Showing posts with label Renungan. Show all posts
Showing posts with label Renungan. Show all posts

Manusia dan Bilah Pusaka

Manusia dan (Bilah) Pusaka

Semulia-mulianya pusaka, tetap buatan manusia
Sehina-hinanya manusia, tetap ciptaan Tuhan

Sebagaimana manusia, bilah pusaka berasal dari empat unsur
Sebagaimana manusia, bilah pusaka punya karakter dasar (sissiq)



Sebagaimana bilah pusaka, manusia kuat disaat dingin dan lemah disaat panas
Sebagaimana bilah pusaka, manusia kadang dimuliakan kadang ditinggalkan
Sebagaimana bilah pusaka, manusia harus ditempa agar jiwanya terbentuk

Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka "dititipkan" kehebatan oleh Yang Maha Kuasa
Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka dijadikan simbol yang menyatukan kaumnya
Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka ditutupi kemegahan dan kemewahan yang menunjukkan strata dan tanggung jawabnya
Sebagaimana sebagian manusia, sebagian bilah pusaka menyembunyikan kelebihannya dibalik lusuh dan kumalnya

Namun,
Bila besi, sebagai bahan bilah pusaka diturunkan dari langit
Maka ruh manusia ditiupkan oleh Tuhan 
Bila bilah pusaka menjelaskan dirinya melalui pamor dan aksesorinya
Maka manusia menjelaskan dirinya melalui pikiran dan perbuatannya
Bila bilah pusaka dibersihkan melalui proses "tompang"
Maka manusia membersihkan dirinya melalui proses "taubat"
Seseorang yang menghormati bilah pusaka, semestinya lebih menghargai sesama manusia

14 Maret 2017

Cerita tentang lembaga adat

Saat pertama mendengar wacana pembentukan lembaga adat 12 tahun lalu (Maret 2004), lembaga adat adalah hal yang amat asing. Sumbernya pun dari orang yang tak terduga, yaitu orang orang tua yang konon mendapat petunjuk. Beberapa orang memiliki gagasan pendirian lembaga adat, bahkan jauh lebih awal. Sekira pertengahan tahun 1980an.
Zaman orde baru, zaman dimana ada orang berada pada kungkungan ketakutan untuk berpendapat. Ego pengetahuan saya kesampingkan. Niat baik dan cita cita mulia yang membuat saya tertarik. Perlahan, saya menemukan rasionalisasi terhadap sesuatu yang awalnya “berbau mistik” tersebut.Tentu tidak mudah mengusung gagasan tersebut, apalagi memperjuangkannya. Berbagai cibiran harus diterima dengan lapang dada. Mulai dari tuduhan “tindak subversif ala orde baru”, hingga “menghidupkan kembali feodalisme”. Hal itu mesti ditanggapi dengan baik. Lembaga Adat bukanlah mendirikan kerajaan yang bermaksud merongrong NKRI, malah sebaliknya, justru menguatkan NKRI dalam bingkai ke bhinekaan. Malah, mulai dari amandemen UUD 1945 yang memberi perhatian terhadap lokalitas, hingga Permendagri no/71 tahun 2001.Tidak mudah untuk mendirikan lembaga adat.

Orang orang pasti kaget. Masyarakat kita 21 tahun dalam kuasa Orde lama dan 32 tahun dalam kuasa Orde baru yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga adat. Namun seiring waktu, keterbukaan informasi di era reformasi, membangun kesadaran untuk membangun identitas kebangsaan melalui budaya, spesifiknya pendirian lembaga adat.Pada titik ini, mendirikan lembaga adat perlu diperbaiki fondasinya. Yaitu bangunan dasar pemikiran pentingnya pendirian lembaga adat. Sebab jika keliru, tentu fondasinya lemah. Lembaga adat mestilah sejalan dengan aturan yang berlaku di NKRI. Lembaga adat, mestilah menjadi pusat syaraf budaya yang disalurkan ke masyarakat sehingga ada ketahanan budaya dan identitas kebangsaan ditengah gempuran budaya asing.

Lembaga adat mestilah berkontribusi terhadap pembangunan, khususnya manusia Indonesia. Lembaga adat mestilah bervisi kemanusiaan, sebab merayakan keberindonesiaan kita berarti menghapuskan praktek feodal dan perbudakan. Nah untuk itu, perlu kajian mendalam untuk mensinergiskan antara budaya, sejarah dan konteks kekinian. Mendirikan lembaga adat, tidak berarti kembali ke masa kerajaan dan masa penjajahan.

Ia harus kekinian. Lembaga adat harus kekinian, tetapi tidak berarti harus mempermaklumkan pola pola organisasi yang tidak mengacu pada sistem adat budaya setempat. Disini menariknya.Seiring waktu, makin banyak yang tertarik dengan lembaga adat. Malah, perkumpulan lembaga adat juga makin beragam. Mungkin orang kagum dengan “bergaya tradisional” saat festival keraton. Kelihatan gagah mungkin pikirnya.

Tetapi terpikirkah bahwa dibalik balutan “gaya adat” itu terdapat beban adat istiadat yang berat ? Ah sudahlah. Kurang bijak menilai orang lain. Itu haknya.Saya senang, banyak orang ingin mendirikan lembaga adat. Setidaknya, saya bisa berhenti untuk memikirkan dan mengusahakan mendirikannya. Pengorbanan selama 12 tahun, baik material maupun non material, biarlah Tuhan yang tahu. Yang saya pahami, andai berdiri lembaga adat, saya hanyalah seseorang yang duduk diluar pagar sambil tersenyum melihat para pembesar pembesar adat menjadikan dirinya “adat yang berjalan”.

Mari minum kopi, merayakan kebahagiaan. Memaafkan dan memaklumi orang yang lupa diri. Semoga kita tidak ikut lupa diri gara gara lembaga adat. Untuk menjadi sebaik baik manusia (yang paling banyak manfaatnya), masih banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya, dikehidupan yang fana ini, sudah berusaha meski itu sederhana.

