Manusia Bugis (Resensi)

Tags

Bisa dikatakan, buku Manusia Bugis adalah karya yang paling mampu menjelaskan eksistensi orang Bugis. Puluhan tahun di Sulawesi Selatan, konsistensi Christian Pelras ~dalam konteks peneliti luar~ mungkin hanya bisa disaingi pendahulunya, yaitu F Matthes. Mampu berbahasa Bugis halus, berkorespondensi dengan menggunakan aksara lontara, serta beretika ala orang Bugis dulu, adalah sebagian dari kemampuan Pelras. 



Buku Manusia Bugis yang terdiri dari 11 bab dan 397 halaman ini, menjelaskan berbagai hal secara komprehensif. Pada bab 1 Pendahuluan, memaparkan secara umum tentang orang Bugis seperti wilayah, bahasa dan hubungan suku tetangganya. Bab 2 (bukti dan sumber) dan bab 3 (sulawesi selatan pada masa awal) membahas tentang data arkeologis, tinggalan megalitik, epos ilagaligo, kronik dan sumber luar sebagai bahan untuk merekonstruksi pemahaman tentang sejarah orang Bugis.

Bab 4 (Peradaban awal), membahas tentang kebudayaan bendawi, sistem kepercayaan, dan kosmologi. Tentang kepercayaan Bugis kuno, Pelras menulis : ..."Dasar sistem religi Bugis pra Islam sebenarnya bersifat pribumi, meski mungkin ditemukan adanya persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu maupun Budha.....Kalaupun ada kesamaan, itu mungkin karena bersifat universal umat manusia. Kemiripan lain dengan mitos padi dan ritual daratan asia tenggara dan Nusantara bagian barat, yang sebelumnya memperoleh pengaruh India........Sinkretisme juga memiliki peran terhadap keberadaan beberapa jejak nama dan istilah pinjaman yang menunjukkan pengaruh Buddha maupun Siwaisme, yang barangkali masuk lewat hubungan tidak langsung, khususnya Sumatera (hal. 109)". Pendapat Pelras ini sangat beralasan. Mengingat berbagai kosakata serapan India yang digunakan masa lalu (sebagian sekarang) namun tidak ditemukannya kitab suci Hindu maupun Budha dalam literatur Bugis Kuno.

Kekuasaan di Sulawesi Selatan selalu dihubungan dengan I Lagaligo. Hal ini dijabarkan Pelras pada bab 5 (Bangkitnya Kerajaan Historis). Luwu sebagai kerajaan paling dominan, perlahan mulai surut dengan kemunculan kerajaan Bone, Makassar, Wajo, Soppeng dan Sidenreng. Era Datu Dewaraja dan pasca meninggalnya, terjadi banyak peperangan yang menggoyahkan dominasi Luwu. Sementara, jatuhnya Benteng Malaka di semenanjung Melayu berdampak politik dan ekonomi terhadap Sulawesi Selatan. Hal ini dijelaskan pada bab berikutnya yaitu bab 6 (Pertarungan antara kekuasaan dan agama). Interaksi dengan Portugis menyebabkan diserapnya berbagai jenis budaya. Bahkan Kristen (Katolik) mulai diperkenalkan ke Sulawesi Selatan. Tercatat Datu Suppa dan Siang sempat di baptis. Misi Kristenisasi di kerajan Bugis sempat terhenti akibat terjadinya perang antara Sidenreng yang dibantu Gowa melawan Wajo (hal. 151). Sementara Kerajaan Makassar mulai muncul sebagai kerajaan dominan di Sulawesi Selatan, kerajaan Bugis membentuk aliansi untuk menghadapi kerajaan Makassar. Dominasi kerajaan Makassar ini tidak terlepas dari politik luar negerinya yang bersahabat dengan Portugis dan Melayu sehingga perdagangan laut Makassar meningkat. Hubungan Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Aceh menjadi pintu kedatangan tiga datuk yang legendaris yang menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan.

Bab 7 (Masyarakat) membahas tentang perubahan budaya masyarakat Bugis. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang kekerabatan, gender, perkawinan, stratifikasi, kerajaan, dan relasi patron-klien. Bab 8 (Kehidupan Spiritual dan Mental) membahas tentang sinkretisme, islam ortodoks, praktek keberislaman, pendidikan agama, ritual, musik dan sastra. Bab 9 (Kebudayaan Bendawi dan Kegiatan Perekonomian) membahas tentang rumah, pakaian, makanan, pertanian, penentuan waktu, nelayan dan perikanan, kerajinan, serta perdagangan laut. Khusus untuk kerajinan logam, Pelras menulis : "Dua jenis logam paling penting dalam kebudayaan Bugis adalah besi dan emas. Penguasaan teradap daerah penghasil kedua logam itulah yang agaknya menyebabkan kerajaan Luwu mengungguli kerajaan kerajaan Bugis lainnya...."(hal 296). Masih berhubungan dengan besi, Pelras melanjutkan : "Proses pembuatan senjata tradisional Bugis sarat dengan unsur unsur magis yang memerlukan ritual khusus oleh karena itu, pandai besi tertentu dianggap memiliki kekuatan luar biasa dan sebagian kalangan masih mengandalkan kekuatan badik luwu yang memiliki guratan yang tampak jelas yang konon merupakan sidik jari pandai besi yang menempa dan merautnya dengan tangan telanjang. Badik semacam itu dianggap sangat berbisa.....Senjata juga dipandang sebagai pembawa untung atau sial, bukan hanya dalam perang atau duel, namun juga dalam hal perdagangan dan percintaan" (hal. 298).  Disini Pelras memotret cara pandang orang Bugis terhadap senjata besi dengan sangat cermat.

Baca : bla bla

Bab 10 (Dunia Modern) memulai pembahasannya dengan dibubarkannya VOC dan masuknya Inggris yang menyebabkan perubahan konstelasi politik di Sulawesi Selatan. Dilanjutkan dengan kejatuhan kerajaan tradisional di tahun 1906 setelah Belanda melancarkan politik pasifikasi yang berakhir dengan ditandatanganinya Korte Veklaring. Diterapkannya hukum Belanda, masuknya Jepang, pergerakan kemerdekaan, DI/TII menyebabkan perubahan sosial di Sulawesi Selatan. Pendidikan formal, perubahan alat tenun hingga boom coklat, adalah fenomena yang merepresentasi kemodernan pada manusia Bugis yang dijelaskan dalam Buku Manusia Bugis ini. Buku Manusia Bugis ini ditutup dengan merosotnya ekonomi sosial bangsawan Bugis serta potret keberhasilan Yusuf Kalla sebagai representasi orang Bugis modern.

Judul : Manusia Bugis
Judul Asli : The Bugis
Penulis : Christian Pelras
Penerbit : Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris 2005
Penerjemah : Abdul Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok
Penyunting : Nirwan Ahmad Arsuka, Ade Pristie Wahyo, J.B. Kristanto 
Tebal : 450 halaman + xxxiv

3 komentar

jadi penasaran nih dengan gaya hidup orang bugis itu mas.
lalau buku ini dapat dibeli dimana ya mas?

makasih sudi mampir mas yanto...kemarin saya beli digramedia mas,salam blogger

Terima kasih sudah mengulas sedikit tentang buku ini :)


EmoticonEmoticon