Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Demokrasi Vs Nepotisme : Memetik Makna dari Sejarah

Gerakan Reformasi 1998 mengangkat isu menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Nepotisme yang dilakukan rezim Orba saat itu dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan dengan demokrasi. Demokrasi "secara teoritis" memberi ruang yang sama bagi tiap warga negara untuk berkompetisi diranah politik. Hal ini berlawanan dengan Nepotisme yang memberi jalan pintas bagi anak anak tertentu untuk masuk dalam ranah politik.

============================== 494 tahun lalu ============================

Arung Matowa* Wajo La Tadampare Puang ri Maggalatung** sudah mulai uzur. Ia berwasiat agar kelak digantikan oleh "anaknya". Sementara, 47 tahun sebelumnya, orang Wajo sudah bersepakat. Jabatan Arung Matowa tidak boleh diwariskan tetapi dipilih melalui hadat Wajo. Tiga bulan lamanya hadat Wajo bersidang, namun tidak ada kata sepakat. 

Hadat Wajo terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu tetap bertahan bahwa Wajo tidak boleh meninggalkan konstitusinya. Yaitu, jabatan Arung Matowa tidak dapat diwariskan. Kubu yang lain berpendapat bahwa La Tadampare adalah raja Wajo yang sangat berjasa. Sehingga tidak mengapa bila wasiatnya dikabulkan sebagai bentuk terimakasih orang Wajo pada La Tadampare.

Saat sidang yang menjemukan itu, seorang anak kecil yang berusia sekitar 8 tahun yaitu La Paturusi To Maddualeng tertawa mendengar riuh sidang di Baruga***. Dari bawah, sambil memainkan kemiri****, ia memandang remeh persoalan rumit yang membingungkan orang Wajo. Salah seorang Hadat Wajo mencoba untuk mendengar pendapat La Paturusi, namun ayah La Paturusi seorang anggota Hadat yang lain mengabaikannya sebab dianggap masih anak anak.

Sidang yang tak kunjung usai itu terus berlangsung sehingga Hadat Wajo mendesak ayah La Paturusi yaitu La Tiringeng agar mendengar masukan La Paturusi. Akhirnya diiyakan. Maka diusunglah La Paturusi menuju rumah Arung Matowa. Dari balik jendela, La Tadampare bersedih melihat hal tersebut. Dalam hatinya, mengapa orang Wajo mesti mengutus seorang anak kecil untuk menjawab permintaan wasiatku.

Setelah naik kerumah La Tadampare, maka La Paturusi dipersilahkan duduk. Ia pun mulai berbicara. Dengan lantang La Paturusi mengatakan bahwa, siapapun orang tuanya bila seseorang menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo, maka itulah anakmu. Namun, walaupun itu anak kandungmu, bahkan keluar dari biji matamu, namun tidak menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo maka dia bukan anakmu. 

Mendengar jawaban La Paturusi, maka La Tadampare Puangrimaggalatung pun puas. Ia bisa turun tahta dengan tenang.

========================== kembali ke tahun 2014 ===========================

Demokrasi, seperti yang dikatakan sebelumnya, sebenarnya sangat baik. Sebab memberi ruang setara kepada warga negara untuk berkompetisi secara politik tanpa mempersoalkan asal usulnya. Tetapi sayangnya, justru menutup ruang bagi orang yang "kebetulan" terlahir dari orang tua yang bergaris nasib sebagai pejabat.

Karena alasan menolak "nepotisme" maka seorang keluarga dekat Bupati/Walikota/Gubernur tidak boleh berkontestasi dipanggung politik. Demokrasi justru menjadi tidak demokratis. Orang orang menolak nepotisme dengan alasan bahwa "Tidak seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua yang melahirkannya". Sehingga ruang kontestasi harus dibuka secara adil. Tetapi disaat yang sama,  "Tidak ada seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua pejabat". Sayangnya, ruang kontestasi justru ditutup secara tidak adil. Standar ganda pastinya.

Jika alasan keluarga pejabat dilarang untuk masuk ruang kontestasi karena dikhawatirkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Maka solusinya adalah membangun sistem yang kuat agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Bukannya menutup ruang kontestasi keluarga pejabat. Substansi persoalan sebenarnya adalah komitmen untuk membangun. Siapapun itu, apakah anak pejabat atau anak orang biasa, selama punya komitmen dan tentunya kemampuan, maka ruang kontestasi bagi mereka haruslah dibuka sama lebarnya. Ini demokrasi bukan ?