Dialog Kebenaran III

Terpuruk. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan La Marufe' saat ini. Ia dipaksa berhenti dari pekerjaannya oleh bosnya. Pekerjaan yang membuatnya hidup layak. Pekerjaan yang membuatnya dapat membantu sesama. Parahnya, bosnya terhasut oleh seseorang yang dengki pada La Marufe'. Orang dengki tersebut adalah orang yang diperlakukan baik oleh La Marufe'. Meski teman sekantor La Marufe' selalu mengingatkan untuk berhati hati, namun La Marufe' selalu berprasangka baik. Sekarang, La Marufe' sudah menikmati prasangka baiknya. Yaitu kedengkian seseorang yang dianggap sahabat oleh La Marufe'. Air susu dibalas air aki, mungkin peribahasa yang tepat.
Pikiran dan perasaan La Marufe' berkecamuk. Satu sisi, ia ingin mengikhlaskan perlakuan buruk orang padanya. Namun sisi lain, ia punya kemampuan untuk berbuat buruk serupa. La Marufe' menyalahkan konsep "prasangka baik" dalam agama yang dipahaminya. Sebab "prasangka baik" membuatnya tidak sempat mengantisipasi perlakuan dengki sahabat padanya.

La Marufe' pun ingat, sahabatnya itu pernah ia bantu berkali kali. Seolah masih belum bisa terima kenyataan bahwa orang bisa jahat meski diperlakukan baik, La Marufe' menjadi depresi. Belum lagi, uangnya Rp.40 Juta dibawa lari orang, kebun dijual untuk biaya hidup, utang menumpuk, La Marufe' merasa semakin kacau.
Disaat puncak depresinya, ia mulai ingin mengumpat nasibnya. Namun diwaktu bersamaan, La Marufe' melihat sepasang suami istri yang renta. Suaminya buta, untuk berjalan harus dibimbing istrinya. Mereka sepasang suami istri yang tak punya rumah dan harta. Hidup mengandalkan sedekah orang lain. La Marufe' terpukul. Matanya masih baik. Ia punya rumah dan sedikit harta. Harta yang lebih banyak dari harta suami istri renta nan miskin itu. 

Lalu, La Marufe' berjalan dan berhenti disuatu tempat. Ia melihat pengamen yang anggota tubuhnya tak lengkap. Menyanyikan lagu tentang semangat hidup. Untuk kedua kalinya, La Marufe' tersentak. Ia melihat tangannya lengkap. Dengan tangannya ia bisa mengetik di laptopnya. Bisa memainkan gitar dan berbagai alat musik melebihi pengamen itu. Bisa membuat karya karya dari batu maupun kayu. 

La Marufe' tak ingin bersyukur membandingkan dirinya dengan sepasang suami istri renta dan pengamen itu. Sebab baginya, itu sama saja tidak menghargai kekurangan orang lain. La Marufe' sadar bahwa seharusnya ia tidak menyerah. Ia seharusnya berbuat lebih banyak lagi. Seharusnya La Marufe' membantu sepasang suami istri yang renta dan buta itu.

Move on...ya move on...La Marufe harus move on...live must go on...ini persoalan perspektif pikirnya. Bila sebuah masalah dilihat dari dalam masalah itu, maka seolah tidak ada masalah lain. Namun bila keluar dari masalah itu kemudian memandang lagi ke masalah tersebut...ternyata masalahnya adalah salah satu dari sekian ribu masalah yang boleh jadi lebih besar dan lebih berat.

Bersabar dan bersyukur. Itu kuncinya. Waktu terus berjalan. Ada saat suka, ada pula duka. Suka duka datang silih berganti. Sekarang ia dititik nadir kedukaannya. La Marufe bangun dan kembali bekerja. Sebab awal dari suka telah menanti

Kado Tuhan di bulan Desember

Perairan Siwa Teluk Bone, 6 Desember 2014
Memancing bersama 2 orang teman (yang tidak pandai berenang) bersama tukang perahu. Langit dan laut nampak tenang sejak pagi hingga siang. Namun tak banyak hasil pancingan. Jam 2 siang, tangkapan kami bertambah. Namun langit mulai gelap dan ombak mulai besar. Para nelayan dan pemancing lain buru-buru masuk ke dermaga. Kami masih ditengah laut, sekitar 5-10 km dari pantai. Kedalaman laut sekitar 120-150 meter. Senar pancingku hampir habis untuk sampai kedasar. Ikan semakin bersemangat memakan umpan kami, kami pun semakin bersemangat memancing.

Sekitar jam 3-4 sore, angin kencang dari arah selatan. Berbeda dengan arus laut, yang justru dari arah utara. Buru-buru kami angkat jangkar. Namun tak bisa menghindari ombak besar setinggi 2 meter. Laut yang sebelumnya tenang bersahabat, tiba tiba memperlihatkan keperkasaannya. Untung tukang perahu kami cukup tangkas. Meski bibirnya putih karena kaget dengan terpaan ombak yang tiba tiba menghantam.

Kutipan ke-3 dari terakhir kamera digitalku

Lolos dari badai pertama, kami bangga. Sepanjang penglihatan mata, tak satupun perahu jolloro selain perahu kami. Rasanya, ikan dilaut milik kami semua. Tak ada pemancing yang lain. Kami melanjutkan pemancingan. Saya masih menyempatkan diri selfie sekali dua kali. Ternyata itulah kutipan terakhir kamera digitalku yang belum tergantikan hingga hari ini.

Tidak jauh dari lokasi pertama, jangkar diturunkan. Kami memancing lagi hingga jam menunjukkan pukul 5 sore. Dugaan kami keliru. Ternyata, badai datang lagi. Sekarang arahnya yang berbeda. Jika pada badai pertama, angin dari arah selatan, sekarang dari arah utara. Sebaliknya, arus air pun demikian. Badai pertama, arus dari arah utara, sekarang dari selatan. Kami heran, kok bisa demikian. Wajar, sebab kami tidak mewarisi pengetahuan laut leluhur kami.

Bentrok arus air laut dengan angin yang berbeda arah menghasilkan ombak setinggi 4 meter. Sekali lagi buru buru kami angkat jangkar. Perahu jolloro kami amat mudah terbalik menghadapi ombak seperti itu. Perahu kemasukan air. Kami berdoa, mungkin inilah saat terakhir kami. Mungkin ada teman yang mengumpat hobi mancing yang dapat berujung petaka. Saya melihat box ikan tangkapanku. Dalam benakku, bila perahu ini terbalik, saya hanya berusaha meraihnya agar tetap dapat terapung. Karena tak seorang pun dari kami membawa pelampung.

