MAPPEPULU - RITUAL TUJUH BULAN KANDUNGAN

MAPPEPULU

(Ritual Tujuh Bulan Kandungan)
Andi Rahmat Munawar


Pendahuluan
Ritual, dapat ditemukan diberbagai agama dan budaya yang meliputi aktivitas manusia sesuai tahapan hidupnya. Pada konteks budaya Bugis, terdapat ritual pernikahan yang sangat rumit dan penuh makna simbolik. Dilanjutkan pada kehamilan, kelahiran (Menre Tojang) dan seterusnya. Dalam tulisan sederhana ini, difokuskan untuk membahas ritual tujuh bulanan yang disebut dengan “mappepulu”.
Selayaknya, ritual Mappepulu ini dilaksanakan oleh pihak keluarga sang calon ayah. Namun, bukan berarti aturan baku. Pihak keluarga calon ibu pun dapat melaksanakan ritual ini, tentu dengan kesepakatan antar keluarga. Idealnya ada dua sanro yang bertugas melaksanakan ritual Mappepulu ini, namun jika Cuma satu sanro, ritual ini tetap bisa dilaksanakan.
Penentuan hari pelaksanaan ritual, tergantung dari pihak keluarga sepanjang masih dalam usia kehamilan pada bulan ketujuh. Terkadang, bayi dilahirkan pada bulan ketujuh bukan bulan kesembilan. Oleh karena itu, Mappepulu ditekankan untuk dilaksanakan sebelum bayi dilahirkan. Ritual Mappepulu ini sangat dianjurkan bagi kehamilan pertama sang calon ibu. Mappepulu ini dimaksudkan agar sang calon ibu bersama kandungannya bisa selamat.
Prosesi
Pertama-tama, sang calon ibu dan ayah duduk berdampingan didepan sanro. Sang calon ibu berpakaian putih terusan, mirip daster baju bodo. Makanan pun diletakkan diantara Sanro dan kedua calon ibu dan ayah tersebut.
Selanjutnya, dimulailah prosesi “I Cebbang”, yakni Sanro mengusap kepala/ubun-ubun, dipangkal leher (edda’) dan pusar sang calon ibu dengan minyak kelapa. Setelah sanro, dilanjutkan oleh suami dan rumpun keluarga bersangkutan. Sang calon ibu telentang selama I Cebbang. Keluarga yang dipilih ikut dalam Maccebbang adalah mereka yang diketahui tidak mandul dan anaknya tidak meninggal. Jumlah orang yang maccebbang minimal tujuh orang dan ganjil. Jadi, kalau sanro adalah orang pertama yang maccebbang sang calon ibu, dilanjutkan sang suami, kemudian orang tua, paman, tante, nenek yang tidak boleh berjumlah genap dan diatas tujuh.
Setelah prosesi I Cebbang selesai, sang calon ibu keluar rumah untuk cuci kaki yang disebut “mabbissa” sebanyak tiga kali. Seusai “mabbissa”, sang calon ibu kemudian berdiri dipintu rumah dan menyiram keluar rumah satu kali. Lalu masuk kamar, dan keluar lagi untuk menyiram hingga tujuh kali.
Baje tentaji (nasi ketan yang tidak jadi) sebanyak tujuh piring diletakkan dalam nampan dan dibacakan mantra. Kemudian, dihadiahkan kepada I Maudah bersama keenam saudaranya.
Seusai prosesi, keluarga calon ibu memberikan makanan tujuh macam yang telah dimantrai oleh sanro sebagian kepada sanro. Sebagiannya lagi diberikan pada keluarga calon ibu. Menurut nene lija, bahwa dizaman dulu sanro setelah memimpin ritual mappepulu dihadiahkan perak. Namun karena perkembangan zaman, sekarang dibayar dengan uang tunai. Masih menurut beliau, bahwa setelah ritual perlu mappaleppe, yaitu melepaskan tanggungan dengan membayar sanro sebelum bayi lahir. Oleh karena itu nene lija berpendapat sebaiknya begitu ritual usai,sebelum sanro pulang maka olona segera diberikan berikut uang tunainya agar dibelakang hari tidak ada lagi yang harus dipaleppe.
Makanan dan Makna Simbolik Mappepulu (Sennu-sennureng)
Baju bodo mirip daster berwarna putih yang dikenakan sang calon ibu selama ritual Mappepulu menyimbolkan kesucian. Hal ini juga mengingatkan baju bodo putih untuk “indo pasusu/ina nyumpareng”.
Kata Mappepulu sendiri berasal dari kata Papulu yaitu nasi ketan (sokko) putih dan hitam yang digabung. Berbeda dengan sajian sokko pada ritual lain yang umumnya empat jenis (sokko pitunrupa) yang menyimbolkan putih=angin, merah=api, kuning=air, hitam=tanah. Makna dua jenis sokko (papulu) ini masih perlu kajian yang lebih dalam. Sokko papulu ini akan dibuat lagi pada ritual “Menre Tojang”. Sehingga identik dengan kelahiran bayi.