Saya ingin katakan bahwa, apa yang Bangsa Indonesia persoalkan hari ini adalah hal yang sudah dituntaskan oleh kerajaan Wajo 494 tahun lalu. Tetapi memang kita malas belajar dari sejarah. Atau mungkin sejarah tidak perlu dipelajari lagi, entah lah. Saya cuma tertawa sebagaimana La Paturusi tertawa melihat Hadat Wajo 494 tahun lalu.

* Arung Matowa adalah gelar raja utama di kerajaan Wajo. Sebelumnya gelar raja adalah Batara Wajo. Sebuah jabatan yang bersifat Monarki Absolut. Sedang Arung Matowa bersifat Monarki Konstitusional. Perubahan gelar ini mengikuti perubahan sistem konstitusi melalui Perjanjian Lapadeppa yang berisi pengakuan hak hak rakyat Wajo,
** La Tadampare Puangrimaggalatung, Arung Matowa Wajo IV. Berkuasa sekitar tahun 1491-1521. Ia adalah raja Wajo yang paling sukses sepanjang sejarah Wajo
*** Baruga adalah bangunan kayu bertiang khas Sulawesi Selatan, tempat diadakannya rapat atau musyawarah.
**** Permainan tradisional dimasa lalu sebelum kelereng dimainkan

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian II)

(Bagian II)
Menuju Wajo

James Brooke menggambarkan kondisi geografis dan struktur pemerintahan di Wajo, berikut sistem pemerintahan serta konstitusinya. Ia menulis tentang posisi dalam struktur beserta wewenang masing masing. Demikian pula tentang masyarakat umum. James Brooke menulis profesi masyarakat yang bertani, menangkap ikan, serta menenun sarung. Tak lupa, strata sosial pun dicatatnya. Ia menulis tentang derajat tertinggi kebangsawanan (aru sangun= arung sengngeng) dan (rajin matassah = rajeng matase). Aru Sangun inilah yang menjadi raja (rajah). Derajat kedua adalah Rajeng. Disusul anak cerak (ana cherah). Adapun sekaitan budak, James Brooke menulis bahwa di negeri-negeri Bugis, budak umumnya adalah orang yang tak mampu membayar utang. Orang merdeka dapat menjadi budak bila tak mampu membayar utangnya, demikian pula keluarganya.

Tentang kehidupan keluarga, James Brooke menulis bahwa praktek poligami adalah hal umum. Bahkan tak jarang seorang lelaki beristri 2 yang berada pada rumah yang sama. James Brooke juga menyinggung tentang agama yang dianut. Tidak menggunakan istilah "Islam" tapi mahometan. Jabatan politik (kecuali arung matowa) terbuka untuk perempuan. Di tahun 1840, empat dari enam orang anggota Arung Ennengnge adalah perempuan. (saat itu hanya Arung Betteng dan Petta Cakkuridi yang laki laki, sementara Ranreng Talotenreng, Ranreng Tua, Petta Pilla dan Petta Patola dijabat oleh perempuan)



Tanggal 31 Januari 1840, James Brooke berkunjung ke rumah Arung Penrang. Orang-orang duduk bersila dengan kaki yang disilangkan. Ia dijamu dengan berbagai makanan. Nasi, daging kerbau, berbagai makanan berbumbu, telur, ikan dan sebagainya. Keesokannya (1 Februari 1840) ia diundang oleh young rajah pajumparuah (raja muda PajumperoE, kelak menjadi Arung Matoa). Mereka berdiskusi tentang suksesi Sidenreng sejak 1832, namun James Brooke menekankan bahwa ia tidak terikat dengan satu pemerintah apapun. Tanggal 2 Februari 1840, ia bertemu Datu Lompulle (Lapatongai) beserta rombongan. Ikut juga para Ponggawa. Ponggawa tidak masuk dalam struktur Arung PatappuloE namun memiliki hak veto dalam menentukan keikutsertaan dalam perang.

cek :

James Brooke menggambarkan penampilan orang Bugis kala itu. Para lelaki mengenakan pakaian yang indah mirip orang melayu. Celana dibawah lutut diatas mata kaki. Dengan balutan sarung dan hiasan keris. Tidak lupa cincin yang banyak menghiasi jari jari mereka. Sementara para perempuan mengenakan sarung hingga mata kaki. Kain muslin (baju bodo) yang hiasannya lebih sedikit. Rambut yang panjang

