Showing posts with label sosial budaya. Show all posts
Showing posts with label sosial budaya. Show all posts

Buta Huruf, dulu dan sekarang

Dahulu kala, hampir semua leluhur kita mampu membaca dan menulis aksara serang/jawi dan aksara lontara. Ilmu pengetahuan di sampaikan melalui naskah lontara kepada generasi berikutnya.
sebab, keterbatasan manusia untuk menyampaikan langsung ilmu/pengetahuan kepada manusia lainnya. keterbatasan itu berupa keterbatasan ruang dan waktu


Aksara latin telah dikenal seiring dengan kedatangan bangsa eropa ke nusantara. namun setelah adanya "sekolah" latin mulai menjadi aksara standar komunikasi. demikian pula penggunaan kalender masehi yang menggeser penggunaan kalender hijriyah
Orang-orang tua yang tidak bersekolah (sekolah formal) tidak mampu membaca aksara latin namun mampu mengaji dan menulis aksara lontara dicap BUTA HURUF.
Selama sekian puluh tahun, akhirnya aksara latin (seperti yang kita gunakan saat ini) menjadi aksara keseharian kita. dan kita tak lagi selancar atau malah tak mampu membaca aksara lontara. perlahan, kita makin tercerabut dari akar ilmu/pengetahuan kita...dan kita kemudian perlahan menjadi "orang lain"....
==================================================================
Transformasi pengetahuan dari generasi lalu ke generasi berikutnya melalui media tutur yaitu Pappaseng dan tulis yaitu Lontara. Disini pentingnya penggunaan dan pelajaran Bahasa Daerah. Namun pada kenyataannya, pelajaran Bahasa Daerah semakin berkurang di banyak sekolah dasar dan menengah. Sementara di rumah, penggunaan Bahasa Indonesia semakin massif sehingga banyak anak anak yang kurang mampu berbahasa Daerah.

Naskah tentang Fiqhi dan Senjata ditulis 1257H

Bila ini terus berlanjut, dapat diprediksi bahwa Pappaseng yang berfungsi sebagai pembentukan karakter akan hilang. Terlebih lagi lontara, kondisinya semakin memprihatinkan.
Banyak naskah tua. Ada yang tersebar di rumah penduduk. Ada di gedung arsip. Ada pula di museum luar negeri dan beberapa tempat lainnya. Naskah yang ada dirumah penduduk, kebanyakan kondisinya sudah memprihatinkan. Rapuh dan sulit terbaca. Itupun kalau diizinkan dibaca. Sebab terkadang perlakuan yang terlalu sakral justru membuat naskah terproteksi dari pembacanya. Ini dengan catatan, naskah tersebut selamat dari berbagai peristiwa luar dugaan seperti kebakaran, banjir, perang dan lainnya. Naskah yang ada di gedung arsip, museum apalagi di luar negeri juga sulit diakses karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mencari informasi.
Akibatnya, Pappaseng akan perlahan terlupakan. Lontara pun tak terbaca. Generasi muda akan gagal mewarisi ilmu pengetahuan dari leluhurnya. Kedepan, generasi muda akan kehilangan identitas dan akan mewariskan ketidaktahuannya pada identitas serta pengetahuannya pada generasi berikut.
Oleh karena itu, sangat penting melakukan revitalisasi. Menyemarakkan kembali penggunaan Bahasa Daerah di rumah dan di masyarakat. Mendorong agar Bahasa Daerah tetap diajarkan di sekolah. Naskah naskah tua di transliterasi, diterjemahkan dan diterbitkan menjadi buku agar mudah dibaca oleh segenap kalangan tanpa merusak fisik naskah yang sudah rapuh tersebut.
==================================================================
Memberantas Buta huruf...ternyata membuat kita justru buta huruf terhadap aksara dan pengetahuan lokal kita...Ironis

The Turning Point : Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan

Judul Asli : THE TURNING POINT Science, Society and The Rising Culture. Bantam Book, New York
Penulis : Fritjof Chapra
Penerbit : Cetakan Pertama tahun 1997 sampai cetakan keenam 2004 - Penerbit Bentang
Cetakan Ketujuh, Mei 2007 - Penerbit Jejak
Tebal : 571 halaman + xxiii

Kemajuan teknologi membawa manusia pada peradaban yang maju di satu sisi. Namun disisi lain, membawa manusia ke pinggir jurang kehancurannya. Chapra, menulis hal ironis ini dengan kalimat, "Pengeluaran militer dunia kira kira 425 Milyar Dollar....Sementara itu lebih dari lima belas juta orang meninggal karena kelaparan, lima ratus juta lainnya kekurangan gizi dengan serius"(hal 4).

Perlombaan senjata nuklir negara adidaya, menghabiskan dana besar. Sementara, dampak yang diakibatkan oleh senjata nuklir sangat mengerikan bagi bumi kita. Bahkan, terlepas dari ancaman nuklir, bencana ekologis mengancam ekosistem kita. Udara, tanah, air, perlahan dipenuhi limbah beracun sebagai dampak dari kemajuan teknologi tersebut.

Chapra menuliskan tentang pola perkembangan peradaban, mulai Sumero-Akadia, Mesir, Aegean, Syiria, Yunani, Islam, Kristen Ortodoks dan Barat dalam bentuk grafik yang berkembang, puncak dan perlahan menurun. Mengutip Toynbee, Chapra mengatakan "Terjadinya suatu peradaban itu sendiri dari suatu transisi dari kondisi statis ke aktivtas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atauu disintegrasi satu peradaban atau lebih ke generasi yang lebih tua" (hal.11)
Pengaruh pemikiran taoisme pada Chapra kemudian tergambar pada bagaimana peradaban itu berkembang dan menurun. Chapra menilai, peradaban kita lebih dominan aspek Yang atau maskulin. Sistem patriarki didorong dengan budaya bendawi mengarahkan pada ketidak-seimbangan budaya dan menjadi akar dari krisis peradaban kita. 
Pada bagian kedua yang terdiri dari dari dua bab, Chapra mengurai tentang Paradigma pengetahuan. Bab pertama tentang paradigma mekanistik yang berjudul "mesin dunia ala Newton". Sedang bab kedua tentang fisika baru. 

"Antara tahun 1500-1700 terdapat suatu perubahan dramatis pada cara manusia menggambarkan dunianya dan dalam keseluruhan cara berpikir mereka. Mentalitas dan persepsi baru tentang kosmos memberikan sifa sifat pada peradaban barat yang menjadi karakteristik peradaban modern. Mentalitas dan persepsi tersebut menjadi dasar paradigma yang telah mendominasi kebudayaan kita selama tiga ratus tahun yang lalu dan kini sudah hampir berubah" (hal.43)


Thomas Aquinas memadukan sistem alam ala Aristoteles dengan teologi dan etika Kristen dan menetapkan kerangka konseptual selama abad pertengahan. Hingga kemudian, kemunculan Nicholas Copernicus yang membantah pandangan geosentrik Ptolemy. Kemudian dilanjutkan dengan Galileo yang memperjelas hipotesa Copernicus tersebut.

Berikutnya, seorang Inggris, Francis Bacon merumuskan metode ilmu empiris yang menyerang filsafat tradisional. Disinilah perubahan mendasar pandangan terhadap alam. Alam dalam pandangan tradisional adalah "ibu" atau "kawan", berubah menjadi "Budak yang ditaklukkan". Chapra kemudian menilai adanya pemikiran patriarki pada pemikiran Bacon.

Rene Descartes dan Isaac Newton, menyempurnakan pemikiran Bacon. Mengutip Descartes : "Kita menolak semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan, dan kita berpendirian bahwa ita hanya percaya pada hal hal yang benar benar diketahui dan tidak ada keraguan tentangnya". (hal : 49). Kebenaran menurut Descartes adalah sesuatu yang pasti secara matematis. Kebenaran mestilah dapat dihitung dan terukur. Hal ini dilandasi keyakinan Descartes bahwa bahasa alam adalah matematika. Sumbangan besar Descartes terhadap ilmu pengetahuan adalah keraguan yang mendasar sebagai metode. Kelak menjadi "hipotesa" dalam penelitian kualitatif skripsi mahasiswa.

Sebagaimana Galileo dan Descartes, Isaac Newton juga menyakini bahwa semesta sistem mekanis yang bekerja sesuai dengan hukum matematika. Keberhasilan Newton adalah mempersatukan dua kecenderungan metode dimasanya. Yaitu metode empiris induktif yang diwakili oleh Bacon dan metode rasional deduktif yang diwakili oleh Descartes. Sampai pada titik ini, paradigma mekanistik dibangun dari pemikiran Copernicus, Galileo, Bacon, Descartes hingga dikunci oleh Newton. Mulai dari sistem semesta, metode induktif  dan deduktif, atom, gravitasi hingga mekanika Newton.

Gagasan tentang kosmos kemudian mulai bergeser, saat Einstein memperkenalkan teori relativitasnya. Ia bersama tokoh macam Niels Bohr, Max Planc, Heisenberg dan sebagainya mulai mengkritisi model atom klasik warisan Newton. Temuan terbaru saat itu seperti teori quantum, partikel sub atom dan seterusnya, kemudian mempengaruhi cara pandang terhadap alam semesta.

Generasi Einsten dan kawan kawan, adalah generasi yang memperkenalkan fisika baru dan perubahan paradigma pengetahuan tentang alam semesta. Mengutip Heisenberg : "dengan demikian, dunia tampak sebagai sebuah JARINGAN PERISTIWA YANG RUMIT, dimana hubungan berbagai jenis bertukar atau tumpang tindih atau bergabung sehingga menentukan tekstur secara keseluruhan" (hal : 79)


Dapat dipahami bahwa, paradigma mekanistik yang diusung Newton dan kawan kawanlah yang membangun peradaban kita saat ini. Mulai dari fisika, biologi, psikologi, ekonomi dan sebagainya. Warisan yang masih dapat dirasakan saat ini adalah mahasiswa mengerjakan skripsi, dan menggunakan metode kuantitatif. Penggunaan hipotesa, model induksi dan deduksi, serta penggunaan statistik adalah ciri kuatnya. Terlepas dari kemajuan yang merupakan dampak dari paradigma mekanistik, peradaban manusia di sisi lain berada di jurang kehancuran.

