Showing posts with label sosial budaya. Show all posts
Showing posts with label sosial budaya. Show all posts

Manfaat berorganisasi bagi Mahasiswa

Di kampus, biasanya ada dua jenis organisasi yang dapat dimasuki oleh mahasiswa. Pertama, organisasi intra kampus, seperti BEM, Himpunan dan UKM sebagainya. Kedua, organisasi ekstra kampus, seperti HMI, PMII, IMM, GMKI dan sebagainya.

Pada beberapa kasus, minat berorganisasi bagi mahasiswa nampaknya menurun. Banyak hal yang mempengaruhinya. Bisa jadi karena model pengelolaan organisasi yang kurang inovatif. Bisa jadi karena kurang mampu menfasilitasi anggotanya untuk berkembang. Atau, boleh jadi karena budaya hedonisme yang semakin mengemuka.

kegiatan pengkaderan salah satu organisasi


Namun terlepas dari hal tersebut, tidak masalah bila kita mengangkat manfaat berorganisasi bagi mahasiswa. Setidaknya menjadi motivasi agar gairah berorganisasi bagi mahasiswa kembali bersemi :)

1. Melatih kemampuan manajerial
Berorganisasi berarti berinteraksi dengan banyak orang dan banyak karakter. Dalam organisasi terdapat struktur dan tupoksi. Kemampuan manajerial tidak melulu dominasi pada jabatan puncak. Namun juga pada posisi yang lebih rendah. 
Kemampuan manajerial akan terasah dengan kerjasama berbagai karakter dengan tugas masing masing. Pada posisi puncak, seseorang harus belajar untuk bijak dan berempati pada bawahannya. Serta belajar untuk menggerakkan orang lain tanpa melukai perasaannya. Pada posisi bawah, seseorang harus berlatih bekerjasama dengan karakter lain.
Tidak selamanya seseorang berada pada posisi terendah. Ruang ruang karir dan promosi jabatan terbuka di organisasi mahasiswa. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami peran tiap posisi. Tidak kemaruk posisi, tetapi tetap punya visi untuk pengembangan diri.

2. Melatih kemampuan verbal
Ketika mendengar pembicaraan orang lain, seringkali kita mendapati orang yang menyimak mengatakan, : "Sebenarnya begitu maksudku, cuma susah saya katakan". Pada kasus seperti itu, hampir dapat dipastikan bahwa yang menyimak tersebut adalah orang yang kurang berorganisasi. 
Dengan berorganisasi, seseorang akan terlatih berbicara di rapat atau forum lain. Dengan demikian, kemampuan verbal akan terasah dengan sendirinya.
Kemampuan ini sangat penting, bagaimana berkomunikasi secara verbal dengan menyusun diksi kalimat yang tepat sesuai konteks. Seseorang yang terlatih, akan sangat paham bagaimana berkomunikasi secara verbal kepada orang awam, politisi, akademisi dan sebagainya.
Sebagai contoh, bila seseorang hendak menggerakkan orang lain. Yang satu telinganya cenderung peka. Maksudnya, bila hendak diperintah, harus sehalus mungkin. Yang lainnya mungkin telinganya tidak terlalu peka

3. Membangun jaringan
Masa mahasiswa adalah masa dimana kepribadian dan skill dibentuk. Selain itu, jaringan dikembangkan. Dengan menjadi pengurus organisasi, seseorang bisa lebih mudah berinteraksi dengan senior-seniornya yang telah sukses. Juga mudah berinteraksi dengan pemerintah, TNI-Polri, dan bahkan dari organisasi lain.
Pengurus organisasi berinteraksi dengan berbagai unsur tersebut pada berbagai momen, dan program kerja. Dari sini, pengurus bisa dikenal. Dan bila silaturahmi dirawat, maka kedepan menjadi modal besar dalam meraih cita-cita. 
Pada satu kondisi, bahkan ijazah hanya sekadar formalitas dalam mencari kerja, apabila di sebuah instansi adalah bagian dari jaringan yang pernah dirawat semasa mahasiswa.

4. Peluang dapat jodoh
Berorganisasi berarti bergaul dengan banyak orang. Bisa jadi dalam organisasi itu sendiri, bahkan diluar organisasi tersebut. Ini berarti, ruang ruang untuk mendapatkan jodoh terbuka lebar.
Jodoh ideal adalah yang memiliki kesamaan dalam arti cara pandang. Sehingga tidak sulit dalam membangun rumah tangga kelak.
Berorganisasi berarti melatih mental, skill dan kepribadian. Orang yang berorganisasi akan terlatih dengan sebuah cara pandang baru dalam melihat persoalan. Bila sebuah pasangan berasal dari latar organisasi, mereka cenderung memiliki cara mengelola rumah tangga yang lebih simpel dan lebih dapat saling memahami.

Demikian 4 manfaat berorganisasi bagi mahasiswa. Dengan banyaknya pilihan organisasi yang tersedia di kampus, maka tak sulit untuk menempa diri dengan berorganisasi.

Quo Vadis Lembaga Adat ?

Berdasar ayat 1, pasal 32 UUD 1945 amandemen keempat disebutkan, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya". Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah melalui Mendagri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.

Sebuah acara adat di Sarasa, Kec.Pammana

Sejak reformasi bergulir, banyak lembaga adat yang terbentuk. Niat awalnya tentu melestarikan budaya. Dari titik ini, penguatan budaya daerah tentu akan menguatkan budaya nasional. Sekaligus, meminimalisir efek negatif serapan budaya asing yang seolah tak terfilter lagi.

Ada jeda yang cukup lama, antara bubarnya kerajaan-kerajaan nusantara dengan terbentuknya lembaga adat. Hal ini menyebabkan, lembaga adat sulit menemukan bentuk idealnya. Beberapa penyebabnya antara lain :

1. Sengketa antar pewaris
Setelah bubarnya kerajaan, raja terakhir umumnya dijadikan bupati di nusantara. Sayangnya, tidak semua bekas kerajaan melantik putra makhota untuk memilih raja berikutnya. Setelah dua atau tiga generasi, terjadi sengketa waris antara sepupu sekali, paman - kemenakan, antar saudara/saudara tiri dan sebagainya.

