4 Etika Bugis-Makassar dalam Mengkritik Penguasa

Tags

Musalipuri Temmadingingkeng
Mudongiri Temmatippakkeng
(Engkau menjaga kami agar tidak kedinginan = ketakutan
Engkau menjaga kami agar tidak hampa = berkembang)
Luka taro arung telluka taro ade'
Luka taro ade' telluka taro anang
Luka taro anang telluka taro tomaega
(Batal Pendapat raja tidak batal pendapat hukum
Batal pendapat hukum tidak batal pendapat tokoh masyarakat
Batal pendapat tokoh masyarakat tidak batal pendapat orang banyak)

Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk Bugis, dimasa lalu terbentuk melalui kontrak sosial antara tokoh yang dijadikan raja pertama dengan wakil masyarakat (matoa/anang). Dalam kontrak itu, ada kesepakatan yang terbangun antara keduanya.
Redaksi kalimat yang digunakan dalam kontrak sosial itu hampir sama. Intinya berisi ketundukan, kepatuhan dan kesetiaan rakyat pada raja. Juga berisi pengabdian, perlindungan, penjagaan raja pada rakyatnya.
Museum Latemmamala (Vila Yuliana) Soppeng

Dalam perkembangannya, dibentuk mekanisme kontrol terhadap raja untuk mencegah kesewenang-wenangan. Di kerajaan Makassar, ada jabatan Paccallayya. Di Soppeng, Arung Bila berfungsi sebagai Pangepa' sebuah jabatan yang mirip fungsi Arung Bettempola di Wajo.


Raja yang berprestasi, terus menjabat (tanpa dibatasi masa jabatan). Raja yang dianggap kurang berprestasi, atau tidak disepakati lagi memerintah, diturunkan dari jabatannya (entah baru kemarin dilantik atau sudah tahunan menjabat).
Mekanisme kontrol pada tiap kerajaan yang terbentuk sedemikian rupa sehingga menciptakan stabilitas dalam pemerintahan. Meski demikian ada beberapa
  1. Menyampaikan aspirasi melalui dewan adatProsedur standar dimasa lalu adalah menyampaikan aspirasi secara berjenjang. Di Kerajaan Wajo, sebelum sampai ke Arung Matoa, terlebih dulu melewati Punggawa, Arung Mabbicara, dan Petta Betteng.
  2. Menampakkan simbol ketidaksetujuan
    Simbol ketidaksetujuan pada penguasa dalam bentuk demonstrasi. Namun demonstrasinya tidak seperti sekarang, pengerahan massa, orasi dan bakar ban. Demonstrasinya dengan cara kalem dan sederhana. Cukup dengan berjalan didepan istana dengan songkok yang sengaja dimiringkan. Maka raja sudah bisa mengerti, bahwa sebagai raja ada yang keliru pada dirinya. Jika raja bersangkutan adalah orang yang punya siri yang tinggi, tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk mengundurkan diri dan turun tahta.
  3. Meninggalkan daerah
    Jika saluran aspirasi tersumbat, atau mekanisme kontrol tidak berjalan baik. Maka rakyat suatu kerajaan akan meninggalkan daerah itu. Disebut dengan istilah Mallekke Dapureng yang berarti memindahkan dapur. Dapur adalah istilah menggambarkan kehidupan. Jadi memindahkan dapur berarti memindahkan lahan pencarian untuk hidup kedaerah lain.
  4. Menurunkan dari tahta
    Tercatat raja lalim dari Bone (La Ica MatinroE ri Adenenna) meninggal karena keletihan ditangga rumahnya. Darahnya tidak ditumpahkan, tapi karena dijepit oleh ribuan rakyatnya. Raja lalim dari Wajo (La Pateddungi to Samallangi) meninggal ditombak oleh rakyatnya, namun darahnya ditumpahkan diluar Wajo. 
    Penurunan tahta secara paksa ini merupakan wujud budaya Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge' Mainge' pi Napaja = Saling memanusiakan, saling memuliakan, saling mengingatkan, nanti insyaf baru berhenti (mengingatkan).
    Kepercayaan orang Bugis Makassar dahulu berpantang untuk menumpahkan darah raja dan bangsawan ditanahnya. Jika sang raja sudah mengerti bahwa ia tidak disukai lagi oleh rakyatnya, mekanisme kontrol akan bekerja untuk menurunkan sang raja dari tahta. Cara penyampaian kepada raja bukanlah dengan kata-kata kasar. Namun kata-kata halus yang bermakna dalam. Hal itu sudah cukup menurunkan raja dari tahtanya. Jika raja menolak untuk meletakkan jabatan, dan rakyat cukup kuat, maka raja akan dibunuh.
Demikian  etika orang Bugis-Makassar dalam mengkritik penguasa di masa lalu.


EmoticonEmoticon