Kronologi Terbentuknya Koalisi TellumpoccoE berdasar Kroniek Van Wadjo (bagian I)

Tags

Pengantar
TellumpoccoE, adalah konfederasi kerajaan Bugis dimasa lalu yang melibatkan Bone, Wajo dan Soppeng. Terbentuknya konfederasi ini tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi. Bone sebagai kerajaan terkuat dan terluas, diangkat sebagai saudara tua. Menyusul Wajo sebagai saudara tengah dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Konfederasi TellumpoccoE menyebut ketiga kerajaan itu bersaudara. 

Di masa lalu, hubungan antara kerajaan satu dengan yang lain diibaratkan sebagai berikut :
1. Ibu dan Anak. Jika sebuah kerajaan bergabung pada kerajaan yang lebih besar dan membutuhkan petunjuk dalam pengelolaan negara dari kerajaan induk, maka statusnya adalah anak. Sedang kerajaan Induk statusnya sebagai Ibu. Biasanya kerajaan "anak" adalah kerajaan taklukan yang diperlakukan khusus dan mendapat perlindungan dari kerajaan Induk.
2. Ata. Jika sebuah kerajaan ditaklukkan oleh kerajaan besar. Posisinya sebagai "ata" dalam artian bahwa kerajaan taklukan ini harus mengikuti kebijakan dari pemerintah kerajaan pusat. Baik itu perintah untuk ikut perang, upeti dan sebagainya. Biasanya disebut kerajaan Palili.
3. Saudara. Jika sebuah atau beberapa kerajaan, menggabungkan dirinya secara sukarela. Bisa berbentuk federasi atau konfederasi.

TellumpoccoE adalah sebuah konfederasi, dimana ketiga kerajaan ini berstatus sama dan berdaulat. Ketiganya saling menghormati hukum yang berlaku diwilayah masing masing. Namun tetap memberi ruang untuk saling memberi masukan. Yang paling penting adalah adanya kewajiban dari ketiganya untuk saling membantu pertahanan dari serangan luar.

Masa kejayaan Wajo di pemerintahan Arung Matoa IV La Tadampare puang rimaggalatung. Di utara, wilayah Wajo hingga ke Larompong, Massenrempulu. Sementara di selatan, wilayah Wajo hingga Mampu, Soppeng dan Lamuru. Larompong diberikan oleh Datu Luwu Dewaraja atas partisipasi Wajo semasa perang Luwu - Sidenreng. Sementara Mampu, Soppeng dan Lamuru menggabung dengan sukarela.

Dinamika Politik 1525-1534
Di masa Arung Matoa Wajo yang kedua, La Obbi Settiriware, Wajo mulai berkembang dan bersentuhan dengan kerajaan tua dan besar yaitu Luwu. Melalui perjanjian Topaceddo I, Wajo menjadi "anak" Luwu. Sebagai kerajaan yang tergolong baru dan dikelilingi oleh kerajaan palili Luwu, pilihan Wajo untuk menjadi "anak" Luwu sangat realistis. Hal ini menyiratkan adanya perlindungan Luwu sebagai kerajaan induk kepada kerajaan Wajo sebagai anak

Setahun setelah menjabat Arung Matoa (sekitar tahun 1525), La Tenripakado To Nampe menerima utusan dari Luwu. Utusan tersebut meminta agar Wajo "Mabbarata", sebagai tanda persahabatan dan posisi Wajo sebagai anak. Mabbarata yaitu pernyataan dan sikap berduka atas meninggalnya Datu Luwu Dewaraja. Namun To Maddualeng, Arung Betteng menolak dengan alasan bahwa perjanjian Allamungpatue ri Topaceddo bukan membahas tentang "Mabbarata".


Perang antar Tallo dan Gowa, disebut terjadi dimasa tahun kedua Daeng Leba menjabat sebagai Makkedang Tanae ri Luwu. Sebelumnya disebut bahwa Daeng Leba menjabat sebagai Makkedang Tana mengikuti Datu Luwu Sanggaria menggantikan kakandanya yang meninggal (Dewaraja)

Ditahun kedua masa jabatan Arung Matoa La Tenripakado To Nampe (sekitar tahun 1526), Karaeng Tunipallangga menyerang Cenrana bersama orang Bone. Setelah sebulan berperang, Cenrana akhirnya kalah dan Datu Luwu menyerah. Saat itu Cenrana masih wilayah/palili dari kerajaan Luwu. Wajo sebagai sekutu Luwu berposisi netral. Lima bulan kemudian, Orang Makassar bersama Bone menyerang Soppeng. Untuk kedua kalinya Wajo berposisi netral. Setelah tiga bulan berperang, Soppeng akhirnya menyerah. Wilayah terluar Wajo saat itu adalah Wage, Pammana dan Timurung. 

