Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (Bagian I)

(Bagian I)
Pertemuan dengan Petta PonggawaE dan Datu Lompulle

James Brooke adalah petualang Inggris. Meninggalkan Inggris di November 1838 beserta 19 kru lainnya. Berlayar menuju Rio de Janiero Brasil dan melanjutkan ke India dan Singapura. Di Singapura, berangkat ke Kalimantan khususnya Sarawak kemudian kembali lagi ke Singapura.

Tahun baru, 1 Januari 1840 James Brooke kemudian berlayar ke Sulawesi. Dalam catatannya, (sebagaimana para pelaut) ia menyebut puncak bantaeng (bonthain hill) atau lompobattang sebagai titik selatan Sulawesi. Ia kemudian disambut oleh aparat Belanda. Daeng Matara (dain matarah), menjadi guide James Brooke sepanjang perjalanannya. Dari Bantaeng, James Brooke melanjutkan perjalanannya ke Bulukumba.

Dari Bulukumba, James Brooke berlayar menyisir teluk Bone hingga ke berlabuh di BajoE, dengan harapan agar bisa bertemu dengan Arumpone. James Brooke melalui penerjemahnya Mr. Poon mengirim surat dan diterima Tomarilaleng (Perdana Menteri). Keduanya berkorespondensi. James Brooke ~sambil menunggu kesempatan audiens dengan Raja Bone~ mempelajari sistem pemerintahan Kerajaan Bone yang disebutnya kerajaan terkuat di Sulawesi.

Pelayaran James Brooke dilanjutkan ke Tanjung Palette. Ia bertemu dengan sekelompok orang Bajo. Didepan Sungai Cenrana, Daeng Matara dikirim untuk mengumpulkan informasi Wajo dan kembali.James Brooke bersiap untuk bertemu dengan Petta PonggawaE (rajah pengawa)

Sekitar 50-60an perahu berbagai ukuran mengiringi Petta PonggawaE. Pertemuan dengan James Brooke dimulai dengan saling memuji oleh keduanya. James Brooke menjelaskan posisinya sebagai petualang yang tak terikat dengan satu pemerintahan apapun. Dan terjadilah dialog yang mengesankan bagi James Brooke

PP (Petta PonggawaE) : Apa yang menyenangkan anda sehingga datang dari jauh ?
JB (James Brooke) : Sulit bagi anda memahami betapa banyak orang Inggris yang suka mengunjugi berbagai negeri. Mereka semua adalah petualang. Termasuk saya. Senang untuk mengunjungi luar negeri
PP : Apakah anda menerima bayaran ?
JB : Tidak
PP : Apakah anda berdagang
JB : Tidak
PP : Ketika anda di Inggris, apakah anda berdagang ?
JB : Tidak
PP : Bagaimana cara anda hidup ?
JB : Saya mengikuti keberuntungaku
PP : Maka anda harus punya relasi dengan ratu ?
JB : Saya tidak memiliki kehormatan tersebut
PP : Mana yang lebih kuat, Inggris atau Belanda ?
JB : Tentu "Inggris"
PP : Apakah mereka (Inggris dan Belanda) bersahabat ?
JB : Ya
PP : Apakah Rusia adalah negara yang sangat kuat ?
JB : Ya
PP : Apakah sekuat Inggris ?
JB : Rusia sangat kuat, tapi dalam pendapat saya, Inggris dan Prancis adalah yang terkuat
PP : Apa yang terjadi pada (Napoleon) Bonaparte setelah Inggris memenjarakannya
JB : Ia meninggal di St. Helena
PP : Bagaimana Inggris menyerahkan Jawa dan negeri negeri lain kembali pada Belanda setelah menguasainya ?
JB : Inggris mengambil negara negara tersebut dari Prancis (Prancis mengalahkan Belanda saat perang Bonaparte) dan setelah perang usai, Inggris menyerahkan kembali pada Belanda.
PP : Apakah Belanda membayar upeti kepada mereka ?
JB : Tidak

James Brooke menggambarkan Petta PonggawaE sebagai orang yang berusia sekitar 45 tahun, berkulit gelap dan bertubuh agak pendek, berwajah ekspresif, Petta PonggawaE ditemani oleh Daeng Palawa (dain palawa) yang lebih muda dan berwajah tampan. Ia menggambarkan iring-iringan yang berjumlah sekitar 600 orang itu dengan perahu yang bervariasi dan dilengkapi busur panah.

Setelah pertemuan itu, tiba utusan yang membawa surat dari La Patongai. La Patongai menjelaskan bahwa ia tidak dapat hadir secara langsung berhubung ibundanya (We Muddariyah Ranreng Talotenreng) sedang sakit parah. Tanggal 21 Januari 1840, James Brooke mengirim utusan untuk membalas surat tersebut. Balasan dari La Patongai (Lappa Tongi) bahwa ibundanya telah meninggal dunia. Ia meminta James Brooke agar menuju Peneki, Beberapa hari kemudian, setelah lepas jangkar di Manruluwatu, James Brooke menuju Batu Manu (Batu Mano = perbatasan) menuju Tanjong Setange dan menurunkan jangkarnya di Pantai Peneki.

Seminggu kemudian, terjadi pertemuan pertama La Patongai dengan James Brooke di Doping. Lapatongai diiringi pengikutnya dan dua raja lainnya. Ia menggambarkan La Patongai sebagai orang yang berusia 45 atau 48 tahun yang berwajah melankolis dan tenang. Mengenakan baju beludru dengan hiasan bunga emas. Baju jas tutup hingga tenggorokan. Tiap lengannya dihiasi emas yang melingkar. Bercelana dibawah lutut diatas mata kaki yang agak longgar dari bahan yang sama. Celana yang dihiasi sekitar 6-8 real emas. Mengenakan sarung dibordir emas biru melilit dipinggangnya yang terselip keris emas berhias permata. Tutup kepala dari emas berukir

(bersambung)

Todilaling, Maraqdia Pertama Balanipa

Telah menjadi tradisi di Balanipa Mandar dizaman dahulu kala. Apabila ada dua lelaki yang berselisih, maka diselesaikan dengan cara baku tikam keris. Apabila ada yang terlebih dahulu terluka, maka dilerai dan dianggap bersalah. Apabila ada yang terbunuh, maka yang hiduplah yang dianggap benar.


Apabila ada dua perempuan Mandar yang berselisih, maka dimasak air hingga mendidih. Lalu kedua perempuan yang berselisih itu disuruh masukkan tangannya dalam air mendidih tersebut. Barangsiapa yang terlebih dulu mengangkat tangannya dari air mendidih tersebut, itu yang dianggap bersalah. Begitupun sebaliknya.

Hal tersebut terus berlangsung hingga dizaman Todilaling, Maraqdia pertama Balanipa. Todilaling menyaksikan langsung hal tersebut bersama Tomakaka di Nepo. Setelah itu, beliau bersedih. Sebab memikirkan masa depan negerinya. Bila hal itu terus berlangsung, maka lelaki di Balanipa akan berkurang. Sementara para perempuan tidak bisa berbuat banyak sebab tangannya sakit.

Untuk mengatasi hal tersebut, Todilaling mengutus I Puang di Pojosang ke Gowa untuk meminta hukum adat. Sesampai di Gowa, I Puang di Pojosang naik ke istana bertemu Karaeng Gowa dan menyampaikan maksudnya. Karaeng ri Gowa pun menanyakan bagaimana hukum adat di Balanipa Mandar. I Puang di Pojosang menjawab secara seksama dan Karaeng pun mengerti.

Dengan persetujuan Gallarang, maka Karaeng ri Gowa pun menitahkan pada Gallarang agar menuliskan di lontara ikhwal hukum adat. I Puang menerima lontara tersebut, berterimakasih dan pamit. Oleh Karaeng ri Gowa, memberi bekal pada I Puang untuk perjalanan pulang bersama pelaut Makassar.

Pantai Mandar
Sesampai di Balanipa, Maraqdia bersama hadat Balanipa duduk bersama dan mendengarkan isi lontara hukum adat tersebut dan disepakati dijadikan sebagai pusaka. Pusaka yang diwariskan turun temurun. Adapun pelaut Makassar tersebut diminta untuk menginap di Balanipa, namun ditolak dengan halus sebab kapalnya sedang membawa barang yang harus diantarkan. Todilaling pun meminta pada pelaut Makassar yang mengantar I Puang tersebut agar bila selesai mengantar barang, hendaknya singgah di Balanipa sebelum pulang ke Makassar.
Todilaling kemudian meminta kepada hadatnya agar mengumpulkan hasil bumi untuk dikirim ke Makassar sebagai bentuk terimakasih pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Beberapa hari kemudian, tibalah pelaut Makassar di Balanipa yang telah mengantar barang. Ia menghadap menemui Todilaling. Oleh Todilaling, berpesan agar hasil bumi dari Balanipa tersebut dikirim pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Sekaligus menitip salam rindu untuk Karaeng ri Gowa yang memang telah lama Todilaling tak bersua dengannya.

 ~ disadur dari Transliterasi dan Terjemah O DIADAQ O DIBIASA (NASKAH LONTAR MANDAR)

Diaspora Bugis-Makassar di Singapura

Terletak di jalur pelayaran samudra Pasifik dan samudra India, antara Tiongkok, Nusantara, dan Asia Barat, menjadikan posisi Singapura menjadi sangat strategis bagi perdagangan dunia. Singapura menjadi terminal persinggahan bagi para pedagang dimasa lalu. Untuk membawa hasil bumi dari nusantara ke asia barat dan eropa. Produksi keramik, sutra dan sebagainya dari Tiongkok. Produksi kain dari India. Serta berbagai komuditas dunia hilir mudik melalui pelabuhan Singapura.

