatopi.
Ribajaipi rionroangtopi
Dibersihkan dan dijaga pula

naiy ri aesGE ri aoRow riaetyGi nautmai aolokolo.
Naiya riasengnge ri onrowang ri atteyangngi nauttamai oloq koloq
Adapun yang disebut dijagai, adalah mencegah agar tidak dimasuki hewan

bEtuwn to mgau bweG.
Bettuwanna to maggauq bawangnge
Artinya orang yang berlaku sewenang-wenang

naiy riasEeG ribjai riaetyGi sislsl lisEn wnuwea riealorGi mtret gaun. aEREeG ekdon.
Naiya riasengnge ri bajai, riateyangngi sisala sala liseqna wanuae rielorangngi mattaratteq gauqna. Enrengnge kedona
Adapun yang dimaksud dengan dibersihkan, mencegah pertengkaran antara sesama masyarakat diharapkan agar tertib tindakannya maupun perbuatannya.

rieabrai pl. mkopiro nllo tuwo tnEtnEeG. nmeag bwn.
Ri ebaraq i pallaq. Makkopiro nalalo tuwo taneng tanengnge. Namaega buwana.
Di ibaratkan di pagar. Hanya dengan hal demikian menjadi jalan tumbuh tanaman dan banyak buahnya.

esauwtopi srn akruGEeG. rieabrai bol. aj mumGiGi prkaiwi.
Seuwatopi saraqna akkarungengnge. Riebaraq i bola, ajjaq mumangingngi parakiwi
Ada juga satu syarat pemerintahan. Di ibaratkan rumah, jangan bosan merawatnya.

nerko muaitaitaiwi buru naolnitu bosi. nerko nbosiGi luwnitu lisEn bolea.
Narekko muitaitaiwi buruq naolanitu bosi. Narekko nabosingngi luwangnitu liseqna bolae
Apabila engka membiarkannya rusak maka akan ditembus hujan. Bila kehujanan akan tumpah isi rumah

msu milau aeprum ribol laieG bEtuwn nerko muaitaitaiwi ri gau bw msunitu riwnuw lai.
Massu milllau apperumang ri bola laingnge bettuwanna narekko muitaitaiwi ri gauq bawang massunitu riwanuwa laing
Keluar  meminta perlindungan di rumah yang lain, maksudnya apabila engkau membiarkan rakyatmu diperlakukan sewenang-wenang maka akan pergi negeri yang lain

nerko msuni ri wnuw lai to ripertea neacwcwaini mtu pdmu tompert. mkuniro bicrn sr srn aperteG wnuw.
Narekko massuni ri wanuwa laing toriparentae, naecawacawaini matu padammu tomapparenta. Makkuniro bicaranna saraq saraqna aparentangeng wanuwa
Apabila rakyat telah keluar bermukim ke negeri yang lain, maka engkau akan diketawai sesamamu pemerintah. Begitulah syarat syarat pemerintahan negeri

------


Cara membuat Status FB menurut Kearifan Lokal Bugis

Dalam kurun dua dekade terakhir, kita menyaksikan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat. Baik perangkat lunak (Software) maupun perangkat keras (Hardware) dengan cepat berkembang.

Cek : NETGEN

Sebagian besar manusia, tidak menyadari dampak dari kemajuan tersebut. Yaitu obesitas informasi. Ya, Obesitas Informasi. Terlampau banyak informasi yang kita serap dalam sehari saat kita online. Sehingga bahkan informasi yang kita tidak butuh dan tidak penting pun kita konsumsi.

Salah satu buku yang menghimpun kearifan lokal Bugis
Beberapa sosial media tersedia, seperti Twitter, G+, dan yang paling populer Facebook. Saat ini memiliki pengguna hampir 2 Milyar akun aktif. Yang tiap hari membuat status, komentar, grup, mengupload gambar, mengiklan dan seterusnya.


Obesitas Informasi ini bukan hanya karena terbukanya ruang yang egaliter untuk aktualisasi diri. Sehingga tiap person punya hak sama untuk memasang status atau bahkan memamerkan ibadahnya. Obesitas Informasi ini juga karena adanya "tantangan" dari penyedia Sosial Media sendiri untuk menuliskan apa yang kita pikirkan.