Kritik terhadap pandangan dunia mekanistik kemudian melahirkan pandangan dunia baru yang disebut pandangan dunia sistem. Atau sering juga disebut paradigma holistik. Gagasan dasarnya disebutkan Chapra : "Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil. Pendekatan sistem tidak memusatkan pada balok balok bangunan dasar atau zat zat dasar melainkan lebih menekankan pada prinsip prinsip organisasi dasar"(hal : 319).

Adanya kesaling hubungan dan kesaling terpengaruhan sebuah entitas dengan entitas lainnya sebagai sebuah sistem adalah sesuatu yang penting dalam pandangan dunia sistem ini. Pandangan ini lebih dari sekadar sains dan ilmu humaniora. Bahkan menjangkau pemikiran timur macam Taoisme. Chapra dengan cermat mencoba menghubungkan antara sains, humaniora dengan taoisme dan melihat adanya interkoneksitas pada disiplin yang berbeda. Chapra sangat rajin meminjam pendekatan taoisme dan timur dalam membedah banyak hal.

Ia memotret adanya fenomena perkawinan metode barat dan timur sebagai dampak dari pandangan dunia sistem : "karena tradisi tradisi filosofis dan religius timur selalu cenderung memandang jiwa dan tubuh sebagai suatu kesatuan, maka tidaklah mengherankan bahwa sejumlah teknik untuk mendakati kesadaran dari tingkat fisik dikembangkan di timur, signifikansi terapeutik dari pendekatan pendekatan meditatif ini semakin diperhatikan di barat, dan banyak terapis barat menyatukan teknik kerja tubuh timur macam Yoga, Ta'i Chi, dan Aikido ke dalam perlakuan mereka" (hal 427)

Munculnya sistem pertanian organik, metode penelitian kualitatif, adalah contoh terapan dari pandangan dunia sistem. Pandangan dunia yang spiritnya adalah menjaga dunia dari kesombongan manusia atas ilmu pengetahuannya.

Rokok, Budaya Merokok dan Hubungan Sosial di Sulawesi Selatan

Di masa lalu, tradisi makan sirih (mangota) adalah jamak bagi masyarakat nusantara, termasuk di Sulawesi Selatan. Tradisi ini dilakukan setiap saat, apalagi menjamu tamu. Tamu akan disuguhkan sirih beserta perangkatnya sebagai bentuk keakraban pada hubungan sosial di masa lalu. Namun seiring zaman, rokok diperkenalkan ke nusantara. Perlahan tradisi makan sirih beralih ke tradisi merokok. 

Rokok sejatinya dapat dinikmati bersama minuman seperti teh dan kopi. Gencarnya kampanye anti rokok yang didukung berbagai regulasi, akhirnya menyebabkan perokok kian tersudutkan. Sedikit demi sedikit, terjadi perubahan paradigma tentang rokok dan merokok dalam beberapa dasawarsa terakhir. Walaupun merokok bukan perbuatan yang menyehatkan di satu sisi, namun merokok dapat membantu suasana rileks yang mengkondisikan dialog yang serius maupun ringan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, merokok umumnya dilakukan oleh laki laki dan perempuan tua. Merokok bukan hanya sebagai "alat bantu suasana rileks", akan tetapi perekat hubungan sosial. 

Saat berada di ruang sosial yang baru. Salah satu cara untuk memulai pembicaraan dengan orang orang yang tidak dikenal adalah dengan menawarkan rokok. Setelah itu, baru dimulai beberapa dialog yang pada akhirnya menciptakan keakraban diantara orang orang yang ada disekitarnya.

Dalam budaya merokok di Sulawesi Selatan, ~pada ruang sosial yang anggotanya saling mengenal~ menaruh rokok dikantong saat bercengkrama dianggap pelit. Rokok selalu ditaruh di meja dan dipersilahkan kepada semua orang untuk mengisapnya. Saat menawarkan rokok, kedua tangan terbuka dan menyodorkan rokok ke arah orang. 




Sepertinya tradisi menyuguhkan sirih dimasa lalu telah bermetamorfosa di tradisi merokok. Ketika ada orang minta rokok, etikanya ia tidak akan langsung mengambil rokok tersebut. Ia akan bertanya siapa pemilik rokok. Bila pemilik rokok mengatakan "rokokku", maka orang itu tidak akan mengambilnya. Namun bila pemilik rokok mengatakan "rokokta" (maksudnya rokok kita), maka orang itu akan memulai merokok.

Wacana kenaikan harga rokok yang tentu tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan perokok untuk membeli rokok, akan menyebabkan perubahan tradisi merokok di Sulawesi Selatan. Perubahan itu kira kira dengan tidak ditawarkannya rokok di tempat umum. Pemilik rokok akan menyembunyikan rokoknya menghindari teman yang minta rokok. Kalau perlu rokok batangan di simpan didompet demi memenuhi kebutuhan merokok saat persediaan rokok di ruang sosial semakin kurang. Sederhananya, orang di Sulawesi Selatan, akan pelit dengan rokoknya masing masing. Sehingga keakraban, kesantunan dan kedermawanan antara sesama perokok akan tergantikan dengan prinsip "untukmulah rokokmu dan untukkulah rokokku". 

Cerita tentang lembaga adat

Saat pertama mendengar wacana pembentukan lembaga adat 12 tahun lalu (Maret 2004), lembaga adat adalah hal yang amat asing. Sumbernya pun dari orang yang tak terduga, yaitu orang orang tua yang konon mendapat petunjuk. Beberapa orang memiliki gagasan pendirian lembaga adat, bahkan jauh lebih awal. Sekira pertengahan tahun 1980an.
Zaman orde baru, zaman dimana ada orang berada pada kungkungan ketakutan untuk berpendapat. Ego pengetahuan saya kesampingkan. Niat baik dan cita cita mulia yang membuat saya tertarik. Perlahan, saya menemukan rasionalisasi terhadap sesuatu yang awalnya “berbau mistik” tersebut.Tentu tidak mudah mengusung gagasan tersebut, apalagi memperjuangkannya. Berbagai cibiran harus diterima dengan lapang dada. Mulai dari tuduhan “tindak subversif ala orde baru”, hingga “menghidupkan kembali feodalisme”. Hal itu mesti ditanggapi dengan baik. Lembaga Adat bukanlah mendirikan kerajaan yang bermaksud merongrong NKRI, malah sebaliknya, justru menguatkan NKRI dalam bingkai ke bhinekaan. Malah, mulai dari amandemen UUD 1945 yang memberi perhatian terhadap lokalitas, hingga Permendagri no/71 tahun 2001.Tidak mudah untuk mendirikan lembaga adat.

Orang orang pasti kaget. Masyarakat kita 21 tahun dalam kuasa Orde lama dan 32 tahun dalam kuasa Orde baru yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga adat. Namun seiring waktu, keterbukaan informasi di era reformasi, membangun kesadaran untuk membangun identitas kebangsaan melalui budaya, spesifiknya pendirian lembaga adat.Pada titik ini, mendirikan lembaga adat perlu diperbaiki fondasinya. Yaitu bangunan dasar pemikiran pentingnya pendirian lembaga adat. Sebab jika keliru, tentu fondasinya lemah. Lembaga adat mestilah sejalan dengan aturan yang berlaku di NKRI. Lembaga adat, mestilah menjadi pusat syaraf budaya yang disalurkan ke masyarakat sehingga ada ketahanan budaya dan identitas kebangsaan ditengah gempuran budaya asing.

Lembaga adat mestilah berkontribusi terhadap pembangunan, khususnya manusia Indonesia. Lembaga adat mestilah bervisi kemanusiaan, sebab merayakan keberindonesiaan kita berarti menghapuskan praktek feodal dan perbudakan. Nah untuk itu, perlu kajian mendalam untuk mensinergiskan antara budaya, sejarah dan konteks kekinian. Mendirikan lembaga adat, tidak berarti kembali ke masa kerajaan dan masa penjajahan.

Ia harus kekinian. Lembaga adat harus kekinian, tetapi tidak berarti harus mempermaklumkan pola pola organisasi yang tidak mengacu pada sistem adat budaya setempat. Disini menariknya.Seiring waktu, makin banyak yang tertarik dengan lembaga adat. Malah, perkumpulan lembaga adat juga makin beragam. Mungkin orang kagum dengan “bergaya tradisional” saat festival keraton. Kelihatan gagah mungkin pikirnya.

Tetapi terpikirkah bahwa dibalik balutan “gaya adat” itu terdapat beban adat istiadat yang berat ? Ah sudahlah. Kurang bijak menilai orang lain. Itu haknya.Saya senang, banyak orang ingin mendirikan lembaga adat. Setidaknya, saya bisa berhenti untuk memikirkan dan mengusahakan mendirikannya. Pengorbanan selama 12 tahun, baik material maupun non material, biarlah Tuhan yang tahu. Yang saya pahami, andai berdiri lembaga adat, saya hanyalah seseorang yang duduk diluar pagar sambil tersenyum melihat para pembesar pembesar adat menjadikan dirinya “adat yang berjalan”.

Mari minum kopi, merayakan kebahagiaan. Memaafkan dan memaklumi orang yang lupa diri. Semoga kita tidak ikut lupa diri gara gara lembaga adat. Untuk menjadi sebaik baik manusia (yang paling banyak manfaatnya), masih banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya, dikehidupan yang fana ini, sudah berusaha meski itu sederhana.

Tanya jawab seputar Lembaga Adat


Tanya (T) : Bagaimana posisi lembaga adat di era sekarang ?
Jawab (J) : Sebuah negara akan kuat, bila pemerintah dan rakyatnya bersatu. Memaksimalkan peran masing masing dalam pembangunan. Lembaga adat, adalah organisasi non pemerintah yang eksistensinya diatur oleh Permendagri, merupakan mitra pemerintah dalam pelestarian budaya. 

T : Peran apa yang harus dilaksanakan oleh lembaga adat ?
J : Peran sebagai mitra pemerintah diatur dalam Pasal 4 Permendagri no.39 tahun 2007 antara lain Inventarisasi adat, seni, budaya daerah, kekayaan budaya dan peninggalan sejarah. Penyusunan rencana pengelolaan dan pengembangan, pemeliharaan serta pendayagunaan aset budaya. Penelitian dan sebagainya. 

