Showing posts with label sosial budaya. Show all posts
Showing posts with label sosial budaya. Show all posts

Perempuan Perspektif Bugis

PEREMPUAN PERSPEKTIF BUGIS*
OLEH : A. RAHMAT MUNAWAR **
Pendahuluan
                Setiap komunitas, suku, budaya, sebagai sistem sosial memiliki pandangannya masing-masing tentang perempuan. Tak terkecuali orang Bugis, pun punya perspektif tersendiri dalam memandang perempuan.
                Untuk menggali perspektif tentang perempuan pada suatu budaya, dapat dilihat dari berbagai hal misalnya relasi kekerabatannya, konsepsi gendernya, dan tentu peran sosial sebagai wujud aplikasi dari konsepsi gendernya.

Posisi Perempuan dalam Mitos
                Bagi orang Bugis zaman dulu (dan sebagian sekarang), I Lagaligo bukan sekedar karya sastra, namun bahkan dianggap sebagai kitab suci. Zaman sekarang, I Lagaligo adalah karya sastra terbesar dunia, mengalahkan epos lain seperti Mahabaratayuda dan Illyad and oddesus.
                Epos Ilagaligo secara singkat, menggambarkan diisinya dunia tengah. Dimana dunia atas mengirimkan putra mahkotanya dan dunia bawah mengirimkan putrinya. Cucu mereka, Sawerigading digambarkan sebagai seorang pemuda yang kasmaran pada saudara kembarnya, yaitu We Tenriabeng. Namun karena itu adalah insest yang harus dihindari, maka We Tenriabeng menganjurkan kakaknya agar menikahi sepupu mereka yaitu We Cudai.
                Tidaklah mudah bagi Sawerigading untuk mendapatkan We Cudai Datu Cina, putri Datu Cina sebelumnya yaitu La Sattumpugi. Ia harus membuat perahu, berlayar, bertarung dengan para kompetitornya di laut. Hingga berperang melawan We Cudai sampai lamarannya diterima.
                Saudara kandung ayah Sawerigading (Tante), yaitu Sangiang Serri dikisahkan meninggal saat masih kecil. Dan dipusaranya tumbuhlah tanaman padi. Padi dianggap jelmaan Sangiang Serri. Di kisahkan bahwa, Sangiang Serri bersama tumbuhan lain, enggan singgah dan menetap dirumah atau kampung dimana suami istri sering bertengkar. Hingga saat ini masih ada sebagian orang Bugis yang di rakkeyang rumahnya ada persembahan pada Sangiang Serri dengan harapan panen mereka selalu berhasil.
                Dari dua contoh diatas kita dapat pahami bahwa, We Cudai sebagai seorang Ratu yang cantik namun tegas. Untuk mendapatkan cintanya, perlu perjuangan seorang Sawerigading dalam melintasi lautan dan bertarung melawan bajak laut.
                Sementara padi yang dianggap jelmaan sangiang seri menunjukkan simbol kehidupan. Untuk kehidupan yang berkesinambungan, membutuhkan kehadiran perempuan. Selain itu juga digambarkan pentingnya menghindari pernikahan sedarah (insest).

Posisi Perempuan dalam Pernikahan
                Dari semua ritual adat bagi orang Bugis, pernikahan adalah ritual yang paling rumit dan panjang. Hal ini tentu tidak lepas dari konsep pentingnya penjagaan kehormatan (siri) pada perempuan dan pembentukan generasi masa depan.
                Dalam bahasa Bugis, Pernikahan disebut dengan istilah Siala  yang berarti saling mengambil, atau saling memiliki. Secara teks menunjukkan  bahwa pernikahan bagi orang Bugis bukan semata-mata kepemilikan suami pada istrinya, tapi juga kepemilikan istri pada suaminya. Dan ini menunjukkan hubungan kesetaraan antara istri dan suaminya.
                Pada pernikahan, pihak keluarga laki-laki biasanya memulai dengan Mammanu’-manu’ yang secara harfiah berarti mencari informasi awal tentang peluang pihak laki-laki. Jika pihak keluarga perempuan memberi sinyal positif, maka dilanjutkan dengan pelamaran atau Madduta. Ini menunjukkan penghormatan pada perempuan, bahwa selayaknya laki-laki lah yang menyampaikan maksudnya.
                Setelah lamaran diterima, dilanjutkan dengan acara Mappasierekeng. Pada kesempatan itu, dibahas teknis resepsi pernikahan seperti warna dan jenis pakaian pengantin, besaran mahar dan biaya lain, waktu dan tempat resepsi, dan sebagainya.  Mahar dalam bahasa Bugis disebut Sompa, seperti kita ketahui Mahar hukumnya Wajib dalam pernikahan. Hampir semua agama dan budaya mewajibkan pemberian laki-laki pada perempuan pada pernikahan. Secara filosofis menunjukkan penghormatan laki-laki pada perempuan melalui usahanya. Adapun Uang Naik dan Belanja dui Menre & Balanca adalah bagian dari pada budaya.  Uang naik, ini mulai ada dizaman dahulu ketika lelaki yang berderajat rendah ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi derajat kebangsawanannya. Sehingga lelaki tersebut harus membayar denda dengan cara “membeli darah” atau Mangelli Dara. Pembelian “darah” tersebut itulah yang dikatakan dui menre. Dengan demikian, lelaki tersebut pantas duduk berdampingan dengan perempuan bangsawan di pelaminan. Ini adalah budaya yang kurang baik terutama di era kemerdekaan. Adapun uang Belanja atau Balanca adalah bantuan material pihak laki-laki pada keluarga perempuan dalam membiayai pesta pernikahannya.
Apabila kesepakatan antara kedua pihak keluarga tercapai, maka dilanjutkan dengan acara aqad nikah dan duduk pengantin. Pihak laki-laki datang kerumah mempelai perempuan.  Lalu membaca teks ijab-qabul didepan saksi, Imam dan wali nikah. Sementara pengantin perempuan masih didalam kamar. Ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki baru boleh menyentuh pasangannya setelah resmi.  Pada titik ini, sekali lagi perempuan dimuliakan dan dihormati. Tanpa bermaksud merendahkan budaya lain, pembacaan ijab qabul biasanya pengantin laki-laki dan perempuan berdampingan. Sementara dalam budaya Bugis, nanti setelah pembacaan ijab qabul baru laki-laki bisa menyentuh (mappasikarawa) dan duduk berdampingan dengan perempuan.
                Pada prosesi Mappasikarawa, keluarga yang dituakan dari pihak laki-laki membimbing pengantin laki-laki menuju kamar perempuan dan menyentuhkan tangan laki-laki pada perempuan sebagai sensasi awal yang akan mereka kenang. Lalu, dipersilahkan duduk berdampingan, dipasangkan sarung dan berlomba berdiri. Meski penulis kurang sepakat, namun kita bisa melihat bahwa dalam perlombaan berdiri yang diyakini siapa yang duluan akan dominan dalam keluarga tersebut, orang Bugis melihat bahwa suami atau istri yang dominan dalam keluarga bukanlah soal. Artinya, sah-sah saja seorang istri dominan dalam keluarganya, sama saja sahnya kalau suaminya dominan. Ini menunjukkan kesetaraan gender dalam rumah tangga.
                Setelah itu, sang mempelai perempuan dibimbing orang tuanya ke tempat resepsi dan diikuti oleh mempelai laki-laki. Perempuan berjalan lebih dulu dari pada laki-laki. Dan ini sudah terjadi sejak zaman dahulu kala sebelum kita mengenal istilah Ladies first. Sekali lagi ini menunjukkan penghormatan laki-laki pada perempuan.
                Resepsi pernikahan diadakan untuk mensosialisasikan bahwa pasangan tersebut telah sah. Dengan demikian, telah digugurkan prasangka apabila diketemukan berjalan berdua sehingga tidak menjadi fitnah. Setelah pesta usai, malam pertama selalu di rumah perempuan. Hal ini memberi kesan bahwa, ada upaya pencegahan kekerasan seksual dalam rumah tangga, meski sang istri telah sah.

