Showing posts with label Iptek. Show all posts
Showing posts with label Iptek. Show all posts

Paradigma Ilmu Pengetahuan (Bagian Kedua)

Pada bagian pertama, telah disinggung tentang penemuan Copernicus yang menentang konsep kosmos dizamannya yang didominasi gereja. Gagasan Copernicus kemudian dipertajam oleh Keppler melalui penemuan garis orbit planet yang berbentuk elips. Demikian pula, Galileo yang menemukan hukum gravitasi, serta Bacon yang membangun metode induksi empiris. Hingga kemudian, Rene Descartes yang hanya meyakini keraguannya. Melahirkan prinsip apriori sebagai dasar untuk menguji sebuah pengetahuan.


Bagi Descartes yang seorang ahli matematika, seperti halnya Galileo, alam adalah simbol yang bisa diukur. Sehingga menegaskan hal-hal empiris dan terukur untuk menilai kebenaran. Adapun yang bersifat kualitatif seperti rasa, warna, bau, tidak dikategorikan ranah ilmiah.  Kelak, pengaruh Descartes muncul pada metode penelitian Kuantitatif pada skripsi, tesis dan desertasi kita hari ini.


Menurut Michael H Hart, Newton adalah orang kedua paling berpengaruh didunia. Sangat beralasan memang, mengingat Newton bukan sekedar ilmuan belaka. Ia membangun fondasi ilmu pengetahuan modern. Newton mempertajam lagi konsep heliosentris yang dikembangkan pemikir sebelumnya. Newton merumuskan hukum mekanika, yang kelak memuluskan lahirnya revolusi industri di Inggris. Hukum mekanika merupakan racikan dari empirisme Bacon dan rasionalisme Descartes.


Adapun pembahasan tentang asumsi dasar paradigma mekanistik, Insya Allah akan dibahas pada bagian berikutnya. (arm)


Paradigma Ilmu Pengetahuan (Bagian Pertama)

Paradigma adalah sistem nilai yang menyusun sebuah pandangan terhadap sesuatu. Paradigma ilmu pengetahuan berarti sistem nilai dalam memandang ilmu pengetahuan itu sendiri. Apa yang kita pahami sebagai ilmu pengetahuan hari ini, adalah sebuah hasil dari proses rumit yang melibatkan sekian banyak gagasan yang berpadu membentuk sistem yang kompleks. Sebagai sebuah sistem, tentu paradigma tidak lahir secara instan. Akan tetapi, paradigma ilmu pengetahuan modern lahir dari beberapa hal yang melandasinya.

Tulisan ini dimaksudkan untuk meringkas proses terbentuknya paradigma ilmu pengetahuan modern dan beberapa gagasan penting yang melandasinya. Ptolomeus, seorang filsuf Yunani merumuskan konsep Geosentris. Sebuah konsep yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Dilandasi dengan argumen bahwa matahari dan planet muncul disebelah timur dan tenggelam disebelah barat. Kesan bahwa matahari dan planet berputar mengelilingi bumi inilah dasar bahwa bumi adalah pusat alam semesta.


Gagasan ini bertahan hingga ribuan tahun dan didukung oleh gereja, pemegang otoritas kebenaran di abad pertengahan.
Hingga kemudian ditahun 1543 Nicolas Copernicus, seorang astronom merumuskan "hipotesa" tentang Heliosentris, bahwa mataharilah pusat alam semesta. Bahwa bumi beserta planet mengelilingi matahari. Penemuan Copernicus tentu sangat beresiko terhadap keselamatannya, hingga Copernicus hanya berani merilis sebuah hipotesa. Mungkin kebetulan, Copernicus meninggal ditahun yang sama dengan tahun ia merilis hipotesa yang menggegerkan dunia ilmu pengetahuan di zamannya. Sadar atau tidak, Copernicus telah membuka babak baru perkembangan ilmu pengetahuan, setelah era Thomas Aquinas yang mencoba memadukan pandangan aristotelian dengan konsepsi teologi gereja.

