4 Faktor Kemunduran Bangsa

Indonesia adalah negara terkompleks didunia. Memiliki alam yang teramat kaya. Ratusan etnis, bahasa dan kultur menyatu. Belum lagi keragaman agama dan keyakinan. Juga berbagai pengaruh pemikiran dari luar, semakin membuat wajah Indonesia beragam. Oleh karena itu, pada dasarnya Indonesia berpotensi menjadi negara yang kuat dan besar. Seharusnya Indonesia saat ini tampil dominan dipentas percaturan politik dunia. Apalagi bangsa ini dianugrahi ratusan pahlawan dan puluhan founding fathers yang teramat cerdas memulai tonggak awal pembangunan bangsa ini. Akan tetapi seperti fakta yang kita lihat, Indonesia sekarang menjadi mundur. Berikut ini beberapa penyebabnya.


1. Suka Bertengkar
Pada dasarnya orang Indonesia adalah pecinta damai. Orang Indonesia mampu menemukan pola hubungan yang harmonis ditengah perbedaan yang ada. Baik perbedaan agama, suku maupun budaya.


Akan tetapi, ada prilaku yang dicangkokkan oleh kolonial Belanda dan diwariskan hingga saat ini. Yaitu bertengkar. Ya, penjajah yang minoritas mampu menjajah masyarakat nusantara dimasa lalu berkat pertengkaran yang mereka ciptakan sesama anak bangsa. Kita mengenal istilah Devide et Impera, pecah belah dan jajahlah.

Dengan karakter yang keras dan kualitas pendidikan yang ada, kita lihat bangsa Indonesia suka bertengkar. Mulai pelajar dan mahasiswanya yang suka tawuran. Hingga orang-orang tua yang berebut kuasa. Akibatnya dapat diprediksi, terjadi kerusakan (yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki), dan terkurasnya energi untuk mengurus pertengkaran. Bukan menguras energi untuk membangun.

2. Kebijakan Ekonomi Pro Barat
Saat Presiden pertama RI berkuasa, Ir. Soekarno, beliau melakukan nasionalisasi aset perusahaan asing dan dijadikan BUMN. Semasanya, sekitaran 200 BUMN berhasil dibangun. Sebagai negara yang belum lama terbentuk, adanya ratusan BUMN ini menjadi penopang ekonomi bangsa untuk membiayai pembangunan.

Presiden Soekarno menyadari kekayaan alam Indonesia, dan beliau memilih untuk bersabar dan menunggu sampai SDM Indonesia mampu mengelola alam daripada mengundang investor asing. Di masanya, ratusan hingga ribuan pelajar dikirim keluar negeri. Celakanya, peristiwa G/30S menyebabkan mereka memilih mengabdikan ilmu mereka pada negara lain ketimbang pulang ke Indonesia dan di cap sebagai komunis.

Ketika Soeharto berkuasa, UU No.1 tentang Penanaman Modal Asing langsung dikeluarkan. Berdatanganlah Trans National Corporation mengeruk kekayaan alam kita dengan bagi hasil yang sedikit. 82% untuk perusahaan asing dan 18% untuk negara. Sungguh kebodohan yang teramat sangat.

Di masa Soeharto ini, kebijakan ekonomi kita menjiplak kapitalisme melalui developmentalismenya, yaitu pembangunanisme. Ciri khasnya, mengutang dan terus mengutang. Walhasil, hingga sekarang, kita masih menanggung utang luar negeri di era soeharto.


Orang selalu bilang, di masa Soeharto enak. Ya memang enak, karena utang pada tengkulak internasional belum jatuh tempo. Saat mulai jatuh tempo tahun 1997, terjadi krisis moneter. Dan siapapun jadi presiden kedepan, entah Gita, Dahlan, Jokowi, Megawati, Wiranto, Surya Paloh, Prabowo, whoeverlah...tetap mewarisi utang luar negeri suharto. Dan itu berarti jelas, kita tetap didikte oleh para tengkulak. Wajar kita miskin di negara kaya

3. Mental Birokrasi yang kurang Efektif dan Efisien
Sebagian besar APBD kita di Indonesia berkisar 60-80% digunakan untuk biaya rutin. Ya mulai dari gaji PNS, hingga semua yang menggunakan fasilitas negara. Termasuk rumah/kendaraan dinas hingga perjalanan dinas. Artinya sekitar 20-40% yang digunakan untuk pembangunan. Baik itu infrastruktur hingga suprastruktur.


