Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Kontrak Hindia-Belanda dan Wajo 1888

Kerajaan Wajo terpaksa menandatangani perjanjian Bongayya tahun 1670. Namun ditahun 1737-1738, Kerajaan Wajo bahkan terang-terangan menentang Kompeni dan menolak hasil perjanjian. Dinamika berjalan sedemikian rupa, hingga ditahun 1824, Kompeni kembali lagi mendekati pemerintah Kerajaan Wajo untuk memperbaharui perjanjian Bongayya yang berkaitan dengan Wajo. Nanti kemudian, Abdul Rahman La Koro Arung Padali menjadi Arung Matowa, pemerintah Hindia Belanda memperbaharui kontraknya dengan Wajo.
Kontrak yang ditandatangani Johan Albert George Brugman mewakili Pemerintah Hindia Belanda dan La Koro Arung Matowa mewakili Wajo per tanggal 8 November 1888. Isi Kontrak terdiri  19 pasal, berisi beberapa tema penting antara lain ; wilayah, pemilihan Arung Matowa, komunikasi hadat Wajo pada pemerintah Hindia Belanda, larangan jual beli budak, senjata dan amunisi, dan beberapa hal teknis lainnya.



Adapun daerah daerah yang diakui Pemerintah hindia Belanda sebagai wilayah kerajaan Wajo antara lain :
1. Tosora, terdiri dari kampung kampung
- Aka Tuwa
- Lompa
- Menge
- Kampiri
- Palekoreng
- Botto
- Lowa lowa
- Ujung Kalakkang
- Bettempola Majauleng
- Talibolong
- Ta
- Ciung
- Talotenreng Amessangeng
- Wajo wajo
- Latamperu
- Lecceng leccengnge
2. Pammana, terdiri dari kampung kampung
- Lagosi
- Tampangeng
- Kessi boro
- Tosampa
- Palaguna
- Patila
- Lakaraco
- Sabbang
- Katena
- Kampong To tempe
- Amateng paowe
- Kulo
- Nusa' E
- Olongeng
- Balang
- Kampiri
- Teppo Batu E
- Tobakko
- Cempa E
- Lapatolo
- Larompo
- Malingongo
- Allaporengnge
- Padaelo

3. Sengkang, terdiri dari kampung
- Sengkang
- Palla'E
- Sura E
- Amessangeng
- Atakka
- Tongko E
- Cempalagi

4. Ugi, terdiri dari kampung
- Ugi
- Cella Mata
- Panresampa
- Ka E
- Leko lampe E
- Sumpang Bila
- Salo pokko E
- Salo Tengnga E
- Bola MallimpoE

5. Daerah yang bersatu
- Sompe
- Canru
- Caleko

6. Liu, terdiri dari kampung
- Liu
- Tosiang
- Pali E
- Appasarengnge
- Buajing Bukue
- Toddang SaloE
- TopalammaE
- Peawung
- Tomalampe
- Cilellang
- Bila
- TeppobatuE
- Amateng bungae
- Malaka
- Tokare

7. Wage terdiri dari kampung
- Wage
- Ujung awo
- Laleng buajaE
- BakkaE

8. Tempe, terdiri dari kampung
- Tempe
- Turungeng Lappa E
- Cappawengeng
- Ta E
- Pincengpute
- Empaga E
- Pajalele
- Ujung E
- Padaelo
- Amessangeng
- LabangangE
- BakkaE
- Kampong Baru lamangiso
- Benteng LompoE
- Pao Joppongnge
- Lamasapa
- Ujung AkaE
- Bonto te'ne
- Abuang AlliriE

9. Impa-impa, terdiri dari kampung
- Impa-impa
- Nepo
- Kampong Baru
- Palloro
- Totinco
- Data orai 
- Data alau

10. Tancung, terdiri dari kampung
- Ujung tana E
- Amessangeng
- Kampong Baru

11. Belawa, terdiri dari kampung
- Tancung purai
- Menrelli
- Belawa orai
- Belawa alau
- Malakke
- Bulu bangiE
- OngkoE
- Belawa
- Surabaia
- Balla awo E
- Tippulu E