T : Apakah mendirikan lembaga adat berarti menghidupkan neo-feodalisme ?
J : Kita kembali ke definisi Feodal yang berarti tuan tanah. Masalah pertanahan diatur oleh negara. Kita kembalikan pada aturan yang berlaku.

T : Tetapi spirit demokrasi memberikan ruang yang sama kepada warga negara, sedang lembaga adat berarti kita memediasi trah politik masa lalu. Bagaimana dengan itu ?
J : Pada zaman sekarang, masih ada trah politik kok. Bukan cuma di Indonesia. Bahkan di negara yang katanya paling demokratis yakni AS. Bisa dijelaskan mengapa pernah presidennya dari bapak ke anak ? Kita mesti berpikir jernih. Negara ada dua jenis. Pertama republik, kedua kerajaan. Negara Republik tetap memediasi trah politik tertentu, cuma suksesinya melalui pemilu. Sedang kerajaan nusantara dimasa lalu, suksesinya melalui penunjukan oleh raja sebelumnya, atau melalui mekanisme pemilihan adat secara terbatas. Namun kita mesti ingat bahwa Lembaga adat bukan kerajaan. Akan tetapi dalam pemilihan anggota dan pemimpin lembaga adat mengacu pada aspek historisnya.

T : Iya benar, lembaga adat adalah organisasi non pemerintah. Tetapi strukturnya tidak memediasi diluar trah politik masa lalu untuk turut berpartisipasi didalamnya
J : Struktur lembaga adat masih bisa dikembangkan. Ia tidak kaku. Artinya, selain mengacu pada struktur kerajaan dimasa lalu, bisa juga ditambahkan struktur yang bersifat fungsional dan profesi. Misalnya bagian ekonomi, pertanian, perikanan dan sebagainya. Sehingga orang orang yang diluar keturunan atau trah politik masa lalu, dapat berpartisipasi dibidang sesuai kemampuannya.

T : Membahas tentang struktur. Disitu kan disebut tentang wilayah kekuasaan dan pemerintahannya. Apakah ini tidak berarti tumpang tindih dengan pemerintahan daerah ?
J : Kembali lagi ke bentuk lembaga adat. Lembaga adat bukanlah kerajaan. Lembaga adat bukan negara dalam negara. Tetapi lembaga adat adalah organisasi non pemerintah yang menjadi mitra pemerintah dalam pelestarian budaya.

T : Tetapi pelestarian budaya tidak berkaitan dengan ekonomi, perikanan seperti yang disebutkan sebelumnya 
J : Budaya harus dipahami secara luas. Selain itu, lembaga adat harus berkontribusi terhadap pembangunan agar negara kita kuat.

T : Bagaimana hubungan antara perpolitikan di daerah dengan lembaga adat serta tokoh adat
J : Ini bagian penting dan sensitif. Namun jika kita berpikir jernih, seharusnya tokoh adat dan lembaga adat berperan sebagai benteng budaya. Nilai nilai budaya harus terimplikasi pada lembaga adat dan prilaku tokoh adat. Sehingga bisa menjadi perekat masyarakat. Di sisi lain, bangsa kita masih belajar berdemokrasi, dan cost sosialnya mahal. Betapa banyak masyarakat kita yang dulunya rukun, akrab, bersahabat, menjadi jauh bahkan bermusuhan hanya karena beda pilihan politik. Belum lagi beberapa kasus pembakaran kantor KPUD dan kantor pemerintahan pada beberapa pilkada. Pada ajang pilkada sering kita lihat retaknya sebuah keluarga. Nilai gotong royong dan kebersamaan semakin pudar. Nah pada titik ini, lembaga adat dan tokoh adat mestinya berperan sebagai perekat sosial, bukan sebagai tim sukses dan pendulang suara calon tertentu. Sehingga seharusnya tokoh adat dan lembaga adat itu netral. 

T : Bagaimana dengan dualisme tokoh adat sekaligus kepala daerah seperti di Yogya?
J : Kita tidak menyoal tentang Yogya yang punya histori dan regulasi tersendiri. Kepala daerah dengan wewenang yang sangat besar di era otonomi daerah ini, punya tugas yang sangat berat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak perlu terlalu banyak dibebani dengan tugas tugas adat dan budaya. Sementara tokoh adat punya peran yang juga besar sebagai simbol adat budaya. Kedua jabatan itu punya tugas yang berat. Sulit menjalankan dengan sukses secara simultan.

T : Berarti bisa tidak simultan ?
J : Ya benar. Seorang tokoh adat punya hak politik sebagai warga negara. Dia berhak ikut pada kontestasi politik daerah. Namun, ia harus melepaskan jabatan dulu agar bisa fokus dengan tugas yang baru. Demikian pula sebaliknya. Seorang kepala daerah harus demisioner terlebih dahulu untuk dapat dipilih dewan adat sebagai pemimpin di lembaga adat tersebut. Agar juga bisa fokus dengan tugas beratnya yang baru.

T : Terkesan bahwa lembaga adat yang dijelaskan merupakan pemimpin kultur ?
J : Iya benar, lembaga adat dan tokoh adat harusnya bisa merekatkan masyarakat. Terutama yang beragam pilihan politik. Dibutuhkan pemimpin kultur yang bisa menengahi dan memediasi kemungkinan konflik horizontal.

T : Tetapi kan sudah ada Polri dan Pemda ?

J : Kalau sebuah masalah bisa diselesaikan secara baik baik, mengapa mesti dibawa ke ranah hukum ? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang cinta damai dan suka gotong royong? Setidaknya lembaga adat dan tokoh adat dapat membantu tugas Kepolisian dan Pemda

T : Bisa dipertajam tentang peran Pemda terhadap lembaga adat
J : Jelas dalam permendagri tentang pedoman fasilitasi lembaga adat.



T : Bisa dipertajam tentang istilah "Benteng Budaya" di konfrontasikan dengan pernyataan banyak orang bahwa "budaya menghambat pembangunan"
J : Baik. Kita berada di zaman teknologi informasi. Beda di zaman orba dulu, akses internet masih sangat terbatas, dan media dikontrol penuh oleh pemerintah. Saat ini, banyak perubahan sikap generasi muda akibat akses internet yang kurang sehat dan tayangan media yang kurang baik. Sementara masyarakat selalu butuh publik figur yang pantas diteladani. Sayangnya, publik figur yang diangkat bukan lagi tokoh agama atau orang yang berprestasi, tetapi orang yang pintar menyanyi, pintar acting. Sayang sekali, yang dipublish sering masalah keluarga mereka yang tidak mendidik, misalnya perceraian. Kita punya modal sosial, yaitu nilai budaya kita. Nah untuk menerapkan nilai budaya itu lewat edukasi. Baik secara teoritis melalui pendidikan formal maupun praktek melalui prilaku, sikap dan tindakan tokoh adat di sebuah lembaga adat. Bila lembaga adat bisa berjalan seperti ini, maka lembaga adat menjadi benteng budaya kita terhadap gempuran budaya asing. 

T : Belum terjawab pertanyaan tentang "Budaya menghambat pembangunan"
J : Entah pernyataan itu darimana. Namun berbicara budaya, baik lokal maupun asing ini perlu didialogkan. Kita setuju, kedisiplinan dan ketertiban ala barat itu baik diterapkan. Tetapi tidak untuk pergaulan bebasnya. Sementara budaya lokal, yang tidak relevan misalnya perbudakan, itu harus ditinggalkan. Tetapi nilai seperti gotong royong, kebersamaan, justru harus dikembangkan. Itu yang sulit ditemui dibarat yang cenderung pragmatis masyarakatnya. Nah kalau sudah begini, jelas mana yang menghambat mana yang tidak menghambat pembangunan.

T : Bagaimana dengan UU No.6 Tentang Desa yang menyebut tentang lembaga adat tingkat desa
J : UU No.6 tentang Desa ini perlu disesuaikan dengan konteks daerah mengingat histori daerah di Indonesia tidak seragam. Mengacu ke aspek histori sebuah daerah. Ada kabupaten yang bekas kerajaan yang dahulu membawahi kerajaan kerajaan kecil. Ada kabupaten yang gabungan kerajaan yang masing masing juga membawahi bekas kerajaan kecil. Untuk saat ini, lebih mudah mendirikan lembaga adat tingkat kabupaten bila kabupaten itu bekas sebuah kerajaan. Untuk gabungan kerajaan, ini butuh kajian khusus. Agak sulit mendirikan lembaga adat tingkat desa dengan pertimbangan bahwa banyak pewaris yang migrasi ke kota. Tentu sulit meminta mereka kembali ke desa untuk mendirikan lembaga adat di desanya. Sementara bila diisi orang lain, justru muncul kemungkinan konflik. Nah ini harus dihindari. Lembaga adat mestinya merekatkan masyarakat, bukan menciptakan konflik. Tetapi bila ada desa yang pewaris sahnya tinggal didesa itu. Tidak menjabat sebagai kepala desa, tentu sangat relevan mendirikan lembaga adat tingkat desa seperti amanah undang undang. Tetapi tentu masalah tiap desa di Indonesia tidak sama. Kita belum lagi membahas tentang bekas kerajaan kecil yang menjadi desa, kemudian dibelakang hari terjadi pemekaran desa. Ini juga membutuhkan kajian serius.

T : Mengapa kita menolak orang orang yang dianggap raja palsu ?
J : Kita memahami prinsip "right man on the right place" biarkan orang yang tepat menduduki posisi yang pantas. Sebab jika tidak, kita hanya menunggu kehancuran. Bisa dibayangkan kalau raja sebagai pemimpin adat (bukan kepala negara) diduduki oleh orang yang sekadar ingin mereproduksi status, orang yang ingin bergaya ala adat tanpa mengemban amanah, maka tunggu kehancuran adat budaya di daerah itu.

