MEMAKNAI KEBANGSAWANAN DI ZAMAN MILENIAL

Tags


MEMAKNAI KEBANGSAWANAN DI ZAMAN MILENIAL
Oleh : ARM

Sebagian dari kita masih mewarisi kesadaran tentang pengetahuan silsilah. Meski banyak dari kita tidak tahu silsilah leluhurnya. Kesadaran itu mewujud dalam ruang ruang sosial. Namun satu sisi, masa kerajaan telah lama berlalu. Kita hidup di masa kemerdekaan, dimana prinsip egaliter menyamakan hak dan kewajiban warga Negara. Di lain sisi, kita menyaksikan perubahan zaman terjadi begitu cepat. Perkembangan teknologi informasi sangat mempengaruhi pola interaksi dan kebudayaan kita. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana memaknai kebangsawanan di zaman  milenial. Zaman dimana kita terbatas dengan pengetahuan sejarah dan budaya lokal. Zaman dimana interaksi antara generasi, antar budaya bahkan antar bangsa terjadi begitu massif. Zaman dimana lokalitas dipertanyakan nilai manfaatnya di tengah perkembangan teknologi.
Bahwa manusia terlahir dimuka bumi, sebagai laki laki, sebagai perempuan, dengan membawa suku bangsanya, adalah takdir yang tidak bisa dipilih. Manusia terlahir tanpa memilih apa jenis kelaminnya, siapa orang tuanya, apa sukunya. Sehingga menolak atau mendiskreditkan manusia karena jenis kelaminnya, karena  orang tuanya, karena suku bangsanya, itu sama saja mempersoalkan urusan Tuhan dalam mencipta hambaNya.
Pada titik ini, kita sadari bahwa. Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Apakah dia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, bangsawan atau budak, laki laki atau perempuan dan seterusnya, semua sama di hadapan sang Pencipta. Sebagai orang beragama kita pahami bahwa yang lebih baik adalah orang yang bertakwa.
Namun kita tidak dapat sangkali, adanya manusia hebat diantara manusia lain. Yang karena kehebatannya, dia menjadi pemimpin diantara sekalian manusia bahkan sesama ciptaan. Hidupnya ia wakafkan untuk kebaikan manusia lain. Sehingga ia mendapat imbal balik yaitu penghargaan dari sekelilingnya. Oleh masyarakatnya, dia dihargai. Sikap dan prilakunya mencerminkan manusia sejati.
Ia sangat ditinggikan masyarakatnya, namun lahir karena ia rendah hati. Ia sangat dimuliakan masyarakatnya, namun sebelumnya ia memuliakan masyarakatnya. Ia diperlakukan istimewa masyarakatnya, namun ia telah dan selalu menjaga hak hak masyarakatnya. Begitulah kira kira model sikap dan prilaku raja raja dulu.
Manusia terikat hukum ruang dan waktu. Ia akan menua dan perlu digantikan pemimpin baru. Pada titik ini, masyarakat dahulu kala menyederhanakan suksesi kepemimpinan dengan memilih pemimpin baru berdasarkan keturunan dari pemimpin sebelahnya. Dari hal ini berkembang stratifikasi sosial yang sisanya kita bisa saksikan saat ini. Catatan nama nama leluhur di wariskan pada generasi untuk merawat ingatan tentang asal usul.
Orang orang tua kita dulu, telah memikirkan masa depan anak keturunannya. Maka secara berkala diziarahi makam leluhur untuk merawat ingatan itu dan mempersatukan keturunannya. Di wariskan benda benda sebagai simbol pemersatu keturunan. Di wariskan catatan silsilah agar tidak keliru mengingat nama leluhur. Dan yang penting adalah ada pappaseng yang merupakan media pewarisan sifat atau pribadi. Orang tua kita dahulu paham bahwa, boleh jadi kelak anak atau keturunan langsung secara genetik, benda pusaka, dia warisi. Tetapi sifat pun harus diwariskan. Disini adanya pappaseng. Boleh jadi keturunan bangsawan sudah kehilang keris, alameng, tombak pusaka simbol leluhurnya. Boleh jadi nisan leluhurnya sudah hilang. Boleh jadi keturunan bangsawan tidak memasang gelar kebangsawanan macam andi, bau, baso, petta. Tetapi, pastinya ia mewarisi pappaseng dari leluhurnya.