Dahulu kala, Singapura dikenal dengan nama Temasek. Pernah menjadi wilayah kekaisaran Sriwijaya, disusul kemudian Raja Cola dari India. Kerajaan Majapahit pun pernah mengklaim Temasek sebagai wilayahnya hingga kesultanan Johor. Hingga kemudian Inggris melalui EIC membangun bandar dagang di tahun 1819 di Singapura.

Hubungan dengan melayu diperkirakan sejak runtuhnya benteng Malaka oleh Portugis. Migran melayu tersebar dipesisir barat Sulawesi Selatan. Di Siang (pangkep) hingga Makassar. Besar kemungkinan, dari hubungan ini membuat kebijakan luar negeri kerajaan Makassar memberi prioritas sektor maritim. Kerajaan Makassar pun berjaya sebagai kerajaan maritim di nusantara.

Relasi kerajaan Makassar tidak semata mata politik, namun juga ekonomi. Ini yang kemudian menyebabkan pergesekan dengan VOC kelak, yang hendak memonopoli dagang. Posisi Makassar yang strategis menjadi tempat transit ideal untuk rempah dari Maluku yang dipasarkan ke barat. Demikian pula teripang di selatan (australia utara) ke Tiongkok melalui selat Makassar.

Imbas Perang Makassar 1667-1669 menyebabkan banyak migran Bugis Makassar tersebar diberbagai pelabuhan Nusantara. Misalnya pangeran Gowa dan rombongan yang ke Thailand. Komandan Wajo yang ke Samarinda, dan sebagainya. Seiring dengan waktu, gelombang migran pun mencapai Tumasek alias Singapura.

Meski demikian, diaspora bugis-makassar tidak didominasi oleh pihak kalah perang saja. Namun termasuk kerajaan utama yang lain di Sulawesi Selatan yaitu Bone dan Luwu. Di era 1720-an, nama 5 Opu begitu mendominasi di Selat Malaka. 5 Opu membantu kesultanan Johor dalam perang melawan Kesultanan Siak. Efek dari itu, orang Bugis menguasai Kepulauan Riau. Otomatis perdagangan laut yang bebas pun dikuasai. Hal ini menyebabkan VOC gusar sehingga ditahun 1784 memutuskan untuk menduduki Riau demi mengontrol perdagangan. Orang Bugis pun bermigrasi ke Singapura, sebuah pulau yang kurang penduduknya di saat itu untuk menghindari dominasi VOC.

Pergesekan di Eropa berimbas di Nusantara. Kekuasaan Belanda melalui VOC beralih pada Inggris melalui EIC. Hingga situasi berubah, Inggris menyerahkan nusantara kembali pada Belanda ditahun 1819 yang disesali Raffles. Sebelumnya, Sultan Johor menjual pulau Singapura pada Inggris. Sehingga meski nusantara dikuasai Belanda, tetapi pelabuhan penting Singapura tetap dikuasai oleh Inggris.

Patung Bugis, Tiongkok dan Inggris di Singapura


Berbagai komoditas, seperti hasil pertanian, hasil perkebunan, bahkan budak menjadikan perdagangan laut sangat intens. Arus ekspor impor di Sulawesi Selatan melalui pelabuhan Singapura menjadi tinggi. Terbukti dengan banyaknya kapal dagang yang merapat. Hal ini tentu didukung oleh dua hal. Pertama, Singapura sebagai wilayah yang dikuasai Inggris yang merupakan saingan Belanda. Kedua, kehadiran orang Bugis Makassar di Singapura yang menjadikan hubungan dagang dengan kerabatnya di Sulawesi terus eksis.



Dinamika ekonomi politik di nusantara, yang melibatkan bangsa Eropa, Tiongkok, India, Melayu, Arab-Persia dan tentunya Bugis Makassar, menyebabkan Singapura berkembang. Dari sebuah pulau kecil, menjadi pelabuhan penting bahkan hingga hari ini. Saat ini, orang orang Bugis di Singapura sebagian masih menjalin hubungan dengan kerabatnya di Malaysia dan Sulawesi Selatan

Struktur Parewa Sara di Wajo abad 17

Setelah Musu Selleng (bgs) atau Bundu Kasallanga (mks) usai, Arung Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji meminta pada Sultan Alauddin agar diberi Anreguru. Hal itu dilakukan agar orang Wajo dapat mempelajari Islam lebih dalam. Maka, Sultan Alauddin pun mengirim Datok Sulaiman (yang saat itu berada di Luwu) agar ke Wajo.


Sesampainya di Wajo, terjadi dialog antara Arung Matowa La Sangkuru dengan Datok Sulaiman tentang tauhid. Setelah itu, dilanjutkan dengan penjelasan umum kenabian dan hal hal umum. Seperti makanan yang diharamkan dan dosa dosa besar. Arung Matowa beserta hadat Wajo melakukan ritual mandi di telaga "Takkumelawe" sebagai bentuk sumpah janji untuk setia pada ajaran Islam.


Setelah Datok Sulaiman bermusyawarah bersama Arung Matowa dan Hadat Wajo, maka dibentuklah struktur Parewa Sara. Parewa Sara adalah pejabat yang bertugas mengurusi persoalan syariat. Dalam struktur itu terdiri satu orang Qadhi (Petta KaliE) yaitu Datuk Sulaiman sendiri. Mengingat Kerajaan Wajo terdiri dari 3 limpo (distrik) maka struktur pegawai sara pun mengikuti struktur pemerintahan. Qadhi membawahi 2 orang Khatib dan 2 orang Bilal. 1 Pangulu Limpo, 1 Amele, tiap limpo
Berikut ini perbandingan antara Struktur pemerintahan dengan Struktur Parewa Sara



Abdul Qahhar Mudzakkar, Dari Patriot Hingga Pemberontak

Salah seorang legenda dari tanah Luwu yaitu Abdul Qahhar Mudzakkar (sering disebut Kahar Muzakkar saja). Lelaki perkasa ini terlahir dengan nama La Domeng. Hijrah ke Jawa karena dipaoppangi tanah oleh kedatuan Luwu, menjadi awal perkembangannya menjadi tokoh yang legendaris.

cek juga : Luwu di Masa Lalu

Tergabung dalam kelaskaran, ia adalah putra Sulawesi Selatan pertama yang mencapai pangkat tertinggi yaitu Letnan Kolonel. Dimana pejuang asal Sulawesi Selatan lainnya hanya berpangkat Kapten atau Letnan saja. Ia menunjukkan kualitasnya saat mengawal Soekarno di lapangan Ikada. Berbekal parang, ia menembus barikade tentara Jepang yang bersenjata lengkap agar Bung Karno dapat berpidato. Demikian pula pasukannya, Grup Seberang, telah menunjukkan taringnya saat Serangan Umum 11 Maret yang legendaris itu.

Buku karya Dr. Anhar Gonggong ini, merupakan buku yang paling tuntas membahas tentang gerakan DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Dengan kapabilitas keilmuan, referensi data yang mumpuni, serta sikap obyektif dalam pemaparannya, membuat buku ini menjadi referensi ilmiah bagi yang tertarik mengkaji tentang hal hal yang berhubungan dengan DI/TII.

Bab I buku ini yaitu pendahuluan. Berisi alasan pemilihan subyek, permasalahan, pendekatan teori dan orientasi isi.

Penulis memperdalam tentang latar belakang Sulawesi Selatan di Bab II. Berbagai tinjauan sebagai pengantar agar pembaca dapat memahami konteks secara menyeluruh. Latar belakang meliputi kondisi geografi, sosial ekonomi, pendidikan dan agama.

Adapun tentang kondisi adat istiadat dan sosial budaya, dibahas di Bab III. Penulis membahas tentang pangadereng (adat istiadat), nilai Siri na Pesse dan sistem kekerabatan di masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini makin memudahkan pembaca untuk benar benar memahami konteks yang ada dibalik berbagai peristiwa.

Partisipasi masyarakat Sulawesi Selatan dalam perjuangan kemerdekaan dibahas pada Bab IV. Bab ini membahas tentang bagaimana awal mula kemerdekaan yang kemudian disusul kedatangan sekutu dan Belanda. Hingga kemudian, dibentuk berbagai laskar untuk mempertahankan kemerdekaan serta dinamika hubungan antar gerilyawan. Bab ini juga membahas awal mula kemunculan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Tokoh sentral DI/TII di Sulawesi Selatan, yaitu Kahar Muzakkar, tentu memiliki pandangan ideologis tersendiri. Pandangan ideologis tersebut dibahas pada Bab selanjutnya yaitu Bab V. Ada perbedaan pendapat antara para founding fathers RI yang notabene seperjuangan dengan Kahar Muzakkar. Dalam kutipan suratnya pada Soekarno, Kahar menulis :

Bung Karno jang saja muliakan!
Alangkah bahagia dan agungnja Bangsa kita dibawah pimpinan Bung Karno djika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai pemimpin besar Islam, Pemimpin besar bangsa Indonesia, tampi ke muka menjeru Masjarakat Dunia jang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala AdjaranNja jang ada didalam kitab sutji Al-Qur'an dan kitab sutji agama lainnja. (hlm : 141)

Masih di bab ini, penulis mengatakan : "Dalam pandangan Abdul Qahhar Mudzakkar Pancasila adalah sesuatu yang dipaksakan oleh Soekarno sebagai dasar negara". Dalam pada itu, terjadi pertentangan penafsiran tentang Pancasila sehingga menjadi argumen dalam pemberontakan DI/TII. Selain itu, bab ini juga berisi kritikan Qahhar Mudzakkar terhadap komunisme yang diberi ruang oleh RI, yang secara ideologis sangat bertentangan dengan DI/TII. Juga kritik terhadap Majapahitisme, yaitu paham penjajahan suku tertentu terhadap suku suku lain dinusantara yang menyaru dalam konsep keindonesiaan kala itu.

