Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Sifat Merakyat La Tadampare Puangrimaggalatung (bagian I)

La Tadampare Puangrimaggalatung, adalah putra La Tompiwanua dan We Tenrilawi. Terpilih menjadi Arung Matowa Wajo keempat. Menjabat sekitar tahun 1491 hingga 1521. Dimasa pemerintahannya, Wajo mencapai keemasannya. Wilayah yang luas, pemerintahan yang berpihak pada rakyat, panen yang melimpah ruah dan sistem peradilan yang berkeadilan.
Pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), mencatat banyak peristiwa dan pesan pesan beliau. Berikut ini kutipan dari LSW poin 462.



Naia gau'na Puang ri Maggalatung, angkanna tettong Arung Matoa, kutoni temmatinrona matanna essowenni mellaui ri Dewata Seuae adecengenna Wajo. Asalamakenna to wajoe. Naia alempurenna tekkacinna cinnai. Napappada pada maneng ana rijajianna to wajoe. Nasappareng deceng, naellauang alampereng sunge' ri Dewata Seuae. Naia accana nasapparengngi adecengenna waramparanna to wajoe nasalama watakkalena. Iatopa gau'na ia natangngorai matanna essoe, laoni maggulilingi wanuae , tattellu anana' nasilaongeng. Seddi tiwi care care, seddi tiwi anre anre. Narekko napoleiwi anana'e mallojo lojo, nawerengngi care care. Narekko mallipa mui nawerengngi anre-anre nasuroi lisu ribolana. Narekko napolei anana'e massasa napappengngi. Narekko tomatoa napolei tudang ri pallawangengnge, nasuro lao ribolana nawa nawai pallaonna ri baja sangadie...

Terjemahan
Adapun prilaku Puang ri Maggalatung sejak diangkat menjadi Arung Matoa, siang malam tidak tidur matanya meminta pada Dewata Seuae kebaikannya Wajo. Keselamatan orang Wajo. Adapun kejujurannya adalah tidak suka terhadap harta orang lain. (ia memperlakukan) sama semua baik anak kandung maupun orang wajo. Mencarikan kebaikan, dimohonkan panjang umur pada Dewata Seuae. Adapun kecakapannya adalah mencarikan kebaikan harta orang Wajo dan selamat dirinya. Yang dilakukan pula bila matahari hampir terbenam di ufuk barat adalah pergi berkeliling negeri. Ia membawa tiga orang anak. Satu membawa pakaian, satu membawa makanan. Apabila mendapati anak anak bermain petak umpet, diberikan pakaian. Apabila (anak tersebut) pakai sarung, (maka) ia berikan makanan kemudian menyuruh pulang. Apabila mendapati anak-anak bertengkar, maka dilerainya. Apabila orang tua duduk dijalan, disuruh pergi kerumahnya untuk memikirkan pekerjaannya besok....

Dari kutipan diatas jelas disebut, bahwa Puang ri Maggalatung sangat merakyat, bahkan dimulai sejak diangkat menjadi raja. Ia selalu memikirkan kebaikan negeri dan rakyatnya. Setiap sore berkeliling negeri memberikan pakaian dan makanan pada anak-anak dan menyuruhnya pulang. Tak segan segan, beliau langsung melerai anak-anak yang bertengkar lalu menasehatinya. Bila bertemu orang dewasa yang hanya duduk dipinggir jalan, beliau meminta agar lebih produktif dengan cara memikirkan pekerjaannya.

(bersambung)

3 Peletak Fondasi Kebesaran Kerajaan Bone

3 Peletak Fondasi Kebesaran Kerajaan Bone 

Bone menjadi kerajaan terbesar di abad ke-17, tidaklah terjadi secara kebetulan. Akan tetapi, melewati proses panjang dan berat selama ratusan tahun. Berbagai peristiwa yang terjadi telah menggores sejarah Bone.  Proses perkembangan kerajaan Bone sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi awal yang membentuk fondasi kerajaan Bone.
Berikut ini, 3 peletak fondasi kerajaan Bone diawal terbentuknya hingga mulai berkembang.

MatasilompoE Manurungnge ri Matajang

Setidaknya ada dua pendapat tentang kata Matasilompoe. Berhubung aksara lontara berbasis suku kata, maka dalam penulisannya dapat dibaca Mata+Silompoe yang berarti mampu mengetahui jumlah orang dalam satu padang. Juga dapat dibaca Mattasi+Lompoe yang berarti telah mengarungi lautan luas.