Orang Bugis digambarkan James Brooke sebagai orang yang berpikir simpel, cerdas, bahkan kadang licik namun tidak akut. Ia juga percaya bahwa orang Bugis itu pembual dan pengganggu terhebat dinusantara. Di saat yang sama juga ia percaya bahwa orang Bugis adalah yang paling berani dan ras paling energik. Menurutnya orang Bugis tak dapat dibandingkan dengan orang Eropa apapun. Ia menambahkan, khusus orang Inggris akan menyenangi karakter orang Wajo yang terbuka.

Keesokannya (3 Februari 1840) saat hujan deras turun. Ia melihat lelaki yang berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian lelaki dan mengikuti karakter pakaian tersebut. Pada dasarnya ia sedang melihat gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai). Di hari itu pula ia bertemu lagi dengan La Patongai Datu Lompulle (Lappa Tongi) yang bercerita tentang klaimnya tentang tahta Sidenreng.


Pasar Tosora dikunjungi James Brooke pada tanggal 4 Februari 1840. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Tempe. Arung Tempe saat itu adalah Permaisuri dari Datu Lompulle. Di pesisir sungai ia temukan banyak pohon asam (tamarind) dan pohon coklat (cocoa nut). Ia singgah di Tampurnung (Tampangeng) lalu Amsangan (Amessangeng) dan Singkong (Siengkang) lalu akhirnya mencapai Tempe. Ia menyebut air berhulu dari Lumpu Batang (Lompobattang) dan Latimojong. Tempe berpenduduk padat. Puncak Latimojong berdiri kokoh berpadu dengan keindahan danau. Esoknya ia dikunjungi Arun Ujongs (Talibe Ali Arung Ujung)

Acara pemakaman digambarkan mirip dengan Melayu. Para Imam/Bissu memanjatkan doa doa. Nisan disebut umumnya dari batu kasar. Sedang nisan para nakodah yang kaya terbuat dari kayu yang diukir elegan.

Beberapa hari kemudian, James Brooke ke Wage yang berada dibawah pemerintahan Ranreng Talotenreng. Ia mencatat sebanyak 250 rumah disana. Selain itu juga tercatat sebanyak 600 rumah di Sengkang, 500 rumah di Tempe, 75 rumah di EmpagaE, 100 rumah di Impa Impa, Pajalele 250 rumah, UjungE 120 rumah, Tancung 300 rumah, Bontouse 40 rumah, Nepo 40 rumah, Lowa 450 rumah. Untuk sekitar pesisir Danau Tappareng Karaja, James Brooke memperkirakan sekitar  2,055 rumah dan 30.825 jiwa.


Rumah Daeng Matara (yang ia temui di Singapura) di Bontouse dijadikan tempat tinggal sementara oleh James Brooke dan rombongannya. Lalu di Pajalele. Setelah sekian lama, James Brooke mengunjungi Wettareng dan Teteaji di Sidenreng lalu bertemu Lapanguriseng (Lappa Gnurisang). Setelah itu kembali ke Pajalele. Ia mencatat berbagai unggas sebagai hewan endemik di danau Tempe.

(bersambung)

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (Bagian I)

(Bagian I)
Pertemuan dengan Petta PonggawaE dan Datu Lompulle

James Brooke adalah petualang Inggris. Meninggalkan Inggris di November 1838 beserta 19 kru lainnya. Berlayar menuju Rio de Janiero Brasil dan melanjutkan ke India dan Singapura. Di Singapura, berangkat ke Kalimantan khususnya Sarawak kemudian kembali lagi ke Singapura.

Tahun baru, 1 Januari 1840 James Brooke kemudian berlayar ke Sulawesi. Dalam catatannya, (sebagaimana para pelaut) ia menyebut puncak bantaeng (bonthain hill) atau lompobattang sebagai titik selatan Sulawesi. Ia kemudian disambut oleh aparat Belanda. Daeng Matara (dain matarah), menjadi guide James Brooke sepanjang perjalanannya. Dari Bantaeng, James Brooke melanjutkan perjalanannya ke Bulukumba.

