Memahami Perbedaan Pada Lontaraq dan Pappaseng

Perbedaan Pada Lontaraq dan Pappaseng sebagai Kekayaan Budaya
Sebelumnya perlu dipertegas bahwa saya bukan budayawan apalagi pallontara. Hanya pemerhati budaya yang beruntung sempat membaca beberapa naskah. Namun jauh masih banyak naskah yang belum sempat terbaca.

Saya tertarik sekaitan kearifan lokal leluhur dalam memaknai tanda tanda alam. Oleh karena itu lontara pananrang adalah favorit selama beberapa tahun belakangan ini. Apalagi hobi mancing baik di laut atau di empang "mewajibkan" pembelajaran tambahan tentang musim, cuaca dan geografis.
Suatu ketika saya diperlihatkan lontara pananrang di Maiwa Enrekang. Saat itu saya berada di Maiwa, dan saya perhatikan kejadian alam saat itu, sesuai yang tertulis di lontara. Namun pada hari yang sama, kejadian alam berbeda di tempat lain.



Gambar Ilustrasi Lontaraq TassipariamaE

Dari titik ini dapat dipahami bahwa, penulis lontara di masa lalu menulis berdasarkan pengalaman di daerahnya. Bukan daerah lain. Sementara, iklim pegunungan tentu berbeda dengan iklim pantai dan iklim dataran rendah.
Kesimpulan sementara saya adalah, penulis lontara pananrang melakukan "riset"kecil kecilan sebelum menulis lontaranya. Yaitu mencari trend dengan cara mengambil sampel selama beberapa tahun. Misalnya 1 ompona uleng (kemunculan bulan) tahun pertama = hujan, tahun kedua di tanggal sama hujan. Tahun ketiga gerimis. Tahun keempat hujan. Tahun kelima juga hujan. Dari 5 tahun sampel dari tanggal yang sama, misalnya 1 ompona uleng. Didapatkan trend 4 kali hujan dan 1 kali gerimis. Akhirnya ditulis di lontara pananrang. 1 ompona uleng : "bosi" (hujan). Kadang ditambahkan kalimat, narekko mappadai purallaloe (jika seperti sebelumnya). Jadi lebih kepada propabilitas dibanding memastikan.
Begitu pula soal kutika. Yaitu penentuan waktu waktu yang dianggap ideal melakukan sesuatu berdasar hitungan tertentu. Baik kelipatan empat, lima, tujuh, delapan, sepuluh atau yang lain. Tentu penulis memiliki landasan pengetahuan berdasar pengalaman dan kewilayahannya dalam menulis. Sehingga boleh jadi, secara umum antar kutika terdapat kesamaan. Tetapi secara khusus, terdapat perbedaan. 
Hal yang sama terdapat dalam dunia parewa bessi. Baik lontaraq maupun tutur tentang budaya parewa bessi ini ditemukan keragaman. Bahkan tidak jarang keragaman itu memiliki pendapat yang saling menegasi. Sebagai contoh : pemali wanua disambung dengan kayu lain. Artinya antara wanua dengan jonga jonga adalah satu kayu utuh. Sementara ada yang tidak mempemalikan hal tersebut. Ada yang mempemalikan pangulu tanru (gagang tanduk). Ada juga tidak. Masih banyak contoh contoh yang bisa kita lihat sebagai pertentangan.
Namun terlepas dari itu, yang penting adalah tentu orang orang tua dulu mewariskan pengetahuan berdasar pengalaman daerahnya kepada anak cucunya. Sehingga, dalam menghadapi perbedaan tersebut, yang penting adalah mencari pendapat yang berlaku didaerah atau keluarga masing masing.
Misalnya La Marupe dari daerah X yang mempemalikan pangulu tanru dan wanua sambung jonga jonga, maka kurang bijak bagi La Marupe memaksakan pendapat pada La Baco pada daerah Y yang juga punya kearifan lokal. Sekaitan perbedaan pendapat ini, contoh lain disampaikan guru kami. Misalnya La Marupe merendam dengan air kelapa bilah pusaka yang karatnya berat. Sementara, La Baco mempemalikan perendaman bilah pusaka dengan air kelapa. La Marupe mendapatkan teknik ini dari leluhurnya, yang boleh jadi waktu perendamannya tidak terlalu lama. Atau selama perendaman, selalu di periksa kondisi karat. Sehingga merendam bilah pusaka di air kelapa bisa membersihkan karat tetapi tidak sampai merusak pamor dan baja karena waktu perendaman tidak terlalu lama.
Sementara leluhur La Baco boleh jadi saat merendam bilah pusakanya dengan air kelapa terlalu lama. Sehingga reaksi kimiawi bukan hanya menghilangkan karat, tetapi juga merusak baja dan pamor pusaka. Dengan demikian wajar bila dipemalikan. Agar tidak terulang kesalahan yang sama.
Semakin general sebuah pengetahuan, maka semakin banyak kesamaan. Semakin detail, spesifik sebuah pengetahuan, maka akan terdapat semakin banyak perbedaan. Ilmu pananrang, kutika dan sissiqna gajangnge misalnya, akan seperti itu. Berbicara pada konteks umum, maka akan banyak kesamaan. Sedang semakin detail dan spesifik sesuatu itu dibanding sejenisnya, maka akan semakin banyak perbedaan. 
Tentu bukan tugas kita untuk menghakimi benar dan salah. Apalagi jika tidak memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni untuk menilai. Langkah bijak apabila, mengenali dan mempelajari kearifan lokal masing masing. Kemudian menghargai kearifan lokal lain yang berbeda. Sesungguhnya perbedaan adalah identitas agar bisa saling mengenali keragaman yang ada.

Konteks Kekinian
Dapat dipahami bahwa lontaraq pananrang dibuat berdasarkan pengalaman empiris kondisi alam. Di masa lalu, kondisi alam relatif terjaga. Sehingga siklus alam lebih teratur. Dengan demikian, akan lebih mudah memprediksi kejadian kejadian alam yang akan terjadi.
Akan tetapi di masa kini, telah banyak perubahan dari alam kita. Pemanasan global, naiknya permukaan air laut, penggundulan hutan dan sebagainya. Akibatnya, siklus alam menjadi lebih "sulit ditebak". Sebagaimana diskusi dengan seorang nelayan yang curhat mengatakan : "Nappanna ndi uwita siruntu bosinna bare'e na timo'e". (Seumur hidup barusannya saya dapat dik bertemu hujannya bare dan timo). Sebuah kalimat yang menyiratkan perubahan alam yang membuatnya keliru ditebak. Bahkan ditempat lain beberapa orang mulai mengatakan, lontara pananrangnya sudah keliru dikarenakan tidak sesuai yang tertulis dan kejadian.
Pada beberapa hal, pengetahuan leluhur perlu direvisi karena perkembangan zaman yang boleh jadi tidak sempat diantisipasi para leluhur. Namun dalam beberapa hal, masih relevan di aplikasikan, bahkan di tempat lain. Sisi kemanusiaan kita tidak meniscayakan kemutlakan ada pada manusia. Tetapi manusia berikhtiar dan terus berikhtiar mencari kebenaran tanpa harus sibuk menyalahkan sesamanya manusia.


EmoticonEmoticon