12. Lowa, terdiri dari kampung
- PolewaliE
- Cenra cenranaE
- Ujung kessiE
- Cakke Lowa
- Bila bilaE
- Lamacauie
- Lamarrung
- Awa Ta
- Tonrongnge
- Bacu bacuE
- Kampong baru
- Lowa
- Bontouse
- Labuangpatu
- SappewaliE
- CempaE

13. Bila, terdiri dari kampung
- CempaE
- Labukkang
- Apurungnge
- SalotelluE
- Tacimpo
- Amessangeng
- Kalosi orai
- Pakkasalo
- Wela E

14. Kalola, terdiri dari kampung
- Kalola
- Awo tarraE
- Lacume DongiE
- Labuangtello
Daerah dengan perjanjian khusus
- Pabala E
- Lompo E
- Settung
- Macinna
- Coppengnge
- Pongawe
- BajaE
- Tingara possi E

15. Anabanua, terdiri dari kampung
- Anabanua
- Bulo E
- JongkangngE
- Salo dua
- CipiE salo
- LampaE

16. Gilireng, terdiri dari kampung
- Lalliseng
- Awo
- Lamata
- LuraE
- Ale LimpoE
- Sumpang Lejja
- Waji
- Macanang
- Lebongnge
- Gilireng

17. Paria, terdiri dari kampung
- Paria
- Laerung
- Pasa pasaE
- La baje
- Lacoppa
- Labukkang
- Batu tampung pacongangngE
- JokkaE
- Lapaboling
- LapituE
- Lamabolong
- Topaja
- Lagele
- AluppangngE
- Lamalappa
- TokauE
- Daraung
- Palisse tuoE
- SadangngE
- CacaE
- Lametagi
- IampiriE
- GattungengngE
- LamapanniE
- Lapakka
- Patimpa Lejja
- Topanai
- Lapacamarrung
- CallaccuE
- Lapabatta
- CempalagiE
- Lawalatte
- Maroanging
- Caleppa
- Lacebba
- Lawengi
- Lacamma
- Acciccingnge
- Aju maddoriE
- Liu liu
- Laparapa
- Laporobukang
- Lacempa
- Tallang
- Lamamma
- Tosuso
- Panrasetang
- Latindoro
- LasobatuE
- Nanange
- Lagolla
- Tengga
- Uraiyang
- Lompo
- Botto

18. Rumpia, terdiri dari kampung
- Rumpia
- Pao pao
- SarammaE
- CingkiE
- Lakado
- Laupe
- LalopiE
- Pajalele
- Bulu
- Kampong Baru
- Lapatola
- Bunne
- Pao jawaE
- Latapao
- EmpagaE

19. Akkotengeng, terdiri dari kampung
- Akkotengeng
- Boli boliE
- Jalang

20. Akkajeng

21. Peneki, terdiri dari kampung
- Paneki
- Parigi
- JakkaE
- Labulang
- Mualla

22. Bola, terdiri dari kampung
- Bola
- Solo
- PalisoE
- Mangiso
- Lempong
- Kading
- Tonrongbola

23. Penrang, terdiri dari kampung
- Sekkanasu
- Cempaga
- CelluE
- Cinnongtabi

24. Palippu, terdiri dari kampung
- Galla-gallaE
- Dori-doriE
- OtaE
- Piampo
- Uwae tuwo
- Mario
- Alogoungnge
- Setampulu
- LuraE
- TaoniE
- Taro taroE
- Palippu
- Walanga
- Doping dan
- Lampulung

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian III)

(Bagian III)
Dari Sidenreng, ke Wajo dan menuju Bone

James Brooke mencatat bahwa Lontara dari ketiga daerah (Wajo, Bone dan Soppeng) menyebut bahwa perang terakhir antara La Patongai Datu Lompulle di keempat distrik Sidenreng yaitu Wettareng, Wanio, Lise dan Belokka, dimana La Panguriseng berhasil mempertahankan tahta dan regalia Sidenreng. La Patongai kembali mempersiapkan peperangan berikutnya dengan melibatkan Wajo. Namun Tomarilaleng Bone mengancam akan mendeklarasikan perang melawan Wajo bila Wajo melibatkan diri pada konflik di Sidenreng.

Tanggal 14 Februari 1840, James Brooke diundang Teteaji, dikediaman Addatuang Sidenreng La Panguriseng. Ia bersama penerjemahnya dijamu dengan baik oleh Addatuang Sidenreng. James Brooke mencatat bahwa ia dan rombongannya pulang dengan bahagia setelah bertemu Addatuang.

