Showing posts with label Nasionalisme. Show all posts
Showing posts with label Nasionalisme. Show all posts

Pembekalan Saksi Pemilu

Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 tak lama lagi. Peserta pemilu, dalam hal ini partai politik dan calon legislatif berupaya untuk memaksimalkan perolehan suaranya. Namun nantinya, tetap pemungutan dan penghitungan suara yang menjadi tolok ukur. Sehingga peserta pemilu harus melakukan pembekalan terhadap saksi untuk menjaga perolehan suaranya, serta mengawal proses demokratisasi
Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pembekalan saksi pemilu.


  1. KOMITMEN&LOYALITAS.

    Seperti yang kita pahami bersama, bahwa kerja kolektif meniscayakan pentingnya komitmen dan loyalitas anggotanya. Tak terkecuali para saksi dalam pemilu. Partai/Tim/Caleg tentu harus membangun komitmen bersama saksinya sehingga loyalitasnya tidak mendua. Partai/tim/saksi mesti transparan mengenai honor saksi sebagai hak saksi. Kemudian memaparkan tugas saksi sebagai kewajibannya. 
  2. PROSES PEMUNGUTAN&PENGHITUNGAN SUARA.

    Saksi mesti mengetahui proses pemungutan dan penghitungan suara. Sedapat mungkin, saksi yang diambil adalah yang terdaftar pada DPT di TPS bersangkutan. Agar partai/tim/caleg tidak perlu lagi repot mengurus surat pindah pada saksi dalam menggunakan hak pilihnya. Selain itu, saksi mesti dibekali pengetahuan tentang a)Waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan dan penghitungan suara, b)Suara sah dan tidak sah, c)Kriteria pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya di TPS, d)Tata cara mengisi formulir keberatan apabila ada kecurangan di TPS, dan lain sebagainya.
  3. PENGISIAN FORMULIR.

    Apabila ada sengketa pemilu, yang menjadi dasar adalah formulir. Sehingga saksi mesti ditekankan untuk dapat mengontrol pengisian formulir dan menyetor pada partai/tim bersangkutan. Saksi harus mengetahui beberapa jenis formulir, mulai formulir berita acara, hingga keberatan. Demikian pula angka-angka yang ada didalamnya, mesti disesuaikan. Misalnya jumlah pemilih yang terdaftar di DPT, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, jumlah surat suara sah dan tidak sah, jumlah surat suara yang diterima dan dikembalikan, jumlah perolehan suara dan sebagainya. Dengan demikian, ada kontrol terhadap proses penghitungan suara dan pengisian formulir. 


Proses Penghitungan suara
Setelah di TPS, berikutnya ditingkatan PPS. Kerja saksi di rekapitulasi perolehan suara tingkat desa/kelurahan cenderung lebih mudah dari saksi tingkat TPS. Sebab, tidak perlu lagi memperhatikan lagi surat suara. Ia hanya perlu fokus mencocokkan formulir model C di TPS dengan formulir yang diterimanya. Demikian pula saksi tingkat kecamatan pada rekapitulasi perolehan suara tingkat PPK, dan saksi tingkat kabupaten/kota, pada rekapitulasi tingkat KPU Kabupaten/Kota.
Demikian tiga hal penting dalam pembekalan saksi pemilu. Semoga proses demokratisasi kita dapat berjalan dengan baik.(arm)

Baca juga :
CARA MUDAH MEMAHAMI PKPU 26 TAHUN 2013 TENTANG PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA

Gagap Demokrasi Masyarakat Post-Tradisional

 GAGAP DEMOKRASI MASYARAKAT POST-TRADISIONAL

Pengantar
                Perkembangan masyarakat Indonesia khususnya orang Bugis di Sulawesi Selatan berjalan sedemikian rupa. Sejarah menempa dengan berbagai peristiwa, baik dari dalam maupun dari luar. Nampaknya faktor tradisionalitas dan mistis tidak benar-benar terhapus oleh modernisasi. Selain itu, faktor perkembangan teknologi informasi sejak beberapa dekade lalu membentuk wajah masyarakat kita hari ini yang beraneka rupa. Sehingga, kita bisa temukan faktor mistisme atau  aroma feodal di ranah paling ilmiah sekalipun yakni perguruan tinggi. Sebaliknya, kita juga bisa temukan masyarakat di desa yang gemar main Facebook.
            Budaya Bugis, sebagaimana sebagian besar tradisi di Nusantara, ditantang oleh kondisi zaman yang cepat berubah. Sehingga terjadi proses “seleksi alam” terhadap nilai dan simbol tradisi. Ada nilai maupun simbol tradisi yang bertahan, ada pula yang berubah. Juga ada yang hilang sama sekali tergerus arus modernisasi.