Setahun setelah ditaklukkannya Cenrana oleh Makassar dan Bone (sekitar 1527), datang utusan Luwu mempertanyakan sikap Wajo yang netral saat Cenrana diserang. To Maddualeng beralasan bahwa tidak ada pemberitahuan atau permintaan pasukan dari Luwu sehingga Wajo diam.

Pada tahun yang sama, Datu Luwu Sanggaria menyerang Wajo sebagai hukuman atas sikap netral Wajo waktu perang Cenrana. Wajo menyerah dan To Maddualeng menemui Datu Luwu di Siwa.  Perjanjian Topaceddo kembali dipertegas bahwa posisi Luwu sebagai "ibu" dan Wajo sebagai "anak". Namun Datu Luwu Sanggaria mengambil kembali Larompong dari Wajo dengan alasan bahwa Cenrana tak bersama Wajo lagi.

Setahun kemudian (sekitar 1528), Datu Luwu Sanggaria diturunkan dari tahtanya dan pergi ke Wajo untuk bermukim. Selama tiga tahun di Wajo, Sanggaria kembali ke Luwu. Sementara itu dua tahun pasca perang Cenrana, Arumpone La Uliyo Bote'e meninggal dan digantikan putranya, La Tenrirawe Bongkangnge. Sebulan setelah menjadi Arumpone, Mampu dikepung dan diserang. Setelah dua tahun pengepungan Bone pada Mampu, akhirnya Mampu menyerah dan menjadi palili Bone (sekitar 1529).

Lima tahun setelah kalahnya Cenrana (sekitar 1532), Makassar dan Bone menyerang Luwu. Setelah setahun berperang (1533) akhirnya Datu Luwu Sanggaria menyerah. Wajo untuk sekian kalinya memilih untuk netral. Setelah perang, Karaeng Tunipallangga singgah di Cenrana. Ia mengirim utusan pada Wajo untuk mempertanyakan sikap politiknya yang sebelumnya berafiliasi ke Luwu yang telah dikalahkan Makassar. Namun To Maddualeng menjawab bahwa Wajo tetap netral dan tak mempertuan siapapun. Tak mengomentari kemenangan siapapun dan kekalahan siapapun.

Dua bulan setelah jatuhnya Ware, datang utusan dari Luwu ke Wajo mempertanyakan sikap Wajo yang tak membantu Luwu. To Maddualeng menjawab dengan perandaian bahwa ayam yang bertengger akan menjadi dahan yang kuat. Dahan yang patah akan ditinggalkan ayam tersebut dan mencari dahan yang lebih kuat.

Setahun setelah kalahnya Luwu (1534), datanglah Karaeng Tunipallangga bersama pasukannya di Cenrana. Kedatangan Karaeng Tunipallangga bersama pasukannya atas permintaan Luwu agar menyerang Wajo. Bersama, Bone, Luwu dan Soppeng, Makassar bersiap menyerang. Wajo sejauh itu belum menentukan sikap politiknya. Dari Cenrana Makassar dan Luwu bergerak menuju Topaceddo. Setelah tiga malam, diam-diam Bone mengirim utusan ke Wajo. Bone hendak mempertanyakan mengapa Wajo diam, padahal sudah tiga malam Karaeng Tunipallangga menunggu utusan Wajo.

To Maddualeng menjawab utusan Bone, bahwa Wajo bersiap melawan Luwu dan Makassar, nanti pemenang perang yang menentukan posisi Wajo. Utusan Bone kembali menghadap Arumpone dan menyampaikan pesan To Maddualeng. Utusan Bone kembali menghadap To Maddualeng menyampaikan pesan Arumpone. Arumpone menyarankan agar Wajo menghindari perang melawan koalisi Luwu dan Makassar. Arumpone juga menyarankan agar Wajo mempersembahkan kerbau belang kepada Luwu. Saran Arumpone diterima oleh To Maddualeng

Esoknya, To Maddualeng datang menghadap Datu Luwu membawa kerbau belang dan tiga gelang. To Maddualeng menyerahkan kerbau belang dan tiga gelang kepada Datu Luwu dan meminta agar tidak menyerang Wajo dan pulang ke Luwu. Namun Datu Luwu marah. Sebab kerbau belang adalah pantangan bagi rakyat Luwu terlebih rajanya dan menganggap persembahan tersebut adalah penghinaan. Datu Luwu menolak keras persembahan orang Wajo. To Maddualeng kembali.

Menjelang malam, datang utusan Bone menghadap To Maddualeng. Utusan Bone menjelaskan tentang posisi pasukan. Bahwa pasukan Makassar dan Luwu menyatukan dirinya menjadi satu grup pasukan yang menyerang dari Barat. Sementara pasukan Bone, akan menyerang Wajo dari timur bersama pasukan Bugis lainnya yaitu Soppeng.