Setelah mencoba membangun komunikasi, akhirnya Petta Betteng menyetujui pertemuan dengan James Brooke. Tanggal 21 Februari 1840, bersama dengan Datu Lompulle, Arung Ujung dan Datu Tempe diiringi sekitar 300 atau 400an pasukan berkuda meninggalkan Tempe menuju Tancung, 

Petta Betteng datang bersama ribuan pengikutnya dan berjarak sekitar setengah mil dengan James Brooke dan rombongannya. Terdengar teriakan keras dan gemuruh diikuti oleh sejumlah pasukan berkuda dan infanteri. Tombak ekor kuda (banranga), keris yang berkilau dan kuda yang berjingkrak memberi efek yang menyenangkan. Ketika kedua rombongan bertemu, mereka berpasangan. Pasukan berkuda dengan pasukan berkuda. Pasukan infanteri dengan pasukan infanteri. 

Mereka kemudian diantar untuk bertemu langsung dengan Petta Betteng. James Brooke menggambarkan Petta Betteng sebagai orang yang berusia 40an tahun, mata yang tajam, dan mirip orang Turki. Ia menuju kediaman Petta Betteng kemudian menginterview selama beberapa saat secara hati hati.


4 hari kemudian, Said Abdullah datang menemui James Brooke. Ia menggambarkan betapa berbedanya seorang arab macam Said Abdullah dengan tulisan tulisan Eropa tentang orang Arab di melayu. Ia juga menyebut bahwa Said Abdullah adalah tempat anggota komunitas Arab bergantung. Said Abdullah juga disebut sebagai orang yang memiliki reputasi baik di daerah Bone, Wajo dan Soppeng yang berdomisili di Tempe.

30 Februari 1840, ia menuju Palippu. Beberapa kuil, baik besar maupun kecil ia temukan. Dugaannya, sisa pengaruh Hindu yang bercampur dengan "Mohammadenism". Pada kuil tersebut, dipercikkan air dan minyak oleh penduduk setempat. Orang Bugis dalam pandangan James Brooke, mempercayai berbagai roh roh. Baik itu roh binatang maupun benda. Rumah, keris, perahu dianggap mampu menentukan nasib. Beberapa pendahulu disebut mampu meramalkan karamnya kapal berdasar alur yang aneh pada kayu.

Tempe, 3 Maret 1840, Dr Leyden menjelaskan beberapa lontara pada James Brooke. Yaitu perjalanan Sawerigading dan beberapa pesan pesan leluhur. Orang Wajo disebut kurang tertarik pada seni dan nyanyian. Hanya pada ritual tertentu. Dalam hal perdagangan, ia menyebut bahwa katun Bugis sulit bersaing di Singapura sebab harganya lebih mahal. Dengan perahu Bugis, barang berupa kulit kura-kura, emas, mutiara dan kerang diimpor. Demikian pula senjata, bubuk mesiu, opium dan katun. Sedang sarung dan kopi diekspor. 

James Brooke sangat senang menerima undangan dari Petta MangkauE. Tanggal 9 Maret 1840 di Tosora undangan diterima dan Daeng Matara tiba di Bone 4 hari kemudian untuk mempersiapkan pertemuan. Audiens dengan Petta MangkauE akhirnya terealisasi tanggal 26-27 Maret 1840.

Mendarat di BajoE, dengan 10 orang berkuda menuju istana Bone. Ia menggambarkan ibukota Bone saat itu banyak puing sisa terbakar waktu perang melawan Belanda namun beberapa rumah baru dibangun dengan megah. Di gerbang, ia dijemput Arung Tanete yang menyetujui audiensnya dengan Petta MangkauE. Terdapat sekitar 3000-4000 pasukan dihalaman istana. Pasukan itu mengenakan helm, keris dan sarung berwarna biru. Di pintu masuk, terdapat 8 atau 10 pasukan bertombak yang mengenakan baju rantai.
Petta MangkauE duduk diatas singgasana. Di sebelah kanannya duduk Tomarilaleng yaitu Arung Tanete dan duduk pula Arung Tibojong. Duduk pula disebelah kanan Petta MangkauE yaitu putra mahkota. Petta MangkauE berusia sekitar 40an tahun, berekspresi dengan cara menyenangkan. Petta MangkauE mengenakan jubah polos yang panjang dengan sejumlah kancing emas. Dilengkapi songkok hitam dan keris.