         Tentu tidak mudah mengklasifikasikan masyarakat kita hari ini, karena kompleksitas sistem yang berada didalamnya. Penulis menggunakan istilah “post-tradisional” untuk menyederhanakan ~yang mungkin bias~ masyarakat kita hari ini. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siapapun, atau daerah apapun. Tapi mencoba memaparkan hubungan perubahan masyarakat tradisional menjadi post-tradisional dengan proses demokratisasi yang berjalan. Adapun pembahasan demokrasi yang luas, dibatasi pada perpemiluan.
Pergeseran Sistem Sosial
                Biasanya masyarakat tradisional bertumpu pada sektor agraris. Teknologi yang digunakan pun masih sederhana. Sehingga masyarakat tradisional terkondisikan untuk menguatkan kolektivitasnya. Lahirlah tradisi tudang sipulung, gotong-royong, kerjasama, ketulusan dan kebersamaan yang kemudian menjadi nilai-nilai tradisinya.
                Perkembangan teknologi menyebabkan peningkatan produksi dan efesiensi. Namun disisi lain berefek pada kurangnya interaksi antar anggota masyarakat pada pengelolaan pertanian. Akhirnya pelan tapi pasti semangat kolektivitas menjadi pudar.


                Pada saat yang hampir bersamaan, runtuhnya rezim orde baru yang manipulatif dan lahirnya reformasi memberikan ekspektasi besar bagi masyarakat post-tradisional. Demokratisasi diintensifkan. Partai politik menjadi lebih banyak. Kesadaran politik meningkat. Peluang mengisi posisi eksekutif dan legislatif semakin terbuka dan tidak melulu menjadi milik kelompok aristokrat. Kompetisi semakin kasat mata. Kemudian melahirkan eforia pada penyelenggaraan pesta demokrasi, yaitu pemilu/pemilukada.
                Sistem pemilihan langsung, membuat para calon berusaha untuk meningkatkan elektabilitasnya dimata masyarakat sebagai konstituen. Berbagai pendekatan digunakan, mulai dari mengingatkan jasa baik dimasa lalu, sentimen primordial, penggunaan jasa paranormal hingga politik uang. Saat ini politik uang bukan lagi hal yang tabu dibicarakan di level grass root. Meski sesungguhnya adalah pelanggaran, namun banyak masyarakat post-tradisional termanjakan olehnya.
                Banyaknya kasus pembakaran gedung atau kantor, telah menunjukkan kepada kita betapa masyarakat kita yang (dulunya) peramah tiba-tiba menjadi pemarah. Demikian pula aksi damai yang kerap berujung anarkis. Sementara politik uang mengindikasikan bahwa ketulusan telah digantikan pragmatisme. Kolektivitas berubah menjadi individualisme. Hal tersebut menjadi ciri masyarakat post-tradisional.




Bias Demokratisasi
                Walaupun pos-pos eksekutif dan legislatif tidak lagi dominasi kelompok aristokrat, tapi dibeberapa daerah yang kental tradisinya, simbol aristokrasi tetap manjur untuk mendulang suara. Sehingga, “faktor silsilah” menjadi “indikator tak terbahasakan” sebagai persyaratan untuk terpilih. Sistem pemerintahan modern yang mengacu pada prinsip manajemen, ternyata berlaku parsial saja didaerah tertentu. Kisah mutasi pejabat atau PNS yang mendukung kandidat yang kalah, menjadi kisah sendu proses demokratisasi yang bias dimasyarakat post-tradisional.


                Belum lagi rusaknya tatanan sosial pasca pemilu. Sebut misalnya, banyaknya tali kekerabatan dan silaturahmi yang putus hanya karena berbeda pilihan ketika pemilu. Atau tergusurnya ketulusan ~sebagai ciri masyarakat tradisional~ oleh keangkuhan pragmatisme.
                Fenomena yang tak jarang kita temukan pada pemilu adalah politik uang. Politik uang terjadi bukan karena satu penyebab, akan tetapi akumulasi dari persoalan sosial yang kompleks. Masalah ekonomi menjadi faktor pertama. Mendapatkan “dana segar” menjelang pemungutan suara adalah “rezeki musiman” bagi masyarakat post-tradisional. Sehingga banyak orang lupa istilah “rezki halal yang berkah”. Masalah kebijakan adalah faktor kedua. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat melahirkan ketidakpercayaan. Sehingga muncul pendapat “siapapun yang terpilih, kita tetap miskin”. Sepertinya, masyarakat post-tradisional lelah mendengarkan janji-janji dan mulai apatis terhadap proses demokratisasi. Faktor ketiga adalah rendahnya komunikasi calon terpilih dan konstituen pasca pemilu. Konstituen jarang dikunjungi ~bagi masyarakat post-tradisional kunjungan pejabat publik atau tokoh politik adalah kebanggaan tersendiri~ semakin memperteguh sikap apatisnya dan ketidakpercayaannya.
Kampanye, merupakan ajang bagi kandidat untuk meningkatkan elektabilitasnya. Dengan berbagai pendekatan yang digunakan ~seperti yang disebutkan sebelumnya~, masyarakat post-tradisional menangkap hal ini sebagai “peluang bisnis”. Muncul pernyataan “Kapan lagi diambil uangnya, kalau dudukmi nalupa meki”. Nampaknya, terbangun kesadaran baru masyarakat post tradisional dalam menanggapi demokrasi. Yaitu, pemerosotan makna pemilu. Dari pesta demokrasi, proses pergantian pemimpin secara legal menjadi keuntungan sesaat.
                Lain halnya dengan fenomena “Paggolla” yakni seseorang yang melumuri kandidat dengan sejumlah kata-kata manis. Mulai dari memuji kandidat dengan harapan mendapatkan kepercayaannya, hingga mengklaim memiliki massa yang banyak. Kepentingannya, menguras dana kampanye kandidat sebanyak mungkin. Paggolla ini adalah tak ubahnya penipu yang menjadikan kandidat sebagai korban.
                Efek dari berbagai masalah diatas adalah sangat sulit bagi calon untuk menghindari politik uang. Sebaliknya, masyarakat post-tradisional semakin mengkristalkan “pentingnya bagi kandidat untuk melakukan politik uang”. Terciptalah lingkaran setan politik uang yang seolah tak ada habisnya.
                Pada titik ini, demokrasi gagal memberikan solusi atas berbagai persoalan kebangsaan. Sehingga menjadi tugas kita bersama memutus rantai lingkaran setan tersebut. Solusinya, pertama, membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Agar terbangun kembali kepercayaan terhadap calon terpilih khususnya dan pemerintah umumnya. Kedua, langkah kongkrit peningkatan kesejahteraan. Ketiga, mengikis metode transaksional dalam pemilu dengan meningkatkan metode komunikasi dan kontrak sosial.
                Dengan demikian, semua eksponen dapat mengawal proses demokratisasi kearah yang lebih baik dan meminimalisir bias-bias yang mungkin terjadi. Sehatnya demokrasi kita, tentu akan berdampak terhadap sehatnya sistem sosial kita. Sehingga, kedepan kita bisa hidup sebagaimana cita-cita para pendiri republik ini.
(arm : 1 Februari 2011)