Relasi Kekerabatan dan Konsepsi Gender
                Seperti yang dikatakan tadi bahwa pernikahan disebut dengan istilah Siala yang memposisikan hubungan kesetaraan antara suami dan istri. Dengan demikian melahirkan hubungan kekeluargaan yang bersifat bilateral. Berbeda dengan arab yang patrianeal atau minang yang matrineal.
                Di beberapa masyarakat Bugis, hari pertama pernikahan, seorang suami harus bangun pagi-pagi berangkat mencari Foleang Mpunge’ atau penghasilan awal. Biasanya suami pergi mencari kelapa dan gula merah (sebagai simbol kelezatan dan manis dengan harapan pernikahan mereka seperti itu), sebagai bentuk tanggung jawab suami.  Ada keluarga Bugis yang Cuma mengizinkan satu hari, ada tiga hari dan ada pula tujuh hari, dimana suami boleh menginap dirumah istrinya setelah pernikahan. Setelah itu, suami (secara tidak tertulis) diperintahkan untuk membawa istrinya kemana saja untuk mencari penghidupan. Boleh jadi ia merantau, dan istri pun harus siap dibawa kemana saja. Ini menunjukkan tanggung jawab seorang suami yang malu (Masiri) menggantungkan hidupnya kepada mertuanya. Sekaligus menunjukkan kesetiaan dan ketangguhan seorang istri yang siap menemani suaminya dalam menjalani kehidupan.
                Dalam pewarisan, orang Bugis mengenal prinsip Orowane Mallempa, Makkunrai Majjujung yang berarti Lelaki yang memikul dan perempuan menjunjung. Memikul berarti dua bagian dan Menjunjung berarti satu bagian. Ini sesuai dengan hukum Islam bahwa lelaki mendapatkan dua bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian.
                Di masa lalu, ketika membahas derajat kebangsawanan, ada istilah Ambo’e Mappabati Indo’e Mappanessa. Pewarisan status kebangsawanan di masa lalu ditentukan oleh pihak ayah. Namun derajat kebangsawan yang dua jalur (ayah dan ibu) lebih tinggi dibanding dari satu jalur (ayah saja) apalagi dari jalur ibunya saja. 
               
Peran Sosial Perempuan di Masa Lalu dan Sekarang
                Seperti dipaparkan sebelumnya tentang epos Ilagaligo, bahwa dunia tengah ini diisi oleh “perutusan dunia atas” dari pihak laki-laki dan “perutusan dunia bawah” dari pihak perempuan. Disebutkan bahwa We Cudai adalah Datu Cina. Hal tersebut menggambarkan pada kita tentang “kebolehan” perempuan menduduki posisi politik jauh sebelum isu emansipasi digembar-gemborkan.
                Setelah era I Lagaligo selesai, masuk di era Tomanurung dan kemudian kerajaan modern. Dari era kerajaan modern ini kemudian yang masuk di era kolonial (1906-1945) dan masuk di era NKRI. Di era Tomanurung sebagai peletak dasar beberapa kerajaan Bugis, ternyata tidak semuanya laki-laki. Misalnya disebut Manurungnge ri Matajang menikahi Manurungnge ri Toro yang mendirikan Kerajaan Bone. Sementara La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili menikahi We Tenripuppu Manurungnge ri Gowarie mendirikan Kerajaan Soppeng.
                Banyak ratu-ratu Bugis yang berkuasa dizamannya. Di Bone, tercatat enam orang Ratu yang pernah memerintah. Salah satunya, Batari Toja Daeng Talaga menjabat Arumpone sebanyak dua kali, dicatatan lain disebut empat kali. Ketika James Brooke, seorang pelancong Inggris atas perintah Raffles datang ke Sulawesi. Ia berkesempatan mengunjungi Wajo. Ia mencatat bahwa jabatan Arung Matowa bahkan terbuka untuk perempuan (meski dalam sejarah tidak disebut Arung Matowa yang perempuan). Dari enam pejabat penting (maksudnya arung ennengnge) empat diantaranya adalah perempuan.
                Naskah Ilagaligo dapat disalin ulang berkat upaya Colli’ PujiE Arung Pancana Toa, seorang Ratu sekaligus intelektual perempuan dizamannya. Namun hidupnya berakhir dalam keterasingan akibat sikapnya yang anti kolonial.
                Seorang Ratu kerajaan Bone, Besse Kajuara, menolak monopoli dagang VOC sehingga memerintahkan semua kapal dagang VOC yang berlabuh dipelabuhan Pallime untuk membalikkan benderanya (biru-putih-merah) yang menyebabkan peperangan antar kerajaan Bone dan VOC.
                Opu Daeng Risaju, kerabat Datu Luwu, rela melepas gelar kebangsawan dan hak-hak khususnya demi berjuang menegakkan kemerdekaan. Namun beliau harus meninggal dalam keterasingan.
Di era pergerakan kemerdekaan, Wajo melahirkan tokoh A. Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa. Beliaulah yang mendirikan laskar perjuangan kemerdekaan dan menyerahkan kedaulatan kerajaan Wajo pada Gubernur Ratulangi di lapangan merdeka Sengkang.
Di zaman sekarang, banyak perempuan pengusaha sukses, anggota parlemen, akademisi dan pejabat birokrasi. Ini tidak terlepas dari sistem sosial yang berlaku disatu sisi dan regulasi negara yang turut memperhatikan keterwakilan dan pemberdayaan perempuan.

Kesimpulan
Dari kilasan singkat sejarah sulawesi tersebut telah memberikan pandangan kepada kita betapa orang Bugis disatu sisi sangat menghormati dan menjaga perempuan, namun disisi lain memberikan ruang untuk menduduki posisi strategis. Sementara sistem kekerabatan bilateral memberi kita petunjuk tentang kesetaraan relasi gender manusia Bugis.
Dalam rangka pemberdayaan perempuan, tentu perlu pembacaan yang cermat terhadap konteks sosial budaya bersangkutan sebelum meretas (re)solusi pemberdayaan perempuan. Kurang tepat jika kiranya asumsi “penindasan perempuan” pada budaya tertentu dilekatkan pada budaya Bugis.
Perempuan bugis khususnya di Wajo hari ini perlu ditingkatkan kesadarannya dalam pendidikan agar SDM bisa turut meningkat. Adapun anggapan bahwa perempuan yang bersekolah tidak boleh menikah, perlu ditinjau ulang dalam masyarakat kita.


DAFTAR BACAAN
Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan – Sarita Pawiloy  (1987)
Ensiklopedi Kebudayaan Luwu – Idwar Anwar (2007)
I LA GALIGO – R.A. Kern (1993)
Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Mpalo KarellaE – Nurhayati Rahman (2009)
LA GALIGO jilid II – Arung Pancana Toa (2000)
Manusia Bugis – Christian Pelras (2006)

* Disampaikan dalam Seminar Keperempuanan dengan tema “Resolusi Pemberdayaan Perempuan di Bumi La Maddukkelleng” tanggal 21 April 2013 yang dilaksanakan oleh BEM STIA Puangrimaggalatung Sengkang.
** Peminat budaya bugis



Paradigma, Aksara dan Pengetahuan Lokal di Sulawesi Selatan

Dominannya paradigma positivistik di Eropa, berimbas ke bangsa-bangsa di nusantara. Termasuk masyarakat di Sulawesi Selatan. Interaksi ekonomi politik di era kolonialisme dan imperialisme, bukan hal yang mudah, dalam hal ini Belanda dalam menghadapi bangsa nusantara. Bahkan, Sulawesi Selatan baru benar benar bisa ditaklukkan ditahun 1905/6.

Sementara itu di Hindia Belanda, politik etis dengan tiga poin yaitu Educatie, Imigratie dan Irigatie baru bisa dilaksanakan di Sulawesi Selatan beberapa puluh tahun kemudian. Sehingga "pembangunan" baru bisa dilaksanakan setelah perlawanan melawan kolonial Belanda mulai agak mereda di tahun 1920-30an.

"Pembangunan" disini adalah pembangunan fisik (jalan, jembatan, bendungan) yang tentu bermanfaat bagi semua, hingga kita saat ini. Namun dibalik itu terdapat efek samping yaitu terlupakannya pembangunan manusianya. Sebab politik etis itu tentu dibuat untuk menguntungkan pengambil kebijakannya sendiri.


Di zaman dahulu, aksara Lontara adalah aksara yang hampir tiap orang di Sulawesi Selatan dapat membacanya. Aksara Lontara adalah medium transformasi pengetahuan lokal. Ia juga adalah sarana komunikasi. Hal ini tentu menyulitkan bagi Belanda untuk dapat mengakses pengetahuan lokal. Hingga dikirimkan sarjana seperti Matthes untuk mendokumentasikannya.
Aksara lain yang digunakan adalah huruf Serang, aksara hijaiyah yang dimodifikasi sesuai lidah orang melayu nusantara. Perbedaannya, penambahan beberapa karakter misalnya "ng", "e", yang tidak ada dalam aksara hijaiyah arab. Persuratan antar kesultanan dinusantara menggunakan aksara Serang berbahasa melayu.