T : Berarti tidak setuju kalau kepala daerah otomatis menjadi ketua lembaga adat (raja) atau sejenisnya ?
J : Jelas. Kembali ke pembahasan diatas. Tugas kepala daerah untuk mensejahterakan rakyat itu sangat berat. Jangan lagi dibebani dengan tugas tugas kultural yang sebenarnya masyarakat bisa berpartisipasi sebagai mitra pemerintah. Lagi pula kurang apa wewenang sebagai kepala daerah di era otonomi ini ? Kepala daerah yang bijak adalah memahami posisinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi didaerah, bukan turun kelas menjadi ketua sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak bidang adat budaya. Posisi pembina atau penasehat itu sangat layak bagi kepala daerah

Manfaat berorganisasi bagi Mahasiswa

Di kampus, biasanya ada dua jenis organisasi yang dapat dimasuki oleh mahasiswa. Pertama, organisasi intra kampus, seperti BEM, Himpunan dan UKM sebagainya. Kedua, organisasi ekstra kampus, seperti HMI, PMII, IMM, GMKI dan sebagainya.

Pada beberapa kasus, minat berorganisasi bagi mahasiswa nampaknya menurun. Banyak hal yang mempengaruhinya. Bisa jadi karena model pengelolaan organisasi yang kurang inovatif. Bisa jadi karena kurang mampu menfasilitasi anggotanya untuk berkembang. Atau, boleh jadi karena budaya hedonisme yang semakin mengemuka.

kegiatan pengkaderan salah satu organisasi


Namun terlepas dari hal tersebut, tidak masalah bila kita mengangkat manfaat berorganisasi bagi mahasiswa. Setidaknya menjadi motivasi agar gairah berorganisasi bagi mahasiswa kembali bersemi :)

1. Melatih kemampuan manajerial
Berorganisasi berarti berinteraksi dengan banyak orang dan banyak karakter. Dalam organisasi terdapat struktur dan tupoksi. Kemampuan manajerial tidak melulu dominasi pada jabatan puncak. Namun juga pada posisi yang lebih rendah. 
Kemampuan manajerial akan terasah dengan kerjasama berbagai karakter dengan tugas masing masing. Pada posisi puncak, seseorang harus belajar untuk bijak dan berempati pada bawahannya. Serta belajar untuk menggerakkan orang lain tanpa melukai perasaannya. Pada posisi bawah, seseorang harus berlatih bekerjasama dengan karakter lain.
Tidak selamanya seseorang berada pada posisi terendah. Ruang ruang karir dan promosi jabatan terbuka di organisasi mahasiswa. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami peran tiap posisi. Tidak kemaruk posisi, tetapi tetap punya visi untuk pengembangan diri.

2. Melatih kemampuan verbal
Ketika mendengar pembicaraan orang lain, seringkali kita mendapati orang yang menyimak mengatakan, : "Sebenarnya begitu maksudku, cuma susah saya katakan". Pada kasus seperti itu, hampir dapat dipastikan bahwa yang menyimak tersebut adalah orang yang kurang berorganisasi. 
Dengan berorganisasi, seseorang akan terlatih berbicara di rapat atau forum lain. Dengan demikian, kemampuan verbal akan terasah dengan sendirinya.
Kemampuan ini sangat penting, bagaimana berkomunikasi secara verbal dengan menyusun diksi kalimat yang tepat sesuai konteks. Seseorang yang terlatih, akan sangat paham bagaimana berkomunikasi secara verbal kepada orang awam, politisi, akademisi dan sebagainya.
Sebagai contoh, bila seseorang hendak menggerakkan orang lain. Yang satu telinganya cenderung peka. Maksudnya, bila hendak diperintah, harus sehalus mungkin. Yang lainnya mungkin telinganya tidak terlalu peka

3. Membangun jaringan
Masa mahasiswa adalah masa dimana kepribadian dan skill dibentuk. Selain itu, jaringan dikembangkan. Dengan menjadi pengurus organisasi, seseorang bisa lebih mudah berinteraksi dengan senior-seniornya yang telah sukses. Juga mudah berinteraksi dengan pemerintah, TNI-Polri, dan bahkan dari organisasi lain.
Pengurus organisasi berinteraksi dengan berbagai unsur tersebut pada berbagai momen, dan program kerja. Dari sini, pengurus bisa dikenal. Dan bila silaturahmi dirawat, maka kedepan menjadi modal besar dalam meraih cita-cita. 
Pada satu kondisi, bahkan ijazah hanya sekadar formalitas dalam mencari kerja, apabila di sebuah instansi adalah bagian dari jaringan yang pernah dirawat semasa mahasiswa.

4. Peluang dapat jodoh
Berorganisasi berarti bergaul dengan banyak orang. Bisa jadi dalam organisasi itu sendiri, bahkan diluar organisasi tersebut. Ini berarti, ruang ruang untuk mendapatkan jodoh terbuka lebar.
Jodoh ideal adalah yang memiliki kesamaan dalam arti cara pandang. Sehingga tidak sulit dalam membangun rumah tangga kelak.
Berorganisasi berarti melatih mental, skill dan kepribadian. Orang yang berorganisasi akan terlatih dengan sebuah cara pandang baru dalam melihat persoalan. Bila sebuah pasangan berasal dari latar organisasi, mereka cenderung memiliki cara mengelola rumah tangga yang lebih simpel dan lebih dapat saling memahami.

Demikian 4 manfaat berorganisasi bagi mahasiswa. Dengan banyaknya pilihan organisasi yang tersedia di kampus, maka tak sulit untuk menempa diri dengan berorganisasi.

Quo Vadis Lembaga Adat ?

Berdasar ayat 1, pasal 32 UUD 1945 amandemen keempat disebutkan, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya". Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah melalui Mendagri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.

Sebuah acara adat di Sarasa, Kec.Pammana

Sejak reformasi bergulir, banyak lembaga adat yang terbentuk. Niat awalnya tentu melestarikan budaya. Dari titik ini, penguatan budaya daerah tentu akan menguatkan budaya nasional. Sekaligus, meminimalisir efek negatif serapan budaya asing yang seolah tak terfilter lagi.

Ada jeda yang cukup lama, antara bubarnya kerajaan-kerajaan nusantara dengan terbentuknya lembaga adat. Hal ini menyebabkan, lembaga adat sulit menemukan bentuk idealnya. Beberapa penyebabnya antara lain :

1. Sengketa antar pewaris
Setelah bubarnya kerajaan, raja terakhir umumnya dijadikan bupati di nusantara. Sayangnya, tidak semua bekas kerajaan melantik putra makhota untuk memilih raja berikutnya. Setelah dua atau tiga generasi, terjadi sengketa waris antara sepupu sekali, paman - kemenakan, antar saudara/saudara tiri dan sebagainya.

2. Kurang/habisnya pusaka
Pusaka merupakan simbol kerajaan. Banyak pusaka yang terjual keluar negeri dimiliki kolektor. Entah karena kesulitan finansial atau persoalan lain sehingga pusaka terjual. Belum lagi perebutan pusaka kerajaan oleh ahli waris. Sehingga sulit menemukan bekas kerajaan yang pusakanya masih terjaga dan terawat.
Belum lagi bekas istana yang rusak, dijual, atau hancur. Sehingga walaupun ada pewaris untuk lembaga adat, namun tidak ada lokasi untuk menyelenggarakan amanah lembaga adat.
Di daerah di Indonesia bekas konflik/pemberontakan/perang antara 1950-1965 juga banyak pusaka yang hilang, dirampok, ditanam, dicuri atau dirusak.

3. Dilupakannya atau hilangnya aturan adat
Tiap kerajaan memiliki aturan adat yang detail. Setelah melebur ke RI, otomatis pelaksanaan aturan adat semakin berkurang hingga hampir tak dilakukan lagi oleh generasi sekarang. Saat lembaga adat terbentuk, banyak orang gagap mengatur keprotokuleran adat. Orang yang paham, telah meninggal beberapa atau belasan atau puluhan tahun silam. Sementara, tidak sempat diajarkan pada generasi berikut. Beberapa naskah yang mencatat aturan adat secara detail juga hilang, rusak, dicuri, terbakar dan berbagai persoalan sehingga sulit diakses bila masih ada.

4. Masuknya kepentingan politik praktis dalam ranah pelestarian budaya
Sejak dilaksanakannya pemilukada, banyak tokoh adat yang turut berperan. Di sisi lain, sebagian politisi memanfaatkan kehadiran tokoh adat (dan lembaganya bila ada), sebagai tim sukses. Hal ini sangat merendahkan posisi lembaga adat yang tak lebih dari tim sukses belaka. Untung baik bila setelah sukses, lembaga adat tidak dilupakan. 

Mungkin pada kesempatan ini kita urai hanya 4 (empat) dari sekian banyak persoalan sekaitan lembaga adat. Tetapi terlepas dari itu, kita tetap harus melihat lembaga adat dari sisi asas manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Beberapa organisasi perkumpulan lembaga adat (terkadang pecah), melakukan pertemuan secara berkala, macam festival keraton. Tentu anggaran besar, harga yang pantas untuk silaturahmi masyarakat adat nasional.

Quo Vadis Lembaga Adat ?

Bagaimana lembaga adat dapat terus eksis dan berperan dizaman reformasi dan zaman digital ini ? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, lembaga adat harus punya visi dan misi yang jelas terukur. Lembaga adat mestilah paham, era kekinian. Paham bagaimana media melakukan perubahan besar besaran terhadap pengetahuan dan karakter masyarakat. Paham bagaimana berperan dalam mengusung negara yang berkarakter.

Dan untuk itu, bukan berarti memberi gelar kebangsawanan pada orang berdasarkan jabatan strukturalnya namun tak berpartisipasi pada gerakan kebudayaan. Akan tetapi memberi apresiasi pada orang yang peduli pada budaya, pada para maestro seni, budaya, dan keahlian lokal.  

Coba kita lihat, saat ini betapa banyak anak muda yang tertarik membincang budayanya. Lantas, apa peran lembaga adat untuk mengedukasi mereka ? Saat ini, banyak maestro seniman tradisional yang berusia sepuh yang tak lagi punya ruang ekspresi. Dimana peran lembaga adat untuk mengeksiskan mereka ? Saat ini, banyak seniman muda yang berusaha berkreasi berdasar ingatan budayanya, namun dimana peran lembaga adat untuk membantu mereka. Saat ini, banyak ahli pembuat rumah, ahli tempa besi, dan berbagai keahlian lokal yang terancam punah. Dimana peran lembaga adat untuk merevitalisasi mereka ?