Nasionalisme ala Pujiono

Siapa sangka, audisi Indonesian Idol (RCTI 24 Januari 2014) memunculkan Pujiono, seorang sederhana yang berjiwa nasionalis. Ketika diminta oleh Ahmad Dhani, salah seorang juri, untuk menyanyikan lagu barat, Pujiono menolak dengan alasan malu jika salah. Ia malah menyodorkan lagu ciptaannya.


MANISNYA NEGERIKU
(Ciptaan Pujiono)

Memang manis, manis gula gula
Begitu juga negri kita tercinta
Banyak suku-suku dan budaya
Ada Jawa, Sumatra sampai Papua
Semuanya ada disini
Hidup rukun berseri-seri

Ragam umat-umat agama
Ada Islam ada Kristen, Hindu, Budha
Semuanya ada disini
Bersatu di Bhineka Tunggal Ika

(Reff)
Indonesia Negara Kita tercinta
Kita semua wajib menjaganya
Jangan sampai kita terpecah belah
Oleh pihak lainnya
Pancasila dasar negara kita
Dengan UUD tahun 45 nya
Jangan sampai kita diadu domba
Oleh bangsa lainnya

baca : MERAH PUTIH 

Bersemangat menyanyikan lagu ciptaan sendiri
Tidak ada yang luar biasa dari diri Pujiono. Ia bukanlah orang yang menguasai teknik vokal seperti yang dicari para juri Indonesian Idol. Dari sisi tampang, ia bukan orang berwajah Indo yang tampan. Pekerjaannya, pengamen. Kadang jadi tukang parkir dan jaga malam. Kadang kerja apa saja, yang penting tidak merugikan orang lain, demikian tuturnya. Namun ia punya niat mulia (yang secara teknis sulit tercapai) yaitu memajukan industri musik Indonesia.



Pujiono pemuda asal Cilacap 27 tahun, adalah potret orang Indonesia dengan segala kebersahajaannya. Jauh dari pola hidup glamour para selebriti. Berbekal semangat mencari peruntungan ikut audisi Indonesian Idol (yang sebenarnya kurang realistis). Tapi ia mampu menghibur para juri, berkat teknik siulan yang unik.

Percaya diri didepan para Juri 
Tak seperti peserta audisi lainnya yang membawakan lagu-lagu bertema cinta. Pujiono malah membawakan lagu ciptaannya yang bertema nasionalisme. Ia mengangkat keragaman dan pentingnya menjaga persatuan bangsa. Ia juga mengangkat "kata-kata keramat" yang hanya dijumpai pada lagu wajib kita waktu SD, yaitu Pancasila dan UUD 45. Kata-kata yang hampir mustahil ditemukan pada lirik lagu hari ini.


Setelah selesai tampil didepan para juri, ia masih tetap menyanyikan lagu ciptaannya dengan bangga keluar ruangan. Tentu seorang Pujiono bukanlah pemimpi. Meski ingin memajukan industri musik Indonesia, tampil di televisi dan didepan para juri macam Ahmad Dhani, Tantri Kotak dan Anang Hermansyah, adalah sesuatu yang sangat luar biasa bagi pengamen biasa macam Pujiono. Namun terlepas dari itu, kebanggaan atas lagu ciptaannya sendiri, dan tentunya kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, adalah sesuatu yang patut diacungi jempol. 
Saat bangsa ini sibuk dengan urusan politik, kasus hukum, bencana alam dan hedonisme, Pujiono tampil percaya diri di Indonesian Idol. Bagi saya, seorang Pujiono memang patut dipuji karena perhatiannya atas keragaman, persatuan, Pancasila dan UUD 45 pada lagu sederhananya. Sebuah bentuk nasionalisme sederhana namun nyata dari seorang anak bangsa. (arm)