Sekolah yang dibangun Belanda, kemudian terus dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia, berhasil menjadi sarana transformasi pengetahuan. Aksara latin perlahan mulai mendominasi. Bahkan pelajaran Bahasa Daerah yang mengajarkan aksara lontara pun mulai dihapus. Akibatnya, akses terhadap pengetahuan lokal semakin terbatas. Kedepan, hampir dapat dipastikan bahwa, pengetahuan lokal akan semakin hilang. Seiring dengan semakin parahnya kondisi naskah yang tersisa, orang yang mampu membaca aksara lontara juga semakin sedikit. Untungnya, beberapa proyek beberapa tahun silam telah mendigitalisasi naskah lontara tersebut.
Hampir bisa dipastikan, dengan tidak terakomodirnya pelajaran Bahasa Daerah dalam sistem pendidikan (demi menghadapi globalisasi katanya) maka beberapa puluh tahun kedepan, orang yang mampu membaca aksara lontara akan semakin sedikit hingga akan punah. Di saat itu, imbasnya adalah pengetahuan lokal akan semakin tergusur dan tidak ada lagi identitas lokal masyarakat Sulawesi Selatan.

Nephrite Zebra Wajo

Jade atau Giok, adalah salah satu jenis permata yang digunakan sejak dulu. Jade digolongkan dua jenis, pertama Jadeit dan Nephrite. Nephrite dianggap sama dengan giok Jadeit hingga tahun 1863. Namun kemajuan teknologi akhirnya dapat menemukan perbedaan antara Jadeit dan Nephrite. Perbedaan keduanya ada beberapa. Misalnya komposisi mineral, struktur kristalin dan sebagainya. Warna Jadeit cenderung beragam. Mulai dari pink, oranye, biru, merah dan sebagainya. Sementara Nephrite berwarna hijau tua dan cenderung hitam. Ada juga putih keabu-abuan dan kuning kecoklat- coklatan.


Dalam sejarahnya, oleh bangsa Cina, Jade telah digunakan sebagai perhiasan. Sementara di Amerika Tengah, penjelajah Spanyol menemukan penduduk setempat menempelkan Jade Nephrite dipinggangnya. Karena dipercaya mampu menyembuhkan sakit pinggang. Kata Nephrite berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ginjal. Batu ini digunakan sebagai obat sakit ginjal dipinggang.

Natural Nephrite Jade (Nephrite Zebra Wajo)
Persebaran Jade/Giok jenis Nephrite ini antara lain Australia, Brazil, China, Kanada, Rusia, Taiwan, Zimbabwe dan Amerika Serikat. Terakhir juga ditemukan di Polandia.

Ilyas (Liang) 29 Tahun, penemu Nephrite Zebra Wajo
Berawal dari temuan seorang pemuda yang kerap disapa Liang, pada tanggal 19 September 2014 yang kemudian dibuat permata. Karena warnanya hitam putih, orang-orang menganggap kurang menarik. Hingga melalui Magello (Makassar Gems Lover) dan dipromotori Sutera Gemstone, sampel dikirim ke gemslab. Setelah 5 kali pengujian, hasil lab menyebutkan batu ini berjenis nephrite jade. 

Zebra pertama yang dibuat
Nephrite Zebra ini, sering juga disebut oleh penduduk lokal sebagai batu loreng. Bapak Wakil Kepala Polisi Resort Wajo, Kompol Hamid Andri, S.Ik menamai batu ini Zebra karena sekilas berwarna hitam putih mirip Zebra dan identik dengan rambu lalu lintas. Zebra ini jika diteliti, bagian yang hitam itu berwarna hijau pekat. Sedang yang putih, semi translucent. Saat diuji kekerasannya, indikator menunjuk angka 7 skala Mosch. Sedikit berbeda dengan rata rata varian Nephrite yang menunjuk angka 6-6,5 skala Mosch. 

cek juga : Pyrus Bugis

Bulan Maret, Bapak Wakil Kepala Polisi Resort Wajo, Kompol Hamid Andri, S.Ik yang membawa permata ini untuk dipamerkan di Sengkang. Kemudian A. M. Ilham yang kerap disapa A.Aso serta Sutera Gemstone serta anggota komunitas Magello (Makassar Gems Lovers) membawa permata ini ke Solo untuk mengikuti pameran dan memasukkan di lab. Sutera Gemstone kemudian mempromotori Zebra Wajo ini. Beberapa kali Sutera Gemstone diwawancarai oleh media, baik itu TV One, MNC TV, Sun TV, Ujungpandang Express. Sejak itu, Zebra Wajo mulai dikenal.

Hunting Rough Nephrite Zebra Wajo
Nephrite Zebra Wajo


Pyrus Bugis, Varian dari Wajo yang Hampir Terlupa

Mengenakan cincin batu mulia adalah kebiasaan sejak dulu kala. Jauh sebelum permata booming seperti saat ini. Orang tua di Bugis dulu, selain mengimpor batu luar seperti Zamrud (Jamerro), feroz (peroso), Safir (ako'), juga memproduksi batu lokal.


Batu lokal yang diproduksi dan digunakan orang Bugis dulu disebut Peroso' Ogi, atau feroz Bugis. Belum jelas, kapan dimulai diproduksi. Namun bila melihat cincin buatan lokal dulu, jelas bahwa "peroso' ogi" ini sudah digunakan ratusan tahun silam. Bahkan menurut salah satu sumber, sebelum batu impor marak digunakan dizaman dulu, batu ini sudah digunakan oleh orang orang tua di Bugis. Varian ini hampir terlupakan hingga demam permata mulai menjangkiti negeri ini memberinya kesempatan untuk diingat kembali.
Peroso Ogi warisan leluhur
cek juga : Nephrite Zebra

Berawal dari cincin "peroso' ogi" warisan seorang teman, eksplorasi pun dimulai. Penjelajahan mencari sumber peroso ogi di kecamatan Sajoanging kabupaten Wajo. Bongkahan ditemukan kemudian diolah dan dikirimkan disalah satu laboratorium gemstone. Ternyata, apa yang disebut sebagai "peroso ogi" adalah Brown Jasper dari keluarga Chalcedony. Sekilas, penampakan "peroso ogi" ini memang mirip feroz (turquoise), sehingga wajar orang orang tua di Bugis dulu menyebutnya peroso ogi. 
Bupati Wajo, H.A. Burhanuddin Unru, memperhatikan Peroso Ogi dan memberikan arahan agar varian lokal Wajo ini intens dipublikasikan pada masyarakat umum dan terus menggali potensi batuan yang ada dikabupaten Wajo
Peroso ogi berwarna dasar coklat dengan corak hijau kebiru-biruan, hijau muda, abu-abu, putih dan emas. Terkadang coraknya menyebar merata, terkadang pula terkonsentrasi. 

Hasil penelitian lab, koleksi Sutera Gemstone

Cincin dan Liontin Peroso Ogi bergambar koleksi Sutera Gemstone
Menurut orang orang tua, "peroso ogi" ini dianggap memiliki khasiat untuk kesehatan (mappalampe sunge), dan kemudahan pada urusan rezki (dalle dallekeng). Sehingga sering digunakan dalam keseharian. 



Upin dan Ipin : Kartun sehat untuk anak

PENOKOHAN
Upin dan Ipin, dua saudara kembar adalah tokoh sentral dan kartun ini. Hidup bersama kakaknya (kak ros) dan neneknya (opah). Mereka adalah anak yatim piatu yang sederhana, punya cita cita, kreatif dan ceria. Upin sebagai kakak cenderung dominan, sementara Ipin cenderung mengikut dan selalu mengatakan "Betul betul betul"
Kak Ros, meski suka memarahi adiknya, namun sangat sayang pada kedua adiknya. 
Sementara sang nenek (Opah) adalah janda tua yang sederhana dan bijaksana. 
Kedua orang tuanya telah meninggal saat Upin dan Ipin masih bayi. Sebagai anak yatim piatu, Upin dan Ipin adalah anak yang hidup sederhana namun punya cita cita besar. Sebagai saudara kembar, Upin dan Ipin hampir identik. Baik secara penampilan maupun karakter.
Mei mei, seorang gadis keturunan Tionghoa berkarakter lembut, tekun, cerdas dan sangat feminim. Mei-Mei beragama Kong Hu Cu
Jarjit, keturunan India gemar berpantun dan jenaka. Selalu berusaha beradaptasi dengan teman temannya. "Marvelous" adalah kata khas yang sering keluar dari mulutnya.
Ismail bin Mail, penuh perhitungan. Sering menjadi juri atau wasit. Berjiwa wirausaha
Ehsan, si orang kaya. Suka makan dan pamer harta. Dalam permainan, karakternya selalu dikonfrontasikan dengan Upin Ipin yang sederhana. Namun, ia adalah ketua kelas yang bertanggung jawab.
Fizi, sepupu sekaligus sahabat setia Ehsan. Selalu mendampingi Ehsan
Datok Dalang, masih tergolong kakek Upin dan Ipin. Selalu membantu dan memotivasi anak anak khususnya Upin dan Ipin. 
Saleh/Sally, lelaki kemayu penjaga perpustakaan.

