Fenomena Tasya dan Memori Tentang Bersekolah

Menulis tentang anak, membuat saya mesti memutar memori tentang pengalaman masa kecil. Tentang bagaimana rasanya bersekolah. Kemudian sekaitan judul "fenomena tasya", saya mencoba untuk menghubungkan antara teks lagu "Libur telah Tiba" dengan pengalaman masa anak-anak.
Mungkin anda masih ingat lirik lagu "Libur Telah Tiba" yang dinyanyikan Tasya beberapa tahun lalu

Libur telah tiba,
libur telah tiba
Hore, Hore, Hore
Simpanlah tas dan bukumu
Lupakan keluh kesahmu 
Libur telah tiba,libur telah tiba
Hatiku gembira!

Tasya, sekarang menjadi gadis dewasa. Namun lagu ketika masih anak-anak bisa dikatakan sangat populer. Sehingga sangat mudah diingat bagi orang-orang dimasa itu. Mengapa lagu tersebut mudah diingat ? Setidaknya ada beberapa hal. Pertama, lirik dan nadanya sederhana. Kedua, liriknya sangat menyentuh kondisi anak sekolahan.
Lagu "LIBUR TELAH TIBA" memiliki lirik yang singkat, namun sangat bermakna. Bila kita mencoba menganalisa antara masa libur dan masa bersekolah maka hasilnya sebagai berikut :



Jika seorang anak berteriak Hore, Hore, Hore saat libur, itu berarti saat bersekolah ia tertekan. Ketertekanan disebabkan penggunaan tas (berisi berbagai peralatan) dan buku (berisi hal-hal yang dipaksa untuk dipelajari). Libur menjadi kemerdekaan dimana tas dan buku sudah layaknya disimpan.

Disini poin pentingnya, bahwa dalam proses belajar disekolah (penggunaan tas dan buku, istilah anak SDnya begitu) menyebabkan keluh dan kesah. Sehingga menyebabkan hati seorang anak sekolah (meski tidak dinyatakan secara langsung) bahwa hatinya berduka. Ini berarti bersekolah bukanlah hal yang menggembirakan.

Karnaval di hari libur, salah satu hal paling berkesan anak
Bersekolah juga bukan hal yang menyenangkan. Saat anak masih harus banyak bermain, rangkaian teori dan hal-hal tak penting dipaksakan kepada anak untuk dipelajari. dan ini menjadi tekanan. Yang menyebabkan anak terus bersekolah mungkin beberapa hal. Pertama, ketidak mampuan anak untuk melawan orang tua dan sistem dimana ia bersekolah. Kedua, Disekolah anak bertemu teman sebayanya. Ketiga, tidak ada kegiatan lain bisa dilakukan selain bersekolah. Apapun alasannya, tidak menyebabkan anak bersekolah karena "ingin berbakti pada bangsa dan negara", sebuah alasan klise yang dilestarikan hingga saat ini.
Kita bisa memutar memori kita tentang pelajaran disekolah yang paling menyenangkan. Saya yakin sangat sedikit yang suka pelajaran Matematika. Pelajaran yang dianggap standarisasi kecerdasan murid kala itu (entah saat ini). Pelajaran paling menyenangkan adalah "Olah raga/Pendidikan Jasmani" dan mata pelajaran "Pendidikan Kesejahteraan Keluarga" dan "Kesenian", mengapa ?

Mata pelajaran Olah Raga/Penjas, lebih banyak praktek daripada teorinya. Praktek belajar diluar kelas memberikan sensasi dan suasana belajar yang menyenangkan. Bandingkan dengan memaksa diri berhitung angka-angka imajiner diruang sempit yang membosankan.

Mata Pelajaran PKK dan Kesenian juga turut menyenangkan. PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) memberi ruang bagi anak-anak berimprovisasi (tentu dengan bimbingan guru) untuk mempraktekkan hal-hal yang sering mereka lihat, misalnya masak-memasak. Bandingkan mata pelajaran lain yang memaksa anak murid untuk menghapal rangkaian teori dan teks panjang. Sedangkan kesenian, menyalurkan bakat seni anak yang suka menyanyi dan ekspresi anak dalam menggambar.Saya yakin, Tasya akan bersedih jika libur datang, jika hobi menyanyinya tidak tersalur saat hari libur.

Saat ini, di Playgroup, pendidikan semi formal pra-TK, sudah mengajarkan Bahasa Inggris. Sementara Bahasa Daerah, hanya dipelajari hingga SMP saja. Itupun menjadi prioritas mata pelajaran yang akan dihapus, demi mengakomodasi mata pelajaran lain yang dipaksakan kepentingan tertentu. Parahnya, ada sekolah yang mengajarkan Bahasa Inggris sebagai kurikulum muatan lokalnya (padahal sudah ada pelajaran bahasa Inggris yang paten). Hasilnya kedepan tentu bisa diprediksi. Punahnya bahasa daerah beberapa puluh tahun kedepan.

Sampai titik ini, saya ingin mengatakan bahwa bersekolah sekali lagi bukan hal yang menyenangkan. Namun merupakan keterpaksaan karena mengalami tekanan jika tidak bersekolah. Beberapa orang yang sempat saya wawancarai didaerah yang gratis pendidikan dan dana BOS melimpah mengatakan bahwa, ada anak yang dianggap miskin, telah dijamin hingga ke bajunya. Sehingga seharusnya tidak ada lagi alasan untuk tidak bersekolah. Namun, sang anak memilih untuk berhenti bersekolah. Selain bahwa bersekolah dianggap tidak menghasilkan uang, juga bersekolah tentu bukan hal yang menyenangkan.

Karena bersekolah bukan hal yang menyenangkan, maka belajar menjadi sebuah tekanan. Wajar Tasya mengatakan "Simpanlah tas dan bukumu" pada teks lagu diatas. Tekanan tersebut membuat anak belajar hanya ketika dikelas (itupun sering bermain dan mengganggu teman sehingga suka duduk dibelakang menjadi orang terkebelakang), dan saat menjelang ujian. Hasilnya bisa diprediksi, pemilihan tempat duduk yang ideal (dibelakang) supaya bisa nyontek dan pakai pelampung.

Sementara, para pakar pendidikan kita masih sibuk berbicara tentang kurikulum, para peserta didik asyik dengan nyontek dan pelampungnya. Sepertinya ada yang dilupa oleh pakar pendidikan yang masih berdebat tentang kurikulum. Yaitu kegembiraan anak saat libur.
Libur telah tiba, Libur telah tiba, Hati ku Gembira.

2 komentar

Libur sekolah itu menyenangkan. Karena belajar bisa dimana saja. :)

betul dinda....bisa belajar sambil bermain...:)


EmoticonEmoticon