Langkah-langkah penyelesaian oleh pemerintah, dibahas pada Bab VI. Didalamnya dijelaskan tentang ajakan damai dari pihak pemerintah (perdana menteri Mohammad Natsir) dengan mengajukan beberapa syarat antara lain :
- Para Pedjuang nasional di Sulawesi Selatan diterima sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia
- Tidak akan diadakan tuntutan terhadap tindakan tindakan yang dilakukan sebelum masuk. (hlm : 152)
Setelah itu, anggota KGSS diangkat menjadi CTN (Corps Tjadangan Nasional) yang berbagi beberapa batalyon. Tanggal 24 Maret 1951, Abdul Qahhar Mudzakkar beserta batalyon batalyonnya dilantik oleh Letnan Kolonel Suwido yang mewakili menteri pertahanan.

April-Juli 1951, terjadi pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Kapten Lapanu Dg Manati dan Batjo Dg Sikki. Menyikapi hal ini, komandan CTN (Abdul Qahhar Mudzakkar) mengajukan agar diberi kepercayaan untuk melakukan operasi pembersihan (hlm 154). Namun usul ini ditolak oleh pimpinan APRIS sehingga terjadi ketegangan. Berbagai langkah diplomatis dilakukan untuk meredakan ketegangan hingga akhirnya opsi terakhir yaitu operasi militer pun diambil.

Operasi Tumpas dipimpin langsung oleh Panglima Komando Indonesia Timur yang mempunyai komando tempur dengan nama Komando Operasi Kilat yang dipimpin langsung oleh Pangdam XIV Hasanuddin, Kolonel Andi Muhammad Yusuf (hlm : 170). Operasi Kilat ini berlangsung hingga 5 April 1964 yang difokuskan untuk menyerang posisi Andi Selle yang kemudian meninggal karena sakit jantung. Sehingga fokus berikutnya selama April 1964 hingga 2 Februari 1965 difokuskan untuk menyerang posisi Abdul Qahhar Mudzakkar. Dalam keterangan resmi, Abdul Qahhar Mudzakkar dilaporkan meninggal ditembak oleh Kopral Sadeli.

Bab VII sebagai bab terakhir berisi  melemahnya Abdul Qahhar Mudzakkar serta kelemahan gagasan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) yang digagasnya. Mulai dari keluarnya Andi Selle dari CTN disusul Andi Sose kemudian Usman Balo. Ketiganya merupakan bekas komandan Abdul Qahhar Mudzakkar yang tentu melemahkan posisinya. Selanjutnya menyusul "tangan kanan" sang komandan, yaitu Letnan Kolonel RPI Bahar Mattaliu yang didahului beberapa perbedaan pendapat dengan sang komandan, Kolonel RPI Abdul Qahhar Mudzakkar. Bab ini ditutup dengan penjelasan terhadap akibat yang ditimbulkan gerakan DI/TII baik skala nasional maupun lokal. (arm)

Judul : Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak
Penerbit : PT Grasindo, Jakarta 1992
Penulis : Dr. Anhar Gonggong
Tebal : 252 halaman

Sifat Merakyat La Tadampare Puangrimaggalatung (bagian I)

La Tadampare Puangrimaggalatung, adalah putra La Tompiwanua dan We Tenrilawi. Terpilih menjadi Arung Matowa Wajo keempat. Menjabat sekitar tahun 1491 hingga 1521. Dimasa pemerintahannya, Wajo mencapai keemasannya. Wilayah yang luas, pemerintahan yang berpihak pada rakyat, panen yang melimpah ruah dan sistem peradilan yang berkeadilan.
Pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), mencatat banyak peristiwa dan pesan pesan beliau. Berikut ini kutipan dari LSW poin 462.



Naia gau'na Puang ri Maggalatung, angkanna tettong Arung Matoa, kutoni temmatinrona matanna essowenni mellaui ri Dewata Seuae adecengenna Wajo. Asalamakenna to wajoe. Naia alempurenna tekkacinna cinnai. Napappada pada maneng ana rijajianna to wajoe. Nasappareng deceng, naellauang alampereng sunge' ri Dewata Seuae. Naia accana nasapparengngi adecengenna waramparanna to wajoe nasalama watakkalena. Iatopa gau'na ia natangngorai matanna essoe, laoni maggulilingi wanuae , tattellu anana' nasilaongeng. Seddi tiwi care care, seddi tiwi anre anre. Narekko napoleiwi anana'e mallojo lojo, nawerengngi care care. Narekko mallipa mui nawerengngi anre-anre nasuroi lisu ribolana. Narekko napolei anana'e massasa napappengngi. Narekko tomatoa napolei tudang ri pallawangengnge, nasuro lao ribolana nawa nawai pallaonna ri baja sangadie...

Terjemahan
Adapun prilaku Puang ri Maggalatung sejak diangkat menjadi Arung Matoa, siang malam tidak tidur matanya meminta pada Dewata Seuae kebaikannya Wajo. Keselamatan orang Wajo. Adapun kejujurannya adalah tidak suka terhadap harta orang lain. (ia memperlakukan) sama semua baik anak kandung maupun orang wajo. Mencarikan kebaikan, dimohonkan panjang umur pada Dewata Seuae. Adapun kecakapannya adalah mencarikan kebaikan harta orang Wajo dan selamat dirinya. Yang dilakukan pula bila matahari hampir terbenam di ufuk barat adalah pergi berkeliling negeri. Ia membawa tiga orang anak. Satu membawa pakaian, satu membawa makanan. Apabila mendapati anak anak bermain petak umpet, diberikan pakaian. Apabila (anak tersebut) pakai sarung, (maka) ia berikan makanan kemudian menyuruh pulang. Apabila mendapati anak-anak bertengkar, maka dilerainya. Apabila orang tua duduk dijalan, disuruh pergi kerumahnya untuk memikirkan pekerjaannya besok....

Dari kutipan diatas jelas disebut, bahwa Puang ri Maggalatung sangat merakyat, bahkan dimulai sejak diangkat menjadi raja. Ia selalu memikirkan kebaikan negeri dan rakyatnya. Setiap sore berkeliling negeri memberikan pakaian dan makanan pada anak-anak dan menyuruhnya pulang. Tak segan segan, beliau langsung melerai anak-anak yang bertengkar lalu menasehatinya. Bila bertemu orang dewasa yang hanya duduk dipinggir jalan, beliau meminta agar lebih produktif dengan cara memikirkan pekerjaannya.

(bersambung)

3 Peletak Fondasi Kebesaran Kerajaan Bone

3 Peletak Fondasi Kebesaran Kerajaan Bone 

Bone menjadi kerajaan terbesar di abad ke-17, tidaklah terjadi secara kebetulan. Akan tetapi, melewati proses panjang dan berat selama ratusan tahun. Berbagai peristiwa yang terjadi telah menggores sejarah Bone.  Proses perkembangan kerajaan Bone sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi awal yang membentuk fondasi kerajaan Bone.
Berikut ini, 3 peletak fondasi kerajaan Bone diawal terbentuknya hingga mulai berkembang.

MatasilompoE Manurungnge ri Matajang

Setidaknya ada dua pendapat tentang kata Matasilompoe. Berhubung aksara lontara berbasis suku kata, maka dalam penulisannya dapat dibaca Mata+Silompoe yang berarti mampu mengetahui jumlah orang dalam satu padang. Juga dapat dibaca Mattasi+Lompoe yang berarti telah mengarungi lautan luas.

Disebutkan bahwa telah tujuh generasi mengalami kondisi chaos yang diistilahkan sianrebale. Carut marut tatanan sosial tersebut bisa diredakan dengan kehadiran Matasilompoe.  Terbentuklah kerajaan Bone atas dukungan dan inisiatif tujuh matoa.   
Diawal terbentuknya, kerajaan Bone adalah kerajaan kecil. Sehingga dengan mudah menata pemerintahan. Tata kelola pemerintahan adalah hal niscaya dalam membangun stabilitas sosial. Struktur kerajaan Bone dibentuk seiring terbentuknya kerajaan. Matasilompoe berposisi sebagai Arumpone, dan ketujuh matoa  menjadi Arung Pitue sebagai anggota dewan pemerintahan.

Setelah menata pemerintahan, langkah Matasilompoe adalah mendekritkan hak milik. Langkah ini memberi kepastian hukum terhadap kepemilikan. Dengan demikian, potensi konflik semakin kecil dan menjamin stabilitas sosial. Untuk mengukuhkan kewibawaan kerajaan, dibuat tanda (bate) berupa bendera yang bergelar Worongporongnge.

Selama sekitar 32 memerintah, beliau berhasil membawa masyarakat Bone pada keadilan dan kesejahteraan. Tata kelola pemerintahan, stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial adalah  syarat dasar menuju perkembangan Bone berikutnya.
 
Situs Tana BangkalaE Watampone

La Ummasa Petta Panre Bessie

Beliau adalah putra Matasilompoe, terpilih menggantikan ayahandanya setelah Mallajang. Keberhasilan Bone mensejahterakan masyarakatnya di era sebelumnya, mempermudah usaha beliau menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil disekitar. Tercatat, Biru, Maloi, Anrobiring dan Matajang mulai tergabung ke Bone. Pelan tapi pasti, Bone semakin berkembang. 