Dari Bulukumba, James Brooke berlayar menyisir teluk Bone hingga ke berlabuh di BajoE, dengan harapan agar bisa bertemu dengan Arumpone. James Brooke melalui penerjemahnya Mr. Poon mengirim surat dan diterima Tomarilaleng (Perdana Menteri). Keduanya berkorespondensi. James Brooke ~sambil menunggu kesempatan audiens dengan Raja Bone~ mempelajari sistem pemerintahan Kerajaan Bone yang disebutnya kerajaan terkuat di Sulawesi.

Pelayaran James Brooke dilanjutkan ke Tanjung Palette. Ia bertemu dengan sekelompok orang Bajo. Didepan Sungai Cenrana, Daeng Matara dikirim untuk mengumpulkan informasi Wajo dan kembali.James Brooke bersiap untuk bertemu dengan Petta PonggawaE (rajah pengawa)

Sekitar 50-60an perahu berbagai ukuran mengiringi Petta PonggawaE. Pertemuan dengan James Brooke dimulai dengan saling memuji oleh keduanya. James Brooke menjelaskan posisinya sebagai petualang yang tak terikat dengan satu pemerintahan apapun. Dan terjadilah dialog yang mengesankan bagi James Brooke

PP (Petta PonggawaE) : Apa yang menyenangkan anda sehingga datang dari jauh ?
JB (James Brooke) : Sulit bagi anda memahami betapa banyak orang Inggris yang suka mengunjugi berbagai negeri. Mereka semua adalah petualang. Termasuk saya. Senang untuk mengunjungi luar negeri
PP : Apakah anda menerima bayaran ?
JB : Tidak
PP : Apakah anda berdagang
JB : Tidak
PP : Ketika anda di Inggris, apakah anda berdagang ?
JB : Tidak
PP : Bagaimana cara anda hidup ?
JB : Saya mengikuti keberuntungaku
PP : Maka anda harus punya relasi dengan ratu ?
JB : Saya tidak memiliki kehormatan tersebut
PP : Mana yang lebih kuat, Inggris atau Belanda ?
JB : Tentu "Inggris"
PP : Apakah mereka (Inggris dan Belanda) bersahabat ?
JB : Ya
PP : Apakah Rusia adalah negara yang sangat kuat ?
JB : Ya
PP : Apakah sekuat Inggris ?
JB : Rusia sangat kuat, tapi dalam pendapat saya, Inggris dan Prancis adalah yang terkuat
PP : Apa yang terjadi pada (Napoleon) Bonaparte setelah Inggris memenjarakannya
JB : Ia meninggal di St. Helena
PP : Bagaimana Inggris menyerahkan Jawa dan negeri negeri lain kembali pada Belanda setelah menguasainya ?
JB : Inggris mengambil negara negara tersebut dari Prancis (Prancis mengalahkan Belanda saat perang Bonaparte) dan setelah perang usai, Inggris menyerahkan kembali pada Belanda.
PP : Apakah Belanda membayar upeti kepada mereka ?
JB : Tidak

James Brooke menggambarkan Petta PonggawaE sebagai orang yang berusia sekitar 45 tahun, berkulit gelap dan bertubuh agak pendek, berwajah ekspresif, Petta PonggawaE ditemani oleh Daeng Palawa (dain palawa) yang lebih muda dan berwajah tampan. Ia menggambarkan iring-iringan yang berjumlah sekitar 600 orang itu dengan perahu yang bervariasi dan dilengkapi busur panah.

Setelah pertemuan itu, tiba utusan yang membawa surat dari La Patongai. La Patongai menjelaskan bahwa ia tidak dapat hadir secara langsung berhubung ibundanya (We Muddariyah Ranreng Talotenreng) sedang sakit parah. Tanggal 21 Januari 1840, James Brooke mengirim utusan untuk membalas surat tersebut. Balasan dari La Patongai (Lappa Tongi) bahwa ibundanya telah meninggal dunia. Ia meminta James Brooke agar menuju Peneki, Beberapa hari kemudian, setelah lepas jangkar di Manruluwatu, James Brooke menuju Batu Manu (Batu Mano = perbatasan) menuju Tanjong Setange dan menurunkan jangkarnya di Pantai Peneki.