Tonton Klipnya disini

Tren Suara Batal Pada Pemilu 2009

Pemilu 2009, diikuti oleh 44 partai. Terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal aceh. Di kabupaten Wajo, terdapat 36 partai nasional yang memiliki pengurus tingkat kabupaten. Pada Pemilu 2009 di Wajo, terdapat 14 kecamatan dan 176 desa/kelurahan, yang terbagi menjadi 4 daerah pemilihan. Dapil 1 terdiri dari Tempe, Sabbamparu dan Pammana. Dapil 2 terdiri dari Majauleng, Bola dan Takkalalla. Dapil 3 terdiri dari Tanasitolo, Maniangpajo, Gilireng dan Belawa. Dapil 4 terdiri dari Penrang, Sajoanging, Keera dan Pitumpanua.

Berdasar hasil pemungutan dan penghitungan suara pada pemilu 2009, diperoleh angka seperti dibawah.

NO
NAMA
DPT
PEMILIH
%
1
TEMPE
44,047
29,197
66.29
2
SABBANGPARU
20,213
17,250
85.34
3
PAMMANA
23,453
14,922
63.63
4
MAJAULENG
24,829
18,014
72.55
5
TAKKALALLA
15,727
11,846
75.32
6
BOLA
14,783
10,921
73.88
7
TANASITOLO
29,724
21,133
71.10
8
MANIANGPAJO
12,376
8,719
70.45
9
BELAWA
23,099
16,410
71.04
10
GILIRENG
8,801
6,269
71.23
11
PENRANG
12,496
8,831
70.67
12
SAJOANGING
14,972
10,489
70.06
13
KEERA
17,246
11,528
66.84
14
PITUMPANUA
29,503
20,425
69.23

JUMLAH
291,269
205,954
70.71

Adapun suara batal sebagai berikut :
Dari angka diatas dapat dilihat bahwa rerata suara tidak sah untuk DPRD Kabupaten adalah 4,66%. Untuk DPRD Provinsi adalah 8,63%. Untuk DPR RI 9,45% dan DPD RI adalah 10.95%.

Untuk DPRD Kabupaten, rata-rata suara batal terendah adalah kecamatan Tempe yaitu 0,5%. Hal ini wajar sebab Tempe adalah ibukota, dimana rata-rata penduduknya sempat mendapat pendidikan yang cukup. Sedangkan kecamatan Bola didapatkan angka suara batal tertinggi yaitu 7,66%. Selain Tempe, hanya Keera, Gilireng, Tanasitolo dan Sabbamparu dibawah angka 5%.

Untuk DPRD Provinsi, rata-rata suara batal terendah didapatkan di kecamatan Sajoanging, yaitu 4,55%. Sedangkan suara batal tertinggi ditemukan di kecamatan Majauleng, yaitu 13,77%. Selain Majauleng, Pammana, Bola, dan Gilireng mencapai angka diatas 10%.

Untuk DPR RI, rata-rata suara batal terendah kembali didapatkan di kecamatan Tempe sebanyak 4,75%. Rerata suara batal tertinggi didapatkan di kecamatan Gilireng yaitu 14,86%. Selain Tempe, kecamatan Sabbamparu, Takkalalla, Maniangpajo, Belawa, Sajoanging, Keera dan Pitumpanua mendapatkan rata-rata suara batal dibawal 10%.

Untuk suara DPD RI, rata-rata suara batal terendah kembali didapatkan di kecamatan Tempe sebanyak 7,58% dan kembali Gilireng mendapatkan rata-rata suara batal tertinggi yaitu 16,57%.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa rata-rata suara tidak sah berdasar jenis surat suara sebagai adalah sebagai berikut :
  • Tidak semua pemilih mencoblos keempat surat suara yang diterima (DPR, DPD, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota). Sehingga angka suara tidak sah (batal) bervariasi meski tiap pemilih menerima empat lembar suara suara.
  • Semakin tinggi jenjang, semakin tinggi pula suara batal. Hal ini diakibatkan karena konstituen lebih mengenal calon anggota DPRD kabupaten ketimbang jenjang diatasnya.
Adapun melihat persebaran suara tidak sah berdasar kecamatan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
  • Rata-rata suara batal paling rendah ditemukan di kecamatan Tempe, kecuali untuk surat suara DPRD Provinsi. Tempe urutan kedua setelah Sajoanging. Hal ini disebabkan bahwa Tempe adalah ibukota kabupaten. Sehingga selain pusat pemerintahan juga pusat perniagaan. Rata-rata penduduknya berkesempatan mendapatkan pendidikan yang layak. Selain itu, arus informasi lebih mudah diakses
  • Adapun kecamatan yang penduduknya kurang mendapat akses informasi yang cukup, khususnya caleg DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD RI, yang juga penduduknya masih banyak yang kurang mendapat pendidikan, maka akan ditemukan tingkat suara batal yang tinggi.
Bagaimana dengan Pemilu 2014? Tentu ada perubahan, yaitu jumlah pemilih, konfigurasi dan jumlah Daerah Pemilihan, serta jumlah peserta Pemilu. Namun yang pasti bahwa dari analisa data diatas, kita sudah bisa mendapatkan gambaran tentang tren suara batal pada pemilu DPR, DPD, dan DPRD