Kerjasama dengan instansi terkait mesti dieratkan, dalam hal ini kementrian dan dinas yang terkait. Memang, persoalan mendasar selalunya keterbatasan anggaran. Nah pada titik ini mestinya pihak pengambil keputusan lebih kreatif memutuskan, kegiatan apa yang lebih penting untuk dilaksanakan. Bukan kegiatan apa yang lebih besar anggarannya, lalu memasukkan orang yang tidak berkompeten di kepanitiaan hanya karena jabatan strukturalnya belaka.

Hal paling penting adalah inventarisasi. Mulai dari pusaka yang tersisa, naskah, kearifan lokal, ritual adat, seni tradisi, pelaku seni, maestro, situs sejarah dan sebagainya. Lembaga adat mestilah memiliki data yang selengkap lengkapnya.

Lembaga adat mesti yang terdepan mendorong kurikulum muatan lokal sejarah dan budaya daerah bersangkutan. Sehingga ada proses edukasi untuk generasi muda.

Lembaga adat mesti terlibat dalam dengar pendapat, musrembang dan berbagai ruang partisipasi lainnya. Sehingga kehadirannya, dapat bermanfaat bagi pembangunan.

Lembaga adat mestinya menjadi referensi utama bagi peneliti, baik lokal maupun dari luar negeri untuk menjadi informan.

Manusia, dilahirkan didunia dalam keadaan tanpa apa apa dan tak memilih orang tuanya. Sehingga orang orang yang "Beruntung" dilahirkan dari trah penguasa masa silam, mestinya menjadikan dirinya sebagai "adat yang berjalan". Penghormatan masyarakat pada mereka yang beruntung itu, mesti dibalas dengan keberpihakan pada masyarakat dalam memperjuangkan hak haknya. Dibalas dalam bentuk menjadikan diri suri teladan yang baik tentang budaya.

Quo Vadis HMI


Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang diridhoi Allah Swt.
(Tujuan HMI)


Perjalanan panjang HMI mengiringi kisah Republik ini. HMI, telah melewati berbagai dinamika yang sedemikian rupa. Mulai dari keterlibatan pada Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan, hingga mengisi kemerdekaan. Sebagai organisasi mahasiswa yang tersebar hampir tiap pelosok nusantara, kadernya melimpah ruah diberbagai generasi. 

Secara keorganisasian, HMI sangat kompleks. Memiliki jenjang kepengurusan dari tingkat Komisariat, Cabang hingga Pengurus Besar (PB). Pada Cabang yang "gemuk" ia dibentuk Korkom. PB sendiri dibantu Badko. Pengkaderan, atribut organisasi, mekanisme rapat dan sebagainya, semuanya memiliki aturan yang jelas dan terinci. 
Sebagai organisasi "raksasa" tentu kita maklum, kadernya tentu beragam karakter. Mulai yang akademis, religius, organisatoris, bahkan ada yang agak begal. Mengelolanya, tentu membutuhkan tantangan yang luar biasa. Anehnya, selalu saja banyak kader yang percaya diri mampu menuntaskan berbagai masalah internal organisasi. Padahal, hukum alam meniscayakan, hanya kerjasama dan kebersamaanlah yang menjadi kekuatan dalam menyelesaikan berbagai masalah. Bukan keunggulan individu. Meski disatu sisi, kita membutuhkan individu unggul pada posisi tertentu sesuai bidang yang ia kuasai.

Potret Dinamika Internal HMI
Banyak kader HMI yang suka ber"main" pada ruang suksesi. Bahkan alumni sepuh super senior pun terkadang masih suka ber"main". Mulai suksesi himpunan jurusan, pilkada, hingga pilpres. Apalagi bila Kongres HMI, maka semacam ada kebahagiaan tersendiri menguji ilmu strategi taktik.

Pada titik itu, kader akan terbelah oleh politik gerbong. Kuantitas kader terdistribusi pada gerbong-gerbong yang seolah tak berujung. Sayangnya, kurang kematangan dalam berpolitik. Sehingga pasca suksesi, menjadi hal lumrah melihat adanya dua, tiga bahkan empatisme kepengurusan. Padahal jika prosesnya adil, cukup satu kepengurusan saja.

"Kader titipan Kanda/Yunda", sebuah bentuk "nepotisme kecil" yang berefek kurang baik terhadap proses di HMI. Di level pengkaderan, khususnya Intermediate Training, terkadang ada kader yang pada dasarnya belum layak, namun dipaksa ikut karena dititip oleh Kanda/Yunda tertentu. Walhasil, Koster, SC, OC dan Pengurus Cabang kadang terpaksa memediasi. Efek jangka panjangnya adalah, kurangnya kualitas kader yang mengisi pengkaderan dan kepengurusan. 
Tentu hal demikian (kepengurusan ganda dan kader titipan kanda) akan melemahkan HMI secara internal. Kita tidak bisa bayangkan, dengan tantangan zaman yang amat beragam, entah bagaimana HMI bisa berperan untuk bangsa dan negara.

Menyoal Peran HMI 
Sekarang tahun 2015. HMI kembali melaksanakan rutinitasnya, yaitu Kongres. Sebagai wadah pengambilan keputusan tertinggi, ekspektasi kader terhadap Kongres yang berkualitas tentu juga tinggi. Namun menjadi sebuah pembonsaian makna kongres, bila hanya sekadar suksesi belaka. Arena Kongres harusnya menjadi ruang bagi akumulasi pembacaan terhadap regulasi di HMI. Sehingga regulasi yang dianggap kurang relevan, bisa diubah. Begitupun sebaliknya.

Di awal berdirinya, HMI terlibat dalam revolusi fisik, sangat berbeda di era orde lama, dan orde baru. Sehingga sesuai dengan tujuan HMI, kadernya harus diarahkan untuk mengisi kemerdekaan, mengisi pembangunan dan berperan serta dalam kemajuan.

Akan tetapi, dimana HMI saat orang kecil tergusur, hukum tidak berpihak pada orang kecil ? Dimana HMI saat budaya bangsa sedang tergerus ? Dimana HMI saat ilmu pengetahuan seolah mandeg pada buku teks kuliah ? Dimana HMI saat berbagai hal dimana bangsa ini membutuhkannya ?

Orang umumnya bisa mengatakan, ketika jalan macet, ada bakar ban dan melakukan aksi, maka besar kemungkinan HMI lah disitu. Namun isu apa yang mereka angkat ?

Adanya "Litbang" dalam struktur HMI harusnya dimaksimalkan. Hampir bisa dipastikan, di tiap HMI Cabang, tidak memiliki data kuantitatif daerahnya. Sehingga kurang memahami apa yang ada didaerahnya secara detail. Tetapi hampir bisa dipastikan, kader HMI selalu ada di warkop yang berbicara politik daerah, apalagi menjelang pemilu.

Harusnya, Litbang mempunyai data kuantitatif, lalu mengolahnya dan memberi masukan pada pengurus Cabang tentang isu yang harus didorong. Bukan menunggu media untuk menerima isu untuk demo keesokan harinya.

Lalu, apakah harus semuanya dilakukan dengan cara Demo ? Apalagi sekarang bukan era 70an yang demonstran diasosiasikan dengan pahlawan muda. Saat ini, demostran lebih diasosiasikan sebagai anak muda yang memacetkan jalan dan mengganggu aktifitas masyarakat. Tentu ini bentuk miskin kreatifitas kader dalam mengusung sebuah metode gerakan. Mengapa kurang melakukan pendampingan dilevel grass root ? Mengapa tidak memperbanyak hal hal yang bersifat edukatif untuk masyarakat ?

Kader HMI harus lebih memahami cara berbuat ketimbang cara mengkritik. Sebab mengkritik kebijakan melalui aksi demonstrasi saat ini bukan lagi hal yang efektif dalam mengubah kebijakan publik. HMI harusnya lebih berperan dalam "dengar pendapat" dengan wakil rakyat. HMI harusnya lebih mampu bekerjasama dengan stake holder dalam sebuah kebijakan yang realistis, meski tetap harus mempertahankan independensinya. HMI harusnya menelurkan kader yang berpikir rasional, bukan yang berpikir ala begal. Tentu harus zero tolerance untuk kekerasan di HMI.

Pengkaderan, terutama Intermediate Training harus ditinjau ulang. Mengapa ? Karena dari Intermediate Training inilah para ketua Komisariat, pengurus Cabang keatas termasuk pemateri berasal. Jika Intermediate Training bermasalah, tentu keluarannya juga akan bermasalah. Misalnya, peserta yang melampaui quota menyebabkan kurang maksimalnya proses. Apalagi jika ada yang merasa wajar tidak bayar registrasi, merasa berhak ikut LK2 meski tidak bisa mengaji, tidak tahu bacaan shalat, tidak bisa buat makalah tetapi paling cepat lapar. Yang diandalkan, hanya karena dia mencatut nama senior tertentu serta tindakan yang agak represif pada panitia.


Terakhir, kepada seluruh kandidat yang akan berkontestasi di panggung kongres, siap menang dan siap kalah. Jika menang, pastikan apa yang akan dilakukan untuk memperjelas peran HMI kedepan. Demikian pula yang tidak terpilih. "Ngambek" lalu memecah belah kepengurusan adalah bentuk sifat kekanak kanakan yang melemahkan bahkan dapat merusak HMI. Kepada formateur yang nanti terpilih, kemampuan menafsirkan tujuan HMI sesuai kondisi zaman, lalu menterjemahkan dalam bentuk program kerja dan kebijakan, akan menentukan masa depan HMI. Tempatkan kader sesuai kemampuannya, bukan siapa yang menitip. Bagi yang tidak terpilih, membangun HMI tidak mesti menjadi ketua PB. Untuk romli, tidak seharusnya membebani orang lain untuk sesuatu yang orang lain tidak mesti lakukan. Kalian hanya penggembira, (bukan peserta dan panita kongres atau pengurus HMI) yang seharusnya dapat berbuat lebih nyata untuk membangun HMI ketimbang minta makan seperti pengemis.