Johannes Keppler, seorang astronom dengan matematikanya berhasil menemukan lintasan planet yang berbentuk elips, bukan lingkaran. Sehingga Keppler mempertegas "hipotesa" Copernicus. Sementara, dengan temuan teleskop terbarunya, Galileo menemukan tentang pergerakan bintang-bintang. Galileo berpendapat bahwa, semesta ini adalah bahasa universal yang dapat dipahami dengan matematika. Galileo membatasi keilmiahan pada sesuatu yang dapat dihitung dan terukur. Sehingga hal-hal yang bersifat kualitatif seperti warna, rasa, dan bau "dijauhkan" dari ranah ilmu pengetahuan. Pilar kuantifikasi ilmu pengetahuan telah terpancang kuat oleh Galileo.


Sementara di Inggris, seorang matematikawan yakni Francis Bacon merumuskan metode ilmu empiris. Ia merumuskan prosedur induktif dengan sangat jelas. Bacon menyerang dengan tegas filsafat tradisional yang mengedepankan kearifan sebagai tujuan ilmu. Bacon dengan percobaan ilmiahnya melahirkan semangat baru dalam ilmu pengetahuan.

Semangat baru itu adalah semangat untuk menaklukkan alam. Ilmu pengetahuan kemudian diarahkan agar dapat menguasai dan mengendalikan alam. Hingga pada titik ini, perlahan ilmu pengetahuan menjadi alat bagi manusia untuk menunjukkan keserakahannya dan nantinya akan berdampak terhadap keseimbangan alam seperti saat ini.


Mungkin anda pernah mendengar kalimat "Cogito Ergo Sum" yang berarti "aku berpikir maka aku ada". Saat Descartes mendapat pencerahan dalam sebuah perenungannya ia menemukan eksistensi kediriannya.

Rene Descartes, dianggap sebagai pendiri filsafat modern. Selain itu, Descartes juga adalah seorang ahli matematika.

MARGIN ERROR

Statistik, bukanlah mata kuliah yang menyenangkan bagi orang kebanyakan. Setidaknya begitu menurutku. Ketika kuliah, saya selalu mengambil metode kualitatif untuk penelitian skripsi dan tesis saya. Selain untuk menghindari kalkulasi statistik, juga secara pribadi saya lebih suka mengurai makna yang tersembunyi dibalik teks.


Namun seiring dengan dinamika sosial politik masyarakat kita, mempelajari statistik tiba-tiba menjadi penting bagi saya. Sebab mendengar kata "Margin Error" seolah menjadi jaminan kebenaran terhadap sebuah rilis Quick Count perolehan suara pada pemilu/pemilukada. Bahkan membangun kesan bahwa "penyelenggara pemilu curang" jika hasil real count penyelenggara pemilu berbeda jauh dari Quick Count. Quick Count atau hitung cepat, menggunakan metode statistik. Jumlah keseluruhan TPS sebagai populasi, dan perolehan suara pada sebagian TPS sebagai sampel.

Akurasi Quick Count sangat ditentukan oleh berapa persen tingkat Margin Error yang ditetapkan sebelumnya. Semakin rendah Margin Errornya, maka tingkat akurasi kebenaran rilis perolehan suara Quick Count juga akan semakin tinggi.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi Lembaga Survey, Pengguna data survey maupun reaksi masyarakat atas quick count (produk/hasil survey). Tulisan ini semata-mata hanya untuk belajar (mencoba mengingat kuliah dari dosen) dan berbagi tentang salah satu bagian pada bidang statistik yaitu "margin error".
Dalam statistik kita kenal beberapa poin penting antara lain :
  1. Populasi : Keseluruhan dari obyek/subyek yang memiliki kualitas untuk diteliti
  2. Sampel : Sebagian dari populasi yang dianggap representasi dari populasi untuk diteliti
  3. Teknik Sampling : Cara untuk menentukan banyaknya sampel dan calon sampel yang dianggap representasi dari populasi.
    Teknik Sampling terbagi dua kelompok
  • Propability Sampling --> terdiri dari : Simple Random, Proportionale Stratified, Disproportionale Stratified, Cluster
  • Non Propability Sampling -->  terdiri dari : Sampling Sistematis, Sampling Quota, Sampling Incidental, Purporsive Sampling, Sampling jenuh, Snowball Sampling

Pada tulisan ini, saya tidak mempertajam pembahasan tentang teknik sampling, maupun membahas lebih lebar tentang statistik. Sesuai dengan judul, saya akan mencoba mempertajam kajian tentang Margin Error sesuai keterbatasan saya.

