REFLEKSI RAMADAN DAN IDUL FITRI

Refleksi Ramadan dan Idul Fitri
Sejatinya, ramadan adalah bentuk kasih dan sayang Allah Swt kepada manusia. Dimana dalam dua belas bulan setahun, sebulan ramadan merupakan sebuah “program penyucian” dan “peningkatan kualitas emosional dan spiritual”. Seperti yang kita ketahui bersama, dalam bulan ramadan terdapat malam-malam lailatul qadar, yaitu malam-malam istimewa dimana pahala ibadah digandakan, mustajab untuk berdoa dan diaturnya takdir manusia dalam setahun kemudian.

Idealnya, “alumnus ramadan” yaitu orang yang benar-benar memaksimalkan ibadah dibulan ramadan selama sebulan adalah orang yang tersucikan, atau kembali fitri. Sehingga setelah dilengkapi dengan zakat, dan memenuhi angkasa dengan gemuruh takbir maka di tanggal 1 syawal orang tersebut telah diampuni dosa-dosanya. Wajar kemudian, mereka disebut sebagai orang yang meraih kemenangan. Yakni menang dalam peperangan melawan hawa nafsu, sebagai wujud jihad akbar.

Sejak dahulu hingga sekarang, ramadan selalu disambut dengan suka cita. Seiring dengan perkembangan zaman, arus modernisasi serta menguatnya pengaruh neoliberalisme, ramadan mengalami perubahan makna yang sangat substansial. Sehingga tak heran bagi kebanyakan orang, ramadan tak lebih dari sekedar momen kumpulan seremoni yang miskin makna.

Menjelang malam-malam terakhir ramadan, beberapa kelompok anak muda membunyikan petasan (istilah kasar yang dihaluskan menjadi kembang api), sebuah budaya jahiliyah yang dicangkokkan dalam budaya islam. Di salah satu sudut kota malah didendangkan lagu dangdut, remix seperti dimalam tujuh belasan atau tahun baru. Mereka seperti kerumunan orang mabuk, naik motor kesana kemari disaat orang masih tarawih, meledakkan petasan didepan mesjid. Mereka merasa sebagai orang yang layak disebut “pemenang” dan pantas merayakan hari kemenangan. Sungguh pemaknaan ramadan dan Idul fitri yang keliru. Sungguh pemandangan yang menyedihkan, generasi muda Islam seperti kehilangan spiritualistasnya dan tergantikan oleh syahwat hedonisme. Ironisnya di tempat lain, sekelompok orang tua sibuk memperdebatkan tentang penentuan 1 syawal dan seolah tak peduli dengan nasib generasi mudanya yang miskin pandangan dunia.

Media mempertajam persoalan kecil dan membesar-besarkan. Padahal dulu, perbedaan itu telah berjalan begitu alamiah dengan saling menghormati. Sementara media seolah kurang memberi porsi yang cukup untuk mengupas jahiliyahisasi generasi muda muslim.
Malam-malam terakhir yang seharusnya memperbanyak ibadah, justru memperbanyak maksiat. Betapa banyak anak muda yang pura-pura pergi tarawih tapi nyangkut ditempat gelap dengan pasangannya disaat orang salat tarawih. Betapa banyak uang dihamburkan untuk membeli petasan yang mengganggu mereka yang beribadah atau beristirahat. Betapa banyak bensin dihamburkan untuk balapan liar disaat negara ini kesulitan mensubsidi BBM bagi rakyat kecil. Sungguh pemborosan yang nyata bagi negara yang rakyatnya belum bisa dikatakan makmur.