Disebutkan bahwa telah tujuh generasi mengalami kondisi chaos yang diistilahkan sianrebale. Carut marut tatanan sosial tersebut bisa diredakan dengan kehadiran Matasilompoe.  Terbentuklah kerajaan Bone atas dukungan dan inisiatif tujuh matoa.   
Diawal terbentuknya, kerajaan Bone adalah kerajaan kecil. Sehingga dengan mudah menata pemerintahan. Tata kelola pemerintahan adalah hal niscaya dalam membangun stabilitas sosial. Struktur kerajaan Bone dibentuk seiring terbentuknya kerajaan. Matasilompoe berposisi sebagai Arumpone, dan ketujuh matoa  menjadi Arung Pitue sebagai anggota dewan pemerintahan.

Setelah menata pemerintahan, langkah Matasilompoe adalah mendekritkan hak milik. Langkah ini memberi kepastian hukum terhadap kepemilikan. Dengan demikian, potensi konflik semakin kecil dan menjamin stabilitas sosial. Untuk mengukuhkan kewibawaan kerajaan, dibuat tanda (bate) berupa bendera yang bergelar Worongporongnge.

Selama sekitar 32 memerintah, beliau berhasil membawa masyarakat Bone pada keadilan dan kesejahteraan. Tata kelola pemerintahan, stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial adalah  syarat dasar menuju perkembangan Bone berikutnya.
 
Situs Tana BangkalaE Watampone

La Ummasa Petta Panre Bessie

Beliau adalah putra Matasilompoe, terpilih menggantikan ayahandanya setelah Mallajang. Keberhasilan Bone mensejahterakan masyarakatnya di era sebelumnya, mempermudah usaha beliau menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil disekitar. Tercatat, Biru, Maloi, Anrobiring dan Matajang mulai tergabung ke Bone. Pelan tapi pasti, Bone semakin berkembang. 

Di masanya, industri metalurgi berkembang. Bahkan baginda digelari Petta Panre Bessie. Teknologi penempaan besi yang maju menjamin ketersediaan senjata untuk pertahanan negara, dan alat pertanian untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena diera sebelumnya telah diterapkan aturan tentang kepemilikan. Sehingga masyarakat Bone dapat bekerja dengan tenang tanpa kekhawatiran konflik, dan kemajuan teknologi terbaru dizamannya.

Seiring perkembangan ekonomi dan politik kerajaan Bone, militernya dibangun secara perlahan. Baginda mengembangkan kerajaan Bone secara politik melalui penggabungan daerah lain. Kelak, lebih banyak lagi daerah lain yang bergabung dengan Bone hingga menjadi kerajaan besar dengan daerah yang teramat luas. Baginda memajukan industri penempaan besi. Kelak, bahkan ketika kerajaan Bone berganti menjadi kabupaten, tradisi penempaan besi itu masih bertahan. Persenjataan yang cukup, ,memungkinkan kuatnya pertahanan negara. Peralatan pertanian yang cukup, meningkatkan produktifitas hasil pertanian.

Keberhasilan Bone dibidang persenjataan militer dan agraris, adalah fondasi utama peninggalan baginda yang masih bertahan beberapa ratus tahun kemudian. Bahkan hingga hari ini.

La Saliyu Kerampelua

Ibunya merupakan saudara baginda La Ummasa, sedang ayahnya adalah La Pattingki Arung Palakka. Baginda mewarisi tahta Bone dan tetangga kuat Bone saat itu, Palakka. Sangat wajar bila pamandanya yaitu La Ummasa berusaha agar baginda La Saliyu menjadi penggantinya kelak. Dengan demikian, terbentuk sebuah hubungan unik antara Bone dan Palakka. Hubungan unik tersebut kelak akan memudahkan langkah-langkah baginda La Saliyu dalam memperluas wilayah Bone.

Terlahir dengan tanda-tanda khusus keberanian, yaitu rambut lebat yang tegak, La Saliyu kelak tak hanya sekedar raja yang memerintah. Namun memiliki keperwiraan yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat kewibawaan negara kerajaan Bone saat itu.

Beliau menjadi raja saat masih bayi. Kedua sepupunya masing-masing  To Suwalle mewakili baginda dalam urusan internal kerajaan. To Suwalle bergelar Matoa Ciung. Kelak jabatan tersebut digelari Tomarilaleng. Sementara To Salawakka menjadi Matoa Araseng, yang mengurusi eksternal kerajaan. Kelak jabatan tersebut dikenal sebagai Makkedang Tana. Dengan demikian, terjadi perkembangan struktur pemerintahan kerajaan Bone. Seolah akan mempersiapkan tantangan administrasi pemerintahan yang semakin kompleks seiring akan semakin bertambahnya luas wilayah kerajaan Bone.

Setelah baginda dewasa, militer diorganisasikan. Dibentuk tiga satuan pasukan. Di bawah bendera Woromporongnge berkumpul rakyat Majang, Maraonging, Bukaka, Kawerang, Pallengoreng, dan Mallari. Pasukan ini dipimpin oleh Matoa Majang. Rakyat Lemoape, Masalle, Macege, Belawa dipimpin oleh To Suwalle dibawah bendera Bate Cella’e ri Atau (bendera merah dikanan). Sedangkan Bate Cella’e ri Abeo (Bendera Merah di kiri) dipimpin oleh To Sulawakka berkumpul rakyat Araseng, Ujung, Katumpi, Padaccengnga dan Madello. To Sulawakka bergelar Matoa Araseng.