Di masanya, industri metalurgi berkembang. Bahkan baginda digelari Petta Panre Bessie. Teknologi penempaan besi yang maju menjamin ketersediaan senjata untuk pertahanan negara, dan alat pertanian untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena diera sebelumnya telah diterapkan aturan tentang kepemilikan. Sehingga masyarakat Bone dapat bekerja dengan tenang tanpa kekhawatiran konflik, dan kemajuan teknologi terbaru dizamannya.

Seiring perkembangan ekonomi dan politik kerajaan Bone, militernya dibangun secara perlahan. Baginda mengembangkan kerajaan Bone secara politik melalui penggabungan daerah lain. Kelak, lebih banyak lagi daerah lain yang bergabung dengan Bone hingga menjadi kerajaan besar dengan daerah yang teramat luas. Baginda memajukan industri penempaan besi. Kelak, bahkan ketika kerajaan Bone berganti menjadi kabupaten, tradisi penempaan besi itu masih bertahan. Persenjataan yang cukup, ,memungkinkan kuatnya pertahanan negara. Peralatan pertanian yang cukup, meningkatkan produktifitas hasil pertanian.

Keberhasilan Bone dibidang persenjataan militer dan agraris, adalah fondasi utama peninggalan baginda yang masih bertahan beberapa ratus tahun kemudian. Bahkan hingga hari ini.

La Saliyu Kerampelua

Ibunya merupakan saudara baginda La Ummasa, sedang ayahnya adalah La Pattingki Arung Palakka. Baginda mewarisi tahta Bone dan tetangga kuat Bone saat itu, Palakka. Sangat wajar bila pamandanya yaitu La Ummasa berusaha agar baginda La Saliyu menjadi penggantinya kelak. Dengan demikian, terbentuk sebuah hubungan unik antara Bone dan Palakka. Hubungan unik tersebut kelak akan memudahkan langkah-langkah baginda La Saliyu dalam memperluas wilayah Bone.

Terlahir dengan tanda-tanda khusus keberanian, yaitu rambut lebat yang tegak, La Saliyu kelak tak hanya sekedar raja yang memerintah. Namun memiliki keperwiraan yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat kewibawaan negara kerajaan Bone saat itu.

Beliau menjadi raja saat masih bayi. Kedua sepupunya masing-masing  To Suwalle mewakili baginda dalam urusan internal kerajaan. To Suwalle bergelar Matoa Ciung. Kelak jabatan tersebut digelari Tomarilaleng. Sementara To Salawakka menjadi Matoa Araseng, yang mengurusi eksternal kerajaan. Kelak jabatan tersebut dikenal sebagai Makkedang Tana. Dengan demikian, terjadi perkembangan struktur pemerintahan kerajaan Bone. Seolah akan mempersiapkan tantangan administrasi pemerintahan yang semakin kompleks seiring akan semakin bertambahnya luas wilayah kerajaan Bone.

Setelah baginda dewasa, militer diorganisasikan. Dibentuk tiga satuan pasukan. Di bawah bendera Woromporongnge berkumpul rakyat Majang, Maraonging, Bukaka, Kawerang, Pallengoreng, dan Mallari. Pasukan ini dipimpin oleh Matoa Majang. Rakyat Lemoape, Masalle, Macege, Belawa dipimpin oleh To Suwalle dibawah bendera Bate Cella’e ri Atau (bendera merah dikanan). Sedangkan Bate Cella’e ri Abeo (Bendera Merah di kiri) dipimpin oleh To Sulawakka berkumpul rakyat Araseng, Ujung, Katumpi, Padaccengnga dan Madello. To Sulawakka bergelar Matoa Araseng.

Rakyat telah solid dan sejahtera. Tata kelola pemerintahan semakin baik dengan disesuaikannya perkembangan struktur dengan perluasan wilayah. Persenjataan telah cukup. Militer telah terorganisir dengan baik. Difinalisasi dengan raja pemberani, La Saliyu Kerampelua.

Penutup

Tiga raja pertama Bone, tampil dengan keistimewaan masing-masing dan menjawab kondisi zamannya. Sehingga dengan prestasi ketiganya, membawa sekelompok masyarakat yang awalnya chaos, berubah menjadi kerajaan besar dan berwibawa. Dimulai dari tata kelola pemerintahan yang baik, kepastian hukum tentang kepemilikan, perluasan wilayah secara damai, teknik metalurgi untuk menopang perkembangan pertanian dan militer. Pengorganisasian militer dan dikunci oleh peran sentral raja pemberani, La Saliyu Kerampelua.

Hal-hal tersebut menjadi fondasi kerajaan Bone. Sehingga, raja-raja berikut tidak perlu banyak mengubah struktur pemerintahan, dan tinggal melanjutkan usaha-usaha ketiga raja pertama tersebut.



(arm:sebuah kado yang terlambat untuk hari jadi Bone)

Kewalian To Lanca

Menuju Tanah Suci
Lebih setahun menjabat sebagai Qadhi, To Lanca memohon izin pada adat Wajo agar kiranya diperkenankan menunaikan ibadah haji. Adat Wajo mengizinkan,dan di Arammeng,  To Lanca bertolak. Sehabis salat Isya, beliau turun ke danau namun tidak menemukan perahu. Ia akhirnya terpaksa berjalan diatas air, tetapi murid-muridnya tidak mampu mengikuti. 
Sesampainya di Pare-Pare, beliau berjalan lagi diatas laut sampai disebuah gundukan pasir. To Lanca duduk menunggu kapal yang lewat. Tak lama kemudian sebuah perahu menghampiri, nakhodanya memanggil dan mengira To Lanca adalah korban selamat sebuah kapal yang tenggelam. Tak seorangpun yang mengetahui kewalian To Lanca. Sehingga To Lanca disuruh untuk membersihkan air kotor kapal tersebut kemudian beliau tidur.

Saat waktu untuk menimba air kotor tiba, To Lanca dibangunkan lagi untuk mengerjakan tugas tersebut. Namun To Lanca tetap tidur, sehingga semua anak buah kapal marah kepadanya. To Lanca dianggap orang malas. Akan tetapi, nakhoda kasihan melihatnya dan menyuruh anak buahnya agar membersihkan air kotor. 
Ternyata air kotor kapal itu sudah kering sama sekali. Padahal seharusnya secara berkala, saat itu adalah waktu air kotor kapal untuk ditimba. Ketika To Lanca dicari, beliau menghilang. Hingga beberapa tahun, kapal tersebut tetap kering dari air kotornya hingga sampai ditujuannya.

Tiba di Mekkah
To Lanca tertidur didekat ka'bah lalu terbangun dan duduk. Datanglah Rasulullah SAW didekatnya dan berkata "E To Lanca engka balanca murala" (Hai To Lanca, ambillah harta ini untuk belanja). To Lanca menyimpan harta berupa emas itu selama beberapa malam sebelum membelanjakannya.

Setelah lewat setahun, emas yang ada pada pedagang itu dikenali oleh seorang waliyullah dan menanyakan asal emas tersebut. Si pedagang menyebut To Lanca, bahwa To Lanca lah  yang membelanjakan emas tersebut padanya. Penguasa Mekkah kemudian tiba, dan menyuruh si pedagang mencari To Lanca.
To Lanca ditangkap dan diinterogasi Penguasa Mekkah. To Lanca ditanya, darimana mendapatkan emas yang ia belanjakan tersebut. To Lanca terdiam. Penguasa Mekkah mengulang pertanyaannya, namun To Lanca tetap diam. Penguasa Mekkah menuduh To Lanca telah mencuri emas tersebut, akan tetapi To Lanca hanya geleng tanda kata tidak. Segera penguasa Mekkah mencabut pedangnya mengancam akan memenggal leher To Lanca jika tidak menjawab. To Lanca akhirnya menjawab, bahwa Rasulullah yang memberinya emas tersebut. Lalu To Lanca langsung menghilang dihadapan penguasa Mekkah.
Sadar akan kewalian To Lanca, penguasa Mekkah menanyai semua orang Jawa yang ada di Mekkah. Akan tetapi tak seorangpun jemaah haji asal Jawa yang mengenal To Lanca. Seorang jemaah haji lain kemudian berbicara pada penguasa Mekkah. Bahwa ia pernah satu kapal dengan To Lanca. Ia pun bercerita tentang awal ditemukannya To Lanca diatas gundukan pasir dilepas pantai Pare-Pare. Orang itu juga bercerita tentang disuruhnya To Lanca menimba air kotor kapal, keringnya air kotor kapal hingga beberapa tahun sejak dibersihkan To Lanca, sampai pada menghilangnya To Lanca.

Mesjid tua Tosora

Penutup
Dato ri Bandang yang menunjuk To Lanca sebagai Qadhi penggantinya. Tentu Dato ri Bandang mengetahui kualitas To Lanca. Orang-orang mulai sadar tentang kewalian To Lanca sejak beliau meninggalkan Wajo menuju Arammeng. Ia berjalan diatas air saat tidak menemukan perahu untuk menyeberang danau. Di Pare-pare, ia berjalan lagi diatas laut hingga disebuah gundukan pasir duduk menunggu kapal.