Margin Error adalah tingkat ketidaksesuaian antara data statistik yang diolah dengan kenyataan lapangan. Semakin rendah Margin Error, maka semakin tinggi akurasi data statistik tersebut. Sehingga Margin Error yang rendah menjadi jaminan bagi pihak peneliti untuk mempertanggung jawabkan hasil penelitiannya secara ilmiah.

Mungkin menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana cara menentukan Margin Error ?
Alur Pengolahan Data
Sebelum menjawabnya, mari kita perhatikan bagan disebelah.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa Sampel adalah sebagian dari populasi. Menjadi pertanyaan berapa sampel yang harus dijadikan penelitian (penentuan banyaknya sampel), dan pertanyaan kedua adalah diantara sekian sampel, sampel yang mana saja yang digunakan dan dianggap representatif.

Teknik Pemilihan sampel, terdiri dari dua kelompok yaitu propably sampling dan non propably sampling.
Sedangkan penentuan banyaknya sampel inilah yang nantinya menentukan berapa persen margin error.

Pertama-tama, jumlah populasi terlebih dahulu harus diketahui. Kedua, menggunakan Tabel Kretjie dan Rumus Slovin untuk mendapatkan tingkat signifikansinya.
Tingkat signifikansi diterjemahkan sebagai taraf kepercayaan yang berarti persentase kebenaran bukan secara kebetulan. Secara umum, angka yang digunakan adalah 0,1 atau 0,01 atau 0,05. 
  • Jika taraf signifikansi 0,01 ini berarti taraf kepercayaan adalah 99%. Margin Errornya adalah 1%.
  • Jika taraf signifikansinya 0,05 berarti taraf kepercayaan adalah 95%. Margin Errornya adalah 5%.
  • Jika taraf signifikansinya 0,1 berarti taraf kepercayaan 90% Margin Error adalah 10%
Kembali keTabel Kretjie
Tabel Kretjie
Pada tabel disebelah, terdiri dari N yaitu populasi. 1%, 5% dan 10% .
Sebagai contoh. Apabila seseorang ingin meneliti pada 888 sampel. Kemudian memilih margin error 1% (tingkat kesalahan 1% dan tingkat keyakinan benar 99%), maka orang tersebut harus mengambil sampel sebanyak 373. 
Jika memilih margin error 5% (tingkat kesalahan 5% dan tingkat keyakinan benar 95%) maka ia harus mengambil sampel sebanyak 247.
Jika memilih margin error 10% (tingkat kesalahan 10% dan tingkat kebenaran 90% berarti ia harus mengambil sampel sebanyak 205. Tabel Kretjie ini memudahkan kita menentukan jumlah sampel dan taraf signifikansi mulai dari 10 populasi hingga 200.000 populasi.
Bagaimana dengan Rumus Slovin ?

Rumus Slovin
Rumus Slovin :
N : Populasi
n : Sampel
e : Error tolerance

Contoh pertama:
Soal :
Berapa ukuran sampel minimum yang harus diambil dari populasi berjumlah 1000 dengan tingkat signifikansi 0,05

Jawab :
1000 / 1 + 1000 (0,05)^2 = 285,7143 = dibulatkan menjadi 286.
Penjelasan :
Artinya, jika seseorang ingin mengambil sampel pada 1000 populasi dengan margin error 5% dan tingkat kepercayaan 95%, maka orang tersebut harus mengambil sampel sebanyak 286.

Contoh kedua :
Soal :
Berapa ukuran sampel minimum yang harus diambil dari populasi berjumlah 45.250 dengan tingkat signifikansi 0,01 ?