SETTING
Kartun Upin dan Ipin bersetting dikampung Durian Runtuh. Mereka jauh dari hiruk pikuk kota besar. Masih menggunakan permainan tradisional, namun mulai tersentuh modernisasi. Sangat pas untuk menggambarkan generasi kekinian.
Sekolah (TK), rumah dan halaman, adalah tempat utama  kisah Upin dan Ipin. Mulai dari masalah dalam rumah, usaha Upin dan Ipin untuk dapat izin bermain, bermain dengan teman sekolahnya, suasana didalam kelas, hingga tempat khusus misalnya mesjid.


MUATAN CERITA
Dari berbagai seri, secara umum dapat dilihat muatan cerita kartun Upin Ipin sebagai berikut. Sikap Kak Ros yang tegas berdialektika dengan sikap Opah yang bijak dalam menyikapi Upin dan Ipin yang terkadang bandel. Saat bermain, Upin dan Ipin yang sederhana sering dikonfrontasikan dengan Ehsan yang hidup serba ada serta Fizi pengikut Ehsan.
Jarjit selalu datang dibelakang dan tidak nyambung alur permainannya. Namun ia selalu berusaha untuk beradaptasi. Sementara Ismail bin Mail, selalu menjadi juri. Kalau tidak, Ismail bin Mail akan berjualan atau melihat potensi bisnis. 
Datok Dalang, selalu memberi ruang pada Upin dan Ipin dalam membuat permainan, meski dengan segala keterbatasan. 

NILAI EDUKASI
1. Nilai Agama
Di beberapa seri, Upin dan Ipin bersama teman temannya berpuasa dan tarawih, Ini mengajarkan anak sedari dini untuk taat beribadah,
2. Nilai kemanusiaan dan persahabatan
Kehadiran karakter Mei Mei dan Jarjit yang berbeda etnis dan agama dengan Upin dan Ipin, mengajarkan tentang pentingnya saling menghargai antar etnis dan agama. Meski berbeda etnis dan agama, mereka selalu akur dan ceria. Perbedaan bukan alasan bagi mereka untuk saling membenci.
3. Nilai penghormatan pada guru dan orang tua
Tak satupun serial Upin Ipin yang mencemooh orang yang lebih tua. Setegas-tegasnya Kak Ros dan Bang Saleh (sally), tak satupun sikap melawan atau menghina yang dilakukan oleh Upin dan Ipin. Belum lagi setiap kelas dimulai, maka Ehsan langsung berdiri (diikuti teman temannya) akan memberi penghormatan pada guru (selamat pagi cik gu)
4. Motivasi, Kreativitas dan Kesederhanaan
Dalam bermain, Upin dan Ipin tidak selalu mempunyai permainan sebagus Ehsan yang kaya. Sebagai anak yatim, bukan tantangan bagi Upin dan Ipin untuk menikmati masa kanak-kanaknya dengan permainan. Datok Dalang lah yang biasa membantu membuatkan Upin dan Ipin permainan, sekaligus mengajarkan cara membuat permainan itu sendiri. Kalaupun harus dibeli, maka Upin dan Ipin harus merengek atau memecah tabungannya.
5. Nasionalisme
Adanya bendera Malaysia dalam beberapa seri Upin dan Ipin merupakan pembiasaan pada anak untuk mencintai bangsa dan negaranya. (Demikian pula film hollywood untuk konteks film dewasa). Sementara dibidang olahraga, yaitu sepakbola dan bulutangkis, berisi cita cita Upin dan Ipin untuk menjadi atlet yang mengharumkan nama bangsa dan negara. Di bidang teknologi, Upin dan Ipin bercita cita menjadi astronot pertama Malaysia. Ini menstimulus anak agar bercita cita besar untuk mengharumkan nama bangsa dan negara.

PENUTUP
Selain sebagai hiburan, kartun Upin dan Ipin memiliki muatan nilai yang sangat positif terhadap perkembangan anak. Nilai nilai yang terselip di tiap serial, memberi pelajaran secara halus pada anak. Anak tidak didoktrin dan dipaksa untuk melalukan sesuatu yang baik. Tetapi anak dapat menikmati kartun sambil belajar. Saya kira anda sepakat bila kartun ini sangat baik untuk perkembangan anak. Betul betul betul.

Nasionalisme dan Budaya India dalam Film Kuch Kuch Hota Hai

Scene pertemuan Rahul dan Tina di Kampus dalam Film Kuch Kuch Hota Hai
Kehadiran mahasiswi baru yang cantik, Tina Malhotra (diperankan  Ranee Mukerji) membuat sang macan kampus, Rahul Khanna (diperankan Shah Rukh Khan) klepek klepek. Ia berusaha menampakkan eksistensinya sebagai jagoan. Sementara Tina Malhotra, putri dekan, adalah mahasiswi pindahan dari Inggris. 

Dalam benak Rahul, Tina yang lahir dan besar di Inggris, sudah tak tahu lagi lagu dan budaya India. Rahul menemukan cara untuk mendekati Tina, yaitu menantang Tina menyanyikan lagu India. 
Rahul menantang Tina menyanyikan lagu India
Rahul hampir sangat yakin, Tina tak mampu lagi menyanyikan lagu India. Mungkin dalam pikirannya, bila Tina tak tahu lagu India, maka Rahul akan mengajarkan sebagai bentuk pendekatannya pada Tina. Tetapi. saat Tina mulai menyanyi, roman wajah Rahul dan kawan kawannya pun berubah. Tina menyanyikan lagu Om Jay Jagadish Hare. Lagu puji pujian terhadap Dewa dalam bahasa hindi
Tina menyanyikan lagu "Om Jay Jagadish Hare"

Sisi Nasionalisme Film India
India melalui Bollywoodnya adalah salah satu penghasil film terbesar dunia. Film India selalu menggunakan bahasa Urdu dalam dialognya. Hal tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk kecintaan pada bahasa lokal. Meski dalam proses perjalanan sejarahnya, India pernah dijajah Inggris beratus tahun, namun identitas India tak pernah hilang dalam film filmnya.Selain bahasa, film India selalu menonjolkan aspek budayanya yang lain. Misalnya kain sari yang selalu digunakan perempuan India. Rumah dengan tata ruang khas India 
Dalam film Kuch-Kuch Hota hai, karakter Tina adalah simbol keturunan India yang termodernisasi di Inggris. Sementara Inggris, (sebagai tempat lahir dan besar Tina), adalah bekas penjajah India. Inggris bukan hanya sebagai simbol penjajah, tetapi simbol kemajuan peradaban yang dipertegas sebagai tempat Tina menuntut ilmu sebelum melanjutkan kuliahnya di India, kampung halaman leluhurnya. Karakter Tina Malhotra sebagai mahasiswi pindahan Inggris memberi makna seseorang keturunan India yang lahir dan besar dalam budaya barat, namun tetap cinta pada budayanya. 
Kecintaan karakter Tina Malhotra pada budaya India tercermin saat ia menyanyikan kidung suci "Om Jay Jagadish Hare" yang dikarang oleh Pandit Sharda Raam Phillauri di Punjab. Lagu ini mungkin terinspirasi oleh Dasavatara bab Gita Govinda. Tina Malhotra, bukanlah gadis India yang lupa negeri leluhurnya. Bukan pula gadis India yang lupa budaya dan kidung sucinya. Tetapi, Tina Malhotra adalah gadis India yang modern dan maju dibidang ilmu pengetahuan, namun tidak melupakan negara dan budayanya.