2. Kurang/habisnya pusaka
Pusaka merupakan simbol kerajaan. Banyak pusaka yang terjual keluar negeri dimiliki kolektor. Entah karena kesulitan finansial atau persoalan lain sehingga pusaka terjual. Belum lagi perebutan pusaka kerajaan oleh ahli waris. Sehingga sulit menemukan bekas kerajaan yang pusakanya masih terjaga dan terawat.
Belum lagi bekas istana yang rusak, dijual, atau hancur. Sehingga walaupun ada pewaris untuk lembaga adat, namun tidak ada lokasi untuk menyelenggarakan amanah lembaga adat.
Di daerah di Indonesia bekas konflik/pemberontakan/perang antara 1950-1965 juga banyak pusaka yang hilang, dirampok, ditanam, dicuri atau dirusak.

3. Dilupakannya atau hilangnya aturan adat
Tiap kerajaan memiliki aturan adat yang detail. Setelah melebur ke RI, otomatis pelaksanaan aturan adat semakin berkurang hingga hampir tak dilakukan lagi oleh generasi sekarang. Saat lembaga adat terbentuk, banyak orang gagap mengatur keprotokuleran adat. Orang yang paham, telah meninggal beberapa atau belasan atau puluhan tahun silam. Sementara, tidak sempat diajarkan pada generasi berikut. Beberapa naskah yang mencatat aturan adat secara detail juga hilang, rusak, dicuri, terbakar dan berbagai persoalan sehingga sulit diakses bila masih ada.

4. Masuknya kepentingan politik praktis dalam ranah pelestarian budaya
Sejak dilaksanakannya pemilukada, banyak tokoh adat yang turut berperan. Di sisi lain, sebagian politisi memanfaatkan kehadiran tokoh adat (dan lembaganya bila ada), sebagai tim sukses. Hal ini sangat merendahkan posisi lembaga adat yang tak lebih dari tim sukses belaka. Untung baik bila setelah sukses, lembaga adat tidak dilupakan. 

Mungkin pada kesempatan ini kita urai hanya 4 (empat) dari sekian banyak persoalan sekaitan lembaga adat. Tetapi terlepas dari itu, kita tetap harus melihat lembaga adat dari sisi asas manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Beberapa organisasi perkumpulan lembaga adat (terkadang pecah), melakukan pertemuan secara berkala, macam festival keraton. Tentu anggaran besar, harga yang pantas untuk silaturahmi masyarakat adat nasional.

Quo Vadis Lembaga Adat ?

Bagaimana lembaga adat dapat terus eksis dan berperan dizaman reformasi dan zaman digital ini ? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, lembaga adat harus punya visi dan misi yang jelas terukur. Lembaga adat mestilah paham, era kekinian. Paham bagaimana media melakukan perubahan besar besaran terhadap pengetahuan dan karakter masyarakat. Paham bagaimana berperan dalam mengusung negara yang berkarakter.

Dan untuk itu, bukan berarti memberi gelar kebangsawanan pada orang berdasarkan jabatan strukturalnya namun tak berpartisipasi pada gerakan kebudayaan. Akan tetapi memberi apresiasi pada orang yang peduli pada budaya, pada para maestro seni, budaya, dan keahlian lokal.  

Coba kita lihat, saat ini betapa banyak anak muda yang tertarik membincang budayanya. Lantas, apa peran lembaga adat untuk mengedukasi mereka ? Saat ini, banyak maestro seniman tradisional yang berusia sepuh yang tak lagi punya ruang ekspresi. Dimana peran lembaga adat untuk mengeksiskan mereka ? Saat ini, banyak seniman muda yang berusaha berkreasi berdasar ingatan budayanya, namun dimana peran lembaga adat untuk membantu mereka. Saat ini, banyak ahli pembuat rumah, ahli tempa besi, dan berbagai keahlian lokal yang terancam punah. Dimana peran lembaga adat untuk merevitalisasi mereka ?

Kerjasama dengan instansi terkait mesti dieratkan, dalam hal ini kementrian dan dinas yang terkait. Memang, persoalan mendasar selalunya keterbatasan anggaran. Nah pada titik ini mestinya pihak pengambil keputusan lebih kreatif memutuskan, kegiatan apa yang lebih penting untuk dilaksanakan. Bukan kegiatan apa yang lebih besar anggarannya, lalu memasukkan orang yang tidak berkompeten di kepanitiaan hanya karena jabatan strukturalnya belaka.

Hal paling penting adalah inventarisasi. Mulai dari pusaka yang tersisa, naskah, kearifan lokal, ritual adat, seni tradisi, pelaku seni, maestro, situs sejarah dan sebagainya. Lembaga adat mestilah memiliki data yang selengkap lengkapnya.

Lembaga adat mesti yang terdepan mendorong kurikulum muatan lokal sejarah dan budaya daerah bersangkutan. Sehingga ada proses edukasi untuk generasi muda.

Lembaga adat mesti terlibat dalam dengar pendapat, musrembang dan berbagai ruang partisipasi lainnya. Sehingga kehadirannya, dapat bermanfaat bagi pembangunan.

Lembaga adat mestinya menjadi referensi utama bagi peneliti, baik lokal maupun dari luar negeri untuk menjadi informan.

Manusia, dilahirkan didunia dalam keadaan tanpa apa apa dan tak memilih orang tuanya. Sehingga orang orang yang "Beruntung" dilahirkan dari trah penguasa masa silam, mestinya menjadikan dirinya sebagai "adat yang berjalan". Penghormatan masyarakat pada mereka yang beruntung itu, mesti dibalas dengan keberpihakan pada masyarakat dalam memperjuangkan hak haknya. Dibalas dalam bentuk menjadikan diri suri teladan yang baik tentang budaya.

Quo Vadis HMI


Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang diridhoi Allah Swt.
(Tujuan HMI)


Perjalanan panjang HMI mengiringi kisah Republik ini. HMI, telah melewati berbagai dinamika yang sedemikian rupa. Mulai dari keterlibatan pada Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan, hingga mengisi kemerdekaan. Sebagai organisasi mahasiswa yang tersebar hampir tiap pelosok nusantara, kadernya melimpah ruah diberbagai generasi. 