(arm-2014)

Perjuangan Rakyat Massenrempulu Melawan Pasifikasi Belanda

Setelah Makassar dan daerah-daerah tetangga, yakni Ajatappareng, TellumpoccoE dan Luwu diserang pasukan Belanda, Massenrempulu mendapat giliran berikutnya. Namun kondisi alam yang berbukit dan pegunungan serta banyak hutan, tentu akan menyulitkan siapapun yang mencoba menyerang Massenrempulu. Kondisi tersebut menyebabkan Massenrempulu adalah pertahanan ideal dan terakhir bagi kerajaan tetangga yang bersahabat dengan Massenrempulu.
Massenrempulu adalah konfederasi kerajaan-kerajaan di daerah Enrekang sekarang. Terdiri dari Enrekang, Kassa, Batulappa, Duri dan Maiwa. Kabar buruk yang menimpa kerajaan dan konfederasi sahabat Massenrempulu menyadarkan bahwa Massenrempulu untuk segera memperkuat pertahanannya. Londe-londe, Kaluppini, Rangnga, Bambangpuang dan Kotu adalah benteng pertahanan Massenrempulu untuk menyambut Pasifikasi Belanda.

Buttu Kabobong - Enrekang

Enrekang, adalah ibukota Massenrempulu, menjadi target pertama serangan pasukan Belanda. Namun untuk dapat merebut Enrekang, pasukan Belanda harus menaklukkan benteng Londe-Londe, Rangnga dan Kaluppini. Setelah melalui pertempuran sengit selama berhari-hari dan memakan banyak korban, akhirnya ketiga benteng itu jatuh. Mayor de Wijs datang sendiri ke Enrekang, pada tanggal 1 Maret 1906. Melalui La Patiroi Arung Soreang, suami We Pancaitana Arung Enrekang, Mayor de Wijs membujuk agar ratu Enrekang menandatangani Korte Veklaring, sebagai bentuk pengakuan kekuasaan Belanda. Demi menghindari korban lebih banyak, dengan berat hati ratu We Pancaitana Arung Enrekang menandatangani Korte Veklaring.

Namun perang belum usai. Rakyat Enrekang bersama rakyat Massenrempulu masih mengangkat senjata. La Rangnga, seorang Maddika menggalang kekuatan bersama Duri dan Maiwa, anggota konfederasi Massenrempulu lainnya.

Melalui sebuah serangan dadakan saat malam 24 Maret 1906, La Rangnga dan laskarnya berhasil menewaskan banyak pasukan Belanda di tangsinya di Enrekang. La Rangnga pun berhasil merebut banyak senjata untuk memperkuat perlawanannya. Kemenangan yang disambut suka cita oleh rakyat Massenrempulu dan berhasil memperkuat semangat perlawanan. Perjuangan rakyat Massenrempulu menjalar ke Maiwa, Kotu, Mandatte, Duri, dan Buntu Batu.

Menanggapi perlawanan rakyat Massenrempulu yang semakin menghebat, Komandan tertinggi pasukan Belanda Kolonel Michielse di Makassar tiba ke Enrekang membawa pasukan besar di tanggal 24 Maret 1906. Empat hari kemudian, Mayor de Wijs langsung memimpin sebuah pasukan menyerang benteng Kotu. Menggunakan meriam, de Wijs menembaki benteng Kotu dan dilanjutkan pertempuran sengit dalam benteng. Banyak korban berjatuhan, hingga benteng Kotu jatuh setelah dipertahankan mati-matian.

Benteng Mandatte, dipertahankan oleh pejuang perempuan Massenrempulu yaitu Indo Cabba dan Indo Rangnga. Benteng ini baru dapat direbut pasukan Belanda setelah jatuh korban yang banyak dikedua belah pihak, akibat perlawanan mati-matian rakyat Massenrempulu.
Benteng Ranga dan Benteng Kaluppini pun jatuh ditangan pasukan Belanda. Hingga akhirnya, pemimpin laskar rakyat Massenrempulu, yaitu Maddika La Rangnga memindahkan pusat pertahanannya ke Benteng Bambapuang. Mempertimbangkan banyaknya korban, Belanda mencoba mengajak La Rangnga berdamai. Namun ditolak dengan tegas. Pasukan Belanda mau tidak mau, harus merebut Benteng Bambapuang jika ingin menguasai Massenrempulu secara menyeluruh.

April 1906, pasukan Belanda menyerang Benteng Bambapuang. Namun pasukan Belanda butuh waktu 3 bulan untuk mengepung benteng tersebut untuk bisa direbut. Itupun setelah kembali mendatangkan pasukan tambahan serta tembakan meriam dalam jangka waktu lama.