Bas, Kereta dan Motorsikal di Negeri Jiran

Berkesempatan mengunjungi negeri jiran, Malaysia, adalah hal yang menyenangkan. Meski hanya 9 hari, dan hanya di Johor serta Kuala Lumpur, tetapi beberapa pengalaman yang menarik sehubungan dengan Kereta (mobil), motor sikal (motor), dan bas (bus). Juga tentang jalan raya, dan tertib berlalu lintas.

Selama di Malaysia, saya berusaha mencari jalan berlobang :) namun hanya menemukan beberapa saja. Jalan raya sangat mulus. Jalan antara "Desa" Skudai, tempat UTM menuju "kabupaten" Pontian serasa jalan tol. Lebar dan sangat mulus. Antara Johor dan Kualalumpur (sekitar 400km) ditempuh hanya 3 jam (istirahat 15 menit) dengan bas (bus).  

Jalan antara "desa" Skudai dan kabupaten "Pontian" di Johor
Jalan antara Johor dan Kuala Lumpur


Persinggahan bus pun tidak sembarang. Ada tempat khusus, yang tempat tersebut seperti terdiri dari beberapa bangunan dan taman. Penumpang bisa belanja dan beristirahat. "Tandas" atau toilet sangat bersih. Selalu ada petugas yang membersihkan toilet sehingga penumpang merasa nyaman. Jangan harap mendapatkan bau menyengat di toilet kecuali bau parfum atau pembersih tegel. Setelah 15 menit beristirahat, maka supir bus akan memanggil penumpang melalui pengumuman. Kemudian menghitung satu persatu penumpang berdasar tiket yang dibeli penumpang di agen. Setelah semuanya oke, baru melanjutkan perjalanan.

Tempat transit bus untuk menjemput penumpang antar daerah
Tempat istirahat antara Johor dan Kualalumpur
Untuk naik bas, terlebih dahulu mendaftar dan membayar tiket di agen. Jadwal keberangkatan sangat tertib. Penumpang naik satu persatu ke bas sesuai tiket. Didalam bas, hanya 3 kursi tiap baris. Jumlah penumpang tidak boleh lebih banyak dari jumlah tersedia. Fasilitas AC, kursi empuk, bas yang bersih dan no smoking area membuat penumpang merasa nyaman.

Kendaraan kurang (penduduk Malaysia hanya sekitar 30juta jiwa), dan lalu lintas sangat tertib. Anehnya, hampir saya tidak pernah mendengar bunyi klakson. Ternyata, membunyikan klakson dapat membuat orang lain tersinggung. Para pengguna jalan, memberi prioritas bagi mereka di jalan poros. Tidak berebutan seperti biasanya yang saya saksikan.

Secara umum, kebanyakan kereta (mobil) adalah produksi Proton, mobil nasional Malaysia. Rata-rata proton yang saya temui adalah jenis proton saga. Mirip sedan timor di Indonesia. Nampaknya Proton saga jenis yang murah meriah. Meski ada juga mobil proton untuk kelas high level yang bentuknya mirip Avanza. Adapun mobil pabrikan Toyota, Mitsubishi bisa ditemukan dalam jumlah sedikit. Mungkin cuma 5 kali saya melihat mobil Toyota Avanza. Fortuner hanya sekali. 

Sementara untuk motorsikal (motor), umumnya produksi lokal yaitu Demak. Ada tipe moped (bebek) yang modelnya mirip Honda astrea tempo dulu, ada tipe scooter matic dan ada juga yang mirip Yamaha Byson untuk tipe naked bike. Motor pabrikan Jepang, meski tidak sebanyak produksi lokal namun masih dapat ditemukan dengan mudah. Untuk Yamaha, motor Yamaha RX-Z masih sering digunakan anak muda untuk nongkrong (padahal dulu motor ini dilaunching tahun 2000, hampir 15 tahun lalu). Suzuki Smash masih dipajang di toko motorsikal. Yamaha bebek mirip Jupiter MX banyak digunakan disana. Yamaha New Vixion nampaknya baru dilaunching disana.

Meski secara umum, lalu lintas di Malaysia tertib tetapi bukan berarti tidak ada pelanggaran. Bila ada kendaraan salah parkir, maka polisi akan menyisipkan nota tilang di mobil bersangkutan. 



Untuk BBM, ada beberapa perusahaan. Petronas, Shell dan Caltex yang menyebarkan pom bensinnya. Terkadang, jarak antar pom bensin berdekatan, hanya beberapa meter. Untuk membeli BBM, pengguna tidak membayar di petugas SPBU, tetapi dikantor terletak didalam. Setelah membayar, pengguna yang langsung mengisi bensin ke motor/mobil. Swalayan, seperti di film hollywood :). BBM yang tersedia hanya premium yang terdiri dua jenis yaitu RON 95 dan RON 97

Isi sendiri premium, terserah mau RON 95 atau RON 97 asal sudah bayar duluan :)
Waktu dipom bensin, sempat melihat komunitas Bikers Ninja 250 lagi beristirahat. Dalam hati saya, betapa bahagianya mereka saat touring. Tidak perlu khawatir terjebak jalan berlubang dan kendaraan macet. Atau mobil truk yang menutupi pandangan dan jalan pengendara dibelakangnya, sambil meracuni paru paru bikers dengan asap knalpotnya yang melewati ambang batas emisi yang diperbolehkan. Tetapi saya bersyukur, kondisi jalan yang selalu saya lalui di Sulawesi, melatih para bikers untuk lebih terampil mengendarai motornya. Sulit untuk mengantuk saat bawa motor dengan lubang menganga ditengah jalan :)

Permata dan Ekonomi Kerakyatan di Negeri Ratna Mutu Manikam

Sejak (mantan) Presiden SBY memberikan batu permata jenis Bacan pada Presiden Obama, pamor batu lokal pun melonjak. Batu Bacan, Obi menjadi buruan banyak pecinta permata. Bahkan seiring dengan itu, banyak orang pun mulai melirik dan tertarik dengan batu permata. Peluang pasar pun terbuka lebar. Sebuah pekerjaan sederhana dengan bahan baku melimpah yang mempunyai nilai ekonomis pun terbuka lebar. Para pemuda mendapat angin segar ditengah himpitan ekonomi saat ini.

Stok bahan baku yang melimpah dinusantara, tidak lepas dari struktur alamnya yang unik. Tak salah bila negeri ini dijuluki "Ratna Mutu Manikam". Kalimantan, sudah menjadi penghasil permata jauh sebelum mantan Presiden SBY berkuasa. Maluku melalui jenis batu yang ditemukan di Bacan, Obi dan Doko. Saat ini, Aceh sudah memunculkan Lumut Aceh, jenis Idocrase. Belum lagi pulau Jawa mulai dari Garut hingga Tulung Agung dengan berbagai jenis Akiknya. Sulawesi dengan Batu Verbeek yang beragam. Bahkan masih banyak jenis batuan yang belum diteliti di Laboratorium Gemstone.
Idocrase asal Soroako
Mencari bongkahan, memotong, membentuk dan memoles batu menjadi permata saat ini adalah sebuah pekerjaan alternatif. Mudah, murah dan meriah. Cukup sedikit nyali untuk mendatangi tempat yang diduga mengandung permata, palu untuk mengambil bongkahan, gerinda dan ampelas. Ditambah sedikit kesabaran untuk mengolahnya, sudah cukup menghasilkan permata yang indah.

Memotong, membentuk dan menggosok bongkahan

Aspek Ekonomi dan Ekologi
Secara sederhana, aspek ekonomi permata dibagi atas produksi, distribusi dan konsumsi. Sekaitan produksi, ada dua yaitu pengambilan bahan baku dan proses pembuatan. Di tempat yang mengandung permata, mesti dikelola dengan baik. Yaitu, bahan baku (bongkahan) tidak dikirim keluar. Tetapi digunakan oleh pengrajin lokal. Kebiasaan mengirim bahan baku/bahan mentah mesti dibuang jauh-jauh. Apalagi jika eksploitasinya berlebihan, hanya akan menyisakan kerusakan alam bagi penduduk setempat.

Idealnya, batu lokal dikelola oleh pengrajin lokal pula. Sehingga biaya produksi lebih rendah. Bila dikirim keluar, tentu kita hanya bisa berharap barang jadi (permata) yang harganya pasti lebih mahal dan kurang menyerap lapangan kerja. Kurang elok jika warga daerah penghasil yang menjadi konsumennya. Apalagi untuk membuat permata, tidak dibutuhkan keahlian tinggi untuk menghasilkan sebuah permata yang cantik. Tidak perlu sekolah kesana kemari yang banyak makan biaya. Begitupun alat produksinya tergolong murah. Tidak perlu beli mesin yang mahal. Cukup sebuah gerinda.