Sebagaimana waliyullah umumnya, tidak pernah menyebut dirinya sebagai wali. Namun orang-oranglah yang menyebutnya wali karena kemampuan yang ia miliki. Seorang wali selalu memberi manfaat bagi orang lain meski ia dikasari atau dibentak. Seorang wali tentu tidak pendendam saat dikatakan sebagai pemalas. Namun manfaat yang ia berikan adalah bersihnya kapal yang ia tumpangi dari air kotor hingga beberapa tahun. Padahal dalam sehari secara berkala air kotor kapal dibersihkan sebanyak tiga kali.
Sebagai seorang wali, tentu tidak lagi memperhatikan harta duniawi. Ia hidup sebagai fakir di Mekkah demi menunaikan ibadah haji. Kondisi yang memprihatinkan ini menyebabkan Rasulullah sendiri yang memberikan emas untuk dibelanjakan. Ketika ada waliyullah lain yang mengenal emas tersebut menyebabkan kewaliannya diketahui orang banyak termasuk penguasa Mekkah. Ketika terpaksa untuk menyebutkan siapa yang memberinya emas, To Lanca terpaksa menghilang. Sebab kewaliannya telah diketahui orang-orang di Mekkah.

Disarikan dari Lontara Sukkuna Wajo

Dialog Datuk Sulaiman dengan Arung Matowa La Sangkuru tentang Tuhan

Di awal penyebaran Islam, terjadi dialog antara Datuk Sulaiman atau Datuk Pattimang dengan Arung Matowa Wajo saat itu yaitu La Sangkuru Patau Mulajaji tentang Tuhan. Dialog itu terekam dalam Lontara Sukkuna Wajo, yang menggambarkan bagaimana kepercayaan dimasa lalu. Adapun kutipan dialognya sebagai berikut


Alqissah naiya riwettu engkanana Dato Sulaiman ri Wajo sitani Arung Matowae La Sangkuru nakkutanani Arung Matowae tampu'na asellengengnge. Makkedai Dato, iko pauwanga riolo aga akkasioremmu. Ri poadanni ri Arung Matowae bicaranna Dewata Seuwae Puang Seuwae. Iyami mappakangka, mappade'. Patuo Pauno, Puweng memengngi tekepammula tekkepaccappureng. De nakkeonrong sangadinna akkelo, na agi agi apoelo iyatoni nangoloi ati sibawa watakkale. Makkoniro akkatenningeng ri pomanae ri Arung Matowae La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kananna napomana massossoreng


Alkisah diwaktu kedatangan Datuk Sulaiman di Wajo, bertemu dengan Arung Matowa La Sangkuru. (Maka) Bertanyalah Arung Matowa (tentang) kandungan (ajaran) Islam. Berkata Datuk Sulaiman, anda (sebaiknya) mengatakan terlebih dahulu apa pegangan anda. Dikatakanlah oleh Arung Matowa perihal Dewata Seuwae Puang Seuwae. Dialah yang menciptakan dan menghancurkan. Menghidupkan (dan) Mematikan. Tuhan tak berawal (dan) tak berakhir (abadi). Tidak bertempat kecuali kehendakNYA. Apapun kehendaki itu juga yang dihadapkan hati dan tubuh. Demikianlah pegangan (kami) yang diwarisi dari Arung Matowa La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kannana diwarisi turun temurun.


Makkedai Dato, madecengnisatu usedding tampu'mu Arung Matowa iyatu muasenge Dewata Seuwae Puang Seuwa iyanaritu Allah Taala majeppu de'duanna tenrijajiang teppajajiang de'to sikupu seuwa, de to risompa sangadinae. De' patuo pauno sangadinae, nae madecengngi muwalai anunappesangkangnge naharange nabitta Muhamma, nakado Arung Matowae


Berkata Datuk Sulaiman, saya rasa keyakinanmu Arung Matowa yang anda maksud Dewata Seuwae Puang Seuwae adalah Allah Ta ala yang sesungguhnya tidak ada duanya tak dilahirkan (dan) tak melahirkan dan tidak ada yang menyamainya, tidak ada disembah kecuali DIA. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali DIA. Maka baiklah anda meninggalkan apa yang dilarang (dan) diharamkan nabi kita Muhammad SAW. (dan) Mengangguklah (tanda setuju) Arung Matowa

Mesjid Tua Tosora

Dari dialog diatas dapat disimpulkan bahwa Datuk Sulaiman tidak mengajarkan tentang konsepsi Ketuhanan kecuali menegaskan kembali. Datuk Sulaiman menyamakan makna kata "Dewata Seuwae Puang Seuwae" dengan "Allah Ta ala" setelah dijelaskan oleh Arung Matowa. Sehingga konsekwensi dari menyembah Tuhan adalah meninggalkan segala larangannya dan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW. 
Menyesuaikan dengan tradisi Bugis, Arung Matowa beserta perangkat adat dan rakyatnya mengadakan "mandi suci" kemudian bersumpah. Setelah itu tanggal 15 Shafar 1019 barulah beliau bersyahadat bersama Timurung, Pammana (La Mappapoli to Pasajoi Datu Pammana), Gilireng, Belawa dan Pitu riawa

(sumber : LSW)
Terjemahan bebas

To Lanca, Qadhi ketiga Wajo

Setelah Wajo menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan ditahun 1609, maka Arung Matoa La Sangkuru meminta agar Datuk Patimang di Luwu agar bersedia mengajarkan Islam. Datuk Patimang kemudian diangkat menjadi Qadhi (Kali) pertama di Wajo. Maka disusunlah struktur Parewa Sara' mulai dari Khatib, yaitu La Mallalangeng, Imam, Bilal, Doja dan Amil. Demikian pula tugas masing-masing jabatan lengkap dengan penghasilan pertahun.
Namun Datuk Pattimang ingin kembali ke Tanah Luwu melanjutkan dakwahnya. Sehingga Arung Matoa meminta pada Sultan Alauddin agar kiranya dikirimkan Datuk ri Bandang untuk menggantikan posisi Datuk Patimang. Sultan Alauddin mengiyakan. Kemudian diangkatlah Datuk ri Bandang menjadi Qadhi kedua di Wajo. Setelah beberapa lama, Datuk ri Bandang hendak ke Luwu . 

Mesjid tua Tosora sebelum renovasi

Beliau bersama Arung Matoa serta perangkat Adat Wajo berkumpul untuk membahas pengganti Datuk ri Bandang. Dalam LSW disebut "naengka mungking riaseng To Lanca iyana najello dato i bandang sullei kali, kuniro rita akkuwallinna dato' nasaba iya To Lanca mukingwi. (dan ada seorang mukim bernama To Lanca dan dialah yang ditunjuk oleh Datu ri Bandang menggantikannya sebagai Qadhi, disitulah dilihat kewalian Datuk sebab To Lanca adalah seorang Mukim). Sehingga diangkatlah To Lanca sebagai Qadhi ketiga.

Dengan disebutkannya kata Muking (Mukim) berarti To Lanca bukan penduduk setempat. Namun dilihat dari namanya, To Lanca adalah nama khas Sulawesi. Kemungkinan besar beliau adalah orang Wajo yang tidak berdomisili di Tosora, atau dari kerajaan lain di Sulawesi Selatan (bisa jadi Luwu) yang berdomisili di Tosora mengikuti rombongan Datuk Patimang

To Lanca melanjutkan apa yang telah Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang lakukan. Terutama tentang ibadah dan syariat. Kutipan pesan Datuk ri Bandang pada To Lanca apabila ada Arung Matoa, Ranreng dan Pabbate Lompo meninggal adalah sebagai berikut :

Makkedatoi Dato I Bandang, o To Lanca issengngi kasiwiyangna gurue, 
narekko matei arungmatoae, ranrengnge, bate lompoe, lattu ri ana mattolae,
 solo kasiwiyangngi asenna gurue. 
Bettuanna mupokasiwiyangngi menre e katte'na bilala'na mangaji angka tellumpennie, 
mauko tennaobbi, mauko tennapanre, 
tempeddittokko temmenre angka tellumpennie. 
Iyana riaseng mangajikasiwiyang. 
Mupowassalangngi narekko tennamupigaui.
Narekko leppe'ni tellumpenni, mangajisolosiko patampenni, napanre ko kiya. 
Iya sanra siseng beppa, mujagatoiwi abbacadoangenna ri tellumpenninna, ri patampenninna, 
ri duapitunna, dipatappulona risiratuna. 
Iyakiya sipulungko ri narekko riwettunna riabbacadoangenna ri masigi'e. Mutajengngi surona, mupowassalangngi rekko de muwenre

cek : Pendidikan Agama Islam di Tanah Bugis

Berkata pula Datuk ri Bandang. Oh To Lanca, ketahuilah ibadahnya guru.
Apabila Arung Matoa, Ranreng, Batelompo hingga putra mahkota meninggal
Solo Kasiwiyang namanya
Artinya, engkau mengibadahkan naik khatib dan bilal mengaji hingga tiga malam
Apakah engkau tidak dipanggil atau tidak diberi makan, 
engkau tidak boleh tidak naik hingga tiga malam
Inilah yang disebut mengibadahkan (pahala) mengaji
Engkau bersalah jika tidak engkau lakukan
Apabila lepas tiga malam, Mangajisolo lagilah dimalam keempat, tapi engkau harus dijamu
Dijamu dengan kue. Engkau jaga baca doa dimalam ketiga, malam keempat
malam keduapuluh tujuh, malam keempat puluh dan malam seratus
Tetapi berkumpullah di mesjid pada waktu membacakan doa. Engkau menungguh utusannya
Engkau salahkan dirimu bila tidak naik (melakukannya)

Luwu di Masa Lalu (Resensi Buku : Kerajaan Luwu Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F.Van Braam Morris)

Salah satu kunci sejarah Sulawesi Selatan adalah Luwu. Betapa tidak, Luwu termasuk kerajaan tertua yang memiliki wilayah yang sangat luas. Dengan tanah yang subur lagi kaya, memungkinkan Luwu menjadi salah satu kerajaan terkemuka dalam sejarah.