Di pihak laskar, banyak korban berjatuhan termasuk salah seorang komandan pasukan yaitu Puang Sappu setelah menewaskan seorang Letnan Belanda. Akhirnya Benteng Bambapuang jatuh, La Rangnga semakin melemah dan memaksanya untuk meneruskan perang secara gerilya. La Rangnga akhirnya ditangkap tahun 1915, setelah sembilan tahun bergerilya dan tak tersentuh pasukan Belanda. Beliau wafat tahun 1928 di usia 98 tahun. Berakhirnya perlawanan La Rangnga, bukannya mengakhiri perjuangan rakyat Massenrempulu melawan pasukan penjajah Belanda. Namun menyemai perjuangan berikutnya ditahun 1946-1949 melawan pasukan NICA - Westerling.

(arm - disarikan dari buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan)

Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Pasifikasi Belanda

Tanah Mandar dizaman dulu, merupakan konfederasi yang terdiri dari 14 kerajaan. 7 kerajaan dipesisir disebut Pitu Babanna Binanga dan 7 kerajaan dipegunungan yang disebut Pitu Ulunna Salu. Balanipa merupakan kepala persekutuan Pitu Babanna Binanga. Oleh karena itu, Belanda merasa penting untuk memaksakan kehendaknya pada Maraddia Balanipa.


Usaha itu dimulai di tahun 1890, namun ditampik oleh Baso Baroa Tokape Daenna I Tammanganro Maraddia Balanipa. Sehingga berujung pada persengketaan dan akhirnya Maraddia Balanipa dibuang ke Jawa.

Dua bersaudara, Calo Ammana I Wewang Raja Alu sekaligus panglima perang Balanipa dan Kaco Puang Ammana Pattolawali memimpin perlawanan rakyat Mandar ditahun 1905. Tanggal 7 Juni 1905, kedudukan Belanda di Majenne diserang Calo Ammana I Wewang. Serangan yang berhasil menewaskan banyak orang Belanda dan merampas senjata. Kontrolir Belanda segera melarikan diri ke Pare-Pare, sementara klerk Belanda tertangkap dan dibunuh.


Tidak terima atas serangan tersebut, Belanda menyusun rencana serangan balasan pada posisi Calo Ammana I Wewang di Alu. Namun rencana tersebut terbaca, pecah pertempuran tanggal 13 Juni 1905 dan pasukan Belanda dipukul mundur. Untuk kedua kalinya, Belanda dikalahkan.

Untuk ketiga kalinya, Asisten Residen Vermeulen meminta tambahan pasukan Belanda dari Makassar untuk kembali menyerang Calo Ammana I Wewang. Namun tetap saja pasukan Belanda selalu dikalahkan hingga pertengahan tahun berikutnya, 1906.

Selanjutnya, serangan besar-besaran dilancarkan pasukan Belanda terhadap benteng Adolang, Tundung dan Kayu Mangibang. Kali ini, tepat 6 Juli 1906 Kaco Puang Ammana Patolawali gugur sebagai kusuma bangsa.

Pukulan berat pasukan Belanda terhadap Calo Ammana I Wewang menyebabkan pasukannya berkurang dan direbutnya posisi strategis. Terpaksa berperang gerilya untuk melawan pasukan Belanda, hingga akhirnya ditahun 1907, beberapa pengikutnya menyerahkan Calo Ammana I Wewang kepada Belanda di Tinambung. Beliau kemudian dibuang ke Belitung dan baru kembali ke Mandar di tahun 1943.


Demmatande kepala kampung Paladan memimpin perlawanan rakyat Mandar di Pitu Ulunna Salu. Perlawanan ini dipicu atas pajak dan kerja rodi yang merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah Belanda. Perlawanan ini berlangsung antara 1914-1916.

11 Agustus 1914, pasukan Belanda dipimpin Vraagan melancarkan serangan ke Benteng Salubanga, posisi Demmantande. Namun serangan ini gagal, rakyat Mandar memenangkan pertempuran. Leys Coortes memimpin serangan kedua tanggal 9 Oktober 1914 setelah mendapat tambahan perbekalan dan pasukan dari Majene dan Makassar. Sekali lagi, pasukan Belanda dikalahkan. Rakyat Mandar kembali memenangkan pertempuran. Tidak ingin gagal ketiga kalinya, 20 Oktober 1914 kembali melancarkan serangan pada Benteng Salubanga setelah mendapat tambahan pasukan, persenjataan dan amunisi dari Pare-Pare, Makassar, Mamuju dan Enrekang. Tembakan meriam akhirnya menjebol Benteng Salubanga, Demmatande akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa.

Namun itu bukan akhir perjuangan rakyat Mandar. Daeng Palenna salah satu komandan Demmatande melanjutkan perang gerilya hingga akhirnya tertangkap ditahun 1916.