Peran pemerintah dan pemerintah daerah tentunya adalah membuat regulasi yang memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi. Regulasi itu tentunya harus mengutamakan kesejahteraan rakyat. Sehingga tidak didominasi oleh orang orang tertentu. Memang untuk hal ini butuh pemikiran yang mendalam agar lahir aturan yang benar benar berpihak pada rakyat. Bukan mensejahterakan oknum oknum tertentu diatas keringat orang orang kecil. 
Bongkahan jenis Obi
Pemerintah juga (seharusnya) berperan penting untuk menaikkan pamor batu lokal. Seperti (mantan) Presiden SBY yang menjadikan batu Bacan sebagai  cenderamata pada Presiden Obama. Perlu langkah-langkah populer untuk mengangkat batu lokal. Setidaknya menjadikan batu lokal sebagai tuan rumah dinegerinya sendiri, Ratna Mutu Manikam. Apalagi jika menjadi komoditas ekspor, tentu nilai ekonomisnya akan berefek pada kesejateraan rakyat.
Perlu inventarisasi batu lokal, diteliti dan dikatalogkan sebagai kekayaan bangsa. Jangan sampai bongkahan dikirim keluar dan diproduksi dan diklaim dari luar negeri. Tentu disini peran negara untuk memprotek kekayaan alamnya. Bukan lagi dengan mengundang investor asing agar ada bagi hasil yang tidak berimbang yang membuat rakyat miskin ditanahnya sendiri.

Demokrasi Vs Nepotisme : Memetik Makna dari Sejarah

Gerakan Reformasi 1998 mengangkat isu menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Nepotisme yang dilakukan rezim Orba saat itu dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan dengan demokrasi. Demokrasi "secara teoritis" memberi ruang yang sama bagi tiap warga negara untuk berkompetisi diranah politik. Hal ini berlawanan dengan Nepotisme yang memberi jalan pintas bagi anak anak tertentu untuk masuk dalam ranah politik.

============================== 494 tahun lalu ============================

Arung Matowa* Wajo La Tadampare Puang ri Maggalatung** sudah mulai uzur. Ia berwasiat agar kelak digantikan oleh "anaknya". Sementara, 47 tahun sebelumnya, orang Wajo sudah bersepakat. Jabatan Arung Matowa tidak boleh diwariskan tetapi dipilih melalui hadat Wajo. Tiga bulan lamanya hadat Wajo bersidang, namun tidak ada kata sepakat. 

Hadat Wajo terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu tetap bertahan bahwa Wajo tidak boleh meninggalkan konstitusinya. Yaitu, jabatan Arung Matowa tidak dapat diwariskan. Kubu yang lain berpendapat bahwa La Tadampare adalah raja Wajo yang sangat berjasa. Sehingga tidak mengapa bila wasiatnya dikabulkan sebagai bentuk terimakasih orang Wajo pada La Tadampare.

Saat sidang yang menjemukan itu, seorang anak kecil yang berusia sekitar 8 tahun yaitu La Paturusi To Maddualeng tertawa mendengar riuh sidang di Baruga***. Dari bawah, sambil memainkan kemiri****, ia memandang remeh persoalan rumit yang membingungkan orang Wajo. Salah seorang Hadat Wajo mencoba untuk mendengar pendapat La Paturusi, namun ayah La Paturusi seorang anggota Hadat yang lain mengabaikannya sebab dianggap masih anak anak.

Sidang yang tak kunjung usai itu terus berlangsung sehingga Hadat Wajo mendesak ayah La Paturusi yaitu La Tiringeng agar mendengar masukan La Paturusi. Akhirnya diiyakan. Maka diusunglah La Paturusi menuju rumah Arung Matowa. Dari balik jendela, La Tadampare bersedih melihat hal tersebut. Dalam hatinya, mengapa orang Wajo mesti mengutus seorang anak kecil untuk menjawab permintaan wasiatku.

Setelah naik kerumah La Tadampare, maka La Paturusi dipersilahkan duduk. Ia pun mulai berbicara. Dengan lantang La Paturusi mengatakan bahwa, siapapun orang tuanya bila seseorang menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo, maka itulah anakmu. Namun, walaupun itu anak kandungmu, bahkan keluar dari biji matamu, namun tidak menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo maka dia bukan anakmu. 

Mendengar jawaban La Paturusi, maka La Tadampare Puangrimaggalatung pun puas. Ia bisa turun tahta dengan tenang.

========================== kembali ke tahun 2014 ===========================

Demokrasi, seperti yang dikatakan sebelumnya, sebenarnya sangat baik. Sebab memberi ruang setara kepada warga negara untuk berkompetisi secara politik tanpa mempersoalkan asal usulnya. Tetapi sayangnya, justru menutup ruang bagi orang yang "kebetulan" terlahir dari orang tua yang bergaris nasib sebagai pejabat.

Karena alasan menolak "nepotisme" maka seorang keluarga dekat Bupati/Walikota/Gubernur tidak boleh berkontestasi dipanggung politik. Demokrasi justru menjadi tidak demokratis. Orang orang menolak nepotisme dengan alasan bahwa "Tidak seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua yang melahirkannya". Sehingga ruang kontestasi harus dibuka secara adil. Tetapi disaat yang sama,  "Tidak ada seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua pejabat". Sayangnya, ruang kontestasi justru ditutup secara tidak adil. Standar ganda pastinya.

Jika alasan keluarga pejabat dilarang untuk masuk ruang kontestasi karena dikhawatirkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Maka solusinya adalah membangun sistem yang kuat agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Bukannya menutup ruang kontestasi keluarga pejabat. Substansi persoalan sebenarnya adalah komitmen untuk membangun. Siapapun itu, apakah anak pejabat atau anak orang biasa, selama punya komitmen dan tentunya kemampuan, maka ruang kontestasi bagi mereka haruslah dibuka sama lebarnya. Ini demokrasi bukan ?

Saya ingin katakan bahwa, apa yang Bangsa Indonesia persoalkan hari ini adalah hal yang sudah dituntaskan oleh kerajaan Wajo 494 tahun lalu. Tetapi memang kita malas belajar dari sejarah. Atau mungkin sejarah tidak perlu dipelajari lagi, entah lah. Saya cuma tertawa sebagaimana La Paturusi tertawa melihat Hadat Wajo 494 tahun lalu.

* Arung Matowa adalah gelar raja utama di kerajaan Wajo. Sebelumnya gelar raja adalah Batara Wajo. Sebuah jabatan yang bersifat Monarki Absolut. Sedang Arung Matowa bersifat Monarki Konstitusional. Perubahan gelar ini mengikuti perubahan sistem konstitusi melalui Perjanjian Lapadeppa yang berisi pengakuan hak hak rakyat Wajo,
** La Tadampare Puangrimaggalatung, Arung Matowa Wajo IV. Berkuasa sekitar tahun 1491-1521. Ia adalah raja Wajo yang paling sukses sepanjang sejarah Wajo
*** Baruga adalah bangunan kayu bertiang khas Sulawesi Selatan, tempat diadakannya rapat atau musyawarah.
**** Permainan tradisional dimasa lalu sebelum kelereng dimainkan

Mencurigai "Dramatisasi Kisah Risna" dan Dinamika Antara Budaya Tradisional dan Modern di Sulawesi Selatan

Selama beberapa pekan terakhir, sempat ramai kisah tentang Risna. Seorang gadis yang gagal bersanding dengan lelaki pujaan hatinya karena terkendala soal biaya pernikahan. Sebelumnya saya ingin bersimpati dengan cobaan yang dialami Risna dan mendoakan semoga bisa melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya, apa yang dialami Risna, adalah hal yang dialami banyak perempuan lain di Sulawesi Selatan. Namun tidak seramai kisah Risna. Mungkin kurang dipublish atau kurang didramatisir. Menariknya, sebuah acara di stasiun TV tertarik untuk mengangkat kisah Risna. Sebuah masalah yang sebenarnya bersifat internal keluarga kemudian dijadikan wacana nasional. Untuk menghindari saya turut dalam proses "dramatisasi" tersebut, maka tulisan ini difokuskan untuk mengangkat dinamika antara budaya tradisional dan modern di Sulawesi Selatan.
Terlepas dari itu, pastinya Adat dan Budaya selalu menjadi kambing hitam atas kegagalan bersatunya dua insan. Hal ini kemudian menjadi rumit. Satu sisi, ada perspektif yang berbeda yang dipahami oleh para "stake holder" pernikahan yaitu orang tua, paman, tante dan kakek nenek dari perempuan. Sisi lain, pandangan manusia modern tentang cinta yang cenderung liberal yang menganggap Adat dan Budaya sebagai penghambat kemajuan. Poinnya, perbedaan perspektif.