Hantaman ombak ke bagian depan perahu jolloro membuat perahu kemasukan air. Saya yang duduk paling depan, merasakan bagai air satu drum yang disiramkan ke tubuh saya. Semua basah kuyup. Kamera digitalku pun rusak. Buru buru plastik bulat saya raih untuk jadikan gayung. Untuk mengeluarkan air dari perahu sebanyak dan secepat mungkin. Berlomba dengan waktu dan ombak yang tak henti menghempaskan perahu.

selfie sebelum badai
Bayangan kematian kembali datang. Terbayang, bagaimana sedih dan tangis anak istri serta keluarga kami, bila mendengar 3 orang pemancing dan seorang tukang perahu hilang dilaut. Terbayang, bagaimana kami terombang ambing dilaut lepas dengan ombak 4 meter menjelang malam dan tak seorang dan perahu pun disekitar kami.

Pasrah...ya pasrah...biarkanlah Tuhan mengambil milikNya. Bila ini jalan kami untuk kembali padaNya, ya biarlah. Toh semua akan kembali padaNya. Teman teman berpegang erat di perahu. Tubuhku makin basah kuyup tersiram ombak menerpa perahu. Bagaikan air berdrum drum yang disiramkan ketubuhku. Berpegang pada sisi kiri kanan perahu adalah pilihan terbaik agar tak terjungkal dari perahu yang semakin tidak karuan posisinya. Dipermainkan ombak raksasa. Resiko berada didepan yah begitu.

Tukang perahu berusaha keras menghindari dengan mengitari ketinggian ombak. Ia mengarahkan perahu ke arah pantai. Dalam pikiran kami, kalaupun perahu kami terbalik, kami masih dekat dengan pantai. Bukan lagi 5-10km dari pantai yang tak mungkin kami renangi. Apalagi 2 orang teman kami tidak tahu berenang.

Pelan tapi pasti, kami menjauhi ketinggian ombak dan mendekati pantai. Setelah 1 jam menghadapi amukan ombak dan angin, akhirnya badai pun reda. Kami memilih lokasi sekitar 1 km didekat pelabuhan BangsalaE untuk menurunkan jangkar. Kedalamannya sekitar 20-30 meter. Sedikit kecewa, tapi setidaknya kami masih bisa berharap dapat ikan kerapu atau trevelly.

Dan strike. Bergantian kami merasakan sensasi tarikan ikan. Kenikmatannya mengobati rasa takut dan khawatir dari dua kali badai tadi sore. Tak terasa malam makin gelap. Kami terus menikmati pemancingan hingga sekitar jam 6:30. 

Badai ganas datang lagi. Sungguh diluar dugaan. Kali ini arahnya kembali berlawanan. Arus dari arah timur (tengah laut) dan angin dari arah barat (darat). Ini berbahaya, sebab mendorong perahu kami kembali ketengah. Buru-buru tukang perahu, yang kami gelari Nabie, angkat jangkar dan pulang. Walau tak lagi bertemu ombak setinggi 4 meter, namun kami masih harus berjuang hingga sampai kedermaga. Menghitung tangkapan kami dan bersyukur. Kami masih hidup.

24-26 Desember 2014
Kenangan perairan Siwa teluk Bone masih terasa. Kami sekeluarga (kakak, ipar dan tante), berencana ke Malaysia. Setelah cek jadwal pesawat, kami diberi dua pilihan. Pilihan pertama, naik Air Asia. Rute, Makassar-Surabaya-Singapura. Harga tiket 1,3 juta. Pilihan kedua, Lion Air. Rute Makassar-Surabaya-Batam. Harga tiket 1,5 juta.

Kakak mengajak kami berdiskusi mengenai pilihan ini. Kami setuju menyesuaikan rute. Singapura kemudian Johor lanjut Kuala Lumpur lalu pulang ke Makassar. Harga tiketnya pun bersahabat. Akhirnya kami sepakat booking tiket Air Asia. 

Sayang sekali, mendadak tiket Air Asia naik begitu cepat. Dari 1,3 juta menjadi 2 juta. Kembali kakak mendiskusikan dengan kami. Akhirnya, dengan berat hati kami sepakat untuk naik lion air yang harganya tetap 1,5 juta. Otomatis rute kami juga harus berubah. Batam-Johor-Singapura-Johor-Kuala Lumpur-Makassar.

Pesawat take off dari Makassar jam 3 dini hari. Tiba di bandara Juanda Surabaya jam 6 pagi. Pesawat Air Asia yang hampir kami booking, baru saja take off dari Surabaya ke Singapura. Kami masih harus transit di Juanda hingga jam 11 siang. Tentu membosankan. Rasanya, ingin mengutuk, mengapa tiket Air Asia tiba tiba naik. Selain murah, kami juga tidak perlu mengubah rute kami. Kami juga seharusnya telah tiba di Singapura. Bukan duduk menunggu di Juanda selama 5 jam.

Di sudut, ada orang marah marah. Mereka komplain ketinggalan Air Asia. Dalam hati saya tertawa. Ada teman saya yang gagal naik Air Asia. Bosan menunggu, saya menonton TV. Jam 9 atau 10 pagi, ada berita. Pesawat Air Asia yang hampir kami tumpangi, hilang kontak.

Kaget, tegang, bersyukur, sedih, dan berbagai perasaan bercampur aduk jadi satu. Terbayang, seandainya kami naik Air Asia. Tentu, keluarga kami akan khawatir. Segera saya menelpon keluarga bahwa saya baik baik saja. Tetapi kami masih harus naik pesawat jam 11.

Akhirnya jadwal keberangkatan tiba. Kami harus segera naik pesawat. Tidak ada urusan perasaan pribadi, pokoknya naik atau batal. Dan pilihannya, ya naik. Apapun yang terjadi. Dalam pikiran saya, bila ajal telah tiba, ia tidak mempersoalkan tempat. Apakah di udara, di laut atau bahkan dalam kamar dirumah kita.

Penerbangan berjalan lancar. Di angkasa Jawa Timur, Tengah dan Barat pesawat terbang dengan indahnya. Memasuki angkasa disekitar Sumatera, pesawat mulai bergoyang. Seperti mobil yang melewati jalan rusak. Dalam benakku, mungkin disekitar inilah pesawat Air Asia jatuh. Mungkin pesawat itu ada dibawah sana. Dan bisa jadi kami pun ikut jatuh, Tetapi saya sadar, Tuhan itu ada. Ajal datang kapan saja. Yang perlu hanyalah ikhlas dengan apapun kehendakNya. Sebab tiada daya dan upaya selain dariNya.