Pada kesempatan itu, James Brooke memaparkan kebahagiaannya atas undangan Petta MangkauE. Ia menjelaskan bahwa ia adalah seorang petualang yang tak terhubung dengan pemerintah manapun, termasuk Inggris. Bila Petta MangkauE berdiri, semua berdiri. Demikian pula bila Petta MangkauE duduk, semua ikut duduk. Ia menggambarkan kekuasaan Petta MangkauE nampak tak terbatas yang tidak bisa dibandingkan dengan kekuasaan Arung Matoa maupun Datu Soppeng. Selama di Bone, James Brooke menyempatkan diri berkunjung ke goa Mampu atas izin dan perlindungan Arung Tanete.

Baca juga :
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan (Bagian I)
Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan (Bagian II)

Demokrasi Vs Nepotisme : Memetik Makna dari Sejarah

Gerakan Reformasi 1998 mengangkat isu menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Nepotisme yang dilakukan rezim Orba saat itu dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan dengan demokrasi. Demokrasi "secara teoritis" memberi ruang yang sama bagi tiap warga negara untuk berkompetisi diranah politik. Hal ini berlawanan dengan Nepotisme yang memberi jalan pintas bagi anak anak tertentu untuk masuk dalam ranah politik.

============================== 494 tahun lalu ============================

Arung Matowa* Wajo La Tadampare Puang ri Maggalatung** sudah mulai uzur. Ia berwasiat agar kelak digantikan oleh "anaknya". Sementara, 47 tahun sebelumnya, orang Wajo sudah bersepakat. Jabatan Arung Matowa tidak boleh diwariskan tetapi dipilih melalui hadat Wajo. Tiga bulan lamanya hadat Wajo bersidang, namun tidak ada kata sepakat. 

Hadat Wajo terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu tetap bertahan bahwa Wajo tidak boleh meninggalkan konstitusinya. Yaitu, jabatan Arung Matowa tidak dapat diwariskan. Kubu yang lain berpendapat bahwa La Tadampare adalah raja Wajo yang sangat berjasa. Sehingga tidak mengapa bila wasiatnya dikabulkan sebagai bentuk terimakasih orang Wajo pada La Tadampare.

Saat sidang yang menjemukan itu, seorang anak kecil yang berusia sekitar 8 tahun yaitu La Paturusi To Maddualeng tertawa mendengar riuh sidang di Baruga***. Dari bawah, sambil memainkan kemiri****, ia memandang remeh persoalan rumit yang membingungkan orang Wajo. Salah seorang Hadat Wajo mencoba untuk mendengar pendapat La Paturusi, namun ayah La Paturusi seorang anggota Hadat yang lain mengabaikannya sebab dianggap masih anak anak.

Sidang yang tak kunjung usai itu terus berlangsung sehingga Hadat Wajo mendesak ayah La Paturusi yaitu La Tiringeng agar mendengar masukan La Paturusi. Akhirnya diiyakan. Maka diusunglah La Paturusi menuju rumah Arung Matowa. Dari balik jendela, La Tadampare bersedih melihat hal tersebut. Dalam hatinya, mengapa orang Wajo mesti mengutus seorang anak kecil untuk menjawab permintaan wasiatku.

Setelah naik kerumah La Tadampare, maka La Paturusi dipersilahkan duduk. Ia pun mulai berbicara. Dengan lantang La Paturusi mengatakan bahwa, siapapun orang tuanya bila seseorang menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo, maka itulah anakmu. Namun, walaupun itu anak kandungmu, bahkan keluar dari biji matamu, namun tidak menghendaki kebaikan bagi tanah Wajo maka dia bukan anakmu. 

Mendengar jawaban La Paturusi, maka La Tadampare Puangrimaggalatung pun puas. Ia bisa turun tahta dengan tenang.

========================== kembali ke tahun 2014 ===========================

Demokrasi, seperti yang dikatakan sebelumnya, sebenarnya sangat baik. Sebab memberi ruang setara kepada warga negara untuk berkompetisi secara politik tanpa mempersoalkan asal usulnya. Tetapi sayangnya, justru menutup ruang bagi orang yang "kebetulan" terlahir dari orang tua yang bergaris nasib sebagai pejabat.

