MENGGUGAT KEADILAN TUHAN

Tags




Ketika membaca judul tulisan ini sampai pada kata yang anda baca sekarang, hendaknya topeng keimanan, dogma agama dan slogan ketuhanan anda lepaskan. Disamping itu sebaiknya anda berpikir rasional dan obyektif dalam merenungi eksistensi kemanusiaan. Saat jubah keimanan tidak terlepaskan, niscaya slogan “Tuhan Maha Adil” akan terus mencandui kita. Tulisan ini hanyalah suatu bagian perjalanan hasil perenungan dan diskusi yang tidak diperuntukkan bagi mereka yang memahami agama secara dogmatis, gemar mengkafirkan dan suka menghalalkan darah. Tapi tulisan ini diperuntukkan bagi mereka yang berpikir merdeka, dan gelisah akan eksistensinya.
Saat kita merenungi realitas dengan segala kemajemukannya maka akan timbul pertanyaan, mengapa mesti ada kaya dan miskin, pintar dan bodoh, cantik dan jelek, dan sebagainya. Ada yang mencoba menjawab seperti ini :”Kalau semua kaya atau semua miskin maka Tuhan tidak adil. Justru keadilan Tuhan termanifestasi dengan kemajemukan tersebut”. Lantas, mengapa mesti si A misalnya yang ditakdirkan menjadi kaya sedang si B ditakdirkan miskin. Apakah Tuhan mesti mengorbankan hambanya dengan kemiskinan atau kebodohan atau kejelekan agar Tuhan dikatakan adil. Apakah segala tindakan Tuhan dapat dikatakan adil ? atau Tuhan mesti melakukan sesuatu sesuai dengan parameter tertentu agar Tuhan dikatakan adil ?
Pernahkan terlintas dibenak kita bahwa pertanyaan nakal tentang terciptanya kita sebagai manusia, bukan gunung, pohon, bumi, burung, atau mungkin alien ? Mengapa kita mesti menjadi manusia ? Kalaupun menjadi manusia, mengapa menjadi orang yang membaca tulisan ini sekarang, bukan sebagai orang yang membuat tulisan ini, atau sebagai orang alim, atau sebagai orang kaya, atau tokoh idola anda? Mengapa roh kita mesti menempati jasad kita, bukan yang lain?
Menurut kaum sufi bahwa disaat manusia berusia 3 bulan dalam kandungan, terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan. Materi dialog seputar pengakuan ketuhanan Tuhan. Jika terjadi pembangkangan (katanya) maka bayi manusia tersebut tidak terlahir didunia. Tetapi sebaliknya, jika terjadi kesepakatan antara manusia sebagai hamba dan Tuhan sebagai yang disembah, maka niscaya manusia akan terlahir dengan selamat. Lantas setelah itu, Tuhan menghapus ingatan manusia terhadap hal itu.
Pertanyaan yang muncul adalah jika hal itu benar, artinya manusia yang lahir semua menyepakati eksistensinya sebagai hamba, tapi mengapa didunia masih terlahir orang-orang yang berwatak seperti Fir’aun, Hitler, Suharto, Om Liem atau malah Nietszche yang menganggap Tuhan telah mati ? Artinya Tuhan telah ditipu oleh manusia dong ?. Pertanyaan kedua adalah dimana sikap jentelmennya Tuhan ? Masa beraninya berdialog sama anak umur 3 bulan, dan melahirkan manusia dimuka bumi tanpa meminta kesediaannya menjadi manusia. Bayangkan, menjadi manusia dengan jabatan khalifah tidakklah mudah. Bukankah tawaran khalifah itu disampaikan pada gunung-gunung, lantas mereka menolaknya. Selanjutnya dikatakan bahwa hanya manusia yang bersedia, berhubung manusia itu bodoh dan sombong. Pertanyaan ketiga ialah sejak kapan manusia bersedia menganggung amanah itu sehingga manusia dikatakan bodoh dan sombong? Selanjutnya pertanyaan keempat adalah apa sih untungnya pikiran manusia dihapus ? Apakah Tuhan lagi kurang kerjaan ?
Dinilah seharusnya kita sebagai manusia “menggugat” Tuhan, atas rezim otoriternya yang memaksakan kehendak menghadirkan manusia dimuka bumi dengan segala persoalannya tanpa meminta persetujuan sang hamba atau menerangkan resiko-resiko serta tanggung jawab kemanusiaan kepada si janin. Tuhan seperti seorang Jendral yang memberlakukan wajib militer kepada para prajurit tanpa meminta persetujuan sang prajurit dan menerangkan sengitnya peperangan. Hanya kata “siap” engkau jendaral saya prajurit dan saya ikuti segala kemauannmu.
Sebagai penganut empirisme, penulis menolak “kontrak karya” antara Tuhan dan hamba tersebut karena tidak ada bukti otentik yang dapat dipertanggungjawabkan seperti surat pernyataan yang dibubuhi materai, atau minimal ingatan saat kejadian tersebut. Ide persepakatan Tuhan dan hamba menurut penulis hanyalah dongeng kaum sufi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam suatu hadis qudsi yang populer dikatakan : Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal maka Aku mencipta. Artinya penciptaan makhluk termasuk manusia adalah efek dari kerinduan Tuhan untuk dikenal. Ternyata Tuhan memiliki sifat aktualisasi diri, dan untuk mewujudkan keinginan-Nya diciptakanlah makhluk termasuk manusia dengan segala persoalan dan tanggungjawabnya. Kemudian manusia dihadapkan dengan surga dan neraka sebagai konsekwensi eksistensi manusia.
Pada proses penciptaan manusia para malaikat telah mengajukan mosi tidak percaya tentang kekhalifaan manusia yang (katanya) suka menumpahkan darah, tetapi dengan santainya Tuhan menjawab : “Aku lebih tahu daripada kamu”. Terlepas dari “bocornya” rahasia Tuhan tentang eksistensi manusia oleh malaikat, yang jelas sikap otoriter dan aktualisasi diri Tuhan (yang bosan kesepian) telah menjerumuskan manusia pada tanggungjawab yang sangat besar sebagai khalifah tanpa meminta kesepakatan pada calon manusia tentang resiko yang akan dihadapi.
Sekarang, apakah kita hanya duduk termangu memikirkan takdir kita sebagai manusia dengan beban yang sangat berat lalu pasrah begitu saja, atau menggugat Tuhan agar beban tersebut menjadi lebih ringan, atau bahkan mengkafirkan orang yang membuat tulisan ini agar anda merasa telah “membela” Tuhan demi slogan “Tuhan Maha Adil” yang sadar atau tidak telah mencandui hidup kita.

Makassar, 28 Juni 2001

2 komentar

gue terlalu bodoh untuk berpikir demikian
entah
kl pun gw menggugat tuhan,nasib gw jg belum tentu berbalik menjadi org yg slalu beruntung

Konsep ketuhanan memang tidak masuk akal.

Saya pribadi memilaih menjadi atheis karena konsep tentang tuhan tidak masuk ke akal sehat saya.
Lebih baik saya menikmati hidup yang ada sekarang, sambil berkarya dan berbuat baik untuk sesama, supaya hidup lebih indah dan damai.

By the way, tulisan anda bagus dn mencerahkan.
Boleh saya share?

Regards

J. Perdana
jperdana@gmail.com


EmoticonEmoticon