Rakyat telah solid dan sejahtera. Tata kelola pemerintahan semakin baik dengan disesuaikannya perkembangan struktur dengan perluasan wilayah. Persenjataan telah cukup. Militer telah terorganisir dengan baik. Difinalisasi dengan raja pemberani, La Saliyu Kerampelua.

Penutup

Tiga raja pertama Bone, tampil dengan keistimewaan masing-masing dan menjawab kondisi zamannya. Sehingga dengan prestasi ketiganya, membawa sekelompok masyarakat yang awalnya chaos, berubah menjadi kerajaan besar dan berwibawa. Dimulai dari tata kelola pemerintahan yang baik, kepastian hukum tentang kepemilikan, perluasan wilayah secara damai, teknik metalurgi untuk menopang perkembangan pertanian dan militer. Pengorganisasian militer dan dikunci oleh peran sentral raja pemberani, La Saliyu Kerampelua.

Hal-hal tersebut menjadi fondasi kerajaan Bone. Sehingga, raja-raja berikut tidak perlu banyak mengubah struktur pemerintahan, dan tinggal melanjutkan usaha-usaha ketiga raja pertama tersebut.



(arm:sebuah kado yang terlambat untuk hari jadi Bone)

Kewalian To Lanca

Menuju Tanah Suci
Lebih setahun menjabat sebagai Qadhi, To Lanca memohon izin pada adat Wajo agar kiranya diperkenankan menunaikan ibadah haji. Adat Wajo mengizinkan,dan di Arammeng,  To Lanca bertolak. Sehabis salat Isya, beliau turun ke danau namun tidak menemukan perahu. Ia akhirnya terpaksa berjalan diatas air, tetapi murid-muridnya tidak mampu mengikuti. 
Sesampainya di Pare-Pare, beliau berjalan lagi diatas laut sampai disebuah gundukan pasir. To Lanca duduk menunggu kapal yang lewat. Tak lama kemudian sebuah perahu menghampiri, nakhodanya memanggil dan mengira To Lanca adalah korban selamat sebuah kapal yang tenggelam. Tak seorangpun yang mengetahui kewalian To Lanca. Sehingga To Lanca disuruh untuk membersihkan air kotor kapal tersebut kemudian beliau tidur.

Saat waktu untuk menimba air kotor tiba, To Lanca dibangunkan lagi untuk mengerjakan tugas tersebut. Namun To Lanca tetap tidur, sehingga semua anak buah kapal marah kepadanya. To Lanca dianggap orang malas. Akan tetapi, nakhoda kasihan melihatnya dan menyuruh anak buahnya agar membersihkan air kotor. 
Ternyata air kotor kapal itu sudah kering sama sekali. Padahal seharusnya secara berkala, saat itu adalah waktu air kotor kapal untuk ditimba. Ketika To Lanca dicari, beliau menghilang. Hingga beberapa tahun, kapal tersebut tetap kering dari air kotornya hingga sampai ditujuannya.

Tiba di Mekkah
To Lanca tertidur didekat ka'bah lalu terbangun dan duduk. Datanglah Rasulullah SAW didekatnya dan berkata "E To Lanca engka balanca murala" (Hai To Lanca, ambillah harta ini untuk belanja). To Lanca menyimpan harta berupa emas itu selama beberapa malam sebelum membelanjakannya.

Setelah lewat setahun, emas yang ada pada pedagang itu dikenali oleh seorang waliyullah dan menanyakan asal emas tersebut. Si pedagang menyebut To Lanca, bahwa To Lanca lah  yang membelanjakan emas tersebut padanya. Penguasa Mekkah kemudian tiba, dan menyuruh si pedagang mencari To Lanca.
To Lanca ditangkap dan diinterogasi Penguasa Mekkah. To Lanca ditanya, darimana mendapatkan emas yang ia belanjakan tersebut. To Lanca terdiam. Penguasa Mekkah mengulang pertanyaannya, namun To Lanca tetap diam. Penguasa Mekkah menuduh To Lanca telah mencuri emas tersebut, akan tetapi To Lanca hanya geleng tanda kata tidak. Segera penguasa Mekkah mencabut pedangnya mengancam akan memenggal leher To Lanca jika tidak menjawab. To Lanca akhirnya menjawab, bahwa Rasulullah yang memberinya emas tersebut. Lalu To Lanca langsung menghilang dihadapan penguasa Mekkah.
Sadar akan kewalian To Lanca, penguasa Mekkah menanyai semua orang Jawa yang ada di Mekkah. Akan tetapi tak seorangpun jemaah haji asal Jawa yang mengenal To Lanca. Seorang jemaah haji lain kemudian berbicara pada penguasa Mekkah. Bahwa ia pernah satu kapal dengan To Lanca. Ia pun bercerita tentang awal ditemukannya To Lanca diatas gundukan pasir dilepas pantai Pare-Pare. Orang itu juga bercerita tentang disuruhnya To Lanca menimba air kotor kapal, keringnya air kotor kapal hingga beberapa tahun sejak dibersihkan To Lanca, sampai pada menghilangnya To Lanca.