Seminggu kemudian, terjadi pertemuan pertama La Patongai dengan James Brooke di Doping. Lapatongai diiringi pengikutnya dan dua raja lainnya. Ia menggambarkan La Patongai sebagai orang yang berusia 45 atau 48 tahun yang berwajah melankolis dan tenang. Mengenakan baju beludru dengan hiasan bunga emas. Baju jas tutup hingga tenggorokan. Tiap lengannya dihiasi emas yang melingkar. Bercelana dibawah lutut diatas mata kaki yang agak longgar dari bahan yang sama. Celana yang dihiasi sekitar 6-8 real emas. Mengenakan sarung dibordir emas biru melilit dipinggangnya yang terselip keris emas berhias permata. Tutup kepala dari emas berukir

(bersambung)

Todilaling, Maraqdia Pertama Balanipa

Telah menjadi tradisi di Balanipa Mandar dizaman dahulu kala. Apabila ada dua lelaki yang berselisih, maka diselesaikan dengan cara baku tikam keris. Apabila ada yang terlebih dahulu terluka, maka dilerai dan dianggap bersalah. Apabila ada yang terbunuh, maka yang hiduplah yang dianggap benar.


Apabila ada dua perempuan Mandar yang berselisih, maka dimasak air hingga mendidih. Lalu kedua perempuan yang berselisih itu disuruh masukkan tangannya dalam air mendidih tersebut. Barangsiapa yang terlebih dulu mengangkat tangannya dari air mendidih tersebut, itu yang dianggap bersalah. Begitupun sebaliknya.

Hal tersebut terus berlangsung hingga dizaman Todilaling, Maraqdia pertama Balanipa. Todilaling menyaksikan langsung hal tersebut bersama Tomakaka di Nepo. Setelah itu, beliau bersedih. Sebab memikirkan masa depan negerinya. Bila hal itu terus berlangsung, maka lelaki di Balanipa akan berkurang. Sementara para perempuan tidak bisa berbuat banyak sebab tangannya sakit.

Untuk mengatasi hal tersebut, Todilaling mengutus I Puang di Pojosang ke Gowa untuk meminta hukum adat. Sesampai di Gowa, I Puang di Pojosang naik ke istana bertemu Karaeng Gowa dan menyampaikan maksudnya. Karaeng ri Gowa pun menanyakan bagaimana hukum adat di Balanipa Mandar. I Puang di Pojosang menjawab secara seksama dan Karaeng pun mengerti.

Dengan persetujuan Gallarang, maka Karaeng ri Gowa pun menitahkan pada Gallarang agar menuliskan di lontara ikhwal hukum adat. I Puang menerima lontara tersebut, berterimakasih dan pamit. Oleh Karaeng ri Gowa, memberi bekal pada I Puang untuk perjalanan pulang bersama pelaut Makassar.

Pantai Mandar
Sesampai di Balanipa, Maraqdia bersama hadat Balanipa duduk bersama dan mendengarkan isi lontara hukum adat tersebut dan disepakati dijadikan sebagai pusaka. Pusaka yang diwariskan turun temurun. Adapun pelaut Makassar tersebut diminta untuk menginap di Balanipa, namun ditolak dengan halus sebab kapalnya sedang membawa barang yang harus diantarkan. Todilaling pun meminta pada pelaut Makassar yang mengantar I Puang tersebut agar bila selesai mengantar barang, hendaknya singgah di Balanipa sebelum pulang ke Makassar.
Todilaling kemudian meminta kepada hadatnya agar mengumpulkan hasil bumi untuk dikirim ke Makassar sebagai bentuk terimakasih pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Beberapa hari kemudian, tibalah pelaut Makassar di Balanipa yang telah mengantar barang. Ia menghadap menemui Todilaling. Oleh Todilaling, berpesan agar hasil bumi dari Balanipa tersebut dikirim pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Sekaligus menitip salam rindu untuk Karaeng ri Gowa yang memang telah lama Todilaling tak bersua dengannya.

 ~ disadur dari Transliterasi dan Terjemah O DIADAQ O DIBIASA (NASKAH LONTAR MANDAR)

Diaspora Bugis-Makassar di Singapura

Terletak di jalur pelayaran samudra Pasifik dan samudra India, antara Tiongkok, Nusantara, dan Asia Barat, menjadikan posisi Singapura menjadi sangat strategis bagi perdagangan dunia. Singapura menjadi terminal persinggahan bagi para pedagang dimasa lalu. Untuk membawa hasil bumi dari nusantara ke asia barat dan eropa. Produksi keramik, sutra dan sebagainya dari Tiongkok. Produksi kain dari India. Serta berbagai komuditas dunia hilir mudik melalui pelabuhan Singapura.

