Todilaling, Maraqdia Pertama Balanipa

Telah menjadi tradisi di Balanipa Mandar dizaman dahulu kala. Apabila ada dua lelaki yang berselisih, maka diselesaikan dengan cara baku tikam keris. Apabila ada yang terlebih dahulu terluka, maka dilerai dan dianggap bersalah. Apabila ada yang terbunuh, maka yang hiduplah yang dianggap benar.


Apabila ada dua perempuan Mandar yang berselisih, maka dimasak air hingga mendidih. Lalu kedua perempuan yang berselisih itu disuruh masukkan tangannya dalam air mendidih tersebut. Barangsiapa yang terlebih dulu mengangkat tangannya dari air mendidih tersebut, itu yang dianggap bersalah. Begitupun sebaliknya.

Hal tersebut terus berlangsung hingga dizaman Todilaling, Maraqdia pertama Balanipa. Todilaling menyaksikan langsung hal tersebut bersama Tomakaka di Nepo. Setelah itu, beliau bersedih. Sebab memikirkan masa depan negerinya. Bila hal itu terus berlangsung, maka lelaki di Balanipa akan berkurang. Sementara para perempuan tidak bisa berbuat banyak sebab tangannya sakit.

Untuk mengatasi hal tersebut, Todilaling mengutus I Puang di Pojosang ke Gowa untuk meminta hukum adat. Sesampai di Gowa, I Puang di Pojosang naik ke istana bertemu Karaeng Gowa dan menyampaikan maksudnya. Karaeng ri Gowa pun menanyakan bagaimana hukum adat di Balanipa Mandar. I Puang di Pojosang menjawab secara seksama dan Karaeng pun mengerti.

Dengan persetujuan Gallarang, maka Karaeng ri Gowa pun menitahkan pada Gallarang agar menuliskan di lontara ikhwal hukum adat. I Puang menerima lontara tersebut, berterimakasih dan pamit. Oleh Karaeng ri Gowa, memberi bekal pada I Puang untuk perjalanan pulang bersama pelaut Makassar.

Pantai Mandar
Sesampai di Balanipa, Maraqdia bersama hadat Balanipa duduk bersama dan mendengarkan isi lontara hukum adat tersebut dan disepakati dijadikan sebagai pusaka. Pusaka yang diwariskan turun temurun. Adapun pelaut Makassar tersebut diminta untuk menginap di Balanipa, namun ditolak dengan halus sebab kapalnya sedang membawa barang yang harus diantarkan. Todilaling pun meminta pada pelaut Makassar yang mengantar I Puang tersebut agar bila selesai mengantar barang, hendaknya singgah di Balanipa sebelum pulang ke Makassar.
Todilaling kemudian meminta kepada hadatnya agar mengumpulkan hasil bumi untuk dikirim ke Makassar sebagai bentuk terimakasih pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Beberapa hari kemudian, tibalah pelaut Makassar di Balanipa yang telah mengantar barang. Ia menghadap menemui Todilaling. Oleh Todilaling, berpesan agar hasil bumi dari Balanipa tersebut dikirim pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Sekaligus menitip salam rindu untuk Karaeng ri Gowa yang memang telah lama Todilaling tak bersua dengannya.

 ~ disadur dari Transliterasi dan Terjemah O DIADAQ O DIBIASA (NASKAH LONTAR MANDAR)


EmoticonEmoticon