Kado Tuhan di bulan Desember

Tags

Perairan Siwa Teluk Bone, 6 Desember 2014

Memancing bersama 2 orang teman (yang tidak pandai berenang) bersama tukang perahu. Langit dan laut nampak tenang sejak pagi hingga siang. Namun tak banyak hasil pancingan. Jam 2 siang, tangkapan kami bertambah. Namun langit mulai gelap dan ombak mulai besar. Para nelayan dan pemancing lain buru-buru masuk ke dermaga. Kami masih ditengah laut, sekitar 5-10 km dari pantai. Kedalaman laut sekitar 120-150 meter. Senar pancingku hampir habis untuk sampai kedasar. Ikan semakin bersemangat memakan umpan kami, kami pun semakin bersemangat memancing.

Sekitar jam 3-4 sore, angin kencang dari arah selatan. Berbeda dengan arus laut, yang justru dari arah utara. Buru-buru kami angkat jangkar. Namun tak bisa menghindari ombak besar setinggi 2 meter. Laut yang sebelumnya tenang bersahabat, tiba tiba memperlihatkan keperkasaannya. Untung tukang perahu kami cukup tangkas. Meski bibirnya putih karena kaget dengan terpaan ombak yang tiba tiba menghantam.

Kutipan ke-3 dari terakhir kamera digitalku

Lolos dari badai pertama, kami bangga. Sepanjang penglihatan mata, tak satupun perahu jolloro selain perahu kami. Rasanya, ikan dilaut milik kami semua. Tak ada pemancing yang lain. Kami melanjutkan pemancingan. Saya masih menyempatkan diri selfie sekali dua kali. Ternyata itulah kutipan terakhir kamera digitalku yang belum tergantikan hingga hari ini.

Tidak jauh dari lokasi pertama, jangkar diturunkan. Kami memancing lagi hingga jam menunjukkan pukul 5 sore. Dugaan kami keliru. Ternyata, badai datang lagi. Sekarang arahnya yang berbeda. Jika pada badai pertama, angin dari arah selatan, sekarang dari arah utara. Sebaliknya, arus air pun demikian. Badai pertama, arus dari arah utara, sekarang dari selatan. Kami heran, kok bisa demikian. Wajar, sebab kami tidak mewarisi pengetahuan laut leluhur kami.

Bentrok arus air laut dengan angin yang berbeda arah menghasilkan ombak setinggi 4 meter. Sekali lagi buru buru kami angkat jangkar. Perahu jolloro kami amat mudah terbalik menghadapi ombak seperti itu. Perahu kemasukan air. Kami berdoa, mungkin inilah saat terakhir kami. Mungkin ada teman yang mengumpat hobi mancing yang dapat berujung petaka. Saya melihat box ikan tangkapanku. Dalam benakku, bila perahu ini terbalik, saya hanya berusaha meraihnya agar tetap dapat terapung. Karena tak seorang pun dari kami membawa pelampung.

Hantaman ombak ke bagian depan perahu jolloro membuat perahu kemasukan air. Saya yang duduk paling depan, merasakan bagai air satu drum yang disiramkan ke tubuh saya. Semua basah kuyup. Kamera digitalku pun rusak. Buru buru plastik bulat saya raih untuk jadikan gayung. Untuk mengeluarkan air dari perahu sebanyak dan secepat mungkin. Berlomba dengan waktu dan ombak yang tak henti menghempaskan perahu.

selfie sebelum badai
Bayangan kematian kembali datang. Terbayang, bagaimana sedih dan tangis anak istri serta keluarga kami, bila mendengar 3 orang pemancing dan seorang tukang perahu hilang dilaut. Terbayang, bagaimana kami terombang ambing dilaut lepas dengan ombak 4 meter menjelang malam dan tak seorang dan perahu pun disekitar kami.