Dahulu kala, Singapura dikenal dengan nama Temasek. Pernah menjadi wilayah kekaisaran Sriwijaya, disusul kemudian Raja Cola dari India. Kerajaan Majapahit pun pernah mengklaim Temasek sebagai wilayahnya hingga kesultanan Johor. Hingga kemudian Inggris melalui EIC membangun bandar dagang di tahun 1819 di Singapura.

Hubungan dengan melayu diperkirakan sejak runtuhnya benteng Malaka oleh Portugis. Migran melayu tersebar dipesisir barat Sulawesi Selatan. Di Siang (pangkep) hingga Makassar. Besar kemungkinan, dari hubungan ini membuat kebijakan luar negeri kerajaan Makassar memberi prioritas sektor maritim. Kerajaan Makassar pun berjaya sebagai kerajaan maritim di nusantara.

Relasi kerajaan Makassar tidak semata mata politik, namun juga ekonomi. Ini yang kemudian menyebabkan pergesekan dengan VOC kelak, yang hendak memonopoli dagang. Posisi Makassar yang strategis menjadi tempat transit ideal untuk rempah dari Maluku yang dipasarkan ke barat. Demikian pula teripang di selatan (australia utara) ke Tiongkok melalui selat Makassar.

Imbas Perang Makassar 1667-1669 menyebabkan banyak migran Bugis Makassar tersebar diberbagai pelabuhan Nusantara. Misalnya pangeran Gowa dan rombongan yang ke Thailand. Komandan Wajo yang ke Samarinda, dan sebagainya. Seiring dengan waktu, gelombang migran pun mencapai Tumasek alias Singapura.

Meski demikian, diaspora bugis-makassar tidak didominasi oleh pihak kalah perang saja. Namun termasuk kerajaan utama yang lain di Sulawesi Selatan yaitu Bone dan Luwu. Di era 1720-an, nama 5 Opu begitu mendominasi di Selat Malaka. 5 Opu membantu kesultanan Johor dalam perang melawan Kesultanan Siak. Efek dari itu, orang Bugis menguasai Kepulauan Riau. Otomatis perdagangan laut yang bebas pun dikuasai. Hal ini menyebabkan VOC gusar sehingga ditahun 1784 memutuskan untuk menduduki Riau demi mengontrol perdagangan. Orang Bugis pun bermigrasi ke Singapura, sebuah pulau yang kurang penduduknya di saat itu untuk menghindari dominasi VOC.

Pergesekan di Eropa berimbas di Nusantara. Kekuasaan Belanda melalui VOC beralih pada Inggris melalui EIC. Hingga situasi berubah, Inggris menyerahkan nusantara kembali pada Belanda ditahun 1819 yang disesali Raffles. Sebelumnya, Sultan Johor menjual pulau Singapura pada Inggris. Sehingga meski nusantara dikuasai Belanda, tetapi pelabuhan penting Singapura tetap dikuasai oleh Inggris.

Patung Bugis, Tiongkok dan Inggris di Singapura


Berbagai komoditas, seperti hasil pertanian, hasil perkebunan, bahkan budak menjadikan perdagangan laut sangat intens. Arus ekspor impor di Sulawesi Selatan melalui pelabuhan Singapura menjadi tinggi. Terbukti dengan banyaknya kapal dagang yang merapat. Hal ini tentu didukung oleh dua hal. Pertama, Singapura sebagai wilayah yang dikuasai Inggris yang merupakan saingan Belanda. Kedua, kehadiran orang Bugis Makassar di Singapura yang menjadikan hubungan dagang dengan kerabatnya di Sulawesi terus eksis.



Dinamika ekonomi politik di nusantara, yang melibatkan bangsa Eropa, Tiongkok, India, Melayu, Arab-Persia dan tentunya Bugis Makassar, menyebabkan Singapura berkembang. Dari sebuah pulau kecil, menjadi pelabuhan penting bahkan hingga hari ini. Saat ini, orang orang Bugis di Singapura sebagian masih menjalin hubungan dengan kerabatnya di Malaysia dan Sulawesi Selatan

Struktur Parewa Sara di Wajo abad 17

Setelah Musu Selleng (bgs) atau Bundu Kasallanga (mks) usai, Arung Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji meminta pada Sultan Alauddin agar diberi Anreguru. Hal itu dilakukan agar orang Wajo dapat mempelajari Islam lebih dalam. Maka, Sultan Alauddin pun mengirim Datok Sulaiman (yang saat itu berada di Luwu) agar ke Wajo.