Tips Membangun Warung Kopi

Akhir-akhir ini makin kesulitan memilih warung kopi di kota kecil tempat saya berdomisili. Setidaknya, sekitar 10-an warung kopi yang tersebar disudut dan tengah kota. Apalagi sebagian pengusaha warkop adalah orang yang sangat saya kenal. Bahkan seperti saudara saya.

Segelas kopi memberi seribu ide
Warkop yang tumbuh menjamur, menjadi ruang sosial baru diera ini. Mulai politik, hingga asmara dibicarakan disini. Hal ini dimungkinkan dari efek kopi yang membuat tubuh lebih segar, pemikiran lebih lancar dan situasi yang rileks.

Menjelang pemilu, warkop selalu ramai. Demikian pula pada even pertandingan sepakbola macam piala dunia. Atau yang paling ganas, motoGP. Hampir tiap warkop membincang persoalan Rossi Vs Marquez + Lorenzo + Pedrosa. Apalagi bila warkop tersebut menyelenggarakan acara nonton bareng. Tak jarang, warkop menjadi markas salah satu fans klub sepakbola.

Warkop, menjadi tempat anak ABG untuk rutinitas game mereka. Terlebih saat game COC sedang ramai ramainya. Warkop juga menjadi tempat kerja tugas mereka. Tentu pada titik ini, segmen pasar warkop berbeda. Ada yang khusus kalangan menengah keatas. Minum kopi sebagai gengsi. Ada juga kelas orang dewasa, yang tema pembicaraannya politik dan pembangunan. Ada juga kelas anak muda yang hobi nonton bareng, main game atau kerja tugas.

Bagaimana menghadapi persaingan tersebut, berikut ini :

1.) Racikan Kopi
Jangan menganggap enteng pendapat para Coffeholic. Mereka adalah pengunjung setia Warkop yang menghargai rasa dan racikan kopi. Oleh karena itu, mintalah kesediaan mereka menjadi tester. Setidaknya 5 orang Coffeholic sebagai responden untuk mengkritisi racikan kita.
Pastikan jenis kopinya, apakah arabika, robusta atau gabungan keduanya. Pastikan pula komposisi dan teknik memasaknya. Demikian pula takaran susunya jika kopi susu.

2.) Koneksi Internet
Bila segmen kita adalah ABG, koneksi internet adalah segalanya. Mungkin mereka kurang paham soal racikan kopi, tetapi mereka sangat paham lancar dan lalodnya sebuah koneksi. Untuk sekadar main fesbuk, dan browsing, mungkin tidak butuh jatah koneksi yang tinggi. Tetapi bagi gamer, setidaknya 500 Kbps keatas yang dapat membuat mereka betah.

3.) Pergaulan
Agama mengatakan, memperpanjang silaturahmi itu mengundang rezki. Itu memang benar. Bahwa jika pengusaha warkop kurang teman dan sahabatnya, maka ia hanya berharap dari "massa mengambang" untuk terdampar di warkopnya. Untung bila sang pengunjung jatuh cinta dengan racikannya. Bila tidak, kunjungan itu yang pertama dan terakhir.
Artinya, seorang pengusaha Warkop harus memiliki banyak kerabat, sahabat dan teman teman. Secara psikologi, pengunjung juga butuh kenyamanan dalam bentuk layanan dari pemilik warkop. Layanan itu dalam bentuk senyum dan sapa serta sedikit diskusi lepas. Bukankah orang ke warkop untuk mencari bahagia ? Bukan untuk menambah ketegangan setelah aktivitas keseharian

4.) Desain, Lokasi
Terakhir adalah desain dan lokasi. Desain warkop tentu semenarik mungkin. Indikator menarik disini adalah memberikan suasana bahagia. Bila suasana standar tembok dan tegel ditemui, tentu membosankan. Lalu mengapa tidak mengkreasikan dengan "suasana kayu" yang lebih alami ? Disudut ruangan, tak mengapa menempatkan bunga atau tanaman yang memberi suasana hidup dan segar.
Soal lokasi, tidak perlu dipusingkan. Sebab bila warkopnya telah memiliki brand, ia tidak lagi menjemput "massa mengambang" tetapi "massa fanatik" akan selalu hadir tanpa memperdulikan lokasinya. Namun yang penting diperhatikan disini adalah parkir. Sebab pengunjung pasti ingin kendaraannya aman. Pastikan manajemen parkirnya tertata dengan baik.

Sosio-Metafisik : Sebuah gagasan asal-asalan dari kampung

Seddi mi tu tau, rupannami maega
(hanya satu manusia, hanya ragamnya/wajahnya yang banyak)

Pengantar
Manusia, terkadang menjadi rahasia bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari tingkat pengetahuan manusia tentang dirinya. Ilmu pengetahuan kita berasal dari barat. Sehingga pendefinisian "manusia" tidak lepas dari bangunan pengetahuan dari barat itu sendiri.

Dibangku pendidikan, kita diharuskan menghafal ragam definisi tersebut. Ada yang mendefinisikan manusia adalah binatang berakal. Sehingga ukuran kemanusiaan adalah tingkat rasionalisasi. Celakanya, rasionalitas yang dimaksud saat ini adalah berdasar paradigma positivistik.

Ada yang mendefinisikan manusia sebagai "homo faber" atau makhluk yang membuat alat. Ukuran kemanusiaan adalah kerja. Kelak definisi seperti ini melahirkan ideologi sosialisme. Sementara ada pula yang mendefinisikan manusia sebagai "homo oeconomicus" atau makhluk yang mengadakan aktivitas ekonomi, Kelak definisi ini menjadi akar ideologi kapitalisme

Namun, saat ini dimana neo-liberalisme sebagai wujud mutakhir kapitalisme berdampak kerusakan dimana-mana. Mulai dari mental, hingga alam. Sehingga perlu definisi "manusia" yang lain yang kemudian melahirkan konsep hubungan sosialnya kita.

=================================

Suatu ketika di negeri Sidenreng. Padi dan tanaman gagal panen. Orang orang sibuk mencari penyebabnya. Hingga suatu saat, ternyata anak La Pagala Nene Mallomo didapatkan telah mencuri bajak milik keluarganya. Sehingga turunlah musibah dari "langit" tersebut. Untuk mengembalikan kesuburan, ketentraman dan kesejahteraan. Atau menormalkan relasi metafisika manusia alam dan Tuhan, maka La Pagala Nene Mallomo mengambil keputusan untuk menghukum anaknya. Ketika ditanya, mengapa engkau menghukum sementara ia adalah anakmu. Nene Mallomo menjawab "Ade Temmakkeana Temmakeappo" yang berarti hukum tidak mengenal anak dan cucu.

Di negeri negeri Bugis dizaman dahulu. Bila ada gagal panen, maka orang akan langsung mencari penyebabnya. Apakah ada yang malaweng (berzinah), orang sering bertengkar, atau pemimpin yang tidak adil. Jika ternyata ada orang yang berzinah, maka ia akan dihukum. Apakah hukumannya ri Ladung (ditenggelamkan dilaut dengan mengikat pada batu besar), Ri Paggareno Wennang Cella (dikalungkan benang merah dilehernya/disembelih) atau ri paoppangi tana (diasingkan keluar negeri). Hukuman yang boleh jadi orang dimasa kini melihat sangat bertentangan dengan HAM produksi barat. Akan tetapi di masa lalu, efektif untuk menstabilkan tatanan sosial dan menormalkan keseimbangan alam.

Dalam pandangan orang Bugis dulu, pertengkaran dipercayai sebagai penyebab tidak datangnya Sang Hyang Seri atau dewi padi. Ini berarti, pertengkaran menyebabkan tidak jadinya padi dan tanaman yang lain. Seperti halnya mencuri pada kasus putra La Pagala diatas.

=================================
Secara hakiki, manusia adalah satu. Gagasan ini sangat egaliter. Memberi makna akan empati sebagai dasar hubungan sosial. Ragam manusia, tak lebih kekhasan individu. Yang pada dasarnya, kekhasan itu ada pada diri tiap individu lainnya namun tidak atau kurang diaktualkan. Semua manusia bisa marah, senang, suka duka dan sebagainya. Cuma ada yang lebih dominan marahnya, lebih dominan senangnya, dan sebagainya.

Dengan gagasan seperti tersebut, sebelum berbuat yang berhubungan dengan orang lain, individu akan mengembalikan pada dirinya. Apakah hal tersebut baik untuknya atau tidak. Sebagaimana yang dikatakan To Ciung Accae ri Luwu : "Olamu muakkolaki". Takaranmu yang kau gunakan menakar.

Manusia harus bersahabat dengan alam

Bersambung

Organisasi Mahasiswa Merosot ? Ini alasannya

Pada dasarnya, organisasi mahasiswa memiliki peran yang signifikan dalam sejarah bangsa. Namun sejak 1998, tidak ada lagi gerakan mahasiswa yang dihasilkan organisasi mahasiswa, yang berakibat besar terhadap bangsa. Pengurus organisasi mahasiswa, sebuah jabatan sakral dimasa lalu, sekarang tidak lebih dari "orang aneh sok sibuk yang tak dipeduli" oleh rekan rekannya. Ia bukan lagi tokoh yang diidolakan, dihormati dan dihargai. Gerakan mahasiswa, momok bagi para status quois sekarang tak lebih keren ketimbang demonstrasi bayaran.

Organisasi mahasiswa, intra maupun ekstra kampus, secara umum mengalami beberapa kemunduran. Antara lain, kurangnya kuantitas kader. Kurangnya kualitas kader. Dan terlalu banyaknya dinamika yang kurang produktif yang menghambat perkembangannya.

Organisasi mahasiswa pada dasarnya, "sekolah ekstra" tempat menempa mental dan kemampuan manajerial mahasiswa, menjadi sangat penting untuk dijaga. Sebab kita dapat bayangkan, betapa lemahnya bangsa ini kedepan jika mahasiswa saat ini yang kelak melanjutkan estafet pembangunan, minim pengalaman organisasi.