Secara keorganisasian, HMI sangat kompleks. Memiliki jenjang kepengurusan dari tingkat Komisariat, Cabang hingga Pengurus Besar (PB). Pada Cabang yang "gemuk" ia dibentuk Korkom. PB sendiri dibantu Badko. Pengkaderan, atribut organisasi, mekanisme rapat dan sebagainya, semuanya memiliki aturan yang jelas dan terinci. 
Sebagai organisasi "raksasa" tentu kita maklum, kadernya tentu beragam karakter. Mulai yang akademis, religius, organisatoris, bahkan ada yang agak begal. Mengelolanya, tentu membutuhkan tantangan yang luar biasa. Anehnya, selalu saja banyak kader yang percaya diri mampu menuntaskan berbagai masalah internal organisasi. Padahal, hukum alam meniscayakan, hanya kerjasama dan kebersamaanlah yang menjadi kekuatan dalam menyelesaikan berbagai masalah. Bukan keunggulan individu. Meski disatu sisi, kita membutuhkan individu unggul pada posisi tertentu sesuai bidang yang ia kuasai.

Potret Dinamika Internal HMI
Banyak kader HMI yang suka ber"main" pada ruang suksesi. Bahkan alumni sepuh super senior pun terkadang masih suka ber"main". Mulai suksesi himpunan jurusan, pilkada, hingga pilpres. Apalagi bila Kongres HMI, maka semacam ada kebahagiaan tersendiri menguji ilmu strategi taktik.

Pada titik itu, kader akan terbelah oleh politik gerbong. Kuantitas kader terdistribusi pada gerbong-gerbong yang seolah tak berujung. Sayangnya, kurang kematangan dalam berpolitik. Sehingga pasca suksesi, menjadi hal lumrah melihat adanya dua, tiga bahkan empatisme kepengurusan. Padahal jika prosesnya adil, cukup satu kepengurusan saja.

"Kader titipan Kanda/Yunda", sebuah bentuk "nepotisme kecil" yang berefek kurang baik terhadap proses di HMI. Di level pengkaderan, khususnya Intermediate Training, terkadang ada kader yang pada dasarnya belum layak, namun dipaksa ikut karena dititip oleh Kanda/Yunda tertentu. Walhasil, Koster, SC, OC dan Pengurus Cabang kadang terpaksa memediasi. Efek jangka panjangnya adalah, kurangnya kualitas kader yang mengisi pengkaderan dan kepengurusan. 
Tentu hal demikian (kepengurusan ganda dan kader titipan kanda) akan melemahkan HMI secara internal. Kita tidak bisa bayangkan, dengan tantangan zaman yang amat beragam, entah bagaimana HMI bisa berperan untuk bangsa dan negara.

Menyoal Peran HMI 
Sekarang tahun 2015. HMI kembali melaksanakan rutinitasnya, yaitu Kongres. Sebagai wadah pengambilan keputusan tertinggi, ekspektasi kader terhadap Kongres yang berkualitas tentu juga tinggi. Namun menjadi sebuah pembonsaian makna kongres, bila hanya sekadar suksesi belaka. Arena Kongres harusnya menjadi ruang bagi akumulasi pembacaan terhadap regulasi di HMI. Sehingga regulasi yang dianggap kurang relevan, bisa diubah. Begitupun sebaliknya.

Di awal berdirinya, HMI terlibat dalam revolusi fisik, sangat berbeda di era orde lama, dan orde baru. Sehingga sesuai dengan tujuan HMI, kadernya harus diarahkan untuk mengisi kemerdekaan, mengisi pembangunan dan berperan serta dalam kemajuan.

Akan tetapi, dimana HMI saat orang kecil tergusur, hukum tidak berpihak pada orang kecil ? Dimana HMI saat budaya bangsa sedang tergerus ? Dimana HMI saat ilmu pengetahuan seolah mandeg pada buku teks kuliah ? Dimana HMI saat berbagai hal dimana bangsa ini membutuhkannya ?

Orang umumnya bisa mengatakan, ketika jalan macet, ada bakar ban dan melakukan aksi, maka besar kemungkinan HMI lah disitu. Namun isu apa yang mereka angkat ?

Adanya "Litbang" dalam struktur HMI harusnya dimaksimalkan. Hampir bisa dipastikan, di tiap HMI Cabang, tidak memiliki data kuantitatif daerahnya. Sehingga kurang memahami apa yang ada didaerahnya secara detail. Tetapi hampir bisa dipastikan, kader HMI selalu ada di warkop yang berbicara politik daerah, apalagi menjelang pemilu.

Harusnya, Litbang mempunyai data kuantitatif, lalu mengolahnya dan memberi masukan pada pengurus Cabang tentang isu yang harus didorong. Bukan menunggu media untuk menerima isu untuk demo keesokan harinya.

Lalu, apakah harus semuanya dilakukan dengan cara Demo ? Apalagi sekarang bukan era 70an yang demonstran diasosiasikan dengan pahlawan muda. Saat ini, demostran lebih diasosiasikan sebagai anak muda yang memacetkan jalan dan mengganggu aktifitas masyarakat. Tentu ini bentuk miskin kreatifitas kader dalam mengusung sebuah metode gerakan. Mengapa kurang melakukan pendampingan dilevel grass root ? Mengapa tidak memperbanyak hal hal yang bersifat edukatif untuk masyarakat ?

Kader HMI harus lebih memahami cara berbuat ketimbang cara mengkritik. Sebab mengkritik kebijakan melalui aksi demonstrasi saat ini bukan lagi hal yang efektif dalam mengubah kebijakan publik. HMI harusnya lebih berperan dalam "dengar pendapat" dengan wakil rakyat. HMI harusnya lebih mampu bekerjasama dengan stake holder dalam sebuah kebijakan yang realistis, meski tetap harus mempertahankan independensinya. HMI harusnya menelurkan kader yang berpikir rasional, bukan yang berpikir ala begal. Tentu harus zero tolerance untuk kekerasan di HMI.

Pengkaderan, terutama Intermediate Training harus ditinjau ulang. Mengapa ? Karena dari Intermediate Training inilah para ketua Komisariat, pengurus Cabang keatas termasuk pemateri berasal. Jika Intermediate Training bermasalah, tentu keluarannya juga akan bermasalah. Misalnya, peserta yang melampaui quota menyebabkan kurang maksimalnya proses. Apalagi jika ada yang merasa wajar tidak bayar registrasi, merasa berhak ikut LK2 meski tidak bisa mengaji, tidak tahu bacaan shalat, tidak bisa buat makalah tetapi paling cepat lapar. Yang diandalkan, hanya karena dia mencatut nama senior tertentu serta tindakan yang agak represif pada panitia.