Sesampainya di Wajo, terjadi dialog antara Arung Matowa La Sangkuru dengan Datok Sulaiman tentang tauhid. Setelah itu, dilanjutkan dengan penjelasan umum kenabian dan hal hal umum. Seperti makanan yang diharamkan dan dosa dosa besar. Arung Matowa beserta hadat Wajo melakukan ritual mandi di telaga "Takkumelawe" sebagai bentuk sumpah janji untuk setia pada ajaran Islam.


Setelah Datok Sulaiman bermusyawarah bersama Arung Matowa dan Hadat Wajo, maka dibentuklah struktur Parewa Sara. Parewa Sara adalah pejabat yang bertugas mengurusi persoalan syariat. Dalam struktur itu terdiri satu orang Qadhi (Petta KaliE) yaitu Datuk Sulaiman sendiri. Mengingat Kerajaan Wajo terdiri dari 3 limpo (distrik) maka struktur pegawai sara pun mengikuti struktur pemerintahan. Qadhi membawahi 2 orang Khatib dan 2 orang Bilal. 1 Pangulu Limpo, 1 Amele, tiap limpo
Berikut ini perbandingan antara Struktur pemerintahan dengan Struktur Parewa Sara



Abdul Qahhar Mudzakkar, Dari Patriot Hingga Pemberontak

Salah seorang legenda dari tanah Luwu yaitu Abdul Qahhar Mudzakkar (sering disebut Kahar Muzakkar saja). Lelaki perkasa ini terlahir dengan nama La Domeng. Hijrah ke Jawa karena dipaoppangi tanah oleh kedatuan Luwu, menjadi awal perkembangannya menjadi tokoh yang legendaris.

cek juga : Luwu di Masa Lalu

Tergabung dalam kelaskaran, ia adalah putra Sulawesi Selatan pertama yang mencapai pangkat tertinggi yaitu Letnan Kolonel. Dimana pejuang asal Sulawesi Selatan lainnya hanya berpangkat Kapten atau Letnan saja. Ia menunjukkan kualitasnya saat mengawal Soekarno di lapangan Ikada. Berbekal parang, ia menembus barikade tentara Jepang yang bersenjata lengkap agar Bung Karno dapat berpidato. Demikian pula pasukannya, Grup Seberang, telah menunjukkan taringnya saat Serangan Umum 11 Maret yang legendaris itu.

Buku karya Dr. Anhar Gonggong ini, merupakan buku yang paling tuntas membahas tentang gerakan DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Dengan kapabilitas keilmuan, referensi data yang mumpuni, serta sikap obyektif dalam pemaparannya, membuat buku ini menjadi referensi ilmiah bagi yang tertarik mengkaji tentang hal hal yang berhubungan dengan DI/TII.

Bab I buku ini yaitu pendahuluan. Berisi alasan pemilihan subyek, permasalahan, pendekatan teori dan orientasi isi.

Penulis memperdalam tentang latar belakang Sulawesi Selatan di Bab II. Berbagai tinjauan sebagai pengantar agar pembaca dapat memahami konteks secara menyeluruh. Latar belakang meliputi kondisi geografi, sosial ekonomi, pendidikan dan agama.

Adapun tentang kondisi adat istiadat dan sosial budaya, dibahas di Bab III. Penulis membahas tentang pangadereng (adat istiadat), nilai Siri na Pesse dan sistem kekerabatan di masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini makin memudahkan pembaca untuk benar benar memahami konteks yang ada dibalik berbagai peristiwa.

Partisipasi masyarakat Sulawesi Selatan dalam perjuangan kemerdekaan dibahas pada Bab IV. Bab ini membahas tentang bagaimana awal mula kemerdekaan yang kemudian disusul kedatangan sekutu dan Belanda. Hingga kemudian, dibentuk berbagai laskar untuk mempertahankan kemerdekaan serta dinamika hubungan antar gerilyawan. Bab ini juga membahas awal mula kemunculan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Tokoh sentral DI/TII di Sulawesi Selatan, yaitu Kahar Muzakkar, tentu memiliki pandangan ideologis tersendiri. Pandangan ideologis tersebut dibahas pada Bab selanjutnya yaitu Bab V. Ada perbedaan pendapat antara para founding fathers RI yang notabene seperjuangan dengan Kahar Muzakkar. Dalam kutipan suratnya pada Soekarno, Kahar menulis :