Pasrah...ya pasrah...biarkanlah Tuhan mengambil milikNya. Bila ini jalan kami untuk kembali padaNya, ya biarlah. Toh semua akan kembali padaNya. Teman teman berpegang erat di perahu. Tubuhku makin basah kuyup tersiram ombak menerpa perahu. Bagaikan air berdrum drum yang disiramkan ketubuhku. Berpegang pada sisi kiri kanan perahu adalah pilihan terbaik agar tak terjungkal dari perahu yang semakin tidak karuan posisinya. Dipermainkan ombak raksasa. Resiko berada didepan yah begitu.

Tukang perahu berusaha keras menghindari dengan mengitari ketinggian ombak. Ia mengarahkan perahu ke arah pantai. Dalam pikiran kami, kalaupun perahu kami terbalik, kami masih dekat dengan pantai. Bukan lagi 5-10km dari pantai yang tak mungkin kami renangi. Apalagi 2 orang teman kami tidak tahu berenang.

Pelan tapi pasti, kami menjauhi ketinggian ombak dan mendekati pantai. Setelah 1 jam menghadapi amukan ombak dan angin, akhirnya badai pun reda. Kami memilih lokasi sekitar 1 km didekat pelabuhan BangsalaE untuk menurunkan jangkar. Kedalamannya sekitar 20-30 meter. Sedikit kecewa, tapi setidaknya kami masih bisa berharap dapat ikan kerapu atau trevelly.

Dan strike. Bergantian kami merasakan sensasi tarikan ikan. Kenikmatannya mengobati rasa takut dan khawatir dari dua kali badai tadi sore. Tak terasa malam makin gelap. Kami terus menikmati pemancingan hingga sekitar jam 6:30. 

Badai ganas datang lagi. Sungguh diluar dugaan. Kali ini arahnya kembali berlawanan. Arus dari arah timur (tengah laut) dan angin dari arah barat (darat). Ini berbahaya, sebab mendorong perahu kami kembali ketengah. Buru-buru tukang perahu, yang kami gelari Nabie, angkat jangkar dan pulang. Walau tak lagi bertemu ombak setinggi 4 meter, namun kami masih harus berjuang hingga sampai kedermaga. Menghitung tangkapan kami dan bersyukur. Kami masih hidup.

24-26 Desember 2014
Kenangan perairan Siwa teluk Bone masih terasa. Kami sekeluarga (kakak, ipar dan tante), berencana ke Malaysia. Setelah cek jadwal pesawat, kami diberi dua pilihan. Pilihan pertama, naik Air Asia. Rute, Makassar-Surabaya-Singapura. Harga tiket 1,3 juta. Pilihan kedua, Lion Air. Rute Makassar-Surabaya-Batam. Harga tiket 1,5 juta.

Kakak mengajak kami berdiskusi mengenai pilihan ini. Kami setuju menyesuaikan rute. Singapura kemudian Johor lanjut Kuala Lumpur lalu pulang ke Makassar. Harga tiketnya pun bersahabat. Akhirnya kami sepakat booking tiket Air Asia. 

Sayang sekali, mendadak tiket Air Asia naik begitu cepat. Dari 1,3 juta menjadi 2 juta. Kembali kakak mendiskusikan dengan kami. Akhirnya, dengan berat hati kami sepakat untuk naik lion air yang harganya tetap 1,5 juta. Otomatis rute kami juga harus berubah. Batam-Johor-Singapura-Johor-Kuala Lumpur-Makassar.

Pesawat take off dari Makassar jam 3 dini hari. Tiba di bandara Juanda Surabaya jam 6 pagi. Pesawat Air Asia yang hampir kami booking, baru saja take off dari Surabaya ke Singapura. Kami masih harus transit di Juanda hingga jam 11 siang. Tentu membosankan. Rasanya, ingin mengutuk, mengapa tiket Air Asia tiba tiba naik. Selain murah, kami juga tidak perlu mengubah rute kami. Kami juga seharusnya telah tiba di Singapura. Bukan duduk menunggu di Juanda selama 5 jam.