Terakhir, kepada seluruh kandidat yang akan berkontestasi di panggung kongres, siap menang dan siap kalah. Jika menang, pastikan apa yang akan dilakukan untuk memperjelas peran HMI kedepan. Demikian pula yang tidak terpilih. "Ngambek" lalu memecah belah kepengurusan adalah bentuk sifat kekanak kanakan yang melemahkan bahkan dapat merusak HMI. Kepada formateur yang nanti terpilih, kemampuan menafsirkan tujuan HMI sesuai kondisi zaman, lalu menterjemahkan dalam bentuk program kerja dan kebijakan, akan menentukan masa depan HMI. Tempatkan kader sesuai kemampuannya, bukan siapa yang menitip. Bagi yang tidak terpilih, membangun HMI tidak mesti menjadi ketua PB. Untuk romli, tidak seharusnya membebani orang lain untuk sesuatu yang orang lain tidak mesti lakukan. Kalian hanya penggembira, (bukan peserta dan panita kongres atau pengurus HMI) yang seharusnya dapat berbuat lebih nyata untuk membangun HMI ketimbang minta makan seperti pengemis.

Tips Membangun Warung Kopi

Akhir-akhir ini makin kesulitan memilih warung kopi di kota kecil tempat saya berdomisili. Setidaknya, sekitar 10-an warung kopi yang tersebar disudut dan tengah kota. Apalagi sebagian pengusaha warkop adalah orang yang sangat saya kenal. Bahkan seperti saudara saya.

Segelas kopi memberi seribu ide
Warkop yang tumbuh menjamur, menjadi ruang sosial baru diera ini. Mulai politik, hingga asmara dibicarakan disini. Hal ini dimungkinkan dari efek kopi yang membuat tubuh lebih segar, pemikiran lebih lancar dan situasi yang rileks.

Menjelang pemilu, warkop selalu ramai. Demikian pula pada even pertandingan sepakbola macam piala dunia. Atau yang paling ganas, motoGP. Hampir tiap warkop membincang persoalan Rossi Vs Marquez + Lorenzo + Pedrosa. Apalagi bila warkop tersebut menyelenggarakan acara nonton bareng. Tak jarang, warkop menjadi markas salah satu fans klub sepakbola.

Warkop, menjadi tempat anak ABG untuk rutinitas game mereka. Terlebih saat game COC sedang ramai ramainya. Warkop juga menjadi tempat kerja tugas mereka. Tentu pada titik ini, segmen pasar warkop berbeda. Ada yang khusus kalangan menengah keatas. Minum kopi sebagai gengsi. Ada juga kelas orang dewasa, yang tema pembicaraannya politik dan pembangunan. Ada juga kelas anak muda yang hobi nonton bareng, main game atau kerja tugas.

Bagaimana menghadapi persaingan tersebut, berikut ini :

1.) Racikan Kopi
Jangan menganggap enteng pendapat para Coffeholic. Mereka adalah pengunjung setia Warkop yang menghargai rasa dan racikan kopi. Oleh karena itu, mintalah kesediaan mereka menjadi tester. Setidaknya 5 orang Coffeholic sebagai responden untuk mengkritisi racikan kita.
Pastikan jenis kopinya, apakah arabika, robusta atau gabungan keduanya. Pastikan pula komposisi dan teknik memasaknya. Demikian pula takaran susunya jika kopi susu.

2.) Koneksi Internet
Bila segmen kita adalah ABG, koneksi internet adalah segalanya. Mungkin mereka kurang paham soal racikan kopi, tetapi mereka sangat paham lancar dan lalodnya sebuah koneksi. Untuk sekadar main fesbuk, dan browsing, mungkin tidak butuh jatah koneksi yang tinggi. Tetapi bagi gamer, setidaknya 500 Kbps keatas yang dapat membuat mereka betah.

3.) Pergaulan
Agama mengatakan, memperpanjang silaturahmi itu mengundang rezki. Itu memang benar. Bahwa jika pengusaha warkop kurang teman dan sahabatnya, maka ia hanya berharap dari "massa mengambang" untuk terdampar di warkopnya. Untung bila sang pengunjung jatuh cinta dengan racikannya. Bila tidak, kunjungan itu yang pertama dan terakhir.
Artinya, seorang pengusaha Warkop harus memiliki banyak kerabat, sahabat dan teman teman. Secara psikologi, pengunjung juga butuh kenyamanan dalam bentuk layanan dari pemilik warkop. Layanan itu dalam bentuk senyum dan sapa serta sedikit diskusi lepas. Bukankah orang ke warkop untuk mencari bahagia ? Bukan untuk menambah ketegangan setelah aktivitas keseharian

4.) Desain, Lokasi
Terakhir adalah desain dan lokasi. Desain warkop tentu semenarik mungkin. Indikator menarik disini adalah memberikan suasana bahagia. Bila suasana standar tembok dan tegel ditemui, tentu membosankan. Lalu mengapa tidak mengkreasikan dengan "suasana kayu" yang lebih alami ? Disudut ruangan, tak mengapa menempatkan bunga atau tanaman yang memberi suasana hidup dan segar.
Soal lokasi, tidak perlu dipusingkan. Sebab bila warkopnya telah memiliki brand, ia tidak lagi menjemput "massa mengambang" tetapi "massa fanatik" akan selalu hadir tanpa memperdulikan lokasinya. Namun yang penting diperhatikan disini adalah parkir. Sebab pengunjung pasti ingin kendaraannya aman. Pastikan manajemen parkirnya tertata dengan baik.

Sosio-Metafisik : Sebuah gagasan asal-asalan dari kampung

Seddi mi tu tau, rupannami maega
(hanya satu manusia, hanya ragamnya/wajahnya yang banyak)

Pengantar
Manusia, terkadang menjadi rahasia bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari tingkat pengetahuan manusia tentang dirinya. Ilmu pengetahuan kita berasal dari barat. Sehingga pendefinisian "manusia" tidak lepas dari bangunan pengetahuan dari barat itu sendiri.

Dibangku pendidikan, kita diharuskan menghafal ragam definisi tersebut. Ada yang mendefinisikan manusia adalah binatang berakal. Sehingga ukuran kemanusiaan adalah tingkat rasionalisasi. Celakanya, rasionalitas yang dimaksud saat ini adalah berdasar paradigma positivistik.

