Ketika Demokrasi Berbau Kemenyan

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Cratos yang berarti kekuasaan. Sejatinya, demokrasi membuka ruang kesetaraan pada tiap warga negara untuk turut berpartisipasi baik secara langsung atau tidak pada praktek politik. Sistem demokrasi meniscayakan adanya rotasi kepemimpinan secara berkala melalui pemilihan umum. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya tirani kekuasaan.

Kontestasi pada pemilihan umum, menuntut tingkat popularitas dan elektabilitas calon yang cukup agar dapat bersaing. Sementara, seorang calon, tentu memiliki keterbatasan dalam hal mengakses keseluruhan konstituen. Apalagi dengan semakin bertambahnya pemilih cerdas, menyebabkan tidak cukup hanya mengandalkan nama leluhur dan tentu menyulitkan bagi calon bila berminat bergerilya mendatangi semua konstituen untuk meyakinkannya.

Popularitas calon dalam pemilu dapat dimaksimalisasi melalui peran media. Namun, dirasa masih kurang untuk meningkatkan elektabilitas calon. Perlu "kharisma" yang kuat untuk itu. Sehingga membuka ruang bagi para dukun untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan umum. Walhasil, demokrasi pun berbau kemenyan. Dukun yang dimaksud pada tulisan ini adalah dukun yang terlibat pada pemilihan umum, bukan dukun beranak apalagi dukun santet :)

Prinsip kerja para dukun pada pemilihan umum sebenarnya sederhana. Kita bisa pakai analogi minyak wangi. Jika seseorang yang biasa biasa saja, menggunakan parfum, tentu akan menarik perhatian orang lain. Dukun seperti penjual parfum yang menyirami konsumennya dengan parfum produksinya. Sedang parfum adalah ilmu kewibawaan atau pengasihan yang ditransfer dukun pada calon yang bersangkutan.

Cover film remaja "Ada apa dengan dukun" yang menyinggung praktek perdukunan pada pemilihan umum
Mungkin istilah "dukun" dianggap terlalu kampungan, sehingga digunakan istilah yang lebih soft, yaitu paranormal. Ya, whateverlah. Yang jelas bahwa dukun ini menggunakan pendekatan metafisik agar konsumennya lebih berwibawa dan berdaya tarik tinggi. Soal setuju atau tidak dengan praktek perdukunan dalam proses demokratisasi kita, itu terserah kita masing masing. Namun terlepas dari ikhtiar untuk pemenangan, tentu rasanya agak aneh.

Akhirnya, kita menemukan bahwa ternyata buku teks standar ilmu politik ternyata masih perlu di update. Demokrasi yang mulai berbau kemenyan sama sekali tidak dibahas di buku teks standar yang masih senang berputar-putar pada teori barat. (arm)


EmoticonEmoticon