Mendekati bandara di Batam, ketegangan belum berakhir. Kami masih harus menerima kenyataan bahwa pesawat masih berputar putar karena ada sedikit persoalan teknis sebelum mendarat. Untung hal itu tidak berlangsung lama. Kami segera mendarat di Batam dengan selamat. 

Dari Bandara, segera kami ke pelabuhan naik fery ke Johor Malaysia. Kami berburu dengan waktu jadwal keberangkatan Fery. Sebab bila terlambat, kami harus menginap di Batam. Dan itu berarti, kesempatan berlibur menjadi kurang.

Di atas ferry, ombak menghantam. ABK berbicara melalui pengeras suara agar kami lebih hati hati. Sebab sekarang ombak lebih besar dari biasanya. Saya melihat keluar, ombak Teluk Bone lebih besar daripada ombak Selat Malaka yang memisahkan Johor dan Batam. Namun, laut tidak boleh dianggap enteng. Sekali lagi, saya harus memasrahkan hidupku, bersiap apapun terjadi. 

Selama di Malaysia, berita yang TV yang dominan cuma dua. Pertama, Pesawat Air Asia yang hampir kami tumpangi dan bencana banjir di salah satu negara bagian Malaysia. Sultan Johor mengeluarkan larangan merayakan tahun baru dan petasan untuk menghormati korban Air Asia dan Bencana Banjir.

Setelah jadwal libur kami selesai, saatnya pulang. Kami ke Kuala Lumpur untuk naik pesawat tujuan Makassar. Kami bertiga pulang, kakak tetap tinggal untuk menyelesaikan studinya. Saat itu kami naik pesawat Air Asia. Saat itu, maskapai Air Asia sedang menerima kritikan pedas dari berbagai pihak atas jatuhnya pesawatnya. 

Lama penerbangan, 3,5 jam dari Kuala Lumpur ke Makassar. Satu jam pertama, masih diatas jazirah melayu cuaca cerah. Dengan jelas terlihat daratan, pohon, mobil dan rumah. Hingga perlahan yang terlihat dibawah hanya laut, kapal meski sangat kecil. Tentu ketinggian pesawat bertambah dan berada diatas Selat Malaka. Satu jam pertama, penerbangan sangat menyenangkan.

Memasuki jam kedua, tak terlihat apapun dibawah sana. Goncangan tak henti terasa didalam pesawat. Nampaknya pesawat mencoba menembus badai diluar sana. Bayangkan kematian kembali hadir. Tetapi hanya pasrah yang dapat dilakukan. Untuk tidur, sangat sulit. Sebab pikiran berkecamuk. Mata terus terjaga. Goncangan pun tak terhenti. 

Memasuki jam kedua, sempat langit dibawah terbuka. Yang sempat saya lihat adalah hutan. Dalam pikiranku, mungkin kami berada diatas kalimantan. Ketika masih ingin melihat kebawah, kembali tertutup awan. Goncangan berlanjut tak henti.

Akhirnya, tiba tiba langit terbuka. Ternyata pesawat terbang semakin rendah. Laut, darat, pulau nampak jelas. Rasanya ketinggian pesawat tidak melebihi 1000 meter. Jejeran pulau Samalona, Barang lompo, Barang Caddi terlihat jelas. Demikian pula cahaya lampu kota Makassar. Dalam pikiranku, bila ternyata pesawat yang kami tumpangi harus jatuh, setidaknya mayat kami tidak sulit ditemukan tim SAR. Pasrah menghadang maut, sambil tersenyum bila akhirnya kelak saya mati dan tidak membuat kesulitan tim SAR untuk menemukan mayatku. Saya akan dimakamkan dengan layak pikirku sambil tersenyum.

Setahun sebelumnya
Program penghancuran karakter berjalan secara halus, tersembunyi dan mematikan. Targetnya, adalah saya. Efek penghancuran karakter itu membuat masa depanku, masa depan anak anakku menjadi suram. Namun, saya masih hidup. 

Dalam hidup yang sengsara, tidak ada alasan untuk mengeluh. Sebab, tak lama kemudian akan ada orang yang saya temui. Orang yang hidupnya jauh lebih sengsara dariku. Dan itu bukan sekali, tapi berkali kali. Tuhan menjawab kegalauanku dengan memperlihatkan orang yang lebih susah. Seolah Tuhan ingin berkata padaku, bersyukurlah dengan apa yang ada pada dirimu.

Kado Tuhan Bulan Desember
Selama 2 tahun terakhir, banyak pelajaran dari Sang Maha Tahu tentang makna kehidupan dan kematian. Banyak ruh telah pergi menghadapNya, Dia yang Menghidupkan, Dia yang Mematikan. Siap tidak siap, jika waktunya tiba, harus siap. Lalu apa yang dipersembahkan pada Sang Pemilik Segala Sesuatu ?

Jabatan ?.....ah.....tidak ada presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota kpu, ketua jurusan, professor, konsultan, camat dimata Tuhan. Apa yang dibanggakan ?
Harta ?.....tanah hanya menjepit dikuburan. Uang, tak dapat dibelanjakan di akhirat. Mobil ??? ah tidak berguna
Amal ?....tapi kan sangat sedikit. Sedangkan membalas nikmat Tuhan saja kita tidak mampu, lantas mengapa merasa amal kita cukup untuk masuk surga ?

Hmmmmmm....................

Banyak orang serakah dan tamak saat ini. Sampai hati mengorbankan keluarga dan sahabat demi harta dan jabatan. Tuhan memberikan kadonya di bulan Desember. Yang hanya dimengerti bagi orang yang paham arti hidup dan mati. Arti memaknai kehidupan dan kematian.

Hidup adalah siklus. Setelah kehidupan, ada kematian. Setelah Desember, akan ada Januari. Mari angkat kopinya dan merayakan kehidupan. Persoalannya adalah, apakah di bulan Januari kita menjadi orang yang lebih baik dibanding bulan Desember.