Sebab, keris, alameng tombak pusaka bisa dijual dan dibeli. Gelar andi, baso, bau, petta bisa dipasang dan dihilangkan. Batu nisan kuburan bisa dihilangkan. Tetapi pertanda kebangsawanan sesungguhnya adalah pribadi dan sikap yang bersangkutan.
Sampai titik ini kita dapat mempertanyakan posisi keturunan langsung tetapi sikap dan pribadinya tidak sesuai dengan sikap pribadi leluhurnya. Maka kita dapat melihat kisah anak nabi nuh as. Bahkan anak nabi sekalipun tidak ada jaminan selamat. Apalah kita kita yang cuma cicit dari mantan pejabat kerajaan masa lalu.
Kebangsawanan bukanlah hal yang pantas disombongkan. Apalagi sebagai media untuk merendahkan orang lain. Iblis tergelincir karena menganggap dirinya yang dari api lebih mulia daripada Adam dari tanah. Oleh karena itu, seorang wija arung tidak sepantasnya menyombongkan silsilahnya dan merendahkan orang lain. Baik sesamanya wija arung. Apalagi yang bukan wija arung.
Lantas, apakah kebangsawanan ini perlu dihilangkan. Tentu tidak. Karena peradaban dan kebudayaan kita perlu dikawal dan dijaga oleh mereka yang punya pribadi, sikap dan prilaku bangsawan. Agar proses humanisasi kita di era milenial tidak jatuh pada nihilisme sebagaimana yang terjadi di masyarakat Negara Negara modern. Mereka yang tidak memilih, namun ditakdirkan lahir sebagai wija arung, sebagai bangsawan. Seharusnya memberi kontribusi lebih kepada masyarakat agar arah peradaban kita lebih manusiawi dan lebih beradab. Memberi kontribusi dengan cara, menjadikan diri sebagai “adat yang berjalan”. Agar menjadi cerminan bagi masyarakat bahwa seperti inilah sifat dan sikap wija arung sesungguhnya.
Lantas bagaimana dengan penghormatan? Penghormatan ada dua. Penghormatan yang dilakukan atas dasar kerelaan dan penghormatan yang dilakukan atas dasar keterpaksaan. Boleh jadi wija arung ini dihormati sekelilingnya dengan sapaan Puang, Petta, tetapi setelah ia pergi ia dicemooh masyarakatnya. Lalu disebut “arung bawammi”. Hal ini kadang terjadi pada pribadi “tiang bendera”. Mau dihormati tapi tidak mau menghormati orang lain.  Ada juga bentuk penghormatan atas dasar terpaksa karena adanya jabatan atau kekayaan yang melekat. Karena yang bersangkutan adalah pejabat dan kaya, maka orang orang mendekat dan menghormatinya. Ketika jabatan dan kekayaan hilang, ia tidak dihargai lagi. Orang terpaksa menghormatinya karena jabatan dan hartanya.
Namun ketika wija arung IKHLAS memuliakan sesamanya manusia, maka tanpa ia mengharap ia akan mendapat penghargaan yang IKHLAS. Bahkan tanpa harta dan jabatan pun, ia masih dihargai. Disinilah kita sebagai manusia memilih. Memilih ikhlas menghargai sesama manusia yang pada gilirannya akan kembali ke diri sendiri berupa penghargaan orang lain kepadanya. Atau mengusahakan agar orang lain menghargainya namun tidak mengupayakan pribadi atau sifat bangsawan yang sesungguhnya.



EmoticonEmoticon