Jawab :
45.250 / 1 + 45.250 (0,01)^2 = 8.190,045 dibulatkan keatas menjadi 8.191

Penjelasan :
Jika seseorang ingin mengambil sampel pada sebuah daerah yang populasinya sebanyak 45.250 dengan margin error 1% dan tingkat kepercayaan 99%, maka ia harus mengambil sampel sebanyak 8.191

Demikian pembahasan singkat tentang penentuan banyaknya sampel dalam metode penelitian kuantitatif. Semoga bermanfaat bagi kita semua.(arm)

Judul Skripsi/Tesis tema lokal, mengapa tidak ?

Kedatangan bangsa Eropa ke nusantara dalam menguasai perdagangan rempah-rempah tidaklah mudah. Mereka menghadapi sikap ramah ala timur yang bisa berubah menjadi perlawanan hebat karena model interaksi yang kurang tepat. Budaya yang berbeda melahirkan sikap yang berbeda, sehingga menjadi sangat penting bagi bangsa Eropa disaat itu untuk mengenal lebih jauh karakter bangsa nusantara.


Di semenanjung selatan sulawesi, suku bugis makassar telah berinteraksi dengan suku-suku lain dinusantara. Pergaulan masyarakat dunia di era itu dan letak strategis sebagai penghubung ke maluku sebagai pusat rempah-rempah menjadikan Makassar sebagai pelabuhan penting. Apalagi setelah benteng Malaka direbut portugis.
Menguasai Makassar di abad ke-17 adalah utopi bagi VOC saat itu, mengingat kuatnya armada laut kerajaan kembar Gowa-Tallo. Namun Spelman mampu membuktikan dirinya bahwa ia mampu. Sebagai pejabat VOC, kemampuan menulis Speelman mengantar karirnya dari seorang administratur (yang sempat dipecat) akhirnya menjadi admiral. Dari Speelman yang rajin menulis, menjadi data-data penting bagi VOC dalam memahami karakter masyarakat sulawesi selatan.
Kejatuhan Napoleon di eropa membuat Inggris berjaya. Belanda yang ditaklukkan oleh Napoleon dilepas. Hak ekonomi VOC dinusantara pun berpindah ke tangan EIC, kongsi dagang Inggris. Raffles, dimasa pemerintahan kolonial Inggris yang singkat masih sempat menulis History of Java. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pengenalan budaya timur oleh kolonial. Bahkan Raffles pernah mengirim utusannya ke sulawesi selatan untuk mengajak bersahabat sekaligus menulis tentang masyarakat sulawesi selatan. Hingga akhirnya, perubahan kondisi politik di eropa menyebabkan EIC menyerahkan kekuasaan ekonominya di nusantara pada Kompeni.

Bersama dengan Aceh, Sulawesi Selatan tidak pernah benar-benar tunduk kepada Kompeni hingga serangan militer terhadap Cut Nya Dien (1905) di Aceh, La Pawawoi Krg Sigeri Arumpone dan Sultan Husein Krg Lembangparang Somba Gowa (1906). Namun, dua daerah "alot" ini tidak sesederhana itu untuk dikuasai oleh Kompeni. Puluhan tahun sebelumnya, Belanda mengirim Snouck Horgronye ke Aceh dan FB Matthes ke Sulawesi. Seperti kita ketahui, karya Snouck tentang Aceh ia dapatkan setelah meneliti masyarakat Aceh puluhan tahun. Itupun setelah ia "pura-pura" masuk Islam, rela disunat dan belajar Islam di Mekkah serta menikahi anak ulama. Karya Snouck "de Atjehers" (1893, 1894), "Daerah Gayo dan Penduduknya" (1903) menunjukkan bahwa Snouck telah menyelesaikan penelitiannya sebelum perang besar yang membuat Cut Nya Dien ditangkap ditahun 1905.

Bagaimana dengan Matthes ? Boleh dikata, bahwa Mattheslah orang pertama yang menulis paling lengkap tentang masyarakat Sulawesi selatan. Dengan bantuan Colliq Pujie, Matthes berhasil menulis ulang Epos terbesar dunia, "ILAGALIGO". Matthes juga menulis (juga menggambar dengan detil) tentang Buginese Chestomastie yang berisi bentuk rumah, senjata tajam hingga peralatan bissu. Matthes juga berhasil membuat karya monumental lainnya, Kamus Bugis-Makassar-Belanda yang mendokumentasikan banyak kosa kata Bugis Makassar klasik yang telah punah oleh penggunanya hari ini. Sumbangan Matthes lainnya adalah sekolah MULO,tempatnya mengajar.