Iyya teppaja kusappa
Paccolli loloengngi
Aju MarakkoE

(yang tak henti kucari, yang menumbuhkan pucuk muda, kayu kering)

Cerita Rp.500M (berrrr)

Echa alias Reza, pengusaha turunan Arab yang sering disebut inisial R sedang galau. Pasalnya, tadi malam ia bermimpi tentang tanah leluhurnya. Tanah kelahiran Rasulullah, yang menjadi asal para penyebar agama di nusantara. Lalu dalam mimpinya, ia bertemu dengan seseorang yang bertanya mau ia apakan harta yang berlimpah. Sementara dunia hanya sementara. Bukankah sebaiknya ia beramal saleh ?
1/500juta dari 500M
R terbangun dengan keringat dingin. Ia begitu tertekan. Ia tersadar, ia hidup bermegah megahan ditengah penduduk asli nusantara yang miskin bahkan kelaparan. Sementara, ia menghisap rezeki ditanah nusantara yang kaya, tetapi leluhurnya adalah pendatang dari tanah Arab. Tanah para Nabi. Tak lama, ia teringat seorang karyawannya yakni La Marufe. Semua orang menyebut La Marufe adalah orang jujur. Segera ditelponnya La Marufe agar segera merapat diruangannya pukul 08.00.

Ditempat dan waktu yang ditentukan, pak bos R telah hadir. Tak ingin terlambat, La Marufe datang terlebih dulu sambil menunggu dipersilahkan masuk. Pak bos R menceritakan mimpinya pada La Marufe dan meminta pandangannya. "Saya takut pertanyaan malaikat nanti Marufe" : kata Pak Bos MR. "Apa yang bisa saya bantu Pak Bos" : tanya Marufe. "Kamu kan orang jujur, tolong bantu saya menginvestasikan Rp.500 M agar ada amal jariyah saya kelak setelah meninggal" : tutur pak bos cemas. "Tetapi, saya ingin mendengar pandanganmu, Marufe. Bila kuberi engkau Rp.500M dalam jangka 5 tahun kedepan, apa yang kau lakukan" : lanjut pak bos R.

La Marufe menghela nafas panjang. Singkat kata, ia memulai presentasinya.
Pak Bos, pertama saya akan mencari orang orang jujur dan berkompeten sebagai tim work. Bukan titipan orang orang tertentu yang tidak punya 2 syarat itu. Kemudian saya akan buatkan divisinya. Divisi ekologi, Divisi ekonomi, Divisi Sosial Budaya, Divisi litbang. Tidak perlu struktur yang gemuk. Yang penting, orang orangnya bisa bekerja efisien dan efektif.

Pak Bos R menyimak. La Marufe melanjutkan presentasinya

Divisi Ekologi. Akan melakukan penanaman kembali pada hutan hutan yang telah digunduli. Ditanami dengan tanaman endemik agar tak punah. Ditanami dengan tanaman produksi, agar bernilai ekonomi, Ditanami dengan tanaman obat herbal, agar bisa bermanfaat bagi kesehatan. Ditanami dengan berbagai spesies agar menjadi rumah bagi hewan. Divisi ini juga akan melakukan transplantasi karang, agar kita bisa meminimalisir kerusakan terumbu karang. Akibat keserakahan manusia yang gemar membom ikan. Divisi ini juga melakukan pengerukan terhadap danau dan sungai yang mengalami sedimentasi.

Pak Bos menyela. Mengapa mesti ada divisi ekologi Marufe ?

La Marufe melanjutkan. Begini pak bos. Manusia hidup diatas bumi, lalu demi harta, manusia tega merusak dan menghancurkan alam. Akibatnya, kembali pada manusia sendiri. Setidaknya, kita berterimakasih pada alam atas segala kekayaannya dengan mengusahakan keseimbangan ekologis

Pak Bos mengangguk, lanjutkan Marufe

Divisi Ekonomi. Kita akan buatkan lembaga ekonomi, yang memberi dana bergulir pada pengusaha kecil dan menengah. Kita juga membuat peluang peluang usaha dengan memanfaatkan hal hal sederhana yang ada disekeliling. Berbagai upaya peningkatan ekonomi kecil menengah akan dimaksimalkan. Tetapi kita tidak akan memberi mereka mimpi dapat bonus kapal pesiar setelah berhasil memprospek orang.

Divisi Sosial Budaya. Kita akan berdayakan para seniman lokal. Mereka harus diberi penghargaan yang layak. Setidaknya tiap pekan, ada pementasan agar mereka tetap eksist. Dengan demikian, generasi muda juga punya kesempatan untuk menikmati budayanya sendiri. Anak muda harus disibukkan dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Mendukung tiap even, mulai dari festival musik hingga road race. Supaya mereka tidak lagi mendengar istilah "bagus kegiatanmu dek, tapi tidak ada anggaran". Divisi ini akan membuat pelatihan dan festival film pendek antar sekolah secara berkala. Supaya para remaja lebih sibuk membuat film karya mereka sendiri daripada menikmati sampah yang bernama sinetron. Selain itu, membuat film sendiri, lebih mengasah kreativitas para remaja ketimbang nonton infoTAImen.

Divisi Litbang. Akan melakukan penelitian diberbagai bidang. Mulai dari budaya budaya yang terancam punah. Naskah tua. Artefak dan berbagai bukti sejarah. Sebab jika sebuah bangsa kehilangan sejarahnya, maka otomatis ia kehilangan identitasnya. Kita harus membangun bangsa yang kuat dan berkarakter. Dan untuk itu, kita harus menggali sejarah dan budaya. Kita juga harus meneliti tentang pengobatan alternatif. Baik itu bekam, atau pengobatan herbal. Sebab, kesehatan jauh lebih penting daripada formalitas "masuk rumah sakit" yang administrasinya berbelit belit yang harus diselesaikan pasien.  Divisi litbang juga harus meneliti spesies spesies endemik yang terancam punah. Divisi ini juga harus meneliti teknologi tepat guna. Agar tidak tergantung lagi pada alat yang mahal. Divisi ini harus menemukan mesin yang berbahan bakar air. Agar tak ada lagi orang yang tergantung pada minyak dan mafia minyak seperti pak boss. Berbagai hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi divisi lainnya.

"Apakah Rp.500 M habis dengan itu semua Marufe "? Tanya pak bos R. Soalnya, pendapatan harian saya Rp.60M. Bagaimana menghabiskan itu semua ? Bagaimana kalau kita bangun rumah ibadah ?

