Sosio-Metafisik : Sebuah gagasan asal-asalan dari kampung

Seddi mi tu tau, rupannami maega
(hanya satu manusia, hanya ragamnya/wajahnya yang banyak)

Pengantar
Manusia, terkadang menjadi rahasia bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari tingkat pengetahuan manusia tentang dirinya. Ilmu pengetahuan kita berasal dari barat. Sehingga pendefinisian "manusia" tidak lepas dari bangunan pengetahuan dari barat itu sendiri.

Dibangku pendidikan, kita diharuskan menghafal ragam definisi tersebut. Ada yang mendefinisikan manusia adalah binatang berakal. Sehingga ukuran kemanusiaan adalah tingkat rasionalisasi. Celakanya, rasionalitas yang dimaksud saat ini adalah berdasar paradigma positivistik.

Ada yang mendefinisikan manusia sebagai "homo faber" atau makhluk yang membuat alat. Ukuran kemanusiaan adalah kerja. Kelak definisi seperti ini melahirkan ideologi sosialisme. Sementara ada pula yang mendefinisikan manusia sebagai "homo oeconomicus" atau makhluk yang mengadakan aktivitas ekonomi, Kelak definisi ini menjadi akar ideologi kapitalisme

Namun, saat ini dimana neo-liberalisme sebagai wujud mutakhir kapitalisme berdampak kerusakan dimana-mana. Mulai dari mental, hingga alam. Sehingga perlu definisi "manusia" yang lain yang kemudian melahirkan konsep hubungan sosialnya kita.

=================================

Suatu ketika di negeri Sidenreng. Padi dan tanaman gagal panen. Orang orang sibuk mencari penyebabnya. Hingga suatu saat, ternyata anak La Pagala Nene Mallomo didapatkan telah mencuri bajak milik keluarganya. Sehingga turunlah musibah dari "langit" tersebut. Untuk mengembalikan kesuburan, ketentraman dan kesejahteraan. Atau menormalkan relasi metafisika manusia alam dan Tuhan, maka La Pagala Nene Mallomo mengambil keputusan untuk menghukum anaknya. Ketika ditanya, mengapa engkau menghukum sementara ia adalah anakmu. Nene Mallomo menjawab "Ade Temmakkeana Temmakeappo" yang berarti hukum tidak mengenal anak dan cucu.

Di negeri negeri Bugis dizaman dahulu. Bila ada gagal panen, maka orang akan langsung mencari penyebabnya. Apakah ada yang malaweng (berzinah), orang sering bertengkar, atau pemimpin yang tidak adil. Jika ternyata ada orang yang berzinah, maka ia akan dihukum. Apakah hukumannya ri Ladung (ditenggelamkan dilaut dengan mengikat pada batu besar), Ri Paggareno Wennang Cella (dikalungkan benang merah dilehernya/disembelih) atau ri paoppangi tana (diasingkan keluar negeri). Hukuman yang boleh jadi orang dimasa kini melihat sangat bertentangan dengan HAM produksi barat. Akan tetapi di masa lalu, efektif untuk menstabilkan tatanan sosial dan menormalkan keseimbangan alam.

Dalam pandangan orang Bugis dulu, pertengkaran dipercayai sebagai penyebab tidak datangnya Sang Hyang Seri atau dewi padi. Ini berarti, pertengkaran menyebabkan tidak jadinya padi dan tanaman yang lain. Seperti halnya mencuri pada kasus putra La Pagala diatas.

=================================
Secara hakiki, manusia adalah satu. Gagasan ini sangat egaliter. Memberi makna akan empati sebagai dasar hubungan sosial. Ragam manusia, tak lebih kekhasan individu. Yang pada dasarnya, kekhasan itu ada pada diri tiap individu lainnya namun tidak atau kurang diaktualkan. Semua manusia bisa marah, senang, suka duka dan sebagainya. Cuma ada yang lebih dominan marahnya, lebih dominan senangnya, dan sebagainya.

Dengan gagasan seperti tersebut, sebelum berbuat yang berhubungan dengan orang lain, individu akan mengembalikan pada dirinya. Apakah hal tersebut baik untuknya atau tidak. Sebagaimana yang dikatakan To Ciung Accae ri Luwu : "Olamu muakkolaki". Takaranmu yang kau gunakan menakar.

Manusia harus bersahabat dengan alam

Bersambung


EmoticonEmoticon