Cara pandang 70-80an
Agar organisasi dapat bertahan, ia harus mampu menghadapi tantangan zaman. Organisasi mahasiswa di era 80-an, berada dibawah tekanan. Militansi adalah karakter utama gerakannya. Kader ditekankan memiliki militansi yang kuat. Militansi disini dalam artian, kuat memperjuangkan kepentingan umum. Bila dispesifikkan lagi, kuat demo. Cukup modal isu (yang bahkan belum terverifikasi validitasnya), rapat aksi, maka terjadilah demo besoknya. Militan bukan ? hehee

Model pengelolaan kaderisasinya yaitu dengan mengandalkan senioritas. Seniorlah yang pegang kendali. Bukankah senior tak pernah salah, dan bila salah kembali ke pasal satu ? Mengapa demikian, karena pada zaman itu, belum ada batasan masa kuliah. Hal wajar bila orang kuliah S1 sampai belasan tahun. 

Saat itu, pengurus apalagi ketua lembaga, bagaikan Dewa. Ia dipuja oleh para yunior. Ia menjadi suri teladan yang dihormati dan disegani. Selalu dikawal oleh kawan kawannya, bak artis saat ini.

Sebuah pengkaderan organisasi mahasiswa

Memandang tahun 2015
Sejak reformasi 98, banyak perubahan mendasar dalam sistem tata negara kita. Kemudian berdampak pada sistem sosial. Sebagai contoh, terbitnya UU kebebasan pers dan terlepasnya rakyat dari represi orde baru (tuduhan komunis, tuduhan tindak subversif, penculikan, petrus dsb), menjadikan media kita sangat bebas. Ditambah lagi perkembangan teknologi informasi, sehingga informasi semakin mudah diakses. Perang isu menjadi hal lumrah saat ini.

Perubahan lain misalnya dihapuskannya ospek dengan alasan melanggar HAM. Walhasil, taring para senior menjadi ompong. Senior yang mencoba sok jagoan didepan yuniornya, akan menjadi bahan tertawaan. Beda, bila hal itu dilakukan beberapa puluh tahun lalu.

Generasi hedon, sesuatu yang amat langka di era 70, 80 dan 90an, menjadi hal umum saat ini. Budaya hedonisme, membuat banyak mahasiswa tidak lagi mementingkan berorganisasi. Tantangan semua organisasi adalah bagaimana membuat organisasi mahasiswa menarik bagi mahasiswa ditengah budaya hedonisme.



Merosotnya Organisasi Mahasiswa
Jelas, peran organisasi mahasiswa makin merosot akibat terlalu banyaknya dinamika yang tidak produktif, terutama saat suksesi. Selain itu organisasi mahasiswa kurang tanggap terhadap tantangan zaman. Organisasi yang hidup di tahun 2015, tapi paradigma pengelolaannya masih tahun 70-80an. Bila dibiarkan, organisasi mahasiswa diambang kehancuran. Pada gilirannya, akan melemahkan bangsa. Sebab sebuah kekuatan penting, yaitu mahasiswa, tidak lagi memiliki saluran energi positifnya.



Apa yang harus dilakukan ?
Oh iya, ini penting. Apa yang harus dilakukan menyikapi kondisi demikian. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan

1. Penguatan organisasi
Asumsinya, terjadi pelemahan organisasi sehingga perlu dikuatkan. Penguatan ini melalui upaya meminimalisir dinamika yang tidak produktif. Misalnya, saat pemilihan ketua, terjadi dinamika. Terkadang berujung dualisme atau marginalisasi pihak yang kalah. Untuk itu perlu kedewasaan. Peran senior hendaknya memediasi konflik saat terjadi dinamika keorganisasian. Bukan memberi titah dan restu pada satu calon dan menghalangi calon lain. Pasti pihak yang kalah, atau pihak yang tidak diberi restu akan resisten terhadap organisasi. Efeknya ke organisasi. Organisasi yang kadernya sedikit, akan makin menipis. Hingga akhirnya kita hanya menunggu waktu bubarnya organisasi tersebut.

2. Penguatan kader
Penguatan kader dalam hal ini peningkatan kuantitas dan kualitas kader. Untuk meningkatkan jumlah kader, otomatis intensitas pengkaderan harus ditingkatkan. Sehingga perlu suplai pemateri yang cukup. Organisasi (apalagi organisasi kader) yang selalu mengandalkan seniornya untuk membawakan materi dalam proses kaderisasinya adalah organisasi yang sakit. Perlu segera diobati dengan mereproduksi pemateri sehingga ketersediaan pemateri tercukupi. Dengan demikian, proses kaderisasi bisa berjalan lancar.
Selain itu, organisasi haruslah mampu membaca kebutuhan mahasiswa. Jika tidak, pasti organisasi itu tidak menarik. Sebagian mahasiswa akan menilai bahwa hanya orang serius yang berorganisasi dan membosankan. Sementara mereka sebagai mahasiswa hedon tidak menemukan nilai guna di organisasi tersebut.
Adapun untuk penguatan kualitas kader, pertama adalah intelektualnya. Bisa dibayangkan betapa abal abalnya sebuah gerakan mahasiswa yang tidak berangkat dari kerangka pikir, data, dan metode yang jelas. Ia hanya menjadi alat untuk kepentingan tertentu. Seharusnya, organisasi mahasiswa mencerdaskan anggotanya secara khusus dan mahasiswa secara umum. Sehingga walaupun ia harus turun kejalan, ia punya argumentasi yang jelas. Bukan hanya modal otot dan ngotot tapi otak nol.


3. Penguatan intelektual
Tradisi membaca, harus kembali dihidupkan. Organisasi mahasiswa semestinya mewadahi hal tersebut. Melalui kegiatan bedah buku atau sejenisnya. Pengadaan perpustakaan. Diskusi berkala. Dan hal hal ilmiah lainnya.
Bukan hal tabu, bila organisasi mahasiswa mengundang pejabat publik untuk meminta klarifikasi atau pencerahan tentang sebuah kebijakan. Ketimbang terburu buru turun kejalan atas isu yang lemah argumentasinya. Sehingga ada perbandingan antara isu, realitas lapangan, regulasi dan kebijakan. Menjadi mahasiswa yang bijak membaca situasi itu lebih baik ketimbang gampang dikompori dengan maksud agar dianggap militan.
4. Reorientasi organisasi mahasiswa
Terakhir, perlu reorientasi organisasi mahasiswa. Ia harus kembali ketujuan awalnya. Menyesuaikan kondisi zaman dan kondisi masyarakatnya. Organisasi mahasiswa semestinya turut berperan dalam pembangunan. Sekarang bukan lagi zaman represi tapi zaman ekspresi. 
Reorientasi ini akan berdampak pada gerakan mahasiswa itu sendiri. Mengapa harus selalu demo, bukankah banyak hal yang bisa selesai tanpa demo. Saya tidak bermaksud mengatakan "jangan demo". Tetapi, berbuat hal hal yang lebih produktif dan demo ketika hal itu sangat substansial untuk kepentingan bangsa.


Terlepas dari itu, saya lebih hormat melihat mahasiswa yang demo (meski mungkin ia diperalat) ketimbang mahasiswa yang cuma disuruh tepuk tangan di acara talkshow televisi.

Jangan Sebut Abu-Abu itu Hitam, Meski ia tidak Putih

Tanggapan atas tulisan saudara Eko Rusdianto dengan judul "Asal-Usul Gelar Andi di Sulawesi Selatan" di http://historia.id/modern/asal-usul-gelar-andi-di-sulawesi-selatan

Pada dasarnya, kita patut mengapresiasi setiap tulisan, apalagi melewati proses kajian dan riset, yang bertema budaya. Betapa tidak, di zaman sekarang, sangat jarang orang yang mau memikirkan budayanya sendiri. Apalagi mengeksplorasi budayanya dalam bentuk tulisan.

Namun terlepas dari itu, dalam ranah ilmiah, dialektika pengetahuan sangatlah penting. Untuk mendukung gerak maju pengetahuan itu sendiri. Sehingga, "membiarkan sebuah tulisan budaya tanpa kritik" merupakan bentuk kemandegan pengetahuan itu sendiri. 

Tulisan saudara Eko Rusdianto yang baru di upload beberapa hari lalu, saat tulisan ini dibuat telah terbaca di web historia sebanyak 68.173 kali. Belum lagi, web site lain yang mengkopi paste tulisan tersebut. Boleh dikata, tulisan ini laris manis. Dan tentu memberi efek. Entah positif atau negatif, setidaknya menyentak hati dan pikiran pembaca tentang gelar Andi. Sebuah gelar kebangsawanan yang jamak digunakan di Sulawesi Selatan. 

Pada kesempatan ini, tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara Eko Rusdianto dan pengelola web historia, izinkanlah kami untuk memberi sedikit perbandingan. Maksud kami adalah untuk memberi perspektif lain tentang tema gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan, sehingga ada dialektika pengetahuan pada tema tersebut.

Kita semua paham, semua manusia (kecuali Adam dan Hawa), terlahir dimuka bumi dalam keadaan telanjang tak memiliki apa apa. Namun seiring dengan prosesnya, dari keluarga, membentuk rumpun keluarga, suku, dan bangsa, ada yang menjadi pemimpin, dan ada yang menjadi bawahan. Sehingga, suka atau tidak, muncul stratifikasi sosial. 

Tentu maksud tulisan ini BUKAN untuk menghidupkan kembali budaya feodal. Tetapi di alam demokrasi ini (yang secara teoritik semua rakyat mendapat perlakuan sama secara hukum dan politik), bila politik dinasti dibolehkan, mengapa orang tidak boleh melestarikan budayanya ? Toh pemilik gelar juga tidak meminta dihormati layaknya pejabat penting. Kita juga tentu sepakat, bahwa dibalik gelar ada tanggung jawab. Gelar Akademik dengan stratanya, jelas harus menunjukkan pemilik gelar mesti berpikir ilmiah. Gelar Spiritual, misalnya haji/hajjah, jelas harus menunjukkan kesalehannya. Dan gelar kebangsawanan, juga mesti menunjukkan karakter kebangsawanannya.