Berbuka puasa, bukan lagi sebagai pemenuhan syarat atas sempurnanya puasa. Namun ajang balas dendam atas derita puasa disiang hari. Tarawih telah digantikan budaya jahiliyah. Takbiran yang selayaknya memenuhi langit dengan gemuruh takbir justru ajang kebut-kebutan yang bunyi knalpotnya memekakkan telinga. Malam yang harusnya hening menghantar kekhusukan orang yang beribadah justru bagai dimedan peperangan, letusan dimana-mana, bau belerang ala mesiu menusuk paru-paru.LAKSANA PARA JAHILIYAH MENYATAKAN PERANG TERBUKA KEPADA ORANG-ORANG YANG INGIN BERIBADAH DIBULAN RAMADAN DAN BERKATA : KAMI PARA SETAN YANG MENGIKAT KALIAN WAHAI ORANG-ORANG BERIMAN !!!!

Di daerah yang suhu politiknya meningkat, ramadan dan idul fitri adalah ajang narsisme. Dimulai dengan sedikit kata-kata mutiara, sang pujangga memperkenalkan diri sebagai pengurus organisasi dan memberikan ucapan selamat terhadap calon konstituen. Percetakan banjir order mencetak baliho gambar orang-orang yang nampak saleh dan semoga saja benar-benar saleh. Dengan pola sama, seseorang memperkenalkan dirinya (walaupun telah dikenal) sebagai pejabat atau pengurus. Sebuah bentuk komunikasi simbolik. Orang banyak disapa hanya melalui baliho. Untunglah dibeberapa tempat, beberapa orang gemar membuat acara buka puasa. Terlepas dari kepentingannya, tapi paling tidak ada usaha untuk berkomunikasi langsung dengan orang banyak serta paling penting mensedekahkan sebagian hartanya untuk berbuka puasa.

Sebelum kita merasa menang di hari kemenangan, ada baiknya kita merefleksi diri. Jujur pada diri sendiri dan jujur pada Tuhan. Bahwa mungkin capaian ibadah kita belum maksimal. Sambil berharap semoga masih mendapatkan ramadan tahun depan dan bisa menjalaninya dengan baik. Kalau pun kita merasa bahwa capaian ibadah kita maksimal, maka itu akan terefleksi melalui tindakan kita 11 bulan kemudian.
Ada dosa selama ramadan yang berat. Yaitu aksi pembiaran terhadap budaya jahiliyah yaitu petasan alias kembang api yang tidak sesuai dengan syariat Islam serta aturan negara. Dimana budaya jahiliyah ini sangat merusak generasi muda, menganggu orang-orang yang beribadah, meracuni sikap saling menghargai, memupuk ultra egoisme, tak menghargai lagi agamanya. Beratnya dosa ini karena “sang pembiar” telah berpartisipasi atas kerusakan moral dan penghancuran spiritual generasi mudanya.
Selamat tinggal ramadan, selamat tinggal idul fitri. Engkau tahu betapa tersia-siakannya dirimu. Disaat seharusnya orang-orang memperbanyak amal ibadah, justru orang memperbanyak dosa dan maksiat. Satu pesan bagi para pemimpin dan calon pemimpin. Bahwa negara ini berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa. Benar Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara jahiliyah. Pembangunan bukan hanya menjadikan pendapatan perkapita, pembangunan infra struktur, layanan pendidikan dan kesehatan sebagai indikator pembangunan. Tapi paling penting adalah pembangunan emosional dan spiritual anak bangsa. Entah apa yang terjadi 30 tahun kedepan jika jahiliyahisasi ini masih dibiarkan. Dan apa juga guna keberhasilan pembangunan material jika tidak diimbangi pembangunan non material.

Kami anak bangsa yang rajin bayar pajak dan beragama, mohon kebebasan kami menjalankan ibadah dijamin tanpa ada suara petasan yang menganggu kami. Sebab tak ada jaminan bagi kami untuk bertemu kembali dengan ramadan berikutnya. Tolong, dimengerti bahwa PETASAN ADALAH BUDAYA JAHILIYAH. Jangan biarkan BUDAYA JAHILIYAH menghancurkan generasi muda bangsa ini.


EmoticonEmoticon