Itu bagus pak Boss. Tapi lebih bagus lagi jika orang yang mau kerumah ibadah yang dibangun. Buat apa mesjid berkubah emas jika orang yang shalat hanya melakukan gerak gerik menyerupai shalat. Gerakan menyerupai shalat tetapi tidak membuatnya menghindari perbuatan keji dan mungkar. Pak Boss, banyak mesjid didaerah pelosok yang kondisinya kurang baik. Ini yang harus diperbaiki pak boss. Tetapi, kita juga harus perbaiki hati orang orang yang kondisinya juga kurang baik. Negeri asal pak boss penuh dengan pertumpahan darah. Bangunlah rumah ibadah dan mesjid yang didalamnya orang saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menghormati. Bukan saling mencaci, dan berkelahi.

Bila masih ada dana tersisa, kita akan buat jalan dan jembatan di daerah pelosok. Agar transportasi masyarakat lancar. Saya kira, dengan pendapatan Rp.60 M/hari, kita bisa membangun jalan dan jembatan berkilo kilo

Adapun manfaatnya untuk pak Boss
Semua orang yang meningkat usahanya dari divisi ekonomi, maka pak boss mendapat pahala yang sangat luar biasa. Sebab, boleh jadi ada orang berbuat jahat karena miskin. Namun karena pak Boss menyelamatkan orang dari kemiskinan, maka orang itu terhindar dari kejahatan. Pahalanya pasti untuk pak Boss

Para leluhur nusantara yang diselamatkan sejarahnya dari divisi sosial budaya akan senang hati menemani pak boss di akhirat nanti. Sebab boleh jadi tokoh sejarah itu telah terlupakan, akan tetapi dengan penggalian sejarah itu, tokoh sejarah itu akan bangga berteman dengan pak boss yang kelak juga menjadi tokoh sejarah. Jadi sesama tokoh sejarah duduk berdampingan. Adapun para generasi yang selamat dari proyek penghancuran generasi melalu berbagai macam cara tersebut, maka pak Boss mendapat pahala yang sangat luar biasa. Bayangkan kalau ada orang yang boleh jadi akan teracuni otaknya oleh sinetron dan infoTAImen, tetapi mampu berkarya dan menggali kreativitasnya. Maka pak boss menyelamatkan banyak umat manusia. 

Bila divisi ekologi bekerja maksimal. Maka hewan dan tumbuhan yang bisa dikonservasi akan berterimakasih dan mendoakan pak boss. Tidak apa apa bila pohon sawit tidak mendoakan pak bos. Tetapi orang utan, kayu ulin, rotan dan berbagai spesies endemik baik yang terancam punah atau tidak, akan sama sama mendoakan pak boss. Belum lagi orang orang yang sehat melalui penggunaan pengobatan herbal. Mereka bisa sembuh dengan murah, tanpa harus teriak teriak meminta pelayanan kesehatan gratis. Toh obatnya ada dihalaman rumah mereka. Belum lagi doa para nelayan yang mendapatkan ikan melimpah, karena terumbu karang kembali hidup. Doa para divers yang menikmati pesona alam bawah laut. Apalagi kalau menjadi obyek wisata, toh bisa menghidupi masyarakat setempat.

Selama orang beribadah di rumah ibadah yang pak boss perbaiki, maka selama itu pula pahala pak boss mengalir. Selama orang beramal saleh karena usaha pak boss, maka selama itu pula pahala pak boss lancar. Selama orang menggunakan jembatan dan jalan yang pak boss bangun, maka selama itu pula pahala pak boss lancar.

La Marufe menjelaskan dengan penuh semangat. Pak Bos R menyimak dengan mata berbinar binar. Tiba tiba air di ember La Marufe tumpah. Ia baru tersadar, bahwa ia sedang melamun sambil menampung air di ember. Cucian masih banyak, dan ia tak mampu beli mesin cuci. Dan ia juga belum mandi.

Dialog Kebenaran II

Tak terasa La Marufe telah setahun di rantauannya. Kesibukan telah mengantarkannya pada kesuksesan duniawi. Sesekali ia menikmati hidup dengan menyalurkan hobinya, yaitu mancing dan naik motor. Ia masih mengingat pesan gurunya. Namun, ia merasa kering dan hambar. Jiwanya menuntut untuk pengetahuan maknawi.


Sehabis bekerja, La Marufe kembali ke kontrakannya. Merapikan semuanya, melaksanakan tugasnya. Lalu beristirahat. Ia kemudian bermimpi berada ditempat yang tinggi. Sepertinya sebuah gunung. Gunung yang tidak terasa asing. Lalu, muncul seorang kakek. Ternyata gurunya, Puang Nene. Betapa senang La Marufe dalam mimpinya. Sebab berkesempatan bertemu kembali dengan gurunya yang telah terpisah jauh.

Dalam mimpinya, buru-buru La Marufe mengucap salam, meraih tangan gurunya. Lalu menjabat dan menciumnya. Terlihat senyum tipis sang guru kemudian menyuruhnya duduk.

Puang Nene : Nampak jiwamu kering anakku.
La Marufe : Iyye puang.
Puang Nene : Apakah kemilau dunia menyilaukan matamu nak ? 
La Marufe : Maksudta puang ?
Puang Nene : Apakah engkau terlalu sibuk memikirkan harta, orang lain, ketimbang bercengkrama dengan dirimu sendiri ?
La Marufe : Iyye puang.

La Marufe memperbaiki posisi duduknya dan bertanya
La Marufe : Bagaimana membasahi jiwaku yang kering puang ?
Puang Nene : (Sambil tertawa). Kemarau di hatimu mengeringkan jiwamu sehingga tumbuhan kehidupan menjadi layu anakku. Itu lebih baik bagimu daripada mempersoalkan kemusyrikan dan keyakinan orang lain anakku. Baik bagimu menyembuhkan luka dihatimu daripada melukai hati orang lain. Baik bagimu memperbaiki agamamu daripada memperbaiki agama orang lain.
La Marufe : Bagaimana caranya puang ? Sementara jidatku tidak hitam puang
Puang Nene : Banyak ahli sujud tidak hitam jidatnya anakku. Ada juga orang hitam jidatnya tetapi baru beberapa bulan belajar sujud. Hatimu lebih penting untuk bersujud ketimbang penampilanmu. Engkau tidak perlu penilaian manusia dalam hal itu anakku. Engkau butuh keridhaan Tuhan.

La Marufe termenung dan memikirkan kalimat gurunya.
Puang Nene : (Memindahkan topik pembicaraan) Anakku, jangan persempit arti ibadah hanya sekedar ritual anakku. Bahkan dalam kesenanganmu engkau bisa beribadah.
La Marufe : Bagaimana itu puang ?
Puang Nene : Engkau suka memancing dilaut anakku. Mengapa engkau tidak memikirkan tanda-tanda kebesaranNya ? Mengapa engkau tidak bercerita dengan dirimu sendiri ? Engkau suka naik motor sendiri ke suatu tempat yang tidak pernah kau datangi. Mengapa engkau mempelajari dirimu sendiri ?