Boleh jadi kita dizaman demokrasi ini memiliki pandangan yang egaliter. Oke, saya setuju. Tetapi, mengapa kita tidak memulai diranah akademis dulu. Toh strata pendidikan jelas membedakan S1 dengan skripsi sebagai syaratnya, S2 dan S3 dengan Tesis dan Desertasi sebagai syaratnya. Jika saudara Eko Rusdianto "mencolek" mereka yang bergelar andi dengan kalimat pertama "GELAR ANDI DI DEPAN NAMA ORANG SULAWESI SELATAN DI CIPTAKAN UNTUK MENANDAI KAUM BANGSAWAN TERPELAJAR", lantas mengapa tidak mempersoalkan gelar Bachelor of Art (BA) Insinyur (Ir), Doktorandus (Drs), Doktor (DR). Bukankah itu juga gelar yang menjadi penanda bagi orang terpelajar. Terpelajar dalam artian, sekolah modern. Sekolah yang tentu saja kita pahami adalah warisan Belanda.


Kembali ke Sejarah

Tahun 1905, Belanda melancarkan Politik Pasifikasi yang artinya damai, tetapi hakikatnya adalah penaklukan. Ya, penaklukan jazirah selatan Sulawesi. Saat itu, tinggal Aceh dan Sulawesi Selatan yang belum ditaklukkan Belanda. Di tahun yang sama, berakhir perang Aceh yang disponsori Cut Nyak Dien. Sebelumnya, Belanda mengirim Snouck Horgronye ke Aceh sebagaimana F.Matthes ke Sulawesi Selatan.

Perang 1905 ini ditujukan ke dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Gowa dan Bone. Perang Gowa berakhir dengan meninggalnya Somba Gowa, Sultan Husain Karaeng Lembang Parang. Sedangkan, Perang Bone yang setelah berakhir dikenal dengan Rumpa'na Bone ditandai dengan gugurnya putra mahkota sekaligus panglima perang, Petta PonggawaE. Kemudian disusul dengan ditangkapnya Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di pengunungan Awo.

Dengan demikian, Belanda memaksakan Korte Veklaring di semua kerajaan kerajaan di Sulawesi Selatan. Sebelumnya, ditahun 1880an, Belanda gencar membarui Perjanjian Bongayya secara spesifik di tiap kerajaan Sulawesi Selatan melalui Large Veklaring, yaitu perjanjian panjang yang berisi hubungan spesifik Belanda dengan kerajaan lokal.

Seusai penandatangan Korte Veklaring, bukan berarti Sulawesi Selatan telah bersih dari perlawanan. Tercatat perlawanan I Tolo Daeng Mangassing, mantan komandan pasukan Gowa yang disokong oleh Ishak Manggabarani, Tumabicara Butta Gowa merangkap Arung Matowa Wajo. Perlawanan itu baru padam di tahun 1916. Demikian pula perlawanan di Bone selatan.

Meski demikian Belanda tidak benar benar mampu memerintah masyarakat Sulawesi Selatan. Belum lagi Perang Dunia I di Eropa berdampak pada kurang fokusnya Belanda mengurusi daerah jajahan. Nanti di tahun 1926 dan seterusnya, Belanda telah menganggap kondisi Sulawesi Selatan telah stabil.

Dampak Korte Veklaring
Sadar akan ketidakmampuan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk memimpin langsung rakyat di Sulawesi Selatan, maka kerajaan yang vakum didirikan kembali. Dengan catatan bahwa, pertama, tidak boleh melawan Belanda. Kedua, struktur dan administrasi kerajaan diubah. Otomatis Tupoksi pejabat adat berubah namun gelar jabatan tetap.

Untuk itu dicari putra mahkota, dengan mempertimbangkan derajat kebangsawanan, untuk mengangkat kembali raja. Banyak cerita tak tertulis (hanya beredar dilingkup terbatas) sehubungan dengan pemilihan raja ini. Yang bisa jadi (tanpa mengurangi rasa hormat) Almarhum Mattulada dan Mattalatta, tidak mengetahui kisah kisah tersebut.

Struktur Pemerintahan Hindia Belanda 1926-1941

Pemerintah Hindia Belanda sebelumnya mencanangkan Politik Etis, Politik balas budi terhadap negara jajahan. Untuk itu, dibangun sekolah macam Stovia, Mulo, His dan sebagainya sebagai implementasi kebijakan Educatie. Sedangkan untuk Imigratie, Belanda mengirim penduduk dari Jawa untuk membuka lahan di daerah Polman (Wonomulyo). Adapun Irigatie, Belanda membangun beberapa bendungan. Belanda juga membangun jalan poros, jembatan dan infrastruktur lainnya.

Pemerintah Kerajaan, dalam hal ini ZelfBestuur atau Swapraja, dibawahi langsung oleh Controleur, yang dikenal dengan istilah Tuan Petor(o). Struktur kerajaan disesuaikan dengan model pemerintahan modern, mirip dengan kabupaten saat ini. Dimana Somba Gowa, Datu Luwu, Arumpone, Arung Matowa Wajo, Datu Soppeng, setingkat dengan Bupati saat ini. Sementara pejabat Adat macam Bate Salapang (Gowa), Ade Pitu (Bone), Ade Seppulo Dua (Luwu), Arung Enneng (Wajo), menjadi kepala distrik, semacam kecamatan saat ini. Merangkap kepala dinas. Seperti Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Kepenjaraan, Dinas Pendidikan dan sebagainya.

Di masa itu, gelar Andi mulai digunakan oleh para Raja dan Pejabat Adatnya masing-masing, untuk membedakan Bangsawan elit dengan bangsawan menengah. Gelar ini, lahir dari para raja sendiri melalui proses dinamika yang rumit. Bila di paragraf pertama tulisan saudara Eko menyebut bahwa gelar Andi adalah gelar yang diciptakan Belanda untuk menandai bangsawan terpelajar, adalah KELIRU. Alasannya adalah :
1. Tidak semua pemakai gelar ANDI digenerasi awal, adalah terpelajar versi Belanda. Malah ada yang mantan veteran perang 1905.
2. Tidak semua bangsawan yang terpelajar di era Belanda bergelar ANDI
3. Diparagraf ketiga dan keempat, tulisan tersebut menyebutkan bahwa menurut Ince Nurdin, Matthes lah yang pertama memberi gelar ANDI. Rasa-rasanya kalimat ini aneh. Mengingat orang Bugis Makassar tidak punya riwayat diberi gelar oleh Bangsa Asing yang nota bene penjajah. Apalagi bangga dengan gelar tersebut.

Tetapi perlu dipahami bersama, di era Zelfbestuur tersebut dibentuk komisi stanboom dimasing masing kerajaan. Hal ini dilakukan untuk "meregistrasi" bangsawan Bugis Makassar hingga derajat darah tertentu. Biasanya  hingga Cera 3 (berderajat 12,5%). Ada juga sebagian bangsawan yang tidak sempat mendaftarkan diri di komisi stanboom sehingga keturunannya tidak bergelar ANDI hingga hari ini. Ada pula yang tidak memerlukan Stanboom, karena ia berada dilingkungan istana.

Tujuan pemberian Stanboom ini adalah untuk menandai keluarga raja sampai derajat tertentu, yang akan dijadikan tenaga kerja paksa dalam proses pembangunan infra struktur tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Kolonial Belanda, berusaha mencegah ketersinggungan pihak elit kerajaan (ZelfBestuur) agar tidak melakukan perlawanan. Memang Belanda sangat paham karakter orang Sulawesi Selatan, sebab itulah tugas Matthes sebagai antropolog.

Jadi, gelar ANDI adalah inisiasi dari bangsawan Sulawesi Selatan sendiri untuk memperjelas strata yang semakin rumit seiring perkawinan silang kaum bangsawan dengan masyarakat umum. Sebelumnya, gelar La/We/Daeng jamak digunakan. Hingga tahun 1850an mulai digunakan gelar Baso/Besse lalu Ambo/Indo. Akhir 1880an dan awal 1900an digunakan gelar BAU dan terakhir digunakan gelar ANDI ditahun 1930an.

Pada dua paragraf terakhir tulisan tersebut dikatakan bahwa gelar kebangsawanan adalah Daeng, Opu, Karaeng, Arung, Bau atau Puang. Saya ingin katakan bahwa, Arung bukanlah gelar kebangsawanan, tetapi kepala wilayah. Pemerintahannya disebut Akkarungeng. Keturunannya disebut Anakarung. Gelarnya bisa jadi Baso/Besse/Bau/Ambo/Indo dan sebagainya.

Sebagai penutup dari tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa
1. Tidak benar, gelar ANDI adalah pemberian Belanda. Yang tepat adalah, hasil kesepakatan dari bangsawan elit Sulawesi Selatan untuk membedakan mereka dengan bangsawan rendah dan masyarakat umum.
2. Bila dikatakan gelar ANDI dimulai di era pemerintahan kolonial belanda, itu benar. Sebab pemakai gelar ANDI pertama adalah bangsawan elit ditahun 1930an.
3. Kalimat "Gelar Andi di depan nama orang Sulawesi Selatan diciptakan Belanda untuk menandai kaum bangsawan yang terpelajar" dapat dikatakan tidak tepat. Sebab bukan adat orang Bugis-Makassar menggunakan gelar yang dilekatkan orang asing. Tetapi orang Bugis-Makassar menggunakan gelar berdasarkan aturan adatnya sendiri. Itu yang perlu dipahami.  Kalimat tersebut, terkesan provokatif. Bila gegabah memahami, opini akan tergiring pada pemahaman bahwa sebenarnya pemilik gelar ANDI adalah ANTEK BELANDA.
4. Wacana gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan itu sudah lama diperbincangkan. Sayang, momennya muncul kembali kurang pas. Yaitu menjelang pilkada. Sungguh dikhawatirkan, andai wacana gelar kebangsawanan tersebut digiring dan digoreng ke pentas politik lokal. Lebih mengkhawatirkan lagi bila orang tidak menganggap lagi gelar seperti itu sebagai warisan budaya, tetapi lebih pada warisan penjajah yang tak penting dijaga. Semoga saja kekhawatiran itu tidak mendasar. Semoga.
5.  Biarlah yang abu-abu itu abu-abu, jangan katakan hitam meski ia tidak putih. Dalam arti bahwa, pernyataan Andi Mattalatta belum tentu benar, apalagi terpahami bahwa gelar Andi semata mata buatan Belanda
6. Ada baiknya jika bung Eko Rusdianto menulis tentang PERLAWANAN PARA ANDI TERHADAP PENJAJAH DAN PERAN DALAM MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN. Salam budaya, jabat erat dari saya