"..social groups create deviance by making rules whose infraction creates deviance.."
(Howard Becker)
Pada dasarnya, tiap individu dan masyarakat memiliki kekhasannya masing-masing. Yang kemudian mengidentifikasi dirinya dengan konsep ideal. Sebuah konsep yang tersepakati secara umum apa yang seharusnya dilakukan sebagai sebuah "kebaikan".
Apabila ada "pelanggaran" terhadap konsep ideal tersebut, maka dilekatkanlah sebuah teks yang berkonotasi negatif sebagai Label pada individu dalam masyarakat tersebut. Secara sederhana, ini yang dimaksud dengan labelling.
Fenomena Labelling bisa ditemukan dalam bentuk positif maupun negatif. "Sang Pahlawan", "Ayam Jantan dari Timur", adalah contoh labelling yang bernuansa positif. Bila mengikuti pendapat Howard Becker, Labelling hanya bernuasa negatif. Yaitu individu devian, yang berbeda dengan kebanyakan yang dianggap buruk. Misalnya "pengkhianat", "munafik" dan sebagainya.
Labelling bila dilihat pada konteks yang berbeda, pada dasarnya adalah penyederhanaan identitas terhadap entitas yang berbeda dengan kebanyakan. Misalnya, "Pemimpin Besar Revolusi" adalah penyederhanaan pada identitas pada tokoh yang dengan segala kerumitannya memperjuangkan sebuah revolusi. Atau contoh lain. "Bapak Pembangunan" adalah identitas yang dilekatkan pada tokoh dengan segala kerumitan pembangunan yang disematkan padanya.
Labelling, sangat dipengaruhi oleh perspektif si penilai. Misalnya, tokoh sejarah yang memerangi bangsa asing akan dilabelkan sebagai "Pahlawan". Sementara justru akan dilihat berbeda oleh musuhnya yang dilabelkan sebagai "Bajak laut" misalnya. Hal ini sudah terjadi sejak lama.
Yang agak sensitif adalah interaksi antar masyarakat. Dimana tiap masyarakat memiliki identitas dan idealitas yang berbeda. Yang sedikit memunculkan persoalan adalah ketika idealitas diantaranya justru sebaliknya. Sebagai contoh antara orang Jawa dan orang Sulawesi dalam hal penggunaan keris. Orang Jawa memahami bahwa idealnya keris diselipkan di belakang/pinggang. Hal ini tidak terlepas dari idealitas Masyarakat Jawa yang memahami bahwa mendahulukan dialog daripada kekerasan. Sebaliknya, Orang Sulawesi memahami bahwa idealnya keris diselipkan didepan. Hal ini tidak terlepas dari idealitas orang Sulawesi yang apa adanya dan memperkenalkan identitas melalui kerisnya.
Dalam hal tersebut, orang Jawa memahami kurang baik bila keris didepan dan sebaliknya orang Sulawesi memahami kurang baik bila keris di belakang. Baik Jawa maupun Sulawesi punya "labelling" pada individu/masyarakat yang devian. Atau menyimpang dari konvensi kebenaran dari pendapat masing masing.
Labelling, kadang mengacu pada fisik, sikap atau tindakan. Sebagai contoh La pute mata sebagai labelling orang Sulawesi pada orang Belanda. Sebaliknya orang Belanda (khususnya yang bertugas di Sulawesi masa penjajahan) menyebut orang Sulawesi sebagai "pemberontak" "penganggu keamanan".Contoh seperti ini bisa dilihat pada interaksi antar etnis, komunitas, juga agama.
Labelling, pada dasarnya sudah terjadi sejak lama. Labelling bukan milik satu kelompok saja. Tetapi terkadang terjadi aksi saling labelling diantara keduanya. Pergesekan kepentingan ekonomi dan politik adalah pra kondisi yang cukup, untuk menciptakan proses labelling pada kedua belah pihak.
Di era teknologi informasi sekarang ini. Labelling sangat mudah ditemukan. Apalagi sosial media terbukti punya pengaruh kuat dalam membangun opini massa. Sehingga pihak pihak yang berkepentingan sering menggunakan Labelling ini untuk memuluskan tujuannya.
Bagaimana menyikapi ?
Manusia diciptakan memiliki dua mata, dua telinga dan satu mulut. Seolah Tuhan Sang Pencipta ingin mengatakan pada hambaNya, agar melihat dan mendengar dua kali. Membandingkan, barulah berkomentar satu kali.
Ketika kita menemukan Black Labelling atau label buruk yang dilekatkan pada seseorang/kelompok, hendaknya kita melihat dan mendengarkan baik baik dari pihak yang dilabelkan tersebut. Apakah memang demikian adanya. Bangun empati, bagaimana sekiranya kitalah yang korban labelling tersebut. Apakah kita terima atau tidak ?
Tentu tiap kita punya konsep ideal yang boleh jadi orang lain berlaku tidak seperti kita. Dan diluar idealitas individu/kelompok, ada idealitas yang bersifat universal. "Sopan" misalnya, adalah konsep ideal yang bersifat universal, lintas suku, bangsa dan agama. Namun secara detail, bagaimana berprilaku sopan, itu sangat tergantung pada idealitas individu atau kelompok tersebut. Sehingga, bila kita menemukan orang/kelompok lain yang berprilaku "kurang sopan" menurut kita, hendaknya mendahulukan untuk memahami pemikiran orang/kelompok tersebut sebelum menilai. Dan tentunya meski kita kurang senang dengan pemikiran atau prilaku orang/kelompok lain, hendaknya menghindari Black Labelling.