Posisi Perempuan Sulawesi Selatan di Masa Lalu
Perempuan adalah SIRI. Ia adalah lambang kehormatan sebuah keluarga. Di masa lalu, sekedar mencolek anak gadis sudah bisa berujung maut. Perempuan tidak dibiarkan bebas bergaul dengan laki laki. Apalagi bebas gonta ganti pacar. 
Meski demikian, ruang sosial perempuan tidak tertutup sama sekali. Ia bisa mengisi sektor ekonomi dan politik di masyarakat. Tak jarang sebuah kerajaan dipimpin oleh Ratu. Dengan demikian kita tidak dapat mengatakan bahwa budaya tradisional di Sulawesi Selatan itu mengekang perempuan. Malah sangat menghormati perempuan tanpa menutup ruang ruang sosialnya.

Kilasan umum perspektif tradisional tentang Pernikahan di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, pernikahan adalah prosesi adat yang paling sakral. Memakan waktu yang paling lama dan proses yang rumit. Ini tidak lepas dari pandangan bahwa penyatuan dua insan adalah hal metafisik. Bukan persoalan cinta-cinta monyet ala anak muda sekarang. Pernikahan, juga bukan sesederhana sebuah event peresmian suami istri. Namun jauh melampaui itu. Pernikahan adalah penyatuan dua rumpun keluarga. Hal ini menyebabkan, orang tua tidak sembarang menikahkan anaknya. Sebab orang tua tidak mau sembarang berbesan dengan orang yang dalam perspektifnya kurang layak. Terkadang dalam sebuah keluarga, mereka menjodohkan anak-anaknya. Terkadang sebaliknya, memberi kebebasan memilih jodoh asal jangan berasal keluarga keluarga tertentu.
Bila seorang lelaki (yang dianggap tidak layak) melamar perempuan, maka salah satu model proteksi terhadap perempuan adalah dengan memasang uang panai yang tinggi. Terkadang, uang panai dijadikan simbol status oleh keluarga tertentu. Sebenarnya ini bukan budaya asli. Sebab dimasa lalu sudah ada tetapan berapa mahar perempuan sesuai dengan grade kebangsawanannya.Poinnya adalah tak ada orang tua yang ingin masa depan anaknya suram dengan menikahi lelaki yang dianggap tidak layak. 
Oleh karena itu, anak perempuan diproteksi. Jika sebuah keluarga aristokrat ingin mempertahankan posisi sosialnya dimasyarakat, maka ia akan memproteksi anak perempuannya dari lelaki dari keluarga non aristokrat. Jika sebuah keluarga pengusaha ingin mempertahankan posisi sosial ekonominya, maka ia akan mengusahakan menikahi perempuan dari aristokrat atau dari sesama pengusaha.
Dengan demikian keturunan (cucu) kelak dapat mewarisi posisi sosial ekonomi dimasyarakat. Jadi proteksi terhadap anak perempuan sebenarnya ditujukan bukan hanya agar kelak mendapat suami yang pantas, namun kelak keturunannya bisa mewarisi posisi sosial ekonomi tersebut.

Cinta dalam perspektif manusia modern
"Cinta adalah dari mata turun kehati". Begitu pandangan umum tentang cinta. Ia adalah hasil persepsi indrawi dan pengalaman empiris. Di masa sekarang, interaksi antara pemuda dan pemudi sangat mudah. Baik secara langsung maupun lewat internet. Sehingga orang modern saat ini sangat mudah jatuh cinta dibandingkan orang orang dulu. Gonta ganti pacar adalah hal yang lumrah saat ini. 
Orang tua yang menjodohkan anaknya disaat sekarang, dianggap kolot, kampungan dan ketinggalan zaman. "Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya, tapi zamannya Siti Nurhaliza", begitu semboyan anak muda yang tidak ingin kebebasan cintanya dikekang oleh adat dan budaya. "Siti Nurbaya" adalah simbol penjajahan cinta.
Cinta menuju pernikahan dalam perspektif manusia modern, kurang memperhitungkan hubungan kedua orang tua (sesama besan), dan posisi sosial ekonomi yang kelak diwariskan ke anak keturunan. Disini perbedaan mendasar pernikahan dalam perspektif tradisional dan modern di Sulawesi Selatan.
Ada desakralisasi cinta yang menghantam manusia modern. Cinta tak lebih sekedar hasrat pada lawan jenis sehingga mengabaikan faktor faktor pendukung terbentuknya keluarga, misalnya agama,status dan sebagainya. Intinya, pernikahan adalah faktor cinta (empiris) semata. Disini kadang terjadi dinamika antara anak muda yang hendak menikah (dengan perspektif modern) dan orang tua yang punya kepentingan pada anak cucunya kelak (dengan perspektif tradisional).

Mencari jalan tengah untuk pemuda yang hendak menikah
Satu hal yang harus dipahami oleh anak muda yang hendak menikah adalah, tak ada orang tua yang ingin menikahkan anaknya dengan orang yang tidak pantas. Cuma, terkadang ada perbedaan perspektif tentang "kepantasan" tersebut. Disinilah tantangan sebenarnya.
Seorang pemuda harus mampu memahamkan keluarga perempuan bahwa ia adalah lelaki yang bertanggung jawab. Sementara perempuan harus memperjuangkan cintanya dikeluarganya.
Bila seorang lelaki datang melamar dengan gaya koboy, untung kalau dipasang uang panai yang mahal. Bila apes, langsung ditolak. Artinya, seorang pemuda hendaknya keluar dari ego cintanya. Ia harus belajar memahami kondisi calon mertua bila ia juga ingin dipahami kondisinya sebagai calon menantu.
Dengan adanya kesepahaman antara pihak lelaki dan perempuan maka biaya pernikahan yang mahal, bisa diselesaikan melewati jalur lobi sesuai dengan budaya setempat. 

Sebagai penutup saya ingin katakan bahwa, tidak selayaknya masalah internal keluarga Risna didramatisasi sedemikian rupa sehingga menjadi masalah nasional. Tetapi itu adalah dinamika antara budaya tradisional dan fenomena manusia modern dengan perspektif berbeda yang menimpa banyak pasangan di Sulawesi Selatan. Dan yang penting bahwa, semua masalah pasti punya jalan keluar jika kita keluar dari ego kita. Ego bahwa cinta kita harus dimaklumi oleh orang tua tanpa mencoba memaklumi ego orang tua itu sendiri.

Moexin, Gitaris Makassar yang Cinta Budaya Lokal

Memulai pelajaran bermain gitar akustik dari teman. Kemudian memperdalam kemampuan bermain gitar di tahun 1986 melalui kursus di Yamaha selama 6 bulan. Dalam proses karir di dunia musik, mulai bermain di kafe tahun 1996 hingga 2008. Belajar juga pada musisi senior dimasanya untuk meningkatkan keahliannya.

Sesekali bermain musik secara reguler sebagai band pengiring. Pernah bergabung dengan banyak band lokal seperti, Parfin Band (1986), Marching Band (1990-1995). Selalu mendapat predikat the best guitar selama 5 tahun di Makassar. Masuk di Kareba Cafe sebagai band pengiring (hingga 1998) yang lebih mengedepankan entertain. Di tahun 1999, manajer bang Moexin dapat tawaran dari Pay BIP (mantan gitaris Slank) untuk duet gitar di Sahid Hotel tahun 1999. 


Setelah itu, ditawari oleh Pay ke Jakarta, namun ditolak dengan alasan masih ingin melanjutkan karir sebagai musisi entertainer di kafe. Menikah di Balikpapan tahun 2001. Kemudian ditawari oleh teman sesama musisi untuk bermain di hotel-hotel di Balikpapan dan diterima. Selama 3 tahun di Balikpapan berkarir sebagai musisi band pengiring dengan nama B-Think Band. Selain itu membuat kursus privat gitar di Balikpapan. Sempat diundang di Samarinda, Banjarmasin dan Sangatta sebagai juri sekaligus bintang tamu diberbagai festival musik.