Zaman kemerdekaan, berdatangan peneliti barat lainnya. Sebut misalnya Leonard Andaya, yang mengkaji dan memotret Perang Makassar (1667-1669) secara detil dan komperehensif. Atau misalnya Susan Bolyard Millar, yang mengkhususkan diri mengkaji peran To Matoa dalam prosesi pernikahan bugis. Dan yang fenomenal, Dr. Christian Pelras yang memotret secara holistik manusia bugis dalam karyanya MANUSIA BUGIS. Ada tokoh lokal turut menyumbangkan kajiannya bertema lokalitas sulawesi selatan. Sebut misalnya Prof Mattulada, yang meninjau aspek antropologi hukum lontara Latoa sebagai sumber hukum positif di kerajaan Bone. Atau misalnya Prof Zainal Abidin Farid yang meninjau sudut hukum dan kesejarahan Wajo abad 15-16. Prof Abu Hamid yang mengkaji sisi kemaritiman. Yang mutakhir adalah Prof Ima yang menulis tentang diaspora orang bugis dan Dr Nurhayati yang mengkaji Ilagaligo serta Dr Edward Poelinggomang dari sisi sejarah murni dan Dr Muhlis Hadrawi yang sedikit "nyeleneh" mengangkat sisi seksualitas manusia bugis dalam Lontara Assikalaibineang



Kita hari ini, sangat bergantung pada nama-nama cendekiawan diatas. Beruntung, Sulawesi selatan melahirkan putra-putri terbaiknya yang mewariskan pada kita karya karyanya. Namun seiring waktu, wafatnya Prof Mattulada dan Prof Zainal adalah kehilangan yang sangat besar. Jika kita bayangkan 50 tahun kedepan, tentu anak cucu kita akan sangat kesulitan dalam mencari referensi tentang tema lokalitas. Pertanyaan mendasarnya adalah, "Apakah kita selalu berharap ke Belanda, Perancis dan negara eropa lainnya yang mendokumentasikan sejarah dan budaya kita hingga ke anak cucu kita?" atau pertanyaan lain yang agak ironis "Apakah kita selalu butuh orang Eropa untuk mendeskripsikan identitas kita sendiri?" Tentu saya tidak masuk pada ranah rasialisme,tidak sama sekali tidak. Saya hanya bermaksud menggugah para mahasiswa, bahwa sangat penting bagi mereka untuk mengenal sejarah dan budayanya sendiri. Sangat penting bagi mahasiswa untuk membuat karya ilmiah, skripsi atau tesis yang bertema lokal. Sehingga 50 tahun kedepan, anak cucu kita punya referensi yang cukup untuk mengetahui sejarah dan budayanya tanpa harus berharap pada bangsa asing.



Seorang mahasiswa PTS dimakassar jurusan planologi mengangkat judul "Tata Ruang Danau Tempe". Mahasiswa FH-UH mengangkat hukum pidana dimasa kerajaan. Mahasiswa Ilmu pemerintahan Unhas mengangkat tentang Model Birokrasi di Wajo dan relevansinya dengan aspek kesejarahannya. Mahasiswa Antropologi Unhas mengangkat tentang "reproduksi status sosial secara simbolik". Mahasiswa FE-UH menulis tentang model relasi ekonomi pada masyarakat pesisir".Mahasiswa UIN mengangkat tentang "Tradisi Mattola Bala di desa Umpungeng, Kabupaten Soppeng". Saya sangat senang, menjadi "Pembimbing III" mereka, sebuah posisi tidak formal dalam penulisan skripsi yang sedikit banyaknya saya bisa bantu mereka menyelesaikan Skripsinya. Dan tentunya, skripsi adik-adik saya ini adalah dokumen ilmiah yang semoga bermanfaat dimasa depan.