(arm. Sumber : Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan)

Amandemen UUD 1945

Amandemen adalah perubahan atau pengembangan pada sebuah aturan atau naskah. UUD 1945, sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, tidak pernah mengalami perubahan hingga di era reformasi. Tercatat 4 (empat) kali amandemen UUD 1945.
  • Amandemen pertama, 19 Oktober 1999
  • Amandemen kedua, 18 Agustus 2000
  • Amandemen ketiga, 10 November 2001
  • Amandemen keempat, 10 Agustus 2002
Perkembangan kondisi keiindonesiaan, dengan berbagai hal yang menempa bangsa sehingga muncul pertimbangan untuk sedikit merubah UUD 1945. Adapun alasan utama diamandemennya UUD 1945 adalah sebagai berikut
  • Penyusunan UUD 1945 masih bersifat sementara pada situasi menjelang akhir Perang Dunia II. Sehingga memungkinkan terjadinya pengembangan. Hal ini ditegaskan pada aturan peralihan yang memungkinkan adanya perubahan
  • Para Founding Fathers sadar bahwa kedepan, Indonesia mungkin butuh aturan-aturan baru dalam UUD 1945 sesuai dengan kondisi zaman yang akan datang
Dalam perubahan UUD 1945, dapat diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah MPR dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR. Sedangkan putusan perubahan pasal UUD 1945, minimal 50% dari anggota MPR.

Seperti yang kita ketahui bahwa, anggota MPR terdiri dari 560 anggota DPR ditambah 132 anggota DPD. Hal - hal mendasar dalam UUD 1945 hasil amandemen, antara lain
  1. Presiden tidak lagi dipilih oleh anggota MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu
  2. Presiden tidak dapat membekukan DPR (tidak dapat melakukan dekrit)
  3. Dibentuk beberapa lembaga tinggi negara seperti : a) Komisi Yudisial, b)Komisi Pemilihan Umum, dan c) Mahkamah Konstitusi
  4.  Dihapus lembaga tinggi negara yaitu : Dewan Pertimbangan Agung
  5. Bab, pasal dan ayat yang khusus menjelaskan Pemilu
  6. Bab, pasal dan ayat yang khusus menjelaskan Hak Azasi Manusia.

(MASIH) POLITIK UANG

Seperti yang dipaparkan pada tulisan sebelumnya, bahwa Politik Uang menjadi subur akibat (paling tidak) dua kondisi. Pertama, kurangnya komunikasi yang tulus antara calon dengan konstituen. Dan kedua, yaitu kurangnya signifikansi antara pemilu dan peningkatan kesejahteraan.

Masyarakat timur, umumnya masih memegang tradisinya. Meski tradisi itu telah bergeser, seiring dengan waktu. Namun secara umum, ketulusan, keakraban, dan harmoni adalah sebuah makna yang melampaui sekedar pertemuan belaka. Bisa dipahami bahwa, orang dapat bertemu setiap hari secara kuantitas. Namun kualitas pertemuan, bak garam bagi sayur, alias yang membuat interaksi (antar calon dan konstituen) lebih berisi. Apabila calon jarang atau tidak pernah berinteraksi (rendah secara kuantitas maupun kualitas) maka, sistem pertahanan diri masyarakat yang mencurigai hal-hal baru, akan bekerja. Masyarakat akan bertanya : "Siapa dia, apa maunya, tumben datang?" dan seterusnya. Sehingga niat baik seorang calon kurang mengenai sasarannya. Calon, dianggap sebagai seseorang yang "ada maunya".

Andai calon telah dikenal dengan baik, menjalin relasi dengan masyarakat dengan baik, apalagi kalau ada kebaikan dari ketulusan yang berbuah kebaikan bagi masyarakat, maka kepercayaan pada calon akan meningkat. Pada gilirannya, masyarakat akan membalas kebaikan dan ketulusan calon, tanpa pamrih. Dengan demikian, politik uang dapat diminimalisasi.

Selanjutnya, para calon terpilih yang ingin dipilih lagi, tentu harus memperlihatkan kinerja yang ril bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tentu ini hal yang sangat berat. Sebab, memahami kesejahteraan, itu membutuhkan data dan rantai analisis yang panjang. Belum lagi kompleksitas kemiskinan sebagai tantangan utama peningkatan kesejahteraan. Seorang calon tentu harus memahami kondisi masyarakat secara utuh. Mulai dari sistem sosial, nilai budaya, agraria, sistem ekonomi, dan sebagainya. Termasuk juga data kuantitatif dan kualitatif. Setelah itu, pemahaman yang utuh tentang pemiskinan struktural serta alasan lain yang menyebabkan kesejahteraan tidak meningkat. Terakhir, pemahaman yang utuh tentang solusi dengan pendekatan multidisipliner tentang peningkatan kesejahteraan, lengkap dengan langkah-langkah yang terukur selama satu periode.

Tentu pembahasan peningkatan kesejahteraan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Apalagi langkah-langkah rill yang terukur dalam waktu 5 tahun. Namun, minimal ada penelitian mendalam tentang misalnya nelayan, petani tembakau, dan profesi lainnya yang spesifik. Sehingga kelak ketika calon terpilih, mampu mendorong sebuah visi dan misi yang jelas (bukan dibuat oleh tim sukses).
Segenap pihak, baik pemerintah, aparat keamanan, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat sendiri harus berkomitmen untuk melawan politik uang.

