Tantangan dan Hambatan dalam Kerja Kerja Penyelamatan Budaya

Di era teknologi informasi dewasa ini, wacana lokalitas kebudayaan menjadi semakin penting. Kebutuhan akan adanya identitas dalam interaksi global yang menjadi spirit dan karakter, dalam pengakuan eksistensi. Pada gilirannya menjadi modal sosial sebuah komunitas pada skala kecil dan bahkan bangsa pada skala yang lebih besar.
Penetrasi kebudayaan asing yang massif menggelitik pemerhati budaya agar bisa menyelamatkan budayanya. Tentu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk komunitas, bangsa dan generasi yang akan datang.
Kebudayaan asing ini membawa beberapa hal sekaligus. Membawa nilai nilai positif yang bisa kita serap. Juga membawa nilai yang sebaliknya. Membawa hegemoni yang bisa jadi kedepan berujung dominasi baik secara politik maupun ekonomi.
Generasi muda yang menyadari kondisi yang rumit ini tertantang untuk bekerja untuk menyelamatkan budayanya. Bekerja dalam arti non profit, lebih pada inisiasi sesuai keterbatasan kemampuannya.
Disisi lain, budaya sifatnya dinamis. Meski ada yang paten, tentu ada yang perlu diubah, atau bahkan dihilangkan. Kalau perlu mengawinkan hal hal positif dari luar agar kebudayaan kita tidak jumud.

Berikut ini beberapa tantangan dan hambatan dalam kerja kerja penyelamatan budaya lokal

1. Informan
Seiring waktu, sangat disayangkan dengan meninggalnya beberapa informan dalam beberapa tahun terakhir. Lebih disayangkan lagi bila tidak sempat diwawancarai dan didokumentasikan pengetahuannya.
Sebagian informan yang tersisa, terkendala dengan fisik. Misalnya sakit sakitan, atau mulai pelupa. Kalaupun masih bisa berbagi pengetahuan, terkadang kendala bahasa menjadikan sulit proses transformasi pengetahuan.

2. Literatur dan artefak
Naskah lontara sebagai literatur klasik sangat sulit dijumpai dalam keadaan utuh saat ini. Banyak naskah lontara yang rusak, ikut terbakar, turun menjadi korban dalam situasi kacau Sulawesi Selatan tahun 1950an. Kalaupun ada naskah lontara tersisa, kondisinya sangat sulit terbaca. Mengingat kertasnya sudah rusak, robek atau termakan tinta.
Beruntung beberapa naskah lontara masih tersimpan di perpustakaan dalam dan luar negeri. Juga mikrofilmnya. Sehingga tantangan kedepan agar bisa ditulis ulang pada media yang lain, dilengkapi translasi dan terjemah untuk memudahkan pemahaman pada pembaca.
Artefak yang biasanya pusaka juga banyak yang rusak, ditanam, dibuang, dijual dan sebagainya. Sehingga sulit menemukan saat ini dalam kondisi original dan berada pemilik yang resmi. Kita biasanya hanya mendapatkan cerita bahwa dulu ada benda seperti ini itu dan sudah tidak ada lagi.

Contoh Naskah klasik beraksara Hijaiyah/Serang


3. Sakralisasi berlebih
Sakralisasi berlebih pada literatur dan artefak menyebabkan sulitnya diakses. Sebagai contoh, sebuah naskah lontara tidak boleh dibuka sembarang waktu. Itupun harus dipotongkan kerbau atau kambing. Saking berlebihannya penyakralan pada lontara tersebut sehingga lebih dipilih membiarkan lontara rusak hancur dimakan rayap daripada dipindahkan isinya ke media lain atau ditransformasikan pengetahuan yang ada didalamnya.
Memang di satu sisi, sakralisasi ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab menjadi pelajaran etika atau adab dalam mendapatkan pengetahuan. Tetapi, konteks zaman sudah berubah sehingga perlu di pikirkan kembali cara mendapatkan pengetahuan dari naskah lontara misalnya, dengan tetap menghormati nilai nilai yang ada, tanpa harus menyembelih kerbau.

4. Pola pikir dan perspektif masyarakat
Di era era awal maraknya diskusi kebudayaan di sosmed, ada kecenderungan seperti reduksi makna budaya dan budayawan. Bahwa yang mampu membaca lontara, menghapal silsilah, serta bertutur kisah masa lalu adalah budayawan. Sementara sejarah dan budaya tentu dua hal yang berbeda meski ada keterkaitan.
Akibatnya, budaya menjadi wacana elitis bangsawan. Seolah tata cara bertani, perbintangan, assikalabineng, dan sebagainya bukan bagian dari budaya. Dan juga sebaliknya, jika seseorang sudah bisa bahas silsilah, maka dianggap tahu segalanya.
Dengan elitisasi wacana kebudayaan, menjadikannya seperti momok bagi orang awam. Melahirkan apatisme terhadap penyelamatan budaya.

5. Ego sempit kedaerahan
Budaya kita sangat kaya dan beragam. Sehingga pada beberapa hal terjadi peririsan dengan budaya lain, atau pada budaya yang sama tetapi daerah yang berbeda. Hal ini kadang menimbulkan perdebatan perdebatan yang berbau arogan.
Sebenarnya, jika semua berkepala dingin, hal seperti itu mudah saja dituntaskan. Dengan saling memahami, saling menerima, saling mendorong dan saling mendukung. Maka kerja kerja penyelamatan budaya bisa saling menguatkan. Bukan saling melemahkan satu sama lain.
Ironisnya, ada pesan pesan leluhur tentang hal ini. Namun perlu lebih disosialisasikan dan diinternalisasikan.

Penting re-orientasi kerja kebudayaan
Dalam kerja kerja penyelamatan budaya, akan terpulang pada subyeknya masing masing. Mulai dari niat, target dan tujuan serta metode yang digunakan.
Pada tataran niat, menundukkan ego pribadi, ego daerah dan meleburkan pada ego yang lebih tinggi. Bahwa subyek hanyalah setitik debu kehidupan yang mencoba memaknai hidupnya dengan melakukan kerja kerja kebudayaan. Ego individu adalah penghambat keikhlasan. Tanpa keikhlasan, sulit mendapatkan keberkahan. Dan tanpa keberkahan, sulit mendapatkan kebaikan. Itulah sebab mengapa ego harus dileburkan pada ego yang lebih tinggi.


EmoticonEmoticon