Buku berjudul Kerajaan Luwu, Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F. Van Braam Morris, memuat gambaran sang gubernur tentang kerajaan Luwu. Antara lain tentang sejarah, negeri, penduduk dan pemerintahan. Buku yang sejatinya berjudul Het Landschaap Loehoe, Getrokken uit een Rapport van den Gouverneur van Celebes, deen her adalah catatan sang gubernur Morris. Hal ini menunjukkan kinerja sang gubernur yang bukan hanya mengelola pemerintahan namun merangkap sejarawan, antropolog sekaligus politisi.

Sejarah
Sang gubernur Morris mencatat beberapa hal penting. Tentang adanya sumber lisan sejarah Luwu abad ke-10 hingga 14. Kemudian, era Tunipallangga, era Perang Makassar, era Batari Toja, era perang VOC melawan Wajo (1741), hingga era Pajung Luwu dimasanya (Iskandar Aru Larompong Datu Luwu). Van Braam Morris juga bercerita tentang Ilagaligo, mulai dari To PalanroE, Batara Guru, Sawerigading, Sang Hyang Serri, Anakaji, Mancapae, hingga susunan Datu Luwu 14 (masuk Islam) hingga Datu Luwu 29 Iskandar Aru Larompong. Khusus tentang Mancapae, sang gubernur mengangkat beberapa pendapat tentang daerah yang juga bernama Mancapae selain Majapahit. Satu di Pattiro Bone, dan yang satu di antara Paria-tanasitolo.


Van Braam Morris juga mengaitkan antara Datu Luwu saat itu dengan Datu Soppeng (Tonampeng Arung Sengkang Matinroe ri Watu) sebagai berpotensi merugikan Kompeni. Van Braam Morris mengatakan : "Oleh karena Aru Sengkang dan Aru Larompong dari pihak ibu berasal dari keturunan Wajo, menjelaskan bahwa sekalipun tidak secara terang-terangan, tetapi waktu dapat berbuat (doengelden) yang merugikan kita di Luhu dan terutama dalam urusan memenuhi kontrak Wajo disaat itu akan memberikan nasehat pada Luhu supaya menolak" (hal : 4). Nampaknya sang Gubernur mengurai secara sistematis mulai dari awal sejarah Luwu hingga analisa politik terkininya.

Negeri
Van Braam Morris menyebut batas-batas kedatuan Luwu. Mulai di selatan (sungai buriko), tobungku (keresidenan ternate), poso dan tojo (keresidenan manado), ajatappareng, massenrempulu, mandar (sebelah barat). Juga disebut bahwa Danau Poso adalah wilayah kedatuan Luwu yang dihuni orang Toraja yang biasa memberikan penghormatan pada Datu Luwu yang baru.

Wilayah Luwu yang dicatat Gubernur adalah, Mengkoka, Lelewau, Ussu, Wotu, Baebunta, Panrang, Rongkong, Seko, Bua, Olang, Masamba, Walenrang, Larompong, Suli, Cimpu, Bariko. Ibukota Palopo dan sekitarnya  yang secara umum dinamai WARA, merupakan bagian tersendiri. (hal : 16-17).

Selanjutnya termasuk wilayah Luhu yaitu hampir semua suku Toraja atau negeri negeri di Sulawesi bagian tengah (7 wilayah). Di sentral sulawesi (4 wilayah), ujung barat laut teluk Bone (21 wilayah), dari Palopo ke arah selatan (8wilayah), dan Palopo ke arah timur (27 wilayah).

Sang Gubernur juga mencatat tentang nama-nama sungai, aktivitas ekonomi di sungai tersebut, musim, kopi, tanaman, binatang, kerajinan, komuditas perdagangan, taksiran produksi sagu, hingga alat transaksi.

Penduduk
Secara sederhana, Van Braam Morris hanya membagi dua penduduk Luwu. Pertama, orang Luhu yang disebut sebagai To Oegi dan orang Toraja yang mendiami pegunungan. Van Braam Morris mengutip pendapat Junghun dan De Hollander tentang asal usul To Luhu.

Pola hidup, kebiasaan serta prilaku negatif To Luhu pun tak lepas dari catatan Van Braam Morris. Demikian pula pembagian kelas di masyarakat, gelar kebangsawanan dan sapaan, derajat kebangsawanan, aktivitas perdagangan budak, bentuk rumah, bahasa, aksara, jumlah rumah di Palopo dan Mengkoka, hingga jumlah penduduk secara keseluruhan.


Pemerintahan
Susunan pemerintahan Kedatuan Luwu disebutkan Van Braam Morris secara lengkap. Mulai dari syarat, hukum pewarisan jabatan, kemestian adanya calon dan pelantikan Pajung. Demikian pula penjelasan tentang Opu Cenning, dan Majelis Tertinggi yang terdiri dari Opu Patunru, Opu Pabbicara,Opu Tomarilaleng dan Opu Balirante. Adapun Opu Cenning, termasuk dalam Majelis ini (hal : 86). Dahulu kala, mereka digelari To Maraja yang kemudian dihapuskan oleh Gubernur Sulawesi (kemungkinan di era Speelman). Adapun Opu Patunru juga digelari Makkadangnge Tana.

Selanjutnya Majelis rendah dalam Kedatuan Luwu disebutkan Ade AseraE yang terdiri dari Opu Maddika Ponrang, Opu Maddika Buwa, dan Opu Maddika Baebunta sebagai bagian tertinggi. Kemudian dibawahnya ada Opu Wage, Opu Cenrana, Opu Goncingnge, Opu Macangnge, Opu KamummuE, dan Opu Lalantonro.

Menariknya, tupoksi dari tiap jabatan pun dipaparkan Van Braam Morris. Seperti tugas Opu Pabbicara, Opu Tomarilaleng dan Opu Balirante. Sementara Pangadereng MacowaE yaitu Opu Wage bertugas sebagai Anregurunna Pammpawa Epu dan Opu Cenrana bertugas sebagai komandan pasukan istana atau Anregurunna Ana Rioloangnge.

Adapun vassal Luwu dikepalai antara lain : Opu Palempa to Rongkong (Rongkong), Opu Palempa to Ussu (Ussu), Mangkole ri Matana (Matana), Opu Mencara Oge (Wotu), Opu Mencara Malili (Lelewau ). Opu Palempa to Bentuwa (Bentuwa. Datu (Aru) Larompong (Larompong), Opu Palempa to Suling (Suling), Opu Maddika ri Masamba (Masamba), Opu Maddika ri Panrang (Panrang), Opu to Paninggowang (Paninggowang dan Seko), Opu Olang (Olang), Opu Palempa to Walenrang (Walenrang), Opu Mencara Borau (Borau), Opu Cimpu (Cimpu) dan Aru Bariko (Bariko). Adapun suku Toraja masing masing mempunyai seorang Madika sebagai kepala dibantu dengan Tomakaka.(hal : 90). Kewajiban daerah vassal (kepala daerah dan rakyatnya) kepada Datu juga disebut. Misalnya To Rongkong diserahi urusan mengenai keselamatan raja. To Masamba dalam hal membawa ramuan dan membangun/merenovasi istana (LangkanaE).

Sedang, model pemungutan pajak, peran dan fungsi bissu, peran dan fungsi Parewa Sara (Kali, Imang, Doja dst) juga dipaparkan secara sepintas. Juga disebutkan tentang kewajiban orang Toraja tiap tahun untuk mempersembahkan semua produksi dalam negerinya seperti emas, besi, kelewang, lilin, madu hingga bakul (hal : 96)



Demokrasi Lokal ala Sulsel

Luka taro arung, Telluka taro ade’
Luka ade’, telluka taro anang
Luka taro anang, telluka taro tomaega

Batal pendapat raja, tidak batal pendapat adat/konstitusi
Batal pendapat adat/konstitusi, tidak batal pendapat wakil masyarakat
Batal pendapat wakil masyarakat, tidak batal pendapat orang banyak

Demokrasi pada dasarnya kekuasaan rakyat. Sebuah negara demokrasi memiliki konsep tentang bagaimana menjadikan kepemimpinan bukan sebagai tirani terhadap rakyat. Namun lebih jauh, demokrasi sangat tergantung pada paradigma yang dianut masyarakat. Sehingga kita bisa melihat berbagai konsep demokrasi saat ini. Mulai dari sosialisme hingga liberalisme sama sama mengklaim diri sebagai paling demokratis.

Tapi terlepas dari faktor ideologi tersebut, kepemimpinan adalah hal yang mutlak bagi setiap komunitas, tak terkecuali bagi masyarakat Bugis-makassar dimasa lalu. Pada tulisan sederhana ini dipaparkan tentang bagaimana kekuasaan raja ditujukan untuk kebaikan rakyatnya. Sehingga kekuasaan tidak menjadi tirani yang menindas rakyatnya.

Atraksi Bissu dalam sebuah acara adat
Di sebutkan pada berbagai kronik, secara umum terjadi kondisi chaos yang disebut dengan istilah sianre baleni tauwe (=orang saling memangsa laksana ikan). Terjadi pertentangan antara komunitas-komunitas adat selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan semua komponen masyarakat kala itu ditambah dengan pertarungan untuk merebut sumber produksi menjadi penyebab. Kondisi itu terus berlangsung hingga kedatangan tokoh fenomenal yang disebut To Manurung.