Di sudut, ada orang marah marah. Mereka komplain ketinggalan Air Asia. Dalam hati saya tertawa. Ada teman saya yang gagal naik Air Asia. Bosan menunggu, saya menonton TV. Jam 9 atau 10 pagi, ada berita. Pesawat Air Asia yang hampir kami tumpangi, hilang kontak.

Kaget, tegang, bersyukur, sedih, dan berbagai perasaan bercampur aduk jadi satu. Terbayang, seandainya kami naik Air Asia. Tentu, keluarga kami akan khawatir. Segera saya menelpon keluarga bahwa saya baik baik saja. Tetapi kami masih harus naik pesawat jam 11.

Akhirnya jadwal keberangkatan tiba. Kami harus segera naik pesawat. Tidak ada urusan perasaan pribadi, pokoknya naik atau batal. Dan pilihannya, ya naik. Apapun yang terjadi. Dalam pikiran saya, bila ajal telah tiba, ia tidak mempersoalkan tempat. Apakah di udara, di laut atau bahkan dalam kamar dirumah kita.

Penerbangan berjalan lancar. Di angkasa Jawa Timur, Tengah dan Barat pesawat terbang dengan indahnya. Memasuki angkasa disekitar Sumatera, pesawat mulai bergoyang. Seperti mobil yang melewati jalan rusak. Dalam benakku, mungkin disekitar inilah pesawat Air Asia jatuh. Mungkin pesawat itu ada dibawah sana. Dan bisa jadi kami pun ikut jatuh, Tetapi saya sadar, Tuhan itu ada. Ajal datang kapan saja. Yang perlu hanyalah ikhlas dengan apapun kehendakNya. Sebab tiada daya dan upaya selain dariNya.

Mendekati bandara di Batam, ketegangan belum berakhir. Kami masih harus menerima kenyataan bahwa pesawat masih berputar putar karena ada sedikit persoalan teknis sebelum mendarat. Untung hal itu tidak berlangsung lama. Kami segera mendarat di Batam dengan selamat. 

Dari Bandara, segera kami ke pelabuhan naik fery ke Johor Malaysia. Kami berburu dengan waktu jadwal keberangkatan Fery. Sebab bila terlambat, kami harus menginap di Batam. Dan itu berarti, kesempatan berlibur menjadi kurang.

Di atas ferry, ombak menghantam. ABK berbicara melalui pengeras suara agar kami lebih hati hati. Sebab sekarang ombak lebih besar dari biasanya. Saya melihat keluar, ombak Teluk Bone lebih besar daripada ombak Selat Malaka yang memisahkan Johor dan Batam. Namun, laut tidak boleh dianggap enteng. Sekali lagi, saya harus memasrahkan hidupku, bersiap apapun terjadi. 

Selama di Malaysia, berita yang TV yang dominan cuma dua. Pertama, Pesawat Air Asia yang hampir kami tumpangi dan bencana banjir di salah satu negara bagian Malaysia. Sultan Johor mengeluarkan larangan merayakan tahun baru dan petasan untuk menghormati korban Air Asia dan Bencana Banjir.

Setelah jadwal libur kami selesai, saatnya pulang. Kami ke Kuala Lumpur untuk naik pesawat tujuan Makassar. Kami bertiga pulang, kakak tetap tinggal untuk menyelesaikan studinya. Saat itu kami naik pesawat Air Asia. Saat itu, maskapai Air Asia sedang menerima kritikan pedas dari berbagai pihak atas jatuhnya pesawatnya. 

Lama penerbangan, 3,5 jam dari Kuala Lumpur ke Makassar. Satu jam pertama, masih diatas jazirah melayu cuaca cerah. Dengan jelas terlihat daratan, pohon, mobil dan rumah. Hingga perlahan yang terlihat dibawah hanya laut, kapal meski sangat kecil. Tentu ketinggian pesawat bertambah dan berada diatas Selat Malaka. Satu jam pertama, penerbangan sangat menyenangkan.