Ada yang mendefinisikan manusia sebagai "homo faber" atau makhluk yang membuat alat. Ukuran kemanusiaan adalah kerja. Kelak definisi seperti ini melahirkan ideologi sosialisme. Sementara ada pula yang mendefinisikan manusia sebagai "homo oeconomicus" atau makhluk yang mengadakan aktivitas ekonomi, Kelak definisi ini menjadi akar ideologi kapitalisme

Namun, saat ini dimana neo-liberalisme sebagai wujud mutakhir kapitalisme berdampak kerusakan dimana-mana. Mulai dari mental, hingga alam. Sehingga perlu definisi "manusia" yang lain yang kemudian melahirkan konsep hubungan sosialnya kita.

=================================

Suatu ketika di negeri Sidenreng. Padi dan tanaman gagal panen. Orang orang sibuk mencari penyebabnya. Hingga suatu saat, ternyata anak La Pagala Nene Mallomo didapatkan telah mencuri bajak milik keluarganya. Sehingga turunlah musibah dari "langit" tersebut. Untuk mengembalikan kesuburan, ketentraman dan kesejahteraan. Atau menormalkan relasi metafisika manusia alam dan Tuhan, maka La Pagala Nene Mallomo mengambil keputusan untuk menghukum anaknya. Ketika ditanya, mengapa engkau menghukum sementara ia adalah anakmu. Nene Mallomo menjawab "Ade Temmakkeana Temmakeappo" yang berarti hukum tidak mengenal anak dan cucu.

Di negeri negeri Bugis dizaman dahulu. Bila ada gagal panen, maka orang akan langsung mencari penyebabnya. Apakah ada yang malaweng (berzinah), orang sering bertengkar, atau pemimpin yang tidak adil. Jika ternyata ada orang yang berzinah, maka ia akan dihukum. Apakah hukumannya ri Ladung (ditenggelamkan dilaut dengan mengikat pada batu besar), Ri Paggareno Wennang Cella (dikalungkan benang merah dilehernya/disembelih) atau ri paoppangi tana (diasingkan keluar negeri). Hukuman yang boleh jadi orang dimasa kini melihat sangat bertentangan dengan HAM produksi barat. Akan tetapi di masa lalu, efektif untuk menstabilkan tatanan sosial dan menormalkan keseimbangan alam.

Dalam pandangan orang Bugis dulu, pertengkaran dipercayai sebagai penyebab tidak datangnya Sang Hyang Seri atau dewi padi. Ini berarti, pertengkaran menyebabkan tidak jadinya padi dan tanaman yang lain. Seperti halnya mencuri pada kasus putra La Pagala diatas.

=================================
Secara hakiki, manusia adalah satu. Gagasan ini sangat egaliter. Memberi makna akan empati sebagai dasar hubungan sosial. Ragam manusia, tak lebih kekhasan individu. Yang pada dasarnya, kekhasan itu ada pada diri tiap individu lainnya namun tidak atau kurang diaktualkan. Semua manusia bisa marah, senang, suka duka dan sebagainya. Cuma ada yang lebih dominan marahnya, lebih dominan senangnya, dan sebagainya.

Dengan gagasan seperti tersebut, sebelum berbuat yang berhubungan dengan orang lain, individu akan mengembalikan pada dirinya. Apakah hal tersebut baik untuknya atau tidak. Sebagaimana yang dikatakan To Ciung Accae ri Luwu : "Olamu muakkolaki". Takaranmu yang kau gunakan menakar.

Manusia harus bersahabat dengan alam

Bersambung

Organisasi Mahasiswa Merosot ? Ini alasannya

Pada dasarnya, organisasi mahasiswa memiliki peran yang signifikan dalam sejarah bangsa. Namun sejak 1998, tidak ada lagi gerakan mahasiswa yang dihasilkan organisasi mahasiswa, yang berakibat besar terhadap bangsa. Pengurus organisasi mahasiswa, sebuah jabatan sakral dimasa lalu, sekarang tidak lebih dari "orang aneh sok sibuk yang tak dipeduli" oleh rekan rekannya. Ia bukan lagi tokoh yang diidolakan, dihormati dan dihargai. Gerakan mahasiswa, momok bagi para status quois sekarang tak lebih keren ketimbang demonstrasi bayaran.

Organisasi mahasiswa, intra maupun ekstra kampus, secara umum mengalami beberapa kemunduran. Antara lain, kurangnya kuantitas kader. Kurangnya kualitas kader. Dan terlalu banyaknya dinamika yang kurang produktif yang menghambat perkembangannya.

Organisasi mahasiswa pada dasarnya, "sekolah ekstra" tempat menempa mental dan kemampuan manajerial mahasiswa, menjadi sangat penting untuk dijaga. Sebab kita dapat bayangkan, betapa lemahnya bangsa ini kedepan jika mahasiswa saat ini yang kelak melanjutkan estafet pembangunan, minim pengalaman organisasi.

Cara pandang 70-80an
Agar organisasi dapat bertahan, ia harus mampu menghadapi tantangan zaman. Organisasi mahasiswa di era 80-an, berada dibawah tekanan. Militansi adalah karakter utama gerakannya. Kader ditekankan memiliki militansi yang kuat. Militansi disini dalam artian, kuat memperjuangkan kepentingan umum. Bila dispesifikkan lagi, kuat demo. Cukup modal isu (yang bahkan belum terverifikasi validitasnya), rapat aksi, maka terjadilah demo besoknya. Militan bukan ? hehee

Model pengelolaan kaderisasinya yaitu dengan mengandalkan senioritas. Seniorlah yang pegang kendali. Bukankah senior tak pernah salah, dan bila salah kembali ke pasal satu ? Mengapa demikian, karena pada zaman itu, belum ada batasan masa kuliah. Hal wajar bila orang kuliah S1 sampai belasan tahun. 

Saat itu, pengurus apalagi ketua lembaga, bagaikan Dewa. Ia dipuja oleh para yunior. Ia menjadi suri teladan yang dihormati dan disegani. Selalu dikawal oleh kawan kawannya, bak artis saat ini.

Sebuah pengkaderan organisasi mahasiswa

Memandang tahun 2015
Sejak reformasi 98, banyak perubahan mendasar dalam sistem tata negara kita. Kemudian berdampak pada sistem sosial. Sebagai contoh, terbitnya UU kebebasan pers dan terlepasnya rakyat dari represi orde baru (tuduhan komunis, tuduhan tindak subversif, penculikan, petrus dsb), menjadikan media kita sangat bebas. Ditambah lagi perkembangan teknologi informasi, sehingga informasi semakin mudah diakses. Perang isu menjadi hal lumrah saat ini.