To Manurung inilah yang kemudian diangkat menjadi pemimpin (tepatnya raja) dari beberapa komunitas adat sehingga terbentuk kerajaan. To Manurung tersebar dihampir seluruh Sulawesi Selatan. To Manurung inilah yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan atau konstitusi kerajaan yang secara umum dikenal sebagai Ade’, Rapang, Wari, Bicara. Ade’ berarti hukum dasar, Rapang berarti yurisprudensi, Wari berarti aturan keprotokuleran, dan Bicara berarti permufakatan. Hingga terintegrasinya syariat Islam pada abad ke-17, konstitusi itu ditambahkan dengan sara’ yaitu syariat.

Ketika To Manurung diangkat sebagai raja, terjadi kontrak sosial yang mengatur hubungan antara raja sebagai penguasa dan rakyat yang diwakili oleh para matowa. Inti dari kontrak sosialnya adalah kewenangan yang diberikan pada penguasa dan kewajiban penguasa melindungi rakyatnya. Seorang raja mesti berjanji agar menjaga rakyatnya dari ketakutan dan kemiskinan. Artinya, seseorang diangkat menjadi raja karena  upayanya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Pada periode berikutnya, ketika To Manurung telah berketurunan, ia dikabarkan menghilang. Kepemimpinan berikutnya diwariskan secara genetik. Meski demikian, seorang raja tetap dipilih secara terbatas oleh dewan adat yang masa lalu adalah matowa-matowa. Dalam pemilihan itu, tetap dipertimbangkan kualitas individual, seperti Lempu (kejujuran), Acca (kepandaian), Warani (keberanian) dan Getteng (konstensi).

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang raja tetap diawasi oleh dewan adatnya. Seperti Bate Salapang di Gowa, Ade’ Seppulo Dua di Luwu, Ade' Pitue di Bone, Ade' Aruwa di Sidenreng, Arung Patappuloe di Wajo, Pappangeppa di Soppeng. Apabila seorang raja dianggap berhasil, maka ia akan dipertahankan dalam menjabat posisi tersebut. Apabila seorang raja dianggap melanggar hak-hak rakyat, maka melalui mekanisme persidangan dewan adat, raja itu akan ditegur secara halus. Jika tetap dilanggar, teguran itu diperkeras. Bahkan jika memang raja tersebut sangat lalim, tak jarang diupayakan proses eksekusinya. Ada beberapa raja dibeberapa kerajaan di sulawesi selatan yang rajanyat terbunuh oleh rakyatnya sendiri akibat tidak mengindahkan dan melanggar adatnya. Banyak pula raja yang dipecat dari jabatannya, atau mengundurkan diri karena tidak mampu mengemban amanah. Ini merupakan pengejawantahan prinsip Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge' mainge' pi nafaja.

Apabila seorang raja lalim sangat kuat posisinya dan tidak bisa ditegur atau dijatuhkan, telah menjadi tradisi bagi orang bugis makassar untuk mallekke dapureng yang secara harfiah berarti berpindah penghidupan ditempat lain. Dalam hal ini merantau. Sebab bagi orang bugis makassar, lebih baik menderita dinegeri orang, lebih baik keluar merantau daripada hidup menjadi budak dinegeri sendiri. Jiwa kemerdekaan begitu melekat dalam sanubari orang Bugis makassar.


Perjuangan Rakyat Massenrempulu Melawan Pasifikasi Belanda

Setelah Makassar dan daerah-daerah tetangga, yakni Ajatappareng, TellumpoccoE dan Luwu diserang pasukan Belanda, Massenrempulu mendapat giliran berikutnya. Namun kondisi alam yang berbukit dan pegunungan serta banyak hutan, tentu akan menyulitkan siapapun yang mencoba menyerang Massenrempulu. Kondisi tersebut menyebabkan Massenrempulu adalah pertahanan ideal dan terakhir bagi kerajaan tetangga yang bersahabat dengan Massenrempulu.
Massenrempulu adalah konfederasi kerajaan-kerajaan di daerah Enrekang sekarang. Terdiri dari Enrekang, Kassa, Batulappa, Duri dan Maiwa. Kabar buruk yang menimpa kerajaan dan konfederasi sahabat Massenrempulu menyadarkan bahwa Massenrempulu untuk segera memperkuat pertahanannya. Londe-londe, Kaluppini, Rangnga, Bambangpuang dan Kotu adalah benteng pertahanan Massenrempulu untuk menyambut Pasifikasi Belanda.

Buttu Kabobong - Enrekang

Enrekang, adalah ibukota Massenrempulu, menjadi target pertama serangan pasukan Belanda. Namun untuk dapat merebut Enrekang, pasukan Belanda harus menaklukkan benteng Londe-Londe, Rangnga dan Kaluppini. Setelah melalui pertempuran sengit selama berhari-hari dan memakan banyak korban, akhirnya ketiga benteng itu jatuh. Mayor de Wijs datang sendiri ke Enrekang, pada tanggal 1 Maret 1906. Melalui La Patiroi Arung Soreang, suami We Pancaitana Arung Enrekang, Mayor de Wijs membujuk agar ratu Enrekang menandatangani Korte Veklaring, sebagai bentuk pengakuan kekuasaan Belanda. Demi menghindari korban lebih banyak, dengan berat hati ratu We Pancaitana Arung Enrekang menandatangani Korte Veklaring.

Namun perang belum usai. Rakyat Enrekang bersama rakyat Massenrempulu masih mengangkat senjata. La Rangnga, seorang Maddika menggalang kekuatan bersama Duri dan Maiwa, anggota konfederasi Massenrempulu lainnya.

Melalui sebuah serangan dadakan saat malam 24 Maret 1906, La Rangnga dan laskarnya berhasil menewaskan banyak pasukan Belanda di tangsinya di Enrekang. La Rangnga pun berhasil merebut banyak senjata untuk memperkuat perlawanannya. Kemenangan yang disambut suka cita oleh rakyat Massenrempulu dan berhasil memperkuat semangat perlawanan. Perjuangan rakyat Massenrempulu menjalar ke Maiwa, Kotu, Mandatte, Duri, dan Buntu Batu.

Menanggapi perlawanan rakyat Massenrempulu yang semakin menghebat, Komandan tertinggi pasukan Belanda Kolonel Michielse di Makassar tiba ke Enrekang membawa pasukan besar di tanggal 24 Maret 1906. Empat hari kemudian, Mayor de Wijs langsung memimpin sebuah pasukan menyerang benteng Kotu. Menggunakan meriam, de Wijs menembaki benteng Kotu dan dilanjutkan pertempuran sengit dalam benteng. Banyak korban berjatuhan, hingga benteng Kotu jatuh setelah dipertahankan mati-matian.

Benteng Mandatte, dipertahankan oleh pejuang perempuan Massenrempulu yaitu Indo Cabba dan Indo Rangnga. Benteng ini baru dapat direbut pasukan Belanda setelah jatuh korban yang banyak dikedua belah pihak, akibat perlawanan mati-matian rakyat Massenrempulu.
Benteng Ranga dan Benteng Kaluppini pun jatuh ditangan pasukan Belanda. Hingga akhirnya, pemimpin laskar rakyat Massenrempulu, yaitu Maddika La Rangnga memindahkan pusat pertahanannya ke Benteng Bambapuang. Mempertimbangkan banyaknya korban, Belanda mencoba mengajak La Rangnga berdamai. Namun ditolak dengan tegas. Pasukan Belanda mau tidak mau, harus merebut Benteng Bambapuang jika ingin menguasai Massenrempulu secara menyeluruh.

April 1906, pasukan Belanda menyerang Benteng Bambapuang. Namun pasukan Belanda butuh waktu 3 bulan untuk mengepung benteng tersebut untuk bisa direbut. Itupun setelah kembali mendatangkan pasukan tambahan serta tembakan meriam dalam jangka waktu lama.

Di pihak laskar, banyak korban berjatuhan termasuk salah seorang komandan pasukan yaitu Puang Sappu setelah menewaskan seorang Letnan Belanda. Akhirnya Benteng Bambapuang jatuh, La Rangnga semakin melemah dan memaksanya untuk meneruskan perang secara gerilya. La Rangnga akhirnya ditangkap tahun 1915, setelah sembilan tahun bergerilya dan tak tersentuh pasukan Belanda. Beliau wafat tahun 1928 di usia 98 tahun. Berakhirnya perlawanan La Rangnga, bukannya mengakhiri perjuangan rakyat Massenrempulu melawan pasukan penjajah Belanda. Namun menyemai perjuangan berikutnya ditahun 1946-1949 melawan pasukan NICA - Westerling.

(arm - disarikan dari buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan)

Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Pasifikasi Belanda

Tanah Mandar dizaman dulu, merupakan konfederasi yang terdiri dari 14 kerajaan. 7 kerajaan dipesisir disebut Pitu Babanna Binanga dan 7 kerajaan dipegunungan yang disebut Pitu Ulunna Salu. Balanipa merupakan kepala persekutuan Pitu Babanna Binanga. Oleh karena itu, Belanda merasa penting untuk memaksakan kehendaknya pada Maraddia Balanipa.


Usaha itu dimulai di tahun 1890, namun ditampik oleh Baso Baroa Tokape Daenna I Tammanganro Maraddia Balanipa. Sehingga berujung pada persengketaan dan akhirnya Maraddia Balanipa dibuang ke Jawa.