Mesjid tua Tosora

Penutup
Dato ri Bandang yang menunjuk To Lanca sebagai Qadhi penggantinya. Tentu Dato ri Bandang mengetahui kualitas To Lanca. Orang-orang mulai sadar tentang kewalian To Lanca sejak beliau meninggalkan Wajo menuju Arammeng. Ia berjalan diatas air saat tidak menemukan perahu untuk menyeberang danau. Di Pare-pare, ia berjalan lagi diatas laut hingga disebuah gundukan pasir duduk menunggu kapal.

Sebagaimana waliyullah umumnya, tidak pernah menyebut dirinya sebagai wali. Namun orang-oranglah yang menyebutnya wali karena kemampuan yang ia miliki. Seorang wali selalu memberi manfaat bagi orang lain meski ia dikasari atau dibentak. Seorang wali tentu tidak pendendam saat dikatakan sebagai pemalas. Namun manfaat yang ia berikan adalah bersihnya kapal yang ia tumpangi dari air kotor hingga beberapa tahun. Padahal dalam sehari secara berkala air kotor kapal dibersihkan sebanyak tiga kali.
Sebagai seorang wali, tentu tidak lagi memperhatikan harta duniawi. Ia hidup sebagai fakir di Mekkah demi menunaikan ibadah haji. Kondisi yang memprihatinkan ini menyebabkan Rasulullah sendiri yang memberikan emas untuk dibelanjakan. Ketika ada waliyullah lain yang mengenal emas tersebut menyebabkan kewaliannya diketahui orang banyak termasuk penguasa Mekkah. Ketika terpaksa untuk menyebutkan siapa yang memberinya emas, To Lanca terpaksa menghilang. Sebab kewaliannya telah diketahui orang-orang di Mekkah.

Disarikan dari Lontara Sukkuna Wajo

Dialog Datuk Sulaiman dengan Arung Matowa La Sangkuru tentang Tuhan

Di awal penyebaran Islam, terjadi dialog antara Datuk Sulaiman atau Datuk Pattimang dengan Arung Matowa Wajo saat itu yaitu La Sangkuru Patau Mulajaji tentang Tuhan. Dialog itu terekam dalam Lontara Sukkuna Wajo, yang menggambarkan bagaimana kepercayaan dimasa lalu. Adapun kutipan dialognya sebagai berikut


Alqissah naiya riwettu engkanana Dato Sulaiman ri Wajo sitani Arung Matowae La Sangkuru nakkutanani Arung Matowae tampu'na asellengengnge. Makkedai Dato, iko pauwanga riolo aga akkasioremmu. Ri poadanni ri Arung Matowae bicaranna Dewata Seuwae Puang Seuwae. Iyami mappakangka, mappade'. Patuo Pauno, Puweng memengngi tekepammula tekkepaccappureng. De nakkeonrong sangadinna akkelo, na agi agi apoelo iyatoni nangoloi ati sibawa watakkale. Makkoniro akkatenningeng ri pomanae ri Arung Matowae La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kananna napomana massossoreng


Alkisah diwaktu kedatangan Datuk Sulaiman di Wajo, bertemu dengan Arung Matowa La Sangkuru. (Maka) Bertanyalah Arung Matowa (tentang) kandungan (ajaran) Islam. Berkata Datuk Sulaiman, anda (sebaiknya) mengatakan terlebih dahulu apa pegangan anda. Dikatakanlah oleh Arung Matowa perihal Dewata Seuwae Puang Seuwae. Dialah yang menciptakan dan menghancurkan. Menghidupkan (dan) Mematikan. Tuhan tak berawal (dan) tak berakhir (abadi). Tidak bertempat kecuali kehendakNYA. Apapun kehendaki itu juga yang dihadapkan hati dan tubuh. Demikianlah pegangan (kami) yang diwarisi dari Arung Matowa La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kannana diwarisi turun temurun.


