Model Pendidikan Islam di Tanah Bugis

MODEL PENDIDIKAN ISLAM DI TANAH BUGIS

Sejak Islamisasi di jazirah selatan Sulawesi pada abad ke-17, Islam telah terintegrasi dalam sistem sosial masyarakat. Memang, pendapat era masuknya Islam di Sulsel umumnya disebut abad ke-17 masih perlu diragukan. Sebab berbeda antara kedatangan penyebar Islam dengan massifnya pelaksanaan syariat Islam. Dengan demikian, penentuan awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan masih perlu diperdebatkan. 

Namun terlepas dari itu, yang pasti setelah Islam terintegrasi dalam sistem pemerintahan, Syariat Islam dimasukkan dalam konstitusi kerajaan yaitu Sara', melengkapi konstitusi sebelumnya yaitu Ade', Rapang, Wari dan Bicara. Konsekwensinya, dibentuk pejabat syariat atau disebut dengan Parewa Sara', yang terdiri dari
  1. Petta KaliE = Qadhi, yakni hakim yang bertugas untuk menguji kesesuaian antara regulasi yang berlaku dan syariat Islam. Terkadang, Qadhi juga mewakili raja (Arung, Datu, Addatuang) pada kondisi tertentu
  2. Puang Imang = Imam, bertugas memimpin shalat dan mesjid
  3. Puang Katte = Khatib
  4. Puang Doja = Doja, bertugas untuk menjaga kebersihan mesjid
  5. Puang Bilala = Bilal, bertugas untuk adzan.


Parewa Sara' ini juga melaksanakan dan menyelenggarakan hari raya, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, Isra' Mi'raj, Maulid dan sebagainya. Dari para Parewa Sara' dan penyebar Islam secara individual (non struktural) inilah Islam diajarkan kepada masyarakat. Dalam naskah lontara disebut, setelah Musu Selleng (bugis), Bundu Kasallanga (makassar), Raja dan rakyatnya bersyahadat, dan diajarkan fikih seperti wudhu, mandi dan shalat serta pengetahuan tentang makanan halal.


Setelah Islam dianut secara menyeluruh, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pendidikan Islam bisa berkesinambungan. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimulai sejak kanak-kanak. Mulai dari pernikahan, diajarkan (secara tertutup) bagaimana cara mendapatkan anak yang saleh. Kemudian, setelah lahir, bayi diazani dan iqamat sesuai dengan sunnah Rasul Saw.

PELAJARAN MENGAJI
Biasanya pada usia 7 (tujuh) tahun, anak-anak akan dititipkan di guru mengaji. Orang tua akan memperkenalkan (tepatnya menitipkan, bahasa bugis : ri pajetta) anaknya pada guru mengaji, biasanya tetangga atau keluarganya. Hari yang terpilih biasanya hari Jum'at setelah shalat Jum'at. Setelah itu dimulai proses ritual Maccera'.

Guru mengaji membacakan sedikit doa serta mengambil darah dari pial ayam (Lalii Manu') untuk diusapkan di kening sang calon murid. Disertai harapan bahwa sang calon murid dapat mudah mempelajari Al-Qur'an dan patuh pada guru dan orang tua.

Biasanya jam mengaji setelah shalat dzuhur hingga shalat ashar. Anak-anak mengenakan sarung dan diwajibkan berwudhu terlebih dahulu. Khusus untuk anak laki-laki, mengenakan kopyah. Terkadang, pembelajaran mengaji dilakukan dibawah rumah diatas panggung kecil (Panrung), atau diruang tamu rumah guru mengaji. Kalau ada Kalla (ijuk dari pohon lontar), maka dalam membaca Al-Qur'an, Kalla tersebut yang digunakan untuk menunjuk ayat yang dibaca. Terkadang, Kalla diganti dengan Aju Cenning atau potongan kayu manis yang panjangnya sekitar 10 cm. Kalau Kalla & Aju Cenning tidak ada, maka murid menggunakan jari telunjuk kanan yang dibalik (tapak tangan menghadap keatas) dalam menunjuk ayat yang dibaca.

Pada tahap pertama, Al-Qur'an kecil yang berisi tata cara membaca huruf hijaiyah dan Juz Amma, menjadi kewajiban untuk ditammatkan. Cara pembelajarannya dengan memadukan kasrah, dammah dengan huruf hijaiyah dan dibacakan sambil menyanyi (mallago). Misalnya, Alifu ri yase'na A, Alifu ri yawana I (alif tanda diatasnya A, alif tanda dibawahnya I) dan seterusnya.



Setelah dianggap lancar, maka masuk pada tahap kedua. Murid wajib membaca paduan beberapa huruf hijaiyah hingga benar-benar lancar. Kemudian melangkah pada pembacaan surah-surah pendek pada juz amma. Setelah menamatkan Juz Amma, maka murid baru dapat benar-benar mempelajari Al-Qur'an 30 Juz. Sering disebut Akorang Loppo (Al-Qur'an besar). Dimulai dari Al-fatihah hingga surah An-Nas.

Dalam proses pembelajaran tersebut, biasanya sebelum mengaji sang guru mengaji menyuruh murid-muridnya untuk mengangkat air dan mengisi gentongnya. Latihan fisik sekaligus mental. Membuat fisik murid lebih kuat dan tidak cepat mengeluh. Kalau muridnya bolos, atau suka menganggu temannya, maka murid akan mendapat hukuman dari guru. Berupa, Galecce yaitu dicubit dan Ri Efe' yaitu bambu berselang seling sebanyak enam buah yang diikat jadi satu. Kemudian jari-jari dimasukkan disela-selanya dan ditekan. Sehingga semua jari-jari akan tergencet. 