Lalu La Marufe terbangun dari mimpinya. Ia mengingat tentang memancing dan naik motor. Saat memancing, ia berada diatas air. Air adalah ketenangan. Air adalah kehidupan. Air adalah kedamaian. Ia mengingat dikota kota besar biasanya ada air mancur. Dalam rumah rumah, biasa ada aquarium. Pikirannya semakin liar, ia mengingat iklan air mineral yang katanya 90% tubuh terdiri dari air. 

La Marufe tersadar. Mendapatkan ikan dalam memancing adalah hal kedua. Hal terpenting sebenarnya adalah ketika ia menemukan kedamaian. Ia merasakan hidupnya yang lemah ditengah lautan yang hanya bersandar pada kuasaNya. Hidup adalah terberi dari sang Maha Hidup. Akhirnya, La Marufe memahami makna berguru diatas air.

Berguru diatas air dan angin
Apa hubungannya naik motor sendiri ke suatu tempat dengan mempelajari diri sendiri. La Marufe kembali mengingat. Ia selalu menenangkan diri sebelum berangkat. Meski demikian, ia bisa merasakan bagaimana emosinya naik saat didepannya asap knalpot mobil truk mengotori udara yang ia hirup. Bagaimana lambatnya mobil truk dan menghalangi jalannya sehingga hawa panas terasa ditubuhnya seiring emosinya.

Kenangan saat terjatuh dari motor juga muncul dalam ingatan La Marufe. Ia mengingat, beberapa kali kecelakaan, ia berada pada kondisi "teddeng paringeranna" atau hilang kesadarannya. Ia juga mengingat, berkendara adalah berkonsentrasi pada jalan, kendaraan lain, dan mengontrol kendaraan sendiri. Kecelakaan adalah kondisi dimana terjadi kegagalan dalam mengontrol kendaraan terhadap kendaraan atau jalan lain.

Makna berguru diatas angin telah dipahami oleh La Marufe. Yaitu, mengendalikan sifat sifat angin yang mudah berubah. Dalam dirinya, penting baginya untuk mengendalikan agar kesejukan hembus angin tidak berubah menjadi angin puting beliung yang merusak. Sifat angin akan membesarkan api emosi dalam diri.
La Marufe tersadar, ia bermotor sendirian tetapi kurang mempelajari perubahan dalam jiwanya. Ia juga sadari, masih kurang kemampuan mengontrol "angin" dalam dirinya. Ia memancing sekedar hobi, bukan berkontemplasi. Akhirnya La Marufe sampai pada sebuah titik kesadaran. Bahkan dalam menyalurkan hobi pun manusia bisa mengenal dirinya, yang menjadi jalan mengenal Tuhannya.

DIALOG KEBENARAN

La Marufe telah dewasa, saatnya ia berlayar mengarungi samudra. Merantau membuktikan kedewasaannya. Maka mendakilah ia ke puncak Pattirosompe untuk meminta nasehat dari gurunya. Sebagai bekal untuk masa depannya.

Puang Nene, begitu La Marufe menyebut gurunya. Ia dekati lalu mencium tangannya tanda hormat seorang murid. Lalu dipersilahkan duduk. 

La Marufe : Puang Nene, ajarkan aku tentang kebenaran, pintanya
Puang Nene : Nak, kebenaran ada dalam dirimu
La Marufe : Bagian yang mana pada diriku Puang, bukankah hanya kepala, tangan, kaki dan tubuh ?
Puang Nene : Cobalah pahami dirimu lebih dari yang engkau lihat nak
La Marufe : Mohon dijelaskan puang
Puang Nene : Nak, pernahkah kau berdusta, atau berbuat salah lainnya ?
La Marufe : (sedikit terbata-bata), pe pe pernah puang
Puang Nene : Saat kau berbuat salah, apakah ada dalam dirimu mengatakan bahwa kau salah ? Menegurmu dan mengingatkanmu agar tidak melakukan itu ?
La Marufe : Iya ada pernah puang
Puang Nene : Nah itu dia nak. Belajarlah untuk selalu mendengar suara itu. Suara yang selalu menunjukkanmu pada kebenaran. Ia ada dalam dirimu. Ia tidak pernah berbohong padamu.
La Marufe : Apakah itu disebut hati, sanubari, instink atau apa puang ?
Puang Nene : Nak, mengapa engkau lebih mementingkan persoalan semantik ketimbang makna ? Terserah orang mau menamai apa, yang jelas, engkau tahu suara dalam dirimu itu nak.
La Marufe : Iya terimakasih. Tetapi guru, kadang aku mendengarnya begitu jelas, kadang sayup sayup. Bagaimana dengan hal itu guru ?
Puang Nene : Saat engkau mendengarnya begitu jelas, sebelumnya engkau selalu berkata, berbuat dan bertindak benar. Sehingga kebenaran begitu nyata mengingatkanmu pada kebenaran. Saat engkau nafikan kebenaran, maka pada saat itu suara itu menjadi sayup sayup. Semakin sering engkau berdusta, maka itu akan menutupi dirimu. Bagai tabir yang menutupmu pada kebenaran.
La Marufe : Jadi bagaimana baiknya puang, guru ?


Puang Nene : Biasakan berkata benar anakku. Biasakan berbuat benar anakku. Biarkan kebenaran itu sendiri yang datang menjelaskan dirinya.
La Marufe : Terimakasih puang. Tambahkanlah lagi pelajaran padaku tentang kebenaran guru
Puang Nene : Nak, ketahuilah hanya satu manusia. Yang banyak hanya ragamnya.
La Marufe : Jelaskan padaku puang.
Puang Nene : Nak pemahamanmu kelak akan berkembang seiring usia, usaha dan pengalamanmu. Aku hanya menjelaskan garis besarnya saja nak.
La Marufe : Iya guru, dengan senang hati
Puang Nene : Nak, kebenaran dalam dirimu ada juga pada orang lain. Setiap manusia memiliki itu. Itulah sebenarnya manusia. Manusia adalah yang bertindak benar. 
La Marufe : Jelaskan maksudnya puang
Puang Nene : Kalau seseorang merampas hak orang lain, maka sebenarnya ia abaikan kebenaran pada dirinya. Ia telah berperilaku binatang buas anakku. Jika ia terus ulang menjadi tabiatnya, maka pada dasarnya ia kehilangann kemanusiaannya dan telah menjadi binatang buas anakku. 
La Marufe : (Berpikir sejenak). Jadi manusia yang sebenar benarnya manusia adalah yang selalu berlaku dan bertindak benar ya puang ?
Puang Nene : Benar anakku.