Dua bersaudara, Calo Ammana I Wewang Raja Alu sekaligus panglima perang Balanipa dan Kaco Puang Ammana Pattolawali memimpin perlawanan rakyat Mandar ditahun 1905. Tanggal 7 Juni 1905, kedudukan Belanda di Majenne diserang Calo Ammana I Wewang. Serangan yang berhasil menewaskan banyak orang Belanda dan merampas senjata. Kontrolir Belanda segera melarikan diri ke Pare-Pare, sementara klerk Belanda tertangkap dan dibunuh.


Tidak terima atas serangan tersebut, Belanda menyusun rencana serangan balasan pada posisi Calo Ammana I Wewang di Alu. Namun rencana tersebut terbaca, pecah pertempuran tanggal 13 Juni 1905 dan pasukan Belanda dipukul mundur. Untuk kedua kalinya, Belanda dikalahkan.

Untuk ketiga kalinya, Asisten Residen Vermeulen meminta tambahan pasukan Belanda dari Makassar untuk kembali menyerang Calo Ammana I Wewang. Namun tetap saja pasukan Belanda selalu dikalahkan hingga pertengahan tahun berikutnya, 1906.

Selanjutnya, serangan besar-besaran dilancarkan pasukan Belanda terhadap benteng Adolang, Tundung dan Kayu Mangibang. Kali ini, tepat 6 Juli 1906 Kaco Puang Ammana Patolawali gugur sebagai kusuma bangsa.

Pukulan berat pasukan Belanda terhadap Calo Ammana I Wewang menyebabkan pasukannya berkurang dan direbutnya posisi strategis. Terpaksa berperang gerilya untuk melawan pasukan Belanda, hingga akhirnya ditahun 1907, beberapa pengikutnya menyerahkan Calo Ammana I Wewang kepada Belanda di Tinambung. Beliau kemudian dibuang ke Belitung dan baru kembali ke Mandar di tahun 1943.


Demmatande kepala kampung Paladan memimpin perlawanan rakyat Mandar di Pitu Ulunna Salu. Perlawanan ini dipicu atas pajak dan kerja rodi yang merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah Belanda. Perlawanan ini berlangsung antara 1914-1916.

11 Agustus 1914, pasukan Belanda dipimpin Vraagan melancarkan serangan ke Benteng Salubanga, posisi Demmantande. Namun serangan ini gagal, rakyat Mandar memenangkan pertempuran. Leys Coortes memimpin serangan kedua tanggal 9 Oktober 1914 setelah mendapat tambahan perbekalan dan pasukan dari Majene dan Makassar. Sekali lagi, pasukan Belanda dikalahkan. Rakyat Mandar kembali memenangkan pertempuran. Tidak ingin gagal ketiga kalinya, 20 Oktober 1914 kembali melancarkan serangan pada Benteng Salubanga setelah mendapat tambahan pasukan, persenjataan dan amunisi dari Pare-Pare, Makassar, Mamuju dan Enrekang. Tembakan meriam akhirnya menjebol Benteng Salubanga, Demmatande akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa.

Namun itu bukan akhir perjuangan rakyat Mandar. Daeng Palenna salah satu komandan Demmatande melanjutkan perang gerilya hingga akhirnya tertangkap ditahun 1916.



(arm. Sumber : Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan)

Sistem Pemerintahan di Kerajaan Wajo

SISTEM PEMERINTAHAN DI KERAJAAN WAJO

Terbentuk berdasar kontrak sosial Perjanjian Majauleng “Assijancingeng ri Majauleng” dibawah bayang-bayang pohon Bajo. Wajo merupakan kelanjutan dari kerajaan Cinnotabi. Wajo berdiri didaerah migran Cinnotabi yaitu Boli yang disebut Lipu Tellu Kajurue atau Tellu Turungeng Lakka

baca : 

Mengangkat La Tenribali sebagai Batara Wajo I, ketiga sepupunya sebagai Paddanreng yaitu La Tenritau Paddanreng Bettempola I mengepalai Limpo/Distrik Majauleng, La Tenripekka Paddanreng Talotenreng I mengepalai Limpo/Distrik Sabbamparu dan La Matareng sebagai Paddanreng Tuwa I mengepalai Limpo/Distrik Takkalalla. Sistem bersifat monarki absolut, kekuasaan tertinggi ditangan Batara Wajo
Masing-masing distrik membawahi empat sub distrik (ana limpo). Tiap ana limpo diangkat Pabbate Caddi (komandan pasukan)



Setelah La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III, terjadi kekosongan kekuasaan (Vacuum of Power) dan terjadi kontrak sosial yang disebut “AllamumpatuE ri Lapaddeppa”. Dilakukan dibawah pohon asam Lapadeppa berisi pengakuan hak-hak dasar rakyat Wajo.
Diangkat La Tiringeng to Taba Arung Simentempola sebagai “Inanna To WajoE”. Bertugas untuk bersama raja wajo berikutnya yang bergelar Arung Matowa untuk memimpin demi kebaikan rakyat Wajo.  Kepemimpinan Arung Matowa bersifat monarki konstitusional.
Dibentuk struktur Arung PatappuloE terdiri dari : satu orang Arung Matowa, tiga orang Paddanreng (Bettempola, Talotenreng dan Tuwa), tiga orang Pabbate Lompo (Pilla, Patola dan Cakkuridi sebagai panglima perang tiap distrik/limpo), sepuluh orang Arung Mabbicara tiap limpo (empat orang dari tiap limpo Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo ditambah enam orang Arung Mabbicara yang tidak menguasai wilayah). Tiga orang Suro tiap limpo sebagai utusan hadat Wajo pada daerah bawahan.
Tiap limpo diangkat Ponggawa yang bertugas mengantarkan Arung Lili (kerajaan bawahan) pada kerajaan induk yaitu Wajo. Selain itu juga bertugas untuk mengorganisir pasukan dari daerah bawahan apabila Wajo berperang. Ponggawa tidak masuk struktur Arung PatappuloE
Arung Matowa, Paddanreng dan Pabbate Lompo disebut Petta i Wajo. Paddanreng dan Pabbate Lompo disebut Arung Ennengnge. Arung Bettempola adalah jabatan berbeda dengan Paddanreng Bettempola. Nanti di era To Maddualeng Arung Bettempola, merangkap jabatan Paddanreng Bettempola dari To Angkone. Demikian hingga meleburnya Kerajaan Wajo pada NKRI


Pada masa La Tadampare Puangrimaggalatung Arung Matowa Wajo 4 (1491-1521), wilayah Wajo sangat luas. Banyak daerah palili (bawahan) Wajo. Ada beberapa daerah yang dikoordinir langsung oleh pemerintah pusat Wajo, ada yang sebagai “adik” Wajo, dan ada pula yang dikoordinir langsung oleh Limpo (distrik)

Pada masa La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Matowa Wajo 12, Wajo menerima Islam sebagai agama resmi (1607-1610). La Tenrilai Tosengngeng Arung Matowa Wajo 23 (1670), Wajo menolak perjanjian Bongayya dan berperang habis-habisan melawan VOC.  La Salewangeng Totenriruwa AMW 30 (1715-1736) membentuk koperasi dan meningkatkan kesejahteraan orang Wajo. La Maddukkelleng AMW 31 (1736-1756) memerdekakan Wajo. La Koro Arung Matowa 41 (1885-1891) membentuk struktur baru dalam kemiliteran yaitu Jenerala (tancung, tempe, impa-impa dan gilireng), koronele, manyoro dan kapitengnge. Ishak Manggabarani AMW 43 (1900-1916) menandatangani korte veklaring yaitu pengakuan kedaulatan belanda akibat kekalahan pasukan gabungan lokal melawan belanda.

Andi Oddangpero AMW 44, pemerintahan Wajo mengadopsi sistem modern. Wajo dibagi 4 distrik yaitu Majauleng (Majauleng, Gilireng, Tanasitolo, Tempe, Belawa, Maniangpajo) dikepalai Andi Makkaraka Ranreng Bettempola. Sabbamparu (Sabbamparu, Pammana) dikepalai Andi Makkulawu Ranreng Talotenreng. Takkalalla (Takkalalla, Bola, Penrang, Sajoanging) dikepalai Andi Ninnong Ranreng Tuwa. Distrik keempat adalah Pitumpanua (Pitumpanua dan Keera). Paddanreng dan Pabbate Lompo selain kepala distrik (camat) juga sebagai kepala dinas misalnya Andi Makkaraka kepala dinas pembangunan umum.
Setelah Konfrensi Meja Bundar, dibubarkan Negara Indonesia Timur (NIT). Wajo berbentuk Swapraja  (1950-1957) yang dikepalai Andi Pallawarukka sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN). Kemudian diganti Andi Magga Amirullah kemudian kembali ke Andi Pallawarukka. Berdasar SK dari Pemerintah Pusat, Wajo dari Swapraja terpisah dengan Bone dan menjadi Kabupaten. Sebagai bupati pertama yaitu Andi Tanjong.
Pada masa itu, Wajo yang terbagi empat distrik/kecamatan (Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla dan Pitumpanua), berubah menjadi sepuluh distrik/kecamatan (Tempe, Tanasitolo, Maniangpajo, Belawa, Majauleng, Sajoanging, Pitumpanua, Takkalalla, Sabbamparu dan Pammana)

Stempel Kepala Pemerintahan Negeri
Tahun 2000, Wajo dimekarkan menjadi empat belas kecamatan seperti saat ini dengan tambahan Penrang (pecahan Sajoanging), Keera (pecahan Pitumpanua), Gilireng (pecahan Maniangpajo) dan Bola (pecahan Takkalalla) 
(ARM)