Memasuki jam kedua, tak terlihat apapun dibawah sana. Goncangan tak henti terasa didalam pesawat. Nampaknya pesawat mencoba menembus badai diluar sana. Bayangkan kematian kembali hadir. Tetapi hanya pasrah yang dapat dilakukan. Untuk tidur, sangat sulit. Sebab pikiran berkecamuk. Mata terus terjaga. Goncangan pun tak terhenti. 

Memasuki jam kedua, sempat langit dibawah terbuka. Yang sempat saya lihat adalah hutan. Dalam pikiranku, mungkin kami berada diatas kalimantan. Ketika masih ingin melihat kebawah, kembali tertutup awan. Goncangan berlanjut tak henti.

Akhirnya, tiba tiba langit terbuka. Ternyata pesawat terbang semakin rendah. Laut, darat, pulau nampak jelas. Rasanya ketinggian pesawat tidak melebihi 1000 meter. Jejeran pulau Samalona, Barang lompo, Barang Caddi terlihat jelas. Demikian pula cahaya lampu kota Makassar. Dalam pikiranku, bila ternyata pesawat yang kami tumpangi harus jatuh, setidaknya mayat kami tidak sulit ditemukan tim SAR. Pasrah menghadang maut, sambil tersenyum bila akhirnya kelak saya mati dan tidak membuat kesulitan tim SAR untuk menemukan mayatku. Saya akan dimakamkan dengan layak pikirku sambil tersenyum.

Setahun sebelumnya
Program penghancuran karakter berjalan secara halus, tersembunyi dan mematikan. Targetnya, adalah saya. Efek penghancuran karakter itu membuat masa depanku, masa depan anak anakku menjadi suram. Namun, saya masih hidup. 

Dalam hidup yang sengsara, tidak ada alasan untuk mengeluh. Sebab, tak lama kemudian akan ada orang yang saya temui. Orang yang hidupnya jauh lebih sengsara dariku. Dan itu bukan sekali, tapi berkali kali. Tuhan menjawab kegalauanku dengan memperlihatkan orang yang lebih susah. Seolah Tuhan ingin berkata padaku, bersyukurlah dengan apa yang ada pada dirimu.

Kado Tuhan Bulan Desember
Selama 2 tahun terakhir, banyak pelajaran dari Sang Maha Tahu tentang makna kehidupan dan kematian. Banyak ruh telah pergi menghadapNya, Dia yang Menghidupkan, Dia yang Mematikan. Siap tidak siap, jika waktunya tiba, harus siap. Lalu apa yang dipersembahkan pada Sang Pemilik Segala Sesuatu ?

Jabatan ?.....ah.....tidak ada presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota kpu, ketua jurusan, professor, konsultan, camat dimata Tuhan. Apa yang dibanggakan ?
Harta ?.....tanah hanya menjepit dikuburan. Uang, tak dapat dibelanjakan di akhirat. Mobil ??? ah tidak berguna
Amal ?....tapi kan sangat sedikit. Sedangkan membalas nikmat Tuhan saja kita tidak mampu, lantas mengapa merasa amal kita cukup untuk masuk surga ?

Hmmmmmm....................

Banyak orang serakah dan tamak saat ini. Sampai hati mengorbankan keluarga dan sahabat demi harta dan jabatan. Tuhan memberikan kadonya di bulan Desember. Yang hanya dimengerti bagi orang yang paham arti hidup dan mati. Arti memaknai kehidupan dan kematian.

Hidup adalah siklus. Setelah kehidupan, ada kematian. Setelah Desember, akan ada Januari. Mari angkat kopinya dan merayakan kehidupan. Persoalannya adalah, apakah di bulan Januari kita menjadi orang yang lebih baik dibanding bulan Desember.

Iyya teppaja kusappa
Paccolli loloengngi
Aju MarakkoE

(yang tak henti kucari, yang menumbuhkan pucuk muda, kayu kering)


EmoticonEmoticon