Perubahan lain misalnya dihapuskannya ospek dengan alasan melanggar HAM. Walhasil, taring para senior menjadi ompong. Senior yang mencoba sok jagoan didepan yuniornya, akan menjadi bahan tertawaan. Beda, bila hal itu dilakukan beberapa puluh tahun lalu.

Generasi hedon, sesuatu yang amat langka di era 70, 80 dan 90an, menjadi hal umum saat ini. Budaya hedonisme, membuat banyak mahasiswa tidak lagi mementingkan berorganisasi. Tantangan semua organisasi adalah bagaimana membuat organisasi mahasiswa menarik bagi mahasiswa ditengah budaya hedonisme.



Merosotnya Organisasi Mahasiswa
Jelas, peran organisasi mahasiswa makin merosot akibat terlalu banyaknya dinamika yang tidak produktif, terutama saat suksesi. Selain itu organisasi mahasiswa kurang tanggap terhadap tantangan zaman. Organisasi yang hidup di tahun 2015, tapi paradigma pengelolaannya masih tahun 70-80an. Bila dibiarkan, organisasi mahasiswa diambang kehancuran. Pada gilirannya, akan melemahkan bangsa. Sebab sebuah kekuatan penting, yaitu mahasiswa, tidak lagi memiliki saluran energi positifnya.



Apa yang harus dilakukan ?
Oh iya, ini penting. Apa yang harus dilakukan menyikapi kondisi demikian. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan

1. Penguatan organisasi
Asumsinya, terjadi pelemahan organisasi sehingga perlu dikuatkan. Penguatan ini melalui upaya meminimalisir dinamika yang tidak produktif. Misalnya, saat pemilihan ketua, terjadi dinamika. Terkadang berujung dualisme atau marginalisasi pihak yang kalah. Untuk itu perlu kedewasaan. Peran senior hendaknya memediasi konflik saat terjadi dinamika keorganisasian. Bukan memberi titah dan restu pada satu calon dan menghalangi calon lain. Pasti pihak yang kalah, atau pihak yang tidak diberi restu akan resisten terhadap organisasi. Efeknya ke organisasi. Organisasi yang kadernya sedikit, akan makin menipis. Hingga akhirnya kita hanya menunggu waktu bubarnya organisasi tersebut.

2. Penguatan kader
Penguatan kader dalam hal ini peningkatan kuantitas dan kualitas kader. Untuk meningkatkan jumlah kader, otomatis intensitas pengkaderan harus ditingkatkan. Sehingga perlu suplai pemateri yang cukup. Organisasi (apalagi organisasi kader) yang selalu mengandalkan seniornya untuk membawakan materi dalam proses kaderisasinya adalah organisasi yang sakit. Perlu segera diobati dengan mereproduksi pemateri sehingga ketersediaan pemateri tercukupi. Dengan demikian, proses kaderisasi bisa berjalan lancar.
Selain itu, organisasi haruslah mampu membaca kebutuhan mahasiswa. Jika tidak, pasti organisasi itu tidak menarik. Sebagian mahasiswa akan menilai bahwa hanya orang serius yang berorganisasi dan membosankan. Sementara mereka sebagai mahasiswa hedon tidak menemukan nilai guna di organisasi tersebut.
Adapun untuk penguatan kualitas kader, pertama adalah intelektualnya. Bisa dibayangkan betapa abal abalnya sebuah gerakan mahasiswa yang tidak berangkat dari kerangka pikir, data, dan metode yang jelas. Ia hanya menjadi alat untuk kepentingan tertentu. Seharusnya, organisasi mahasiswa mencerdaskan anggotanya secara khusus dan mahasiswa secara umum. Sehingga walaupun ia harus turun kejalan, ia punya argumentasi yang jelas. Bukan hanya modal otot dan ngotot tapi otak nol.


3. Penguatan intelektual
Tradisi membaca, harus kembali dihidupkan. Organisasi mahasiswa semestinya mewadahi hal tersebut. Melalui kegiatan bedah buku atau sejenisnya. Pengadaan perpustakaan. Diskusi berkala. Dan hal hal ilmiah lainnya.
Bukan hal tabu, bila organisasi mahasiswa mengundang pejabat publik untuk meminta klarifikasi atau pencerahan tentang sebuah kebijakan. Ketimbang terburu buru turun kejalan atas isu yang lemah argumentasinya. Sehingga ada perbandingan antara isu, realitas lapangan, regulasi dan kebijakan. Menjadi mahasiswa yang bijak membaca situasi itu lebih baik ketimbang gampang dikompori dengan maksud agar dianggap militan.
4. Reorientasi organisasi mahasiswa
Terakhir, perlu reorientasi organisasi mahasiswa. Ia harus kembali ketujuan awalnya. Menyesuaikan kondisi zaman dan kondisi masyarakatnya. Organisasi mahasiswa semestinya turut berperan dalam pembangunan. Sekarang bukan lagi zaman represi tapi zaman ekspresi. 
Reorientasi ini akan berdampak pada gerakan mahasiswa itu sendiri. Mengapa harus selalu demo, bukankah banyak hal yang bisa selesai tanpa demo. Saya tidak bermaksud mengatakan "jangan demo". Tetapi, berbuat hal hal yang lebih produktif dan demo ketika hal itu sangat substansial untuk kepentingan bangsa.


Terlepas dari itu, saya lebih hormat melihat mahasiswa yang demo (meski mungkin ia diperalat) ketimbang mahasiswa yang cuma disuruh tepuk tangan di acara talkshow televisi.

Jangan Sebut Abu-Abu itu Hitam, Meski ia tidak Putih

Tanggapan atas tulisan saudara Eko Rusdianto dengan judul "Asal-Usul Gelar Andi di Sulawesi Selatan" di http://historia.id/modern/asal-usul-gelar-andi-di-sulawesi-selatan

Pada dasarnya, kita patut mengapresiasi setiap tulisan, apalagi melewati proses kajian dan riset, yang bertema budaya. Betapa tidak, di zaman sekarang, sangat jarang orang yang mau memikirkan budayanya sendiri. Apalagi mengeksplorasi budayanya dalam bentuk tulisan.

Namun terlepas dari itu, dalam ranah ilmiah, dialektika pengetahuan sangatlah penting. Untuk mendukung gerak maju pengetahuan itu sendiri. Sehingga, "membiarkan sebuah tulisan budaya tanpa kritik" merupakan bentuk kemandegan pengetahuan itu sendiri. 