Nah, dari titik ini. tiap orang (yang punya akun) punya kesempatan untuk membagi yang baik atau yang buruk, tergantung pada pemikiran yang bersangkutan.

Pada dasarnya, semua manusia baik. Manusia diciptakan dengan fitrah kemanusiaannya. Kejujuran, kebenaran, keadilan dan semua kualitas kebaikan lainnya merupakan hal yang terintegrasi pada diri manusia.

Namun, manusia bukan malaikat. Manusia memiliki emosi yang kadang stabil kadang sebaliknya. Banyak faktor yang memengaruhi emosi manusia. Namun yang penting untuk dipikirkan adalah, akibat dari kondisi emosi kita kepada orang lain.


Pada kasus sosial media. Bila kita menulis status atau komentarAda kemungkinan bias yang dapat disalahpahami oleh pembaca. Latar belakang, pengetahuan, dan kondisi emosi akan mempengaruhi penangkapan atas status atau komentar yang dibaca. Selanjutnya, status/komentar balasan (baik yang menyerang atau menyindir), dapat saja tertulis dan berakhir penyesalan.

"Narekko engka kedo ri atimmu, itai riolona, itai rimunrina, kira kirai tengngana, muinappa pegauk i, dek na tu naolai sesse kale. Pogaukni madecengnge, tettanni majak e, napojinotu Puang MappancajiE, apa ianatu riaseng pappakedo Puang".

Terjemahan :
Jika ada yang terlintas didalam hatimu, amatilah penyebabnya,lihatlah akibatnya, perkirakanlah pelaksanaannya, baru kemudian engkau lakukan. Tidak akan berakhir dengan penyesalan. Lakukan yang baik, tinggalkan yang buruk. Maka engkau akan disukai oleh Tuhan yang Maha Pencipta, karena itulah petunjuk dari Tuhan.
sumber : PANGAJAK TOMATOA 
Dihimpun oleh : Zainuddin Hakim

Ada baiknya kearifan lokal diangkat kembali. Meski sudah tua, namun belum usang. Pentingnya untuk melihat awal, akhir dan tengah suatu persoalan. Ternyata bisa diterapkan dalam menulis status dan komentar. Bersosial media, tidak memperturutkan hawa nafsu dan kebencian. Tetapi memikirkan matang matang sebelum diposting. Mempertimbangkan perasaan orang lain bila dibaca. Dan paling penting adalah jangka panjangnya. Yaitu ketika kita tutup usia tetapi tidak sempat tutup akun.


Perang, dalam tradisi Bugis Makassar


....the Bugis Makassar sources structure the motivations for warfare around cultural concepts of shame (siriq), commiseration and solidarity (pesse/pacce), and on the maintenance or restoration of proper relationships wthin the human community and between states....

L. Andaya


Perang, adalah bagian dari dinamika sejarah manusia. Dimana pertentangan antara satu kelompok dengan kelompok lain yang tidak bisa diselesaikan secara diplomatis, kemudian berujung konflik bersenjata.


Sulawesi Selatan di masa lalu, pernah mengalami banyak peperangan. Namun, ada kekhasan yang didasari oleh kebudayaan setempat. Seperti yang dikatakan Andaya, motivasi Siriq dan Pesse/Pacce adalah motivasi utama. Meski dibalik itu terdapat kepentingan dominasi politik dan kepentingan ekonomi. 


Akan tetapi, perang di Sulawesi Selatan di masa lalu, tidak melulu disebabkan dorongan ekonomi politik. Terkadang ada perang yang disebabkan hal yang mungkin dianggap aneh. Yaitu syarat diterimanya sebuah lamaran.