Menurut saya, tradisi latah dalam penulisan skripsi sudah harus diubah. Misalnya "Pengaruh kepemimpinan dalam pengelolaan perusahaan xyz" dalam jurusan Manajemen. Atau "Analisa Laporan Keuangan pada PT.XYZ" pada jurusan akuntansi. Atau "Fenomena anak punk" pada jurusan antropologi dan sebagainya. Seharusnya judul skripsi lebih pada aspek lokalitas yang lebih menyentuh masyarakat. Anggaplah misalnya "memotret sisi ekonomi pada nelayan di paotere". Atau potret anak jalanan di makassar. atau Fenomena ibadah haji. dalam hukum bisnis misalnya hak pinjam pakai danau xyz dan seterusnya.

Sungguh saya sangat berharap, ilmu pengetahuan tidak berada di menara gadingnya. Namun mampu memotret dan membedah realitas sekeliling yang menjadi referensi kita dan anak cucu kita dalam memahami masyarakat kita. Sehingga 50 tahun akan datang, anak cucu kita tidak perlu ke Universitas Leiden untuk mengetahui potret masyarakat sulawesi selatan tahun 2013. Lagipula, kita sudah berada diera cyber, era dialog antar peradaban, era paradigma holistik. dimana metode penelitian tidak melulu harus kuantitatif yang harus terukur, namun ada pilihan pada metode kualitatif yang memberi ruang subyektifitas peneliti. Dan paling penting, akademisi telah menyumbangkan isi pemikirannya tentang masyarakatnya sehingga tidak terjebak lagi di menara gadingnya. Semoga (arm)

Bacaan terkait :

(Sebagian) Potret Pendidikan Kita : Sepotong ceramah singkat dari Mr.XXX

Temanku, sebut saja Mr.XXX, adalah asisten dosen disalah satu perguruan tinggi. Mr.XXX tidak ada hubungannya dengan salah satu film laga. Apalagi situs porno. Saya sebut Mr.XXX karena biasanya sesuatu yang tidak mau diketahui identitasnya disebut Mr.X. Kalau tiga kali X berarti intensitasnya tiga kali lipat ketidakinginannya untuk diketahui identitasnya. Jadi sekali lagi tidak ada hubungannya dengan film laga atau situs porno.

Mr.XXX barusan mengawas ujian dan bercerita kepadaku tentang perilaku mahasiswa. Ada yang tenang mengerjakan soal ujian. Ada yang gelisah menengok kiri kanan depan dan belakang untuk mendapatkan contekan. Ada yang dengan tenang mengeluarkan pelampungnya. Ada pula pura-pura ke WC untuk membuka catatannya.

Hasil pengamatan Mr.XXX adalah umumnya mahasiswa memegang teguh prinsip “posisi menentukan nilai”. Nampaknya, perebutan kursi paling belakang adalah salah satu kompetisi pra ujian. Hanya segelintir mahasiswa yang percaya diri untuk duduk paling depan. Tentu ini berhubungan langsung dengan peluang untuk mendapat contekan. Semakin didepan duduk berarti semakin terlihat oleh pengawas. Sebaliknya, semakin dibelakang duduk, maka semakin tersamarkan gerakan-gerakan tanpa bayangan untuk membuka catatan dan menyontek.

Beberapa hari sebelum ujian, Mr.XXX memberikan pengarahan pada mahasiswanya. Dia merumuskan teorinya : “Orang yang duduk didepan, cenderung adalah orang terdepan sedangkan orang yang duduk dibelakang cenderung terkebelakang”. Sederhana memang, tapi menarik perhatian saya untuk mengorek keterangan lebih jauh.
Dia melanjutkan : “Orang yang duduk didepan waktu kuliah adalah orang yang ingin mendengarkan penjelasan dosen dengan sejelas-sejelasnya. Sehingga penting baginya untuk duduk dibarisan paling depan. Sebaliknya, orang yang duduk dibelakang umumnya karena ingin bermain-main saat dosen menjelaskan didepan kelas. Paling tidak, mahasiswa tersebut kekurangan waktu bergosip sehingga jam perkuliahan pun dijadikan waktu bergosip”.

