CELOTEH TENTANG GERAKAN MAHASISWA (BAGIAN 2)

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas, betapa "reaksionernya" gerakan mahasiswa. Tidak memiliki cetak biru gerakan yang jelas. Hampir tak pernah mengusung isu sendiri. Selalunya latah pada media dalam hal isu. Gerakan mahasiswa nampak sebagai gerakan sporadis yang musiman, tiba masa tiba akal. Sehingga pada titik itu, kita melihat gerakan mahasiswa laksana kerumunan (crowd) yang kurang terorganisir, sporadis dan reaksioner. Sungguh memilukan.

Itu kita belum bahas faktor persaingan (tidak sehat) antar kampus, antar fakultas, antar jurusan yang kadang berakhir dengan tawuran yang mempertontonkan tradisi jahiliah di ruang akademis (warisan belanda "Devide et impera"?). Kita juga belum membahas faktor dimatikannya aktivitis melalui "hubungan khusus" dengan orang-orang tertentu yang memiliki power. Kita juga belum bahas faktor berbagai ideologi yang masuk kampus dan memecah belah kekuatan mahasiswa. Kita juga belum bahas faktor pelemahan militansi melalui iming-iming ekonomi. Dan berbagai faktor lainnya yang membuat kita menarik kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa tidak dapat membuat perubahan besar di negara ini.

Kita bisa melihat dengan jelas, betapa lembaga mahasiswa baik intra apalagi ekstra paling sering terpecah menjelang momen pemilu. Aneh bin ajaib, hampir selalu begitu. Dualisme, Tigaisme bahkan empatisme lembaga. (apa yang bisa dilakukan oleh organisasi yang berkumpul untuk berpecah belah macam begini???). Sementara dipengkaderan mahasiswa, masih larut dengan sisa-sisa romantisme heroisme senior-seniornya. Dan senior-senior juga selalunya menceritakan kehebatannya dalam orasi, berdemonstrasi kepada adik-adiknya. JAdilah pembangunan imej bahwa seorang mahasiswa yang militan membela rakyat haruslah rajin demo (Aku berdemo maka aku ada???sepertinya descartes terlalu cepat lahir untuk mengkoreksi pernyataannya???).

Nampaknya ada penyempitan makna aksi mahasiswa. Aksi yang berarti tindakan, memiliki puluhan bahkan mungkin ratusan variasi aksi. Intinya adalah "melakukan sesuatu". Kita melihat organisasi mahasiswa hanya berputar di suksesi, kaderisasi dan demonstrasi. ini adalah tanda "kematian" bagi gerakan mahasiswa itu sendiri.

Seperti yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya, seharusnya lembaga mahasiswa memiliki bank data yang cukup. Misalnya, data kependudukan, data potensi daerah, data APBD dan sebagainya. Sehingga misalnya jika gerakan mahasiswa memberi perhatian pada sektor pendidikan, tidak melulu harus demo (tidak ada yang lain bisa dikerja kah bos???kreatifki sedikit berpikir)...SEharusnya lembaga mahasiswa memiliki data kuantitatif misalnya berapa jumlah SD, SMP, SMA dan sederajat. Berapa sekolah yang rusak. Berapa dana BOS. Berapa jumlah orang putus sekolah dan seterusnya. Juga data kualitatif misalnya mengapa seseorang yang mampu bersekolah memilih meninggalkan sekolah,faktor apa yang mempengaruhinya dan seterusnya. Juga data tentang kebijakan instansi terkait (Diknas) tentang pendidikan, dan dimana peluang bisa bekerja sama, yang mana harus dikritisi, yang mana harus didukung. Dengan demikian, aksi mahasiswa bisa lebih kaya. Boleh jadi berdasar data yang dianalisa, lembaga mahasiswa membantu pemerintah dalam hal ini diknas dalam PLS (Pendidikan Luar Sekolah) bagi orang yang tak mampu. Toh ini juga bagian dari Tridarma PT.
Anak teknik elektro tidak perlu sibuk turun demo menghujat tokoh yang sedang dimatikan karakternya oleh media. Juga tidak mesti ikut-ikutan membakar ban di jalan untuk isu yang mereka sendiri tidak pahami. Namun akan sangat berguna jika anak jurusan teknik elektro membuat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) didesa yang belum ada jaringan PLN. Itu jauh lebih berguna daripada memacetkan jalan dan membuat ibu-ibu terlambat pergi kepasar.

Yang hendak saya sampaikan bahwa tiap zaman memiliki warnanya sendiri. Jika di tahun 1966, 1998 gerakan mahasiswa bersifat militan, tidak kompromi dengan kekuasaan, itu wajar. Sebab berada diera kejenuhan sebuah rezim yang harus ditumbangkan. Namun di era pembangunan, jika bisa membantu, bekerjasama dan terlibat dengan program pemerintah yang sejalan dengan pemberdayaan masyarakat, lantas mengapa harus bakar ban dan memacetkan jalan untuk sebuah tujuan yang sama? Dititik ini saya menganggap gerakan mahasiswa itu kurang cerdas dan kurang kreatif. Saya juga ingin mengatakan bahwa, dizaman yang seharusnya ikut dalam pembangunan, tentu kurang bijak jika mengganggu pembangunan itu sendiri. Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa gerakan mahasiswa harus ngikut sama rezim. Tidak,sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa yang namanya pengabdian pada masyarakat sebagai poin ketiga Tridarma PT hendaknya jangan cuma dipahami sebagai demonstrasi. Demonstrasi adalah salah satu diantara sekian jenis aksi. Demonstrasi bagi gerakan mahasiswa adalah senjata pusaka yang hanya digunakan ketika waktu, tempat dan situasi yang tepat. Kalau cuma sekedar iris bawang, gunakan pisau dapur. Jika ingin memotong dahan yang rimbun, gunakan parang. Jika ingin menggemburkan tanah, gunakan cangkul. Dan hanya ORANG BODOH yang menggunakan senjata pusakanya untuk mengiris bawang, memotong dahan, menggemburkan tanah, sekaligus untuk bergaya...Saya bersedih melihat sekerumunan orang hampir cerdas yang merasa intelektual yang konon membela rakyat tapi mengganggu aktivitas ibu-ibu dalam memberi makan keluarganya. (ARM)

gambar sebuah aksi jenis demostrasi (yang katanya membela rakyat) dan sangat berhasil memacetkan jalan (ibu-ibu terlambat dan terhambat ke pasar,terlambat makan siang suaminya kasian)

baca juga

3 komentar

follow in blog http://the-friendkerz.blogspot.com/

This comment has been removed by the author.


EmoticonEmoticon