Di hari Jum'at, adalah hari libur. Bila memungkinkan, sang guru mengaji akan menyuruh muridnya membawa gula merah dan kelapa serta beras ketan. Terkadang, semuanya disediakan guru. Lalu, membuat kue tradisional disebut Lana-lana. Al-Qur'an yang sudah rusak/robek biasanya dikumpulkan dan dimakan bersama kue Lana-Lana. Harapannya, murid bisa cepat memahami isi Al-Qur'an. 

Jelas terlihat metode Reward and Punishment dipraktekkan dalam proses pembelajaran Al-Qur'an. Hukuman, dikenakan pada anak yang nakal atau melanggar. Sedangkan "hadiah" dikenakan kepada semua anak mengaji tanpa terkecuali.

Terkadang juga, para murid dijejer dan matanya ditetesi perasan kunyit (Pesse) dengan harapan, mata sang murid tak cepat rabun. Setelah tamat, tak jarang sang murid mengulang kembali ke juz pertama. Supaya semakin lancar mengaji. Tak jarang sesama mereka bertanya, Wekka siagano temme' (berapa kali kamu tamatkan Al-Qur'an?) di tempat mengajinya. 

Prosesi tamat mengaji disebut Manre Temme' atau Manre Lebbe'. Dapat dilakukan setelah menyelesaikan keseluruhan bacaan Al-Qur'an. Dapat pula dilakukan nanti setelah dewasa ketika hendak menikah.

Kelebihan dari metode tradisional ini adalah, diterapkannya metode Reward and Punishment untuk memacu semangat belajar anak. Anak juga diajar untuk berkhidmat dan hormat kepada guru. Mengaji ala kampung ini, juga berarti latihan fisik sehingga kebugaran anak terjaga melalui perintah mengangkat air. Namun kekurangannya adalah, dalam pelafalan kurang jelas antara huruf Sa, Tsa, Syin, Shad. Semua dibaca S. 

PELAJARAN ILMU MA'RIFAT
Setelah dewasa, seseorang biasanya ingin memperdalam ilmu agamanya. Namun, di Bugis, itu menjadi bukan hal yang mudah. Meski ia merengek, namun sang guru menganggap bahwa ia belum layak, maka ia takkan diajarkan ilmu ma'rifat.

Sang guru biasanya "memancing" dengan kalimat-kalimat paradoks untuk menguji daya analisa sang calon murid. Misalnya dengan pertanyaan "Niga massompa, niga risompa?" yang artinya "siapa yang menyembah dan siapa yang disembah?. Jika sang murid sudah dianggap mampu dan layak untuk menerima ilmu ma'rifat, maka sang murid dipanggil oleh sang guru.

Biasanya, di malam Jum'at atau malam-malam lain yang dianggap berberkah. Sang guru mengajak murid untuk berdua didalam kelambu. Tentu keduanya dalam keadaan ada wudhu. Disebutkan Mappasitumpu uttu atau duduk bersila saling berhadapan dan mempertemukan kedua lutut. Dilakukan didalam kelambu, sebab sang guru akan menyampaikan hal-hal yang bersifat rahasia, yang bahkan makhluk halus pun tidak boleh mendengarnya. Dilakukan diatas kain kafan, menyiratkan makna bahwa ilmu ini sebagai bekal didunia hingga akhirat. Kain kafan juga menyimbolkan kesucian yang menjadi persyaratan transfer ilmu ma'rifat.

Mulut sang murid disumpal dengan emas (Ri pangorongi Ulaweng). Bermakna, bahwa apa-apa yang diajarkan hendaknya tidak dibicarakan ditempat umum. Sebab ilmu ini bagaikan emas yang tidak boleh dimuntahkan. Sang murid akan diam menyimak dan menyerap ilmu ma'rifat dari sang guru dan menjadikan ilmu tersebut sebagai amanah, bekal, yang harus dijaga

PENUTUP
Tulisan diatas adalah gambaran umum model pembelajaran agama Islam tradisional didaerah Bugis, yang perlahan mulai hilang. Pelajaran mengaji kampung ini mulai terganti dengan metode iqra yang lebih praktis dan pelafalannya lebih jelas (tajwid). Pakaian yang digunakan juga lebih keren sebab sudah pakai gamis dan tak pakai sarung lagi. Namun kekurangan metode iqra adalah, murni belajar membaca, tidak atau kurang diajarkan berkhidmat dan hormat pada guru.

Sedangkan dalam pembelajaran ilmu ma'rifat, tidak melewati proses yang bertele-tele seperti mutih. Namun dilaksanakan dengan sederhana, sakral, dan banyak simbol yang perlu dimaknai. (arm-2013)

10 komentar

Apakah maksud dari mulut dsumpal emas bkn brarti bahwa apa2 yang keluar dari mulut adalah layaknya sebuah emas? Jd harus benar -benar mnjaga tiap kata2 yang keluar dr mulut adalah layaknya sebuah emas? Terimakasih atas penjelasannya.

Mantap sekali daeng, deskripsinya. Saya kala duluan menulis tentang ini. Tapi Alhamdulillah sudah ada yang menulisnya.

Mohon ijin sy posting juga di blogku, tentu dengan cantumkan sumbernya.

Luar Biasa kandaku Tulisannya..menambah khasanah pengetahuan tradisi dan budaya kita

iye pas dengan yang kita bilang.....

silakan dinda.....sekedar saling melengkapi.....untuk kebaikan bersama

sekedar berbagi ji dinda....saya tunggu juga tulisanta


EmoticonEmoticon