Makkedai Dato, madecengnisatu usedding tampu'mu Arung Matowa iyatu muasenge Dewata Seuwae Puang Seuwa iyanaritu Allah Taala majeppu de'duanna tenrijajiang teppajajiang de'to sikupu seuwa, de to risompa sangadinae. De' patuo pauno sangadinae, nae madecengngi muwalai anunappesangkangnge naharange nabitta Muhamma, nakado Arung Matowae


Berkata Datuk Sulaiman, saya rasa keyakinanmu Arung Matowa yang anda maksud Dewata Seuwae Puang Seuwae adalah Allah Ta ala yang sesungguhnya tidak ada duanya tak dilahirkan (dan) tak melahirkan dan tidak ada yang menyamainya, tidak ada disembah kecuali DIA. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali DIA. Maka baiklah anda meninggalkan apa yang dilarang (dan) diharamkan nabi kita Muhammad SAW. (dan) Mengangguklah (tanda setuju) Arung Matowa

Mesjid Tua Tosora

Dari dialog diatas dapat disimpulkan bahwa Datuk Sulaiman tidak mengajarkan tentang konsepsi Ketuhanan kecuali menegaskan kembali. Datuk Sulaiman menyamakan makna kata "Dewata Seuwae Puang Seuwae" dengan "Allah Ta ala" setelah dijelaskan oleh Arung Matowa. Sehingga konsekwensi dari menyembah Tuhan adalah meninggalkan segala larangannya dan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW. 
Menyesuaikan dengan tradisi Bugis, Arung Matowa beserta perangkat adat dan rakyatnya mengadakan "mandi suci" kemudian bersumpah. Setelah itu tanggal 15 Shafar 1019 barulah beliau bersyahadat bersama Timurung, Pammana (La Mappapoli to Pasajoi Datu Pammana), Gilireng, Belawa dan Pitu riawa

(sumber : LSW)
Terjemahan bebas

To Lanca, Qadhi ketiga Wajo

Setelah Wajo menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan ditahun 1609, maka Arung Matoa La Sangkuru meminta agar Datuk Patimang di Luwu agar bersedia mengajarkan Islam. Datuk Patimang kemudian diangkat menjadi Qadhi (Kali) pertama di Wajo. Maka disusunlah struktur Parewa Sara' mulai dari Khatib, yaitu La Mallalangeng, Imam, Bilal, Doja dan Amil. Demikian pula tugas masing-masing jabatan lengkap dengan penghasilan pertahun.
Namun Datuk Pattimang ingin kembali ke Tanah Luwu melanjutkan dakwahnya. Sehingga Arung Matoa meminta pada Sultan Alauddin agar kiranya dikirimkan Datuk ri Bandang untuk menggantikan posisi Datuk Patimang. Sultan Alauddin mengiyakan. Kemudian diangkatlah Datuk ri Bandang menjadi Qadhi kedua di Wajo. Setelah beberapa lama, Datuk ri Bandang hendak ke Luwu . 

Mesjid tua Tosora sebelum renovasi

Beliau bersama Arung Matoa serta perangkat Adat Wajo berkumpul untuk membahas pengganti Datuk ri Bandang. Dalam LSW disebut "naengka mungking riaseng To Lanca iyana najello dato i bandang sullei kali, kuniro rita akkuwallinna dato' nasaba iya To Lanca mukingwi. (dan ada seorang mukim bernama To Lanca dan dialah yang ditunjuk oleh Datu ri Bandang menggantikannya sebagai Qadhi, disitulah dilihat kewalian Datuk sebab To Lanca adalah seorang Mukim). Sehingga diangkatlah To Lanca sebagai Qadhi ketiga.

Dengan disebutkannya kata Muking (Mukim) berarti To Lanca bukan penduduk setempat. Namun dilihat dari namanya, To Lanca adalah nama khas Sulawesi. Kemungkinan besar beliau adalah orang Wajo yang tidak berdomisili di Tosora, atau dari kerajaan lain di Sulawesi Selatan (bisa jadi Luwu) yang berdomisili di Tosora mengikuti rombongan Datuk Patimang

To Lanca melanjutkan apa yang telah Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang lakukan. Terutama tentang ibadah dan syariat. Kutipan pesan Datuk ri Bandang pada To Lanca apabila ada Arung Matoa, Ranreng dan Pabbate Lompo meninggal adalah sebagai berikut :

Makkedatoi Dato I Bandang, o To Lanca issengngi kasiwiyangna gurue, 
narekko matei arungmatoae, ranrengnge, bate lompoe, lattu ri ana mattolae,
 solo kasiwiyangngi asenna gurue. 
Bettuanna mupokasiwiyangngi menre e katte'na bilala'na mangaji angka tellumpennie, 
mauko tennaobbi, mauko tennapanre, 
tempeddittokko temmenre angka tellumpennie. 
Iyana riaseng mangajikasiwiyang. 
Mupowassalangngi narekko tennamupigaui.
Narekko leppe'ni tellumpenni, mangajisolosiko patampenni, napanre ko kiya. 
Iya sanra siseng beppa, mujagatoiwi abbacadoangenna ri tellumpenninna, ri patampenninna, 
ri duapitunna, dipatappulona risiratuna. 
Iyakiya sipulungko ri narekko riwettunna riabbacadoangenna ri masigi'e. Mutajengngi surona, mupowassalangngi rekko de muwenre