Bung Karno jang saja muliakan!
Alangkah bahagia dan agungnja Bangsa kita dibawah pimpinan Bung Karno djika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai pemimpin besar Islam, Pemimpin besar bangsa Indonesia, tampi ke muka menjeru Masjarakat Dunia jang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala AdjaranNja jang ada didalam kitab sutji Al-Qur'an dan kitab sutji agama lainnja. (hlm : 141)

Masih di bab ini, penulis mengatakan : "Dalam pandangan Abdul Qahhar Mudzakkar Pancasila adalah sesuatu yang dipaksakan oleh Soekarno sebagai dasar negara". Dalam pada itu, terjadi pertentangan penafsiran tentang Pancasila sehingga menjadi argumen dalam pemberontakan DI/TII. Selain itu, bab ini juga berisi kritikan Qahhar Mudzakkar terhadap komunisme yang diberi ruang oleh RI, yang secara ideologis sangat bertentangan dengan DI/TII. Juga kritik terhadap Majapahitisme, yaitu paham penjajahan suku tertentu terhadap suku suku lain dinusantara yang menyaru dalam konsep keindonesiaan kala itu.

Langkah-langkah penyelesaian oleh pemerintah, dibahas pada Bab VI. Didalamnya dijelaskan tentang ajakan damai dari pihak pemerintah (perdana menteri Mohammad Natsir) dengan mengajukan beberapa syarat antara lain :
- Para Pedjuang nasional di Sulawesi Selatan diterima sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia
- Tidak akan diadakan tuntutan terhadap tindakan tindakan yang dilakukan sebelum masuk. (hlm : 152)
Setelah itu, anggota KGSS diangkat menjadi CTN (Corps Tjadangan Nasional) yang berbagi beberapa batalyon. Tanggal 24 Maret 1951, Abdul Qahhar Mudzakkar beserta batalyon batalyonnya dilantik oleh Letnan Kolonel Suwido yang mewakili menteri pertahanan.

April-Juli 1951, terjadi pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Kapten Lapanu Dg Manati dan Batjo Dg Sikki. Menyikapi hal ini, komandan CTN (Abdul Qahhar Mudzakkar) mengajukan agar diberi kepercayaan untuk melakukan operasi pembersihan (hlm 154). Namun usul ini ditolak oleh pimpinan APRIS sehingga terjadi ketegangan. Berbagai langkah diplomatis dilakukan untuk meredakan ketegangan hingga akhirnya opsi terakhir yaitu operasi militer pun diambil.

Operasi Tumpas dipimpin langsung oleh Panglima Komando Indonesia Timur yang mempunyai komando tempur dengan nama Komando Operasi Kilat yang dipimpin langsung oleh Pangdam XIV Hasanuddin, Kolonel Andi Muhammad Yusuf (hlm : 170). Operasi Kilat ini berlangsung hingga 5 April 1964 yang difokuskan untuk menyerang posisi Andi Selle yang kemudian meninggal karena sakit jantung. Sehingga fokus berikutnya selama April 1964 hingga 2 Februari 1965 difokuskan untuk menyerang posisi Abdul Qahhar Mudzakkar. Dalam keterangan resmi, Abdul Qahhar Mudzakkar dilaporkan meninggal ditembak oleh Kopral Sadeli.

Bab VII sebagai bab terakhir berisi  melemahnya Abdul Qahhar Mudzakkar serta kelemahan gagasan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) yang digagasnya. Mulai dari keluarnya Andi Selle dari CTN disusul Andi Sose kemudian Usman Balo. Ketiganya merupakan bekas komandan Abdul Qahhar Mudzakkar yang tentu melemahkan posisinya. Selanjutnya menyusul "tangan kanan" sang komandan, yaitu Letnan Kolonel RPI Bahar Mattaliu yang didahului beberapa perbedaan pendapat dengan sang komandan, Kolonel RPI Abdul Qahhar Mudzakkar. Bab ini ditutup dengan penjelasan terhadap akibat yang ditimbulkan gerakan DI/TII baik skala nasional maupun lokal. (arm)

Judul : Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak
Penerbit : PT Grasindo, Jakarta 1992
Penulis : Dr. Anhar Gonggong
Tebal : 252 halaman