Tulisan saudara Eko Rusdianto yang baru di upload beberapa hari lalu, saat tulisan ini dibuat telah terbaca di web historia sebanyak 68.173 kali. Belum lagi, web site lain yang mengkopi paste tulisan tersebut. Boleh dikata, tulisan ini laris manis. Dan tentu memberi efek. Entah positif atau negatif, setidaknya menyentak hati dan pikiran pembaca tentang gelar Andi. Sebuah gelar kebangsawanan yang jamak digunakan di Sulawesi Selatan. 

Pada kesempatan ini, tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara Eko Rusdianto dan pengelola web historia, izinkanlah kami untuk memberi sedikit perbandingan. Maksud kami adalah untuk memberi perspektif lain tentang tema gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan, sehingga ada dialektika pengetahuan pada tema tersebut.

Kita semua paham, semua manusia (kecuali Adam dan Hawa), terlahir dimuka bumi dalam keadaan telanjang tak memiliki apa apa. Namun seiring dengan prosesnya, dari keluarga, membentuk rumpun keluarga, suku, dan bangsa, ada yang menjadi pemimpin, dan ada yang menjadi bawahan. Sehingga, suka atau tidak, muncul stratifikasi sosial. 

Tentu maksud tulisan ini BUKAN untuk menghidupkan kembali budaya feodal. Tetapi di alam demokrasi ini (yang secara teoritik semua rakyat mendapat perlakuan sama secara hukum dan politik), bila politik dinasti dibolehkan, mengapa orang tidak boleh melestarikan budayanya ? Toh pemilik gelar juga tidak meminta dihormati layaknya pejabat penting. Kita juga tentu sepakat, bahwa dibalik gelar ada tanggung jawab. Gelar Akademik dengan stratanya, jelas harus menunjukkan pemilik gelar mesti berpikir ilmiah. Gelar Spiritual, misalnya haji/hajjah, jelas harus menunjukkan kesalehannya. Dan gelar kebangsawanan, juga mesti menunjukkan karakter kebangsawanannya.

Boleh jadi kita dizaman demokrasi ini memiliki pandangan yang egaliter. Oke, saya setuju. Tetapi, mengapa kita tidak memulai diranah akademis dulu. Toh strata pendidikan jelas membedakan S1 dengan skripsi sebagai syaratnya, S2 dan S3 dengan Tesis dan Desertasi sebagai syaratnya. Jika saudara Eko Rusdianto "mencolek" mereka yang bergelar andi dengan kalimat pertama "GELAR ANDI DI DEPAN NAMA ORANG SULAWESI SELATAN DI CIPTAKAN UNTUK MENANDAI KAUM BANGSAWAN TERPELAJAR", lantas mengapa tidak mempersoalkan gelar Bachelor of Art (BA) Insinyur (Ir), Doktorandus (Drs), Doktor (DR). Bukankah itu juga gelar yang menjadi penanda bagi orang terpelajar. Terpelajar dalam artian, sekolah modern. Sekolah yang tentu saja kita pahami adalah warisan Belanda.


Kembali ke Sejarah

Tahun 1905, Belanda melancarkan Politik Pasifikasi yang artinya damai, tetapi hakikatnya adalah penaklukan. Ya, penaklukan jazirah selatan Sulawesi. Saat itu, tinggal Aceh dan Sulawesi Selatan yang belum ditaklukkan Belanda. Di tahun yang sama, berakhir perang Aceh yang disponsori Cut Nyak Dien. Sebelumnya, Belanda mengirim Snouck Horgronye ke Aceh sebagaimana F.Matthes ke Sulawesi Selatan.

Perang 1905 ini ditujukan ke dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Gowa dan Bone. Perang Gowa berakhir dengan meninggalnya Somba Gowa, Sultan Husain Karaeng Lembang Parang. Sedangkan, Perang Bone yang setelah berakhir dikenal dengan Rumpa'na Bone ditandai dengan gugurnya putra mahkota sekaligus panglima perang, Petta PonggawaE. Kemudian disusul dengan ditangkapnya Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di pengunungan Awo.

Dengan demikian, Belanda memaksakan Korte Veklaring di semua kerajaan kerajaan di Sulawesi Selatan. Sebelumnya, ditahun 1880an, Belanda gencar membarui Perjanjian Bongayya secara spesifik di tiap kerajaan Sulawesi Selatan melalui Large Veklaring, yaitu perjanjian panjang yang berisi hubungan spesifik Belanda dengan kerajaan lokal.

Seusai penandatangan Korte Veklaring, bukan berarti Sulawesi Selatan telah bersih dari perlawanan. Tercatat perlawanan I Tolo Daeng Mangassing, mantan komandan pasukan Gowa yang disokong oleh Ishak Manggabarani, Tumabicara Butta Gowa merangkap Arung Matowa Wajo. Perlawanan itu baru padam di tahun 1916. Demikian pula perlawanan di Bone selatan.

Meski demikian Belanda tidak benar benar mampu memerintah masyarakat Sulawesi Selatan. Belum lagi Perang Dunia I di Eropa berdampak pada kurang fokusnya Belanda mengurusi daerah jajahan. Nanti di tahun 1926 dan seterusnya, Belanda telah menganggap kondisi Sulawesi Selatan telah stabil.

Dampak Korte Veklaring
Sadar akan ketidakmampuan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk memimpin langsung rakyat di Sulawesi Selatan, maka kerajaan yang vakum didirikan kembali. Dengan catatan bahwa, pertama, tidak boleh melawan Belanda. Kedua, struktur dan administrasi kerajaan diubah. Otomatis Tupoksi pejabat adat berubah namun gelar jabatan tetap.

Untuk itu dicari putra mahkota, dengan mempertimbangkan derajat kebangsawanan, untuk mengangkat kembali raja. Banyak cerita tak tertulis (hanya beredar dilingkup terbatas) sehubungan dengan pemilihan raja ini. Yang bisa jadi (tanpa mengurangi rasa hormat) Almarhum Mattulada dan Mattalatta, tidak mengetahui kisah kisah tersebut.

Struktur Pemerintahan Hindia Belanda 1926-1941

Pemerintah Hindia Belanda sebelumnya mencanangkan Politik Etis, Politik balas budi terhadap negara jajahan. Untuk itu, dibangun sekolah macam Stovia, Mulo, His dan sebagainya sebagai implementasi kebijakan Educatie. Sedangkan untuk Imigratie, Belanda mengirim penduduk dari Jawa untuk membuka lahan di daerah Polman (Wonomulyo). Adapun Irigatie, Belanda membangun beberapa bendungan. Belanda juga membangun jalan poros, jembatan dan infrastruktur lainnya.