cek : Pendidikan Agama Islam di Tanah Bugis

Berkata pula Datuk ri Bandang. Oh To Lanca, ketahuilah ibadahnya guru.
Apabila Arung Matoa, Ranreng, Batelompo hingga putra mahkota meninggal
Solo Kasiwiyang namanya
Artinya, engkau mengibadahkan naik khatib dan bilal mengaji hingga tiga malam
Apakah engkau tidak dipanggil atau tidak diberi makan, 
engkau tidak boleh tidak naik hingga tiga malam
Inilah yang disebut mengibadahkan (pahala) mengaji
Engkau bersalah jika tidak engkau lakukan
Apabila lepas tiga malam, Mangajisolo lagilah dimalam keempat, tapi engkau harus dijamu
Dijamu dengan kue. Engkau jaga baca doa dimalam ketiga, malam keempat
malam keduapuluh tujuh, malam keempat puluh dan malam seratus
Tetapi berkumpullah di mesjid pada waktu membacakan doa. Engkau menungguh utusannya
Engkau salahkan dirimu bila tidak naik (melakukannya)

Luwu di Masa Lalu (Resensi Buku : Kerajaan Luwu Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F.Van Braam Morris)

Salah satu kunci sejarah Sulawesi Selatan adalah Luwu. Betapa tidak, Luwu termasuk kerajaan tertua yang memiliki wilayah yang sangat luas. Dengan tanah yang subur lagi kaya, memungkinkan Luwu menjadi salah satu kerajaan terkemuka dalam sejarah.

Buku berjudul Kerajaan Luwu, Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F. Van Braam Morris, memuat gambaran sang gubernur tentang kerajaan Luwu. Antara lain tentang sejarah, negeri, penduduk dan pemerintahan. Buku yang sejatinya berjudul Het Landschaap Loehoe, Getrokken uit een Rapport van den Gouverneur van Celebes, deen her adalah catatan sang gubernur Morris. Hal ini menunjukkan kinerja sang gubernur yang bukan hanya mengelola pemerintahan namun merangkap sejarawan, antropolog sekaligus politisi.

Sejarah
Sang gubernur Morris mencatat beberapa hal penting. Tentang adanya sumber lisan sejarah Luwu abad ke-10 hingga 14. Kemudian, era Tunipallangga, era Perang Makassar, era Batari Toja, era perang VOC melawan Wajo (1741), hingga era Pajung Luwu dimasanya (Iskandar Aru Larompong Datu Luwu). Van Braam Morris juga bercerita tentang Ilagaligo, mulai dari To PalanroE, Batara Guru, Sawerigading, Sang Hyang Serri, Anakaji, Mancapae, hingga susunan Datu Luwu 14 (masuk Islam) hingga Datu Luwu 29 Iskandar Aru Larompong. Khusus tentang Mancapae, sang gubernur mengangkat beberapa pendapat tentang daerah yang juga bernama Mancapae selain Majapahit. Satu di Pattiro Bone, dan yang satu di antara Paria-tanasitolo.


Van Braam Morris juga mengaitkan antara Datu Luwu saat itu dengan Datu Soppeng (Tonampeng Arung Sengkang Matinroe ri Watu) sebagai berpotensi merugikan Kompeni. Van Braam Morris mengatakan : "Oleh karena Aru Sengkang dan Aru Larompong dari pihak ibu berasal dari keturunan Wajo, menjelaskan bahwa sekalipun tidak secara terang-terangan, tetapi waktu dapat berbuat (doengelden) yang merugikan kita di Luhu dan terutama dalam urusan memenuhi kontrak Wajo disaat itu akan memberikan nasehat pada Luhu supaya menolak" (hal : 4). Nampaknya sang Gubernur mengurai secara sistematis mulai dari awal sejarah Luwu hingga analisa politik terkininya.

Negeri
Van Braam Morris menyebut batas-batas kedatuan Luwu. Mulai di selatan (sungai buriko), tobungku (keresidenan ternate), poso dan tojo (keresidenan manado), ajatappareng, massenrempulu, mandar (sebelah barat). Juga disebut bahwa Danau Poso adalah wilayah kedatuan Luwu yang dihuni orang Toraja yang biasa memberikan penghormatan pada Datu Luwu yang baru.

Wilayah Luwu yang dicatat Gubernur adalah, Mengkoka, Lelewau, Ussu, Wotu, Baebunta, Panrang, Rongkong, Seko, Bua, Olang, Masamba, Walenrang, Larompong, Suli, Cimpu, Bariko. Ibukota Palopo dan sekitarnya  yang secara umum dinamai WARA, merupakan bagian tersendiri. (hal : 16-17).