Mr.XXX kembali menjelaskan pada saya : “Begitupun waktu ujian, orang yang duduk didepan adalah orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Sebaliknya, orang yang duduk dibelakang adalah orang yang tidak percaya diri dengan kemampuannya sehingga harapannya bukanlah hasil pembelajarannya, akan tetapi contekan teman yang dianggap lebih kredibel untuk dicontek (berarti dirinya tidak pantas dicontek), pelampung/catatan (daya ingat terhadap pelajaran lemah karena lebih banyak menghapal lagu dan hura-hura lainnya)”.

Mr. XXX kembali bertutur : “Mahasiswa kita mengalami krisis kepercayaan diri tingkat akut dalam proses pembelajaran dibangku pendidikan. Mungkin gurunya waktu SD hingga SMA lupa menjelaskan bahwa tiap manusia memiliki potensi yang sangat luar biasa. Sehingga terbangun paradigma secara tidak sadar bahwa otak,akal dan daya pikir kita lemah. Akibatnya, bisa kita saksikan langsung diruang ujian, yaitu upaya membuka catatan, pelampung dan menyontek.”

Mr.XXX melanjutkan : “Jika pendidikan bertujuan memanusiakan manusia, maka sudah selayaknya pendidikan merenovasi paradigma duduk dibelakang – terkebelakang, menjadi paradigma optimalisasi potensi – percaya diri – terdepan. Sayang sekali jika perkuliahan hanya menjadi formalitas. Datang,duduk dan diam dibangku kuliah. Setelah itu, menyontek saat ujian. Betapa ruginya jutaan rupiah dihambur untuk membayar biaya pendidikan”. Saya kemudian menyela : “Siapa yang salah dan apa yang harus dilakukan”?
Mr.XXX menjawab :” Sederhana. Pertama, metode pendidikan harus dirubah dari pola satu arah (monolog) menjadi berbagai arah (dialog). Artinya, memberikan kesempatan lebih kepada mahasiswa untuk berbicara dalam mengupas sebuah gagasan. Kedua, memberikan gambaran bahwa potensi tiap individu sebenarnya sangat luar biasa. Dengan menggunakan pendekatan matematika yang agak provokatif tentang berapa jumlah sel neuron dalam otak, atau pun dengan menjelaskan betapa luar biasanya dirinya agar mahasiswa sadar akan potensinya dan muncul kepercayaan dirinya dalam belajar. Ketiga, memaksa mahasiswa agar banyak membaca literatur” Dia melanjutkan lagi : “Saya baru menganggap pendidikan kita berhasil, jika disaat ujian tak ada lagi yang mau menyontek, tak ada lagi yang bawa pelampung. Dan tentunya soal ujian itu bisa dijawab dengan cepat dan tepat. Selama dalam ujian ada yang nyontek, ada yang buka pelampung, terlambat dikumpul lembar jawaban atau pun jawaban keliru, maka kita perlu memperbaiki proses pendidikan kita”.

Saya hanya diam terpaku mendengar penjelasan yang panjang,lebar dan tinggi dari temanku itu. Paling tidak untuk ceramahnya tadi, saya telah menjadi mahasiswa yang “duduk didepan” bagi dia. Sambil kembali memutar memori tentang masa sekolah dan kuliah, yang sewaktu-waktu menyontek teman dan juga dicontek teman. Sehingga bukan lagi kegiatan belajar mengajar, tapi kegiatan menyontek - dicontek. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, wajar jika bangsa ini adalah bangsa yang latah. Proses latahisasi tercipta sejak menyontek saat ujian. Bayangkan jika 50% + 1 (rumus ini tidak ada hubungannya dengan voting pada pemilihan ketua BEM) dari jumlah pelajar dan mahasiswa di Indonesia seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa ada borok besar dalam upaya kita dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika ini terjadi (semoga saja tidak) maka dapat dibayangkan bangsa yang sedang bangkit ini kedepan. Pasti akan kembali berjalan tertatih-tatih karena kualitas SDMnya adalah kualitas latah.