Dialog Kebenaran II

Tags

Tak terasa La Marufe telah setahun di rantauannya. Kesibukan telah mengantarkannya pada kesuksesan duniawi. Sesekali ia menikmati hidup dengan menyalurkan hobinya, yaitu mancing dan naik motor. Ia masih mengingat pesan gurunya. Namun, ia merasa kering dan hambar. Jiwanya menuntut untuk pengetahuan maknawi.


Sehabis bekerja, La Marufe kembali ke kontrakannya. Merapikan semuanya, melaksanakan tugasnya. Lalu beristirahat. Ia kemudian bermimpi berada ditempat yang tinggi. Sepertinya sebuah gunung. Gunung yang tidak terasa asing. Lalu, muncul seorang kakek. Ternyata gurunya, Puang Nene. Betapa senang La Marufe dalam mimpinya. Sebab berkesempatan bertemu kembali dengan gurunya yang telah terpisah jauh.

Dalam mimpinya, buru-buru La Marufe mengucap salam, meraih tangan gurunya. Lalu menjabat dan menciumnya. Terlihat senyum tipis sang guru kemudian menyuruhnya duduk.

Puang Nene : Nampak jiwamu kering anakku.
La Marufe : Iyye puang.
Puang Nene : Apakah kemilau dunia menyilaukan matamu nak ? 
La Marufe : Maksudta puang ?
Puang Nene : Apakah engkau terlalu sibuk memikirkan harta, orang lain, ketimbang bercengkrama dengan dirimu sendiri ?
La Marufe : Iyye puang.

La Marufe memperbaiki posisi duduknya dan bertanya
La Marufe : Bagaimana membasahi jiwaku yang kering puang ?
Puang Nene : (Sambil tertawa). Kemarau di hatimu mengeringkan jiwamu sehingga tumbuhan kehidupan menjadi layu anakku. Itu lebih baik bagimu daripada mempersoalkan kemusyrikan dan keyakinan orang lain anakku. Baik bagimu menyembuhkan luka dihatimu daripada melukai hati orang lain. Baik bagimu memperbaiki agamamu daripada memperbaiki agama orang lain.
La Marufe : Bagaimana caranya puang ? Sementara jidatku tidak hitam puang
Puang Nene : Banyak ahli sujud tidak hitam jidatnya anakku. Ada juga orang hitam jidatnya tetapi baru beberapa bulan belajar sujud. Hatimu lebih penting untuk bersujud ketimbang penampilanmu. Engkau tidak perlu penilaian manusia dalam hal itu anakku. Engkau butuh keridhaan Tuhan.

La Marufe termenung dan memikirkan kalimat gurunya.
Puang Nene : (Memindahkan topik pembicaraan) Anakku, jangan persempit arti ibadah hanya sekedar ritual anakku. Bahkan dalam kesenanganmu engkau bisa beribadah.
La Marufe : Bagaimana itu puang ?
Puang Nene : Engkau suka memancing dilaut anakku. Mengapa engkau tidak memikirkan tanda-tanda kebesaranNya ? Mengapa engkau tidak bercerita dengan dirimu sendiri ? Engkau suka naik motor sendiri ke suatu tempat yang tidak pernah kau datangi. Mengapa engkau mempelajari dirimu sendiri ?

Lalu La Marufe terbangun dari mimpinya. Ia mengingat tentang memancing dan naik motor. Saat memancing, ia berada diatas air. Air adalah ketenangan. Air adalah kehidupan. Air adalah kedamaian. Ia mengingat dikota kota besar biasanya ada air mancur. Dalam rumah rumah, biasa ada aquarium. Pikirannya semakin liar, ia mengingat iklan air mineral yang katanya 90% tubuh terdiri dari air. 

La Marufe tersadar. Mendapatkan ikan dalam memancing adalah hal kedua. Hal terpenting sebenarnya adalah ketika ia menemukan kedamaian. Ia merasakan hidupnya yang lemah ditengah lautan yang hanya bersandar pada kuasaNya. Hidup adalah terberi dari sang Maha Hidup. Akhirnya, La Marufe memahami makna berguru diatas air.

Berguru diatas air dan angin
Apa hubungannya naik motor sendiri ke suatu tempat dengan mempelajari diri sendiri. La Marufe kembali mengingat. Ia selalu menenangkan diri sebelum berangkat. Meski demikian, ia bisa merasakan bagaimana emosinya naik saat didepannya asap knalpot mobil truk mengotori udara yang ia hirup. Bagaimana lambatnya mobil truk dan menghalangi jalannya sehingga hawa panas terasa ditubuhnya seiring emosinya.

Kenangan saat terjatuh dari motor juga muncul dalam ingatan La Marufe. Ia mengingat, beberapa kali kecelakaan, ia berada pada kondisi "teddeng paringeranna" atau hilang kesadarannya. Ia juga mengingat, berkendara adalah berkonsentrasi pada jalan, kendaraan lain, dan mengontrol kendaraan sendiri. Kecelakaan adalah kondisi dimana terjadi kegagalan dalam mengontrol kendaraan terhadap kendaraan atau jalan lain.

Makna berguru diatas angin telah dipahami oleh La Marufe. Yaitu, mengendalikan sifat sifat angin yang mudah berubah. Dalam dirinya, penting baginya untuk mengendalikan agar kesejukan hembus angin tidak berubah menjadi angin puting beliung yang merusak. Sifat angin akan membesarkan api emosi dalam diri.
La Marufe tersadar, ia bermotor sendirian tetapi kurang mempelajari perubahan dalam jiwanya. Ia juga sadari, masih kurang kemampuan mengontrol "angin" dalam dirinya. Ia memancing sekedar hobi, bukan berkontemplasi. Akhirnya La Marufe sampai pada sebuah titik kesadaran. Bahkan dalam menyalurkan hobi pun manusia bisa mengenal dirinya, yang menjadi jalan mengenal Tuhannya.


EmoticonEmoticon