Selanjutnya termasuk wilayah Luhu yaitu hampir semua suku Toraja atau negeri negeri di Sulawesi bagian tengah (7 wilayah). Di sentral sulawesi (4 wilayah), ujung barat laut teluk Bone (21 wilayah), dari Palopo ke arah selatan (8wilayah), dan Palopo ke arah timur (27 wilayah).

Sang Gubernur juga mencatat tentang nama-nama sungai, aktivitas ekonomi di sungai tersebut, musim, kopi, tanaman, binatang, kerajinan, komuditas perdagangan, taksiran produksi sagu, hingga alat transaksi.

Penduduk
Secara sederhana, Van Braam Morris hanya membagi dua penduduk Luwu. Pertama, orang Luhu yang disebut sebagai To Oegi dan orang Toraja yang mendiami pegunungan. Van Braam Morris mengutip pendapat Junghun dan De Hollander tentang asal usul To Luhu.

Pola hidup, kebiasaan serta prilaku negatif To Luhu pun tak lepas dari catatan Van Braam Morris. Demikian pula pembagian kelas di masyarakat, gelar kebangsawanan dan sapaan, derajat kebangsawanan, aktivitas perdagangan budak, bentuk rumah, bahasa, aksara, jumlah rumah di Palopo dan Mengkoka, hingga jumlah penduduk secara keseluruhan.


Pemerintahan
Susunan pemerintahan Kedatuan Luwu disebutkan Van Braam Morris secara lengkap. Mulai dari syarat, hukum pewarisan jabatan, kemestian adanya calon dan pelantikan Pajung. Demikian pula penjelasan tentang Opu Cenning, dan Majelis Tertinggi yang terdiri dari Opu Patunru, Opu Pabbicara,Opu Tomarilaleng dan Opu Balirante. Adapun Opu Cenning, termasuk dalam Majelis ini (hal : 86). Dahulu kala, mereka digelari To Maraja yang kemudian dihapuskan oleh Gubernur Sulawesi (kemungkinan di era Speelman). Adapun Opu Patunru juga digelari Makkadangnge Tana.

Selanjutnya Majelis rendah dalam Kedatuan Luwu disebutkan Ade AseraE yang terdiri dari Opu Maddika Ponrang, Opu Maddika Buwa, dan Opu Maddika Baebunta sebagai bagian tertinggi. Kemudian dibawahnya ada Opu Wage, Opu Cenrana, Opu Goncingnge, Opu Macangnge, Opu KamummuE, dan Opu Lalantonro.

Menariknya, tupoksi dari tiap jabatan pun dipaparkan Van Braam Morris. Seperti tugas Opu Pabbicara, Opu Tomarilaleng dan Opu Balirante. Sementara Pangadereng MacowaE yaitu Opu Wage bertugas sebagai Anregurunna Pammpawa Epu dan Opu Cenrana bertugas sebagai komandan pasukan istana atau Anregurunna Ana Rioloangnge.

Adapun vassal Luwu dikepalai antara lain : Opu Palempa to Rongkong (Rongkong), Opu Palempa to Ussu (Ussu), Mangkole ri Matana (Matana), Opu Mencara Oge (Wotu), Opu Mencara Malili (Lelewau ). Opu Palempa to Bentuwa (Bentuwa. Datu (Aru) Larompong (Larompong), Opu Palempa to Suling (Suling), Opu Maddika ri Masamba (Masamba), Opu Maddika ri Panrang (Panrang), Opu to Paninggowang (Paninggowang dan Seko), Opu Olang (Olang), Opu Palempa to Walenrang (Walenrang), Opu Mencara Borau (Borau), Opu Cimpu (Cimpu) dan Aru Bariko (Bariko). Adapun suku Toraja masing masing mempunyai seorang Madika sebagai kepala dibantu dengan Tomakaka.(hal : 90). Kewajiban daerah vassal (kepala daerah dan rakyatnya) kepada Datu juga disebut. Misalnya To Rongkong diserahi urusan mengenai keselamatan raja. To Masamba dalam hal membawa ramuan dan membangun/merenovasi istana (LangkanaE).

Sedang, model pemungutan pajak, peran dan fungsi bissu, peran dan fungsi Parewa Sara (Kali, Imang, Doja dst) juga dipaparkan secara sepintas. Juga disebutkan tentang kewajiban orang Toraja tiap tahun untuk mempersembahkan semua produksi dalam negerinya seperti emas, besi, kelewang, lilin, madu hingga bakul (hal : 96)



Demokrasi Lokal ala Sulsel

Luka taro arung, Telluka taro ade’
Luka ade’, telluka taro anang
Luka taro anang, telluka taro tomaega

Batal pendapat raja, tidak batal pendapat adat/konstitusi
Batal pendapat adat/konstitusi, tidak batal pendapat wakil masyarakat
Batal pendapat wakil masyarakat, tidak batal pendapat orang banyak

Demokrasi pada dasarnya kekuasaan rakyat. Sebuah negara demokrasi memiliki konsep tentang bagaimana menjadikan kepemimpinan bukan sebagai tirani terhadap rakyat. Namun lebih jauh, demokrasi sangat tergantung pada paradigma yang dianut masyarakat. Sehingga kita bisa melihat berbagai konsep demokrasi saat ini. Mulai dari sosialisme hingga liberalisme sama sama mengklaim diri sebagai paling demokratis.