Tradisi Bugis Makassar tidak memulai perang bila tidak dideklarasikan terlebih dahulu. Perang kilat (Blietzkrieg) ala Jerman atau serangan mendadak Jepang ke Hawaii adalah contoh perang modern yang tidak dikenal di masa lalu. Deklarasi perang ditandai dengan dikirimkannya pernyataan dari satu pihak yang disebut Timu-timu. Pesan singkat berisi pernyataan akan menyerang satu pihak ke pihak lain yang dikirimkan Timu-timu.

cek :
Para ksatria, pejuang, dipanggil melalui Bila bila musu yang berisi waktu dan tempat akan diadakannya peperangan. Pada saat itulah diadakan prosesi Mangngaruq yaitu sumpah setia pada pimpinan. Tak jarang, diadakan prosesi Macceraq yaitu pelumuran darah kepada Bate atau bendera/panji perang. Dengan harapan diberi kemenangan.

Sisi Mistis dan Metafisika pada Perang
Perang dalam tradisi Bugis-Makassar, tidaklah sekadar persoalan kuantitas dan kualitas pasukan. Bukan pula sekadar ragam senjata yang digunakan. Seperti tombak, alameng, sinangke, bangkung, tappi/gajang/sele, badiq/kawali,seppu dan sebagainya. Tetapi juga persoalan metafisika. 

Contoh Tombak yang digunakan komandan pasukan

Senjata, dalam hal ini Parewa Bessi/Polobessi, bukan sekadar tajam dan bisa difungsikan. Akan tetapi terkadang ditambahkan zat zat tertentu agar lebih beracun (mausso). Sissiq atau karakter dasar senjata sangat dipertimbangkan. Bessi Malela, sangat umum digunakan dalam peperangan.

Pappoq, sejenis siluman wanita, terlibat dalam perang 1859. Picunang, adalah sebuah ilmu mistik. Dimana peluru hanya diletakkan di tangan. Kemudian dirapal mantra dan ditiup ke peluru. Peluru itu akan terbang mencari sendiri sasarannya. Sementara Kulawu juga digunakan, khususnya Kulawu Bessi agar tidak mempan senjata. Atau Kulawu wai (air), agar luka dapat cepat menutup sebagaimana air.

Dalam sebuah tradisi tutur, tombak yang berlubang di tengahnya, digunakan dalam menyeleksi pasukan yang akan diberangkatkan. Komandan pasukan memegang tombaknya kemudian melihat pasukannya dari celah lubang pada tombaknya. Bila seorang pasukan terlihat tak lengkap anggota tubuhnya, maka ia dilarang pergi perang. Sebab diyakini yang bersangkutan akan tewas pada perang nantinya.


Medan Pertempuran
Perang antar kerajaan berarti ada jarak yang harus ditempuh sebelum terjadi pertempuran. Oleh karena itu, dibangunlah kubu yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan sebelum pertempuran dimulai. Tampakuku.atau kubu, dibangun ditempat strategis dan biasanya tidak jauh dari sungai, agar memudahkan penyerangan dan memuat peralatan tempur seperti meriam serta logistik pasukan.

Tampakuku ini dibuat dari kayu dan dipersenjatai dengan meriam kaliber kecil yang disebut dengan Lela Rentaka. Tampakuku tidak dibuat sebagai bangunan permanen. Ia dibangun dengan cepat. Bila kondisi terdesak, Tampakuku ini juga bisa dipindahkan dengan cepat sebagai bagian dari taktik perang.

Pasukan penyerang akan meninggalkan Tampakukunya dan bertemu dengan pasukan lawan yang biasanya berada di bentengnya. Pada pertempuran, biasanya komandan akan berhadap-hadapan dengan komandan musuhnya. Begitupun dengan pasukan. Peperangan akan diakhiri apabila ada komandan lawannya tewas.

Ilustrasi Perang Makassar 1667-1669. Nampak penggunaan Sumpit beracun


Pasca Perang
Perang baru dikatakan berakhir, bila ada upacara resmi. Pihak kalah akan Ripabbua Tappi yaitu menyerahkan keris emas pada pihak pemenang. Sebagai simbolitas pengakuan akan kekalahan. Selain itu, pihak kalah perang akan membayar Sebbu Kati yaitu denda perang. Menyerahkan sepasang gelang, sarung dan benda benda lainnya.

Pada pihak yang dianggap setara, perang diselesaikan dengan sebuah perjanjian atau Maqkuluada. Ditandai dengan di letakkannya pusaka kerajaan dua belah pihak secara berdampingan.