Hijrah ke Bandung 2004 untuk melanjutkan cita cita sebagai enternainer. Menjalani masa masa krisis bersama sang sahabat yaitu Danto (Drummer) kemudian membuat band yaitu Pink Stroberi Band. Bermain sebagai band pengiring di Braga Kafe dan beberapa Kafe lainnya. Selama di Bandung, bertemu dengan seorang agen Band dan mendapat job untuk bermain musik keliling Indonesia (long trip) selama 2004-2008.

Sekembalinya ke Makassar 2008 melihat perkembangan musik di Makassar sangat pesat. Membuat Band Indie yaitu Magneto dan sempat merilis album "Hubungan Tanpa Status". Setelah itu keluar dari Magneto dan bertemu teman teman Band entertain. Lalu memutuskan untuk membentuk Band entertain lagi di Hotel Arya Duta dengan nama Wijas n Uchu&Friend. Setahun kemudian memutuskan untuk berhenti untuk tidak Long trip lagi sekaligus melanjutkan band Wijas sebagai band Indie. Sempat merilis album hits "Ketika Kau Harus Pergi". Sebagai vokalis saat itu Rijal eks Rumor Band.

2010, Wijas sempat ikut Rising Star A Mild Wanted dan berhasil menyabet juara 1 dengan lagu terbaik "Sang Pencinta" ciptaan Bang Moexin sendiri. Sang Vokalis Wijas, sempat diajak oleh Ribas ke Jakarta untuk merilis album butiran debu. Saat itu Bang Moexin memutuskan keluar dari Wijas dan  bergabung di Uchu&Friend.

Selama di Uchu&Friend sempat merilis album bertajuk "Selingkuh Asyik Juga" yang diarasemeni oleh Yusuf salah seorang personil band. Selanjutnya 2011 Uchu&Friend memasuki kevakuman hingga saat ini. Bang Moexin akhirnya memutuskan membuat karya album solo gitar bertajuk "A Life Inspiration" yang berisi 7 lagu yang kesemuanya ciptaan sendiri. Di album ini sempat promo di Wapres (Warung Apresiasi Seni Bulungan) Jakarta. Salah satu lagu dalam album ini yaitu "Rock Home" merupakan kisah Bang Moexin untuk menata kembali keahliannya di musik rock yang sempat vakum. Di album tersebut merupakan atribut Bang Moexin sebagai musisi.

Bertemu dengan personel D'Tyos Band dan bersepakat membentuk band baru bernama Moexin & D'Tyos Band. Sempat merilis album indie berjudul "Hitam Putih". Namun sayang, band ini tak bertahan lama dan akhirnya bubar di 2012. Bang Moexin akhirnya memutuskan untuk jalan sendiri dan melanjutkan album kedua solo gitar yang berjudul "Dawai Makassar". Album "Dawai Makassar", berisi lagu lagu tradional yang di arasemen ulang oleh Bang Moexin. Dalam Album ini menggunakan alat musik tradisional yang dikolaborasikan dengan alat musik modern. Album ini digarap sejak 2012 dan rampung di 2013.

Saat ini bermain tiap minggu di D'Boss bersama band Sasirou. Dan juga melanjutkan progress album kompilasi solo gitar yang sedang dirilis saat ini.

Meski bergenre pop, tapi juga menguasai semua genre musik seperti metal, rock, jazz juga blues. Seiring waktu dan tempaan pengalaman, bang Moexin mematangkan konsep bermusiknya. Salah satunya dengan musik tradisional dengan balutan western. Sentuhan genre musik modern sama sekali tidak membuat Bang Moexin melupakan lagu tradisional.

Harapannya kedepan, lagu tradisional yang diaransemen ulang seperti pada album "Dawai Makassar", bisa go internasional dan dinikmati oleh semua kalangan diseluruh dunia. Dengan demikian bisa menjadi inspirasi bagi generasi musisi akan datang untuk dapat memaksimalkan musik tradisional agar tidak musnah ditelan zaman. Bang Moexin sangat berharap, Makassar menjadi salah satu industri musik Indonesia dan musisi Makassar dapat mendistribusikan karya karya tanpa harus berharap dari label luar. Dengan demikian musisi Makassar dapat menjadi tuan rumah di tanah Makassar sendiri. Bang Moexin juga sangat berharap bagi musisi muda Makassar bisa mendekatkan diri pada lagu lagu tradisional. Selain itu, musik tradisional bisa dikomersialkan dan d

Memegang idealisme musik "Tidak berharap banyak di musik, namun berharap apa yang diberikan pada musik adalah yang terbaik". Sebagai musisi senior, Bang Moexin hidup bersahaja dan menikmati hidup dan rendah hati tanpa membatasi pergaulan. 

Perbedaan Mahasiswa Generasi 80-90an dengan Generasi 2000an

Mahasiswa angkatan 80-90an memiliki karakter yang berbeda dengan angkatan 2000an kebawah. Kondisi eksternal dan internal kemahasiswaan yang berbeda menyebabkan hal tersebut. Berikut ini beberapa perbedaan Mahasiswa

1. Kondisi Kebangsaan
Hidup dicengkraman orde baru yang dominan membuat mahasiswa saat itu cenderung militan dan tertutup. Sangat mudah bagi orang yang kritis untuk dituduh "makar" atau "tindak subversif" atau malah dituduh "komunis". Lembaga mahasiswa begitu diproteksi dari penguasa. Aktivis mahasiswa cenderung jual mahal terhadap pejabat-pejabat.
Sementara mahasiswa generasi 2000an berproses pada kondisi yang cenderung terbuka. Sebab arus reformasi yang mengalir membuka keran keran kebebasan. Akibatnya adalah militansi mahasiswa cenderung menurun akibat termanjakan kondisi yang lebih sejuk. Aktivis mahasiswa bisa bebas berteriak dimana mana tanpa harus khawatir dituduh "makar", "subversif" atau malah "komunis". Aktivis mahasiswa cenderung lebih mudah berinteraksi dengan para pejabat. Bisa di cek di nomor kontak di HP aktivis mahasiswa generasi 2000an hampir bisa dipastikan bisa ditemukan nomor HP Pejabat disitu.

2. Teknologi
Di tahun 80-90an, teknologi masih sederhana. Komunikasi masih mengandalkan cara langsung. Di akhir 90an,memiliki pager (apalagi HP) adalah sebuah kebanggaan, Sebab dimasa itu pager dan HP adalah produk teknologi yang sangat elit dan mahal. Lebih sebagai perlambang simbol status sosial ketimbang alat komunikasi. Mahasiswa generasi 80-90an sangat mengandalkan telpon koin dan wartel untuk komunikasi jarak jauhnya.
Motor adalah perlambang kesejahteraan. Biasanya dalam satu angkatan, jumlah pemilik motor ditahun 90an bisa dipastikan dibawah 10 buah. Di jurusan saya (tiga angkatan) hanya ada 4 motor, yang kami bergantian meminjamnya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengeksekusi persoalan transportasi dengan kondisi seperti itu.
Kegiatan mahasiswa biasanya membutuhkan spanduk dan baliho. Seperti Ospek, Raker, dan sebagainya. Berhubung digital printing belum ada dan komputer masih sederhana, maka spanduk dan baliho dibuat secara manual. Menggunakan kain polos yang dibeli di toko kain. Lalu mengambil kertas, mengusahakan agar seimbang. Menghitung jumlah huruf dan merekatkan dikain. Lain lagi kalau baliho, dibutuhkan jiwa seni untuk bisa melukis. Sekarang kreatifitas seperti itu sudah tergantikan dengan keahlian desain grafis.

3. Pengkaderan
Keras. Satu kata itu sudah cukup merangkum bagaimana model pengkaderan di lembaga kemahasiswaan. Tujuannya jelas. Membentuk mahasiswa yang bermental baja dan militan dalam menghadapi penguasa.
Keras disini dalam artian fisik dan pikiran. Di zaman dimana mesin ketik belum tergantikan oleh laptop dan printer, mesin ketik selalu mewarnai dimalam malam pengkaderan. Sebelum memasuki sebuah pengkaderan formal lembaga (baik intra maupun ekstra kampus), mahasiswa diwajibkan membuat makalah dengan jumlah referensi yang banyak. Setelah itu, tiap materi yang diterima harus dibuatkan resume dengan jumlah referensi tertentu. Kerasnya proses pengkaderan memaksa mahasiswa untuk menguasai banyak bidang pengetahuan secara cepat.

baca juga -->