Tapi terlepas dari faktor ideologi tersebut, kepemimpinan adalah hal yang mutlak bagi setiap komunitas, tak terkecuali bagi masyarakat Bugis-makassar dimasa lalu. Pada tulisan sederhana ini dipaparkan tentang bagaimana kekuasaan raja ditujukan untuk kebaikan rakyatnya. Sehingga kekuasaan tidak menjadi tirani yang menindas rakyatnya.

Atraksi Bissu dalam sebuah acara adat
Di sebutkan pada berbagai kronik, secara umum terjadi kondisi chaos yang disebut dengan istilah sianre baleni tauwe (=orang saling memangsa laksana ikan). Terjadi pertentangan antara komunitas-komunitas adat selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan semua komponen masyarakat kala itu ditambah dengan pertarungan untuk merebut sumber produksi menjadi penyebab. Kondisi itu terus berlangsung hingga kedatangan tokoh fenomenal yang disebut To Manurung.

To Manurung inilah yang kemudian diangkat menjadi pemimpin (tepatnya raja) dari beberapa komunitas adat sehingga terbentuk kerajaan. To Manurung tersebar dihampir seluruh Sulawesi Selatan. To Manurung inilah yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan atau konstitusi kerajaan yang secara umum dikenal sebagai Ade’, Rapang, Wari, Bicara. Ade’ berarti hukum dasar, Rapang berarti yurisprudensi, Wari berarti aturan keprotokuleran, dan Bicara berarti permufakatan. Hingga terintegrasinya syariat Islam pada abad ke-17, konstitusi itu ditambahkan dengan sara’ yaitu syariat.

Ketika To Manurung diangkat sebagai raja, terjadi kontrak sosial yang mengatur hubungan antara raja sebagai penguasa dan rakyat yang diwakili oleh para matowa. Inti dari kontrak sosialnya adalah kewenangan yang diberikan pada penguasa dan kewajiban penguasa melindungi rakyatnya. Seorang raja mesti berjanji agar menjaga rakyatnya dari ketakutan dan kemiskinan. Artinya, seseorang diangkat menjadi raja karena  upayanya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Pada periode berikutnya, ketika To Manurung telah berketurunan, ia dikabarkan menghilang. Kepemimpinan berikutnya diwariskan secara genetik. Meski demikian, seorang raja tetap dipilih secara terbatas oleh dewan adat yang masa lalu adalah matowa-matowa. Dalam pemilihan itu, tetap dipertimbangkan kualitas individual, seperti Lempu (kejujuran), Acca (kepandaian), Warani (keberanian) dan Getteng (konstensi).

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang raja tetap diawasi oleh dewan adatnya. Seperti Bate Salapang di Gowa, Ade’ Seppulo Dua di Luwu, Ade' Pitue di Bone, Ade' Aruwa di Sidenreng, Arung Patappuloe di Wajo, Pappangeppa di Soppeng. Apabila seorang raja dianggap berhasil, maka ia akan dipertahankan dalam menjabat posisi tersebut. Apabila seorang raja dianggap melanggar hak-hak rakyat, maka melalui mekanisme persidangan dewan adat, raja itu akan ditegur secara halus. Jika tetap dilanggar, teguran itu diperkeras. Bahkan jika memang raja tersebut sangat lalim, tak jarang diupayakan proses eksekusinya. Ada beberapa raja dibeberapa kerajaan di sulawesi selatan yang rajanyat terbunuh oleh rakyatnya sendiri akibat tidak mengindahkan dan melanggar adatnya. Banyak pula raja yang dipecat dari jabatannya, atau mengundurkan diri karena tidak mampu mengemban amanah. Ini merupakan pengejawantahan prinsip Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge' mainge' pi nafaja.

Apabila seorang raja lalim sangat kuat posisinya dan tidak bisa ditegur atau dijatuhkan, telah menjadi tradisi bagi orang bugis makassar untuk mallekke dapureng yang secara harfiah berarti berpindah penghidupan ditempat lain. Dalam hal ini merantau. Sebab bagi orang bugis makassar, lebih baik menderita dinegeri orang, lebih baik keluar merantau daripada hidup menjadi budak dinegeri sendiri. Jiwa kemerdekaan begitu melekat dalam sanubari orang Bugis makassar.