Karena alasan menolak "nepotisme" maka seorang keluarga dekat Bupati/Walikota/Gubernur tidak boleh berkontestasi dipanggung politik. Demokrasi justru menjadi tidak demokratis. Orang orang menolak nepotisme dengan alasan bahwa "Tidak seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua yang melahirkannya". Sehingga ruang kontestasi harus dibuka secara adil. Tetapi disaat yang sama,  "Tidak ada seorang pun yang memilih dilahirkan dari orang tua pejabat". Sayangnya, ruang kontestasi justru ditutup secara tidak adil. Standar ganda pastinya.

Jika alasan keluarga pejabat dilarang untuk masuk ruang kontestasi karena dikhawatirkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Maka solusinya adalah membangun sistem yang kuat agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Bukannya menutup ruang kontestasi keluarga pejabat. Substansi persoalan sebenarnya adalah komitmen untuk membangun. Siapapun itu, apakah anak pejabat atau anak orang biasa, selama punya komitmen dan tentunya kemampuan, maka ruang kontestasi bagi mereka haruslah dibuka sama lebarnya. Ini demokrasi bukan ?

Saya ingin katakan bahwa, apa yang Bangsa Indonesia persoalkan hari ini adalah hal yang sudah dituntaskan oleh kerajaan Wajo 494 tahun lalu. Tetapi memang kita malas belajar dari sejarah. Atau mungkin sejarah tidak perlu dipelajari lagi, entah lah. Saya cuma tertawa sebagaimana La Paturusi tertawa melihat Hadat Wajo 494 tahun lalu.

* Arung Matowa adalah gelar raja utama di kerajaan Wajo. Sebelumnya gelar raja adalah Batara Wajo. Sebuah jabatan yang bersifat Monarki Absolut. Sedang Arung Matowa bersifat Monarki Konstitusional. Perubahan gelar ini mengikuti perubahan sistem konstitusi melalui Perjanjian Lapadeppa yang berisi pengakuan hak hak rakyat Wajo,
** La Tadampare Puangrimaggalatung, Arung Matowa Wajo IV. Berkuasa sekitar tahun 1491-1521. Ia adalah raja Wajo yang paling sukses sepanjang sejarah Wajo
*** Baruga adalah bangunan kayu bertiang khas Sulawesi Selatan, tempat diadakannya rapat atau musyawarah.
**** Permainan tradisional dimasa lalu sebelum kelereng dimainkan

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (bagian II)

(Bagian II)
Menuju Wajo

James Brooke menggambarkan kondisi geografis dan struktur pemerintahan di Wajo, berikut sistem pemerintahan serta konstitusinya. Ia menulis tentang posisi dalam struktur beserta wewenang masing masing. Demikian pula tentang masyarakat umum. James Brooke menulis profesi masyarakat yang bertani, menangkap ikan, serta menenun sarung. Tak lupa, strata sosial pun dicatatnya. Ia menulis tentang derajat tertinggi kebangsawanan (aru sangun= arung sengngeng) dan (rajin matassah = rajeng matase). Aru Sangun inilah yang menjadi raja (rajah). Derajat kedua adalah Rajeng. Disusul anak cerak (ana cherah). Adapun sekaitan budak, James Brooke menulis bahwa di negeri-negeri Bugis, budak umumnya adalah orang yang tak mampu membayar utang. Orang merdeka dapat menjadi budak bila tak mampu membayar utangnya, demikian pula keluarganya.

Tentang kehidupan keluarga, James Brooke menulis bahwa praktek poligami adalah hal umum. Bahkan tak jarang seorang lelaki beristri 2 yang berada pada rumah yang sama. James Brooke juga menyinggung tentang agama yang dianut. Tidak menggunakan istilah "Islam" tapi mahometan. Jabatan politik (kecuali arung matowa) terbuka untuk perempuan. Di tahun 1840, empat dari enam orang anggota Arung Ennengnge adalah perempuan. (saat itu hanya Arung Betteng dan Petta Cakkuridi yang laki laki, sementara Ranreng Talotenreng, Ranreng Tua, Petta Pilla dan Petta Patola