RI REMPEKENG BICARA

Landasan Historis
Sekitar tahun 1450 M saat akhir kerajaan Cinnotabi, diperintah oleh dua orang bersaudara sekaligus. Yaitu La Tenribali (kelak menjadi raja pertama Wajo setelah bubarnya kerajaan Cinnotabi) dan La Tenritippe.


Pada saat itu terjadi persengketaan. Orang pertama pergi menghadap La Tenritippe, serta menjelaskan duduk perkaranya. Sebagai raja muda yang kurang pengalaman, La Tenritippe langsung membenarkan orang pertama tersebut. Tak lama datanglah orang kedua yang merupakan lawan sengketa dari orang pertama tersebut. Ia bermaksud menyampaikan duduk persoalan persengketaannya dengan orang pertama. Namun La Tenritippe terlanjur membenarnya orang pertama dan menyalahkan orang kedua tanpa mendengar orang kedua.


Orang kedua tersebut merasa kecewa dan pergi menghadap saudara La Tenritippe yaitu La Tenribali. Namun posisinya yang setara sebagai raja kembar dengan La Tenritippe menyebabkan ia tidak mampu untuk menyalahkan perbuatan saudaranya. Akhirnya orang kedua tersebut menghadap kesepupu La Tenribali yaitu La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng sebagai paddanreng (=pendamping raja). La Tenritau bersama saudaranya mengingatkan pada La Tenritippe agar dalam menetapkan hukum dalam sebuah peradilan, hendaklah mendengar kesaksian dari kedua belah pihak yang bersengketa. Namun La Tenritippe tetap tak bergeming. Akhirnya, ketiga sepupunya keluar dari Cinnotabi beserta para pengikut mereka dan berkampung di Boli. Mereka membagi tiga wilayahnya masing-masing Limpo Majauleng yang dipimpin oleh La Tenritau (kelak menjadi Bettempola), Limpo Sabbamparu (kelak menjadi Talotenreng) dan Limpo Takkalalla (kelak menjadi Tuwa). Ketiga wilayah (Limpo) tersebut disebut sebagai Lipu Tellu Kajurue atau Tellue Turungeng Lakka.


Tak lama kemudian, bubarlah kerajaan Cinnotabi. Ketiga bersepupu itu mengundang La Tenribali sebagai raja mereka dan berdirilah kerajaan Wajo



Memetik Pelajaran dari Sejarah



Secara harfiah "Ri rempekeng Bicara" berarti dilemparkan keputusan. Dari sejarahnya maknya yang terkandung dari istilah "Rirempekeng Bicara" adalah ditetapkannya salah seseorang yang bersengketa tanpa melewati peradilan yang adil. Artinya, tidak memberikan kesempatan yang sama pada kedua pihak yang bersengketa untuk menjelaskan duduk persoalan dari sudut pandangnya masing-masing kemudian memutuskan salah satunya bersalah.

Dari kisah diatas dapat dipetik nilai asas praduga tak bersalah pada pihak yang bersengketa dan pemberian kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat.

Kebebasan informasi disaat ini membuat semua lapisan dengan mudahnya mendengar, melihat dan menyikapi sebuah persoalan. Sayangnya, jika kita melihat dari sudut pandang analisa teks media, walaupun tidak semua tapi terkadang nilai-nilai obyektifitas terkadang dinomor duakan. Akhirnya kita cuma mendapat informasi sepihak, celakanya atas dasar informasi sepihak terkadang kita langsung menyalahkan seseorang. Kisah " Rirempekeng Bicara" pada konteks lain sering kali terulang.


Akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa : Salah satu alasan untuk mempelajari sejarah adalah mencari nilai-nilai atau pelajaran yang relevan untuk kondisi kita saat ini. Jika hal itu baik, mengapa kita tidak lanjutkan ? Jika hal itu buruk, mengapa kita ulang ?


Jika terjadi perbedaan pendapat, atau persengketaan maka yang disebut orang bijaksana adalah orang yang selalu mau duduk ditengah-tengah. Memahami duduk persoalan dari kedua pihak. Mempertimbangkan sematang-matangnya. Barulah ia menetapkan benar dan salahnya suatu persoalan. Untuk bisa duduk ditengah-tengah, atau berada pada posisi obyektif menilai, seseorang hendaknya memiliki pegangan (Engka Na Tang) yaitu keadilan dalam berpikir. Pada titik ini, penulis sepakat dengan pernyataan (alm) Pramudya Ananta Toer : "Adillah sejak dalam berpikir". Andai dalam berpikir saja seseorang sudah tidak adil, maka akan sangat sulit baginya untuk bertindak, bertutur dan berbuat adil. Dengan demikian, wajar sebuah tatanan mulai pada skala besar yaitu negara,komunitas hingga skala kecil seperti pertemanan atau pacaran dapat rusak akibat hilangnya kepercayaan, kejujuran dan pengambilan keputusan secara sepihak. Semoga kita semua tergolong orang yang adil. Amin, wallahu Alam bishsowab


EmoticonEmoticon