La Marufe : Puang, banyak orang mengaku benar. Bagaimana cara aku menilai kebenaran.
Puang Nene : Anakku, meski nyata bersalah, seseorang masih saja merasa benar. Walau terkadang memutar balikkan fakta. Ini tindakan yang menutup mati hati anakku. Serendah-rendahnya perbuatan benar setelah berbuat salah adalah mengakui kesalahan. Bukankah mengakui kesalahan adalah sebuah kebenaran bagi orang yang salah anakku ?
La Marufe : (menyimak)
Puang Nene : Kelak, bila engkau khilaf, sehingga berbuat salah. Setidaknya engkau jujur pada dirimu. Jujur bahwa engkau salah. Itulah dasar untuk memperbaiki kesalahan sebagai tindak lanjutnya.
La Marufe : (Mengangguk) Mohon puang nene sudi melanjutkan
Puang Nene : Anakku, seseorang menjadi benar bukan karena memutar balikkan fakta. Seseorang tidak menjadi benar hanya karena menuduh yang lain salah.
La Marufe : Toncona eh contohnya guru ? (sambil tersenyum)
Puang Nene : Jika engkau tuduh orang lain mencuri, apakah orang itu lantas menjadi pencuri dan dirimu bukan pencuri ?
La Marufe : Belum tentu guru. Bisa jadi aku menfitnah orang lain, entah itu sengaja atau tidak sengaja. Bisa jadi pula, aku menuduh orang lain pencuri untuk menutupi hasil curianku. Biar orang lain yang digeledah.
Puang Nene : Benar anakku. Kita tidak menjadi benar hanya karena menyalahkan orang lain. Anakku, Permata tetap permata meski ia dilumpur. Kotoran tetap kotoran meski ia disinggasana. 
La Marufe : Puang, di rantau nanti, kemana aku berguru
Puang Nene : Bergurulah dan terus berguru. Tambah pengetahuanmu hingga ajal menjemputmu anakku. Kelak di rantau, jika engkau ingin berguru, carilah orang yang memiliki kebenaran.
La Marufe : Yang mana itu guru
Puang Nene : Nak, lihat bagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Itu indikator pertamamu. Biar ngomongnya secanggih apapun, biar merangkai firman Tuhan sepandai apapun, namun ia tidak menghargai sesamanya manusia, maka ia tidak layak menjadi gurumu. Orang seperti itu pandai memelintir firman suciNya untuk kepentingan diri dan kelompoknya anakku.
La Marufe : Iya terimakasih ilmunya puang, mohon dilanjutkan guru
Puang Nene : Anakku carilah orang yang berdiri diatas kebenaran. Kebenaran perkataannya. Kebenaran perbuatannya. Dan manfaatnya bagi orang sekelilingnya. Jangan cari orang yang hanya pandai menyalahkan orang lain. Sebab itu tidak membuatnya menjadi orang benar. Anakku, carilah orang yang disaat ia tiada, ia senantiasa dikenang. Bukan hanya kelompoknya, tetapi kelompok yang lain. Jika ia hanya dicari oleh orang orang dikelompoknya, maka cahaya kebenarannya hanya terbatas pada kelompoknya saja. Itu indikator keduamu anakku.
La Marufe : (Menyimak)
Puang Nene : Anakku, kita ini terus menyempurnakan kebenaran kebenaran dalam diri kita. Begitupun orang lain. Bisa jadi kebenaran keluar dari mulut seorang pendosa. Sebaliknya, bisa jadi kesalahan keluar dari mulut orang yang saleh. Maka, ada kondisi engkau memetik kebenaran bukan karena siapa yang mengatakan, tapi apa yang ia katakan.
La Marufe : Maksudnya guru ?
Puang Nene : Jangan engkau menganggap remeh seorang pendosa. Bisa jadi ia menyadari kesalahannya, sehingga pintu kebenaran terbuka. Jangan pula engkau menganggap suci orang saleh. Bisa jadi ia takabur dengan ibadahnya sehingga pintu kebenarannya tertutup. Meski demikian, ini bukan alasan bagimu dan bagi semua orang untuk menjadi pendosa. Biar bagaimanapun, engkau harus berusaha menjadi orang saleh. Orang yang efek ibadahnya dirasakan berupa tersebarnya kebaikan bagi sesamanya.
La Marufe : Ajarkan aku lagi guru
Puang Nene : Anakku, aku bangga dengan semangat belajarmu. Namun engkau terkadang harus mengendalikannya, dan menyesuaikan dengan kemampuan jiwamu. Cukup itu saja yang ku ajarkan tentang kebenaran, semoga kelak engkau menemukan lebih banyak lagi kebenaran dari perjalanan hidupmu. Setidaknya, engkau sudah punya pegangan untuk hidup dizaman yang penuh fitnah ini.
La Marufe : (Tertunduk)
Puang Nene : Angkat wajahmu anakku, hadapi kerasnya kehidupan dengan semangat dan doa.Ingat, benar beda dengan betul. Sebab benar adalah syarat kebenaran sedang betul adalah syarat kebetulan.
La Marufe : Tetapi kan kebetulan aku yang jadi murid dan puang nene yang jadi guru ?
Puang Nene : Anakku, janganlah melepas kuasa Sang Maha Benar yang telah menetapkan kebenaran dengan memahami adanya kebetulan anakku. Bahkan orang yang membaca tulisan ini dari awal sampai dibagian ini bukanlah kebetulan anakku.
La Marufe : Terimakasih ilmunya guru. Izinkan aku mencium tanganmu, memohon restu dan doamu. Agar hidupku tetap dalam kebenaran guru
Puang Nene : Engkau mencium tanganku, bukan berarti aku lebih baik daripada engkau anakku. Itu hanya menunjukkan akhlakmu. Pergilah arungi samudra kehidupan. Semoga engkau tetap pada kebenaran dan tergolong orang orang yang selamat anakku.