Utusan Bone juga menyampaikan pesan Arumpone bahwa hendaknya Wajo hanya menyiapkan satu pasukan untuk menghadapi pasukan Bone dari timur. Agar terkesan bahwa pasukan Bugis yang dipimpin Bone memang akan menyerang Wajo. Dan Wajo hendaknya mengkonsentrasikan pasukannya menyambut pasukan koalisi Luwu dan Makassar. Bila Wajo mampu mengalahkan pasukan koalisi hendaknya pasukan Wajo terus mengejar pasukan koalisi hingga Payung Arumpone melintas. To Maddualeng menyampaikan pada utusan Bone bahwa Wajo akan melaksanakan saran strategi perang Arumpone.

Dini hari, pasukan Bone menduduki Cinnotabi dan membakar. Api yang menyala terlihat oleh pasukan Luwu dan Makassar. Melihat kondisi yang nampak tidak menguntungkan Wajo, pasukan koalisi Luwu dan Makassar buru buru menyiapkan pasukan. Pasukan koalisi tidak menyadari jebakan yang dipersiapkan Wajo atas usul Bone tersebut. Pasukan Bone pura pura mundur, sehingga punya alasan seolah olah kalah dari Wajo. Pasukan Wajo yang terkonsentrasi dan sudah siap menyerang balik pasukan koalisi Luwu dan Makassar yang belum siap tersebut. 

Pasukan koalisi Luwu dan Makassar akhirnya terdesak dan dipukul mundur oleh pasukan Wajo. Sesuai saran Arumpone, saat itulah Payung Arumpone melintas dan pasukan Wajo menghentikan pengejarannya. Hampir saja Datu Luwu dan Karaeng Gowa ditebas andai payung Bone di timur tidak segera melintas ke front barat. Lebih seribu korban dari pihak Luwu demikian pula dari pihak Makassar atas serangan yang gagal tersebut.

Pertempuran berakhir saat senja. Lalu datanglah utusan Arumpone menghadap ke To Maddualeng. Arumpone mengusulkan agar Wajo menahan diri atas kemenangan strategis tersebut. Wajo juga disarankan agar menghormati Luwu dan Makassar dengan cara menyerahkan persembahan pada Datu Luwu dan Karaeng Gowa. Dengan menyerah, maka serangan lanjutan dari Luwu dan Gowa bisa dihindari. Bila Luwu dan Makassar menolak persembahan Wajo, atau memperpanjang pertempuran, maka Bone akan berbalik menyerang Luwu dan Makassar. To Maddualeng menerima usul Arumpone.

Esok harinya, To Maddualeng membawa persembahan. Duduk bertiga Karaeng Gowa, Datu Luwu dan Arumpone. To Maddualeng menyampaikan pernyataan menyerah (meski memenangkan pertempuran) pada Karaeng Gowa. To Maddualeng juga mengatakan hendaknya Karaeng Gowa tidak perlu menyusahkan diri hanya karena ingin melihat orang Wajo. Sebaiknya Karaeng Gowa pulang. Karaeng Tunipallangga Somba Gowa bertanya pada Arumpone La Tenrirawe Bongkangnge tentang sikap Wajo tersebut. Arumpone mengusulkan agar Makassar menerima pernyataan menyerah Wajo. Karaeng Tunipallangga pun setuju. Maka kembalilah orang Wajo kenegerinya demikian pula Bone, sedang Datu Luwu dan Karaeng Tunipallangga ke Cenrana. 
Tiga malam kemudian, datanglah utusan Arumpone ke Wajo, Ia menyampaikan bahwa Makassar telah mengetahui bahwa Bone dan Wajo tidak saling memusuhi (Tessipettuang perru). To Sanrangeng dari Baringeng yang membocorkan pada Karaeng Gowa bahwa ada utusan dan komunikasi rahasia antara Bone dan Wajo. Bone mengusulkan agar bersama Wajo menyerang pasukan Makassar saat masih di Cenrana. Namun usul Bone ditolak To Maddualeng dengan alasan bahwa kita belum bersama Dewata SeuwaE. Nantilah jika telah bersama Dewata SeuwaE maka kita menyerang Makassar.

Tiga bulan kemudian, Bone menyerang Baringeng, hingga Cinnong dan Jampu. Sementara itu, Datu Luwu yang sebelumnya mengambil kembali Larompong, mengambil juga Siwa. Batas utara Wajo saat itu hingga Keera dan Utting. Adapun Cenrana, kembali menjadi wilayah Luwu.


EmoticonEmoticon