Pemerintah Kerajaan, dalam hal ini ZelfBestuur atau Swapraja, dibawahi langsung oleh Controleur, yang dikenal dengan istilah Tuan Petor(o). Struktur kerajaan disesuaikan dengan model pemerintahan modern, mirip dengan kabupaten saat ini. Dimana Somba Gowa, Datu Luwu, Arumpone, Arung Matowa Wajo, Datu Soppeng, setingkat dengan Bupati saat ini. Sementara pejabat Adat macam Bate Salapang (Gowa), Ade Pitu (Bone), Ade Seppulo Dua (Luwu), Arung Enneng (Wajo), menjadi kepala distrik, semacam kecamatan saat ini. Merangkap kepala dinas. Seperti Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Kepenjaraan, Dinas Pendidikan dan sebagainya.

Di masa itu, gelar Andi mulai digunakan oleh para Raja dan Pejabat Adatnya masing-masing, untuk membedakan Bangsawan elit dengan bangsawan menengah. Gelar ini, lahir dari para raja sendiri melalui proses dinamika yang rumit. Bila di paragraf pertama tulisan saudara Eko menyebut bahwa gelar Andi adalah gelar yang diciptakan Belanda untuk menandai bangsawan terpelajar, adalah KELIRU. Alasannya adalah :
1. Tidak semua pemakai gelar ANDI digenerasi awal, adalah terpelajar versi Belanda. Malah ada yang mantan veteran perang 1905.
2. Tidak semua bangsawan yang terpelajar di era Belanda bergelar ANDI
3. Diparagraf ketiga dan keempat, tulisan tersebut menyebutkan bahwa menurut Ince Nurdin, Matthes lah yang pertama memberi gelar ANDI. Rasa-rasanya kalimat ini aneh. Mengingat orang Bugis Makassar tidak punya riwayat diberi gelar oleh Bangsa Asing yang nota bene penjajah. Apalagi bangga dengan gelar tersebut.

Tetapi perlu dipahami bersama, di era Zelfbestuur tersebut dibentuk komisi stanboom dimasing masing kerajaan. Hal ini dilakukan untuk "meregistrasi" bangsawan Bugis Makassar hingga derajat darah tertentu. Biasanya  hingga Cera 3 (berderajat 12,5%). Ada juga sebagian bangsawan yang tidak sempat mendaftarkan diri di komisi stanboom sehingga keturunannya tidak bergelar ANDI hingga hari ini. Ada pula yang tidak memerlukan Stanboom, karena ia berada dilingkungan istana.

Tujuan pemberian Stanboom ini adalah untuk menandai keluarga raja sampai derajat tertentu, yang akan dijadikan tenaga kerja paksa dalam proses pembangunan infra struktur tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Kolonial Belanda, berusaha mencegah ketersinggungan pihak elit kerajaan (ZelfBestuur) agar tidak melakukan perlawanan. Memang Belanda sangat paham karakter orang Sulawesi Selatan, sebab itulah tugas Matthes sebagai antropolog.

Jadi, gelar ANDI adalah inisiasi dari bangsawan Sulawesi Selatan sendiri untuk memperjelas strata yang semakin rumit seiring perkawinan silang kaum bangsawan dengan masyarakat umum. Sebelumnya, gelar La/We/Daeng jamak digunakan. Hingga tahun 1850an mulai digunakan gelar Baso/Besse lalu Ambo/Indo. Akhir 1880an dan awal 1900an digunakan gelar BAU dan terakhir digunakan gelar ANDI ditahun 1930an.

Pada dua paragraf terakhir tulisan tersebut dikatakan bahwa gelar kebangsawanan adalah Daeng, Opu, Karaeng, Arung, Bau atau Puang. Saya ingin katakan bahwa, Arung bukanlah gelar kebangsawanan, tetapi kepala wilayah. Pemerintahannya disebut Akkarungeng. Keturunannya disebut Anakarung. Gelarnya bisa jadi Baso/Besse/Bau/Ambo/Indo dan sebagainya.

Sebagai penutup dari tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa
1. Tidak benar, gelar ANDI adalah pemberian Belanda. Yang tepat adalah, hasil kesepakatan dari bangsawan elit Sulawesi Selatan untuk membedakan mereka dengan bangsawan rendah dan masyarakat umum.
2. Bila dikatakan gelar ANDI dimulai di era pemerintahan kolonial belanda, itu benar. Sebab pemakai gelar ANDI pertama adalah bangsawan elit ditahun 1930an.
3. Kalimat "Gelar Andi di depan nama orang Sulawesi Selatan diciptakan Belanda untuk menandai kaum bangsawan yang terpelajar" dapat dikatakan tidak tepat. Sebab bukan adat orang Bugis-Makassar menggunakan gelar yang dilekatkan orang asing. Tetapi orang Bugis-Makassar menggunakan gelar berdasarkan aturan adatnya sendiri. Itu yang perlu dipahami.  Kalimat tersebut, terkesan provokatif. Bila gegabah memahami, opini akan tergiring pada pemahaman bahwa sebenarnya pemilik gelar ANDI adalah ANTEK BELANDA.
4. Wacana gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan itu sudah lama diperbincangkan. Sayang, momennya muncul kembali kurang pas. Yaitu menjelang pilkada. Sungguh dikhawatirkan, andai wacana gelar kebangsawanan tersebut digiring dan digoreng ke pentas politik lokal. Lebih mengkhawatirkan lagi bila orang tidak menganggap lagi gelar seperti itu sebagai warisan budaya, tetapi lebih pada warisan penjajah yang tak penting dijaga. Semoga saja kekhawatiran itu tidak mendasar. Semoga.
5.  Biarlah yang abu-abu itu abu-abu, jangan katakan hitam meski ia tidak putih. Dalam arti bahwa, pernyataan Andi Mattalatta belum tentu benar, apalagi terpahami bahwa gelar Andi semata mata buatan Belanda
6. Ada baiknya jika bung Eko Rusdianto menulis tentang PERLAWANAN PARA ANDI TERHADAP PENJAJAH DAN PERAN DALAM MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN. Salam budaya, jabat erat dari saya