Bagi pemerintah, bekerjasama dengan pengawas pemilu dan aparat keamanan, untuk turun langsung memantau untuk mencegah serangan fajar. Terkhusus pemerintah, harus memperlihatkan prestasi berupa kebijakan-kebijakan ril yang mendorong peningkatan kesejahteraan. Untuk calon (peserta pemilu) hendaknya meningkatkan kualitas dan kuantitas interaksinya dengan masyarakat, tentu dengan membawa ketulusan untuk kesejahteraan rakyat. Penyelenggara pemilu sendiri, harus lebih pro aktif mensosialisasikan gerakan anti politik uang. Sedang masyarakat, harus sadar bahwa pilihan mereka mempengaruhi kebijakan selama 5 tahun mendatang. Dengan komitmen dan koordinasi yang tepat, semoga politik uang ini bisa diminimalisir. Sehingga kedepan, transisi demokrasi ini bisa segera ditinggalkan menuju demokrasi yang lebih berkualitas. Semoga. (arm)

Baca juga :
Mengenali Jenis-Jenis Pemilih pada Pemilu
Politik Uang
Gagap Demokrasi Masyarakat Post-Tradisional

POLITIK UANG

Nampaknya transisi demokrasi kita akan berkepanjangan. Betapa tidak, cita-cita mulia reformasi untuk menegakkan demokrasi sepertinya mengalami ganjalan berat. Salah satu faktor adalah fenomena politik uang tengah menjamur di masyarakat.

Pemilih terdiri dari beberapa jenis. Pertama pemilih tradisional, yaitu pemilih yang memilih calon berdasarkan ketokohannya belaka. Biasanya ketokohan yang terwariskan secara genetik. Tipe ini cenderung tunduk patuh pada ketokohan seseorang. Kedua pemilih pragmatis, yaitu yang memilih semata-mata untuk kepentingan sesaat. Dan ketiga adalah pemilih cerdas, yang memilih berdasar visi misi,track record serta secara sadar memilih calonnya.Pada tulisan ini, yang akan disinggung adalah pemilih pragmatis.

Beberapa orang masyarakat yang pernah kami wawancarai tentang pandangan mereka pada pemilu. Responden terkesan apatis, dalam artian bahwa, tidak ada signifikansi yang berarti antara pemilu dan kesejahteraan mereka. "Siapapun yang naik, kita tetap miskin nak : Kata seorang responden". Tentu pada kesempatan ini, penulis tidak sedang melakukan penelitian secara statistik. Hanya sekedar wawancara biasa.

Responden tersebut melanjutkan bahwa, ketika calon yang terpilih telah menjabat, mereka merasa dilupakan. Mungkin responden ini kurang paham tentang kesibukan. Namun yang bisa saya pahami adalah kerinduan responden pada ketulusan persahabatan. bukan keakraban temporer menjelang pemilu belaka. Namun persahabatan yang berlanjut hingga 5 tahun dan lebih berikutnya.
Dua faktor ini yaitu 1)Tidak didapatkannya signifikansi antara pemilu dan kesejahteraan dan 2)Keakraban bersifat temporer hanya menjelang pemilu, yang terkesan tidak sejati. Sehingga menyuburkan apatisme terhadap pemilu. Ini menjadi lahan yang subur bagi pohon politik uang untuk bertumbuh dengan cepat. Alasannya sederhana, "kapan lagi kita ambil uangnya, toh kalau sudah duduk nalupa meki dan tetap ki juga miskin" : Sergah salah seorang responden yang pernah saya wawancarai.

Akhirnya lahirlah pendapat bahwa, siapa yang memberikan uang, dialah yang dipilih. Ketika calon menutup pendekatannya pada pemilih dengan bertanya bahwa apakah pemilih bersedia memilih dirinya? Maka pemilih dengan mudahnya menjawab : "Ko degaga caui" Maksudnya kalau tidak ada yang mengalahkan jumlah amplopnya.

Serangan fajar, sebuah istilah yang terinspirasi pada serang umum 11 maret di Yogya. Sebuah idiom yang berkaitan dengan patriotisme melawan kolonial. Sekarang telah bergeser maknanya menjadi ajang politik uang. Tidak jarang, kelompok-kelompok masyarakat berkumpul disaat dini hari hingga menjelang pencoblosan dipagi hari, hanya untuk menanti tim membagikan uang padanya. Nampak jelas bahwa pemilih kurang memahami visi misi calon, apalagi punya idealisme tentang kepempimpinan 5 tahun berikutnya. Yang jelas adalah, apatisme menghadapi 5 tahun pengelolaan negara ini yang dibayar dengan kesimpulan pendek yaitu politik uang. Sepertinya politik uang telah menjadi patologi sosial di masyarakat kita hingga menjadikan demokrasi kita berjalan tertatih dan pincang.

Menjadi tugas semua pihak, pemerintah, pengawas pemilu, penyelenggara pemilu, Ornop, parpol dan peserta pemilu untuk mengawal demokrasi sesuai jalurnya. Minimal dengan mengurangi fenomena politik uang. Bagaimana caranya ? Tentu butuh kajian mendalam sesuai dengan kewenangan masing-masing (arm)

Baca juga :
Mengenali Jenis-Jenis Pemilih pada Pemilu
(Masih) Politik Uang
Gagap Demokrasi Masyarakat Post-Tradisional