Belum lagi kebocoran anggaran. Misalnya bagiannya kepala xxx sekian persen dst. Sehingga anggaran yang digunakan tidak maksimal. Tentu yang dikorbankan adalah kualitas pembangunan. Pernah ada kegiatan, kucur anggaran 45 juta. Datang utusan dari instansi terkait untuk meminta jatah 2,5 juta. Tarik ulur, dan selalu meminta jatah hingga hanya ingin memberi panitia 7,5 juta saja. Hanya bermodal jabatan, seseorang merasa pantas untuk mengambil hak orang lain. Tentu yang korban adalah kegiatan. Sebab anggaran yang minim tentu menyebabkan output kegiatan yang minim pula. Sementara ada orang tidak bekerja memotong 5/6 dari total anggaran dan hanya memberikan 1/6 anggaran.



Rekrutmen SDM juga kurang efektif dan efisien. Saat ini, orang tidak perlu berkualitas untuk menduduki posisi. Cukup PDKT yang dahsyat. Walhasil, muncul tradisi menjilat, menyogok dan berbagai hal lainnya yang menyebabkan lemahnya kualitas SDM kita. Ada contoh sederhana. Sebuah kegiatan membawakan nama daerah xxx misalnya membutuhkan 5 orang seniman. Setelah latihan, ternyata cuma 3 orang yang mau diberangkatkan. Ternyata 2 kursi sisa itu karena ada keluarganya pejabat tertentu yang mau ikut jalan-jalan, meski dia tidak punya skill dibidang seni. Dikorbankan prestasi demi keinginan jalan-jalan orang-orang tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan tersebut.

4. Latah
Latah disini dalam arti selalu menganggap semua dari barat itu bagus, baik, tepat dan relevan diterapkan. Sebagai contoh, ketika developmentalisme ngetop, banyak pejabat latah ingin mengundang investor asing ke daerahnya. Bukannya memaksimalkan SDMnya, atau memikirkan cara kreatif untuk menggalang dana, keberhasilan diindikasikan dengan datangnya orang bule.


Anak mudanya tak kalah ketinggalan latah dari orang-orang tuanya. Saat Gangnam Style ngetop, semua mau Gangnam Style. Saat Goyang Caesar ngetop, semua mau goyang caesar. Saat Korea menyerbu dengan boy/girls bandnya, maka ramai-ramai anak muda bikin boyband. Saat cantik dicitrakan dengan rambut lurus panjang, semua ramai ramai ke salon merebonding rambutnya.

Secara sepintas, tidak ada masalah. Namun jika kita cermati lebih lanjut, latah sebenarnya adalah bentuk ketidakpercayaan diri. Latah adalah penyakit psikologis. Minder, menganggap diri tak mampu. Sehingga orang yang latah adalah orang yang lemah mental. Mudah dicuci otak dan disusupi pikirannya.

Untuk itu, perlu kembali penguatan lokalitas. Baik sejarah maupun budaya lokal. Bahwa kita adalah bangsa besar. Bangsa Indonesia bukan bangsa latah. Bangsa Indonesia bisa berdiri diatas kakinya sendiri. Bangsa Indonesia kaya dengan budaya yang membuatnya tidak perlu ikut-ikutan pada bangsa asing.

3 komentar

mantap daeng...tulisan yg memberikan pencerahan daeng...poin 1, sering, selalu terjadi...salah satunya calon pengelola negara yg masih berstatus Msiswa, bahkan tdak sedikit melanjutkan kebiasaannya sampai di dunia kerja mereka.....poin 2 sampai sekarang orang2 tua yg "senang2, tenang2 saja" (tdak diganggu informasi media seperti sekarang dan hidup dalam "pengamalan Pancasila versi pelajaran PMP" di zaman orba), selalu ingin keadaan negara dikembalikan seperti masa orba saja...poin 3..hehehe proyek2....bagi2, kadis, kabid, kasie, ka....ka.... poin 4, berharap semoga disegerakan berakhir dengn kekuatan produk2 lokal dan trend kaum muda jdi bangga dgn menguatkan identitas kebangsannya...walaupun masih ada kata kapan???...

mantap daeng...tulisan yg memberikan pencerahan daeng...poin 1, sering, selalu terjadi...salah satunya calon pengelola negara yg masih berstatus Msiswa, bahkan tdak sedikit melanjutkan kebiasaannya sampai di dunia kerja mereka.....poin 2 sampai sekarang orang2 tua yg "senang2, tenang2 saja" (tdak diganggu informasi media seperti sekarang dan hidup dalam "pengamalan Pancasila versi pelajaran PMP" di zaman orba), selalu ingin keadaan negara dikembalikan seperti masa orba saja...poin 3..hehehe proyek2....bagi2, kadis, kabid, kasie, ka....ka.... poin 4, berharap semoga disegerakan berakhir dengn kekuatan produk2 lokal dan trend kaum muda jdi bangga dgn menguatkan identitas kebangsannya...walaupun masih ada kata kapan???...

Wah keren gan artikelnya! :D

Blogwalking : Billy-Art


EmoticonEmoticon