Makanan yang diletakkan diatas nampan diantara sanro dan sang calon ibu terdiri dari tujuh jenis. Ikan bakar (bale tafa), bubur (peca’), sokko papulu (nasi ketan hitam dan putih), sawella, jompo-jompo, onde-onde dan satu jenis makanan lagi yang bersifat pelengkap.
Onde-onde adalah makanan populer yang selalu ditemukan pada setiap ritual. Onde-onde terbuat dari ketan putih, yang melambangkan kesucian. Didalamnya terdapat gula merah yang merepresentasikan manis. Diluarnya dibalut parutan kelapa merepresentasikan kelezatan. Diluar lezat, didalam manis. Onde-onde ketika baru dimasak akan tenggelam. Setelah masak akan terapung. Hal ini mengisyaratkan adanya harapan yang “naik” saat masak sebagaimana masaknya onde-onde tersebut.
Sawella berasal dari kata ‘mawella” yang artinya berkembang. Sebagaimana onde-onde, sawella juga selalu ditemukan pada ritual yang didalamnya ada harapan untuk berkembang.
Dalam memasak jompo-jompo dibutuhkan ketan yang masih baru. Terkadang, jompo-jompo ini tidak berhasil menemukan bentuk yang diharapkan jika dibuat dari ketan yang agak lama. Kata jompo mirip dengan kata mompo yang berarti muncul. Jompo-jompo adalah makanan yang merepresentasikan harapan akan munculnya generasi yang mewarisi kebaikan leluhur. Diistilahkan, mompo wija lawo na. Ini berarti antara jompo-jompo dan sawella senantiasa beriring bersama onde-onde sebagai makanan wajib dalam berbagai ritual terutama Mappepulu.
Baje tentaji berarti baje yang tidak jadi. Disebut tidak jadi sebab sokko yang dimasak bersama santan yang ditaburi gula merah. Namun tidak masak sebagaimana masaknya baje secara umum. Disebut baje tentaji ini adalah olona I Maudah bersama keenam saudarinya. Disebutkan bahwa I Maudah bersama keenam saudarinya, kesemuanya “mate mallureng” yaitu meninggal bersama kandungannya. Baje tentaji ini menyiratkan harapan agar arwah I Maudah bersama keenam saudarinya tidak mengganggu sang calon ibu. Baje ini diletakkan didepan pintu atau diluar rumah dengan harapan bahwa I Maudah dan keenam saudarinya tidak masuk dalam rumah.
Penutup
Ritual “Mappepulu” ini tergolong langka dan sangat jarang ditemukan. Sehingga mendokumentasikan ritual mappepulu ini adalah sebuah kebahagiaan, bahkan mungkin kebanggaan. Sebab di kerasnya arus modernisasi ini, di Sengkang kota yang berkembang ternyata masih ada ritual ini.
Untuk itu, penulis berterimakasih kepada Munawir, S.Pd sekeluarga yang telah mengundang dan memberikan akses selama kegiatan ini berlangsung. Baik itu berupa wawancara, pengambilan gambar, dan terutama kehangatan dalam proses interaksi tersebut. Ritual ini dilaksanakan di Sengkang, hari senin tanggal 24 september 2012 dikediaman bapak Munawir, S. Pd.
Sebagai penutup, bisa jadi masih ada variasi ritual mappepulu yang berbeda dengan diatas yang dipraktekkan didaerah Bugis lainnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan ritual yang terancam punah ini. Namun hanya sekedar mendokumentasikan sebelum semuanya punah dan semua orang melupakannya. Oleh karena itu, penulis berharap, ada penulis lain yang mencoba mengangkat dan mendokumentasikan ritual mappepulu ini dengan versinya sendiri, atau mempertajam, mengkritik dan melengkapi kekurangan tulisan ini. semoga bermanfaat.


Sanro, informan 1

Nene lija, keluarga calon ibu. Kelahiran 1948-1949
Olona to mattampu’e (bagiannya orang hamil) Tafa bale (ikan bakar) otti (pisang) peca (bubur) sokko pepulu (beras ketan hitam putih) kari (pelengkap)
Olona sanroe.
Bagian yang dihadiahkan untuk sanro Apang, onde-onde, sawella, jompo-jompo
Baje tentaji (baje tak jadi) Olona I Maudah dan keenam saudarinya yang meninggal saat mengandung. Ditaruh didepan pintu agar tidak masuk dirumah dan tidak mengganggu sang calon ibu.

1 komentar so far

Terima kasih. Sangat membantu untuk kta2 yg anak muda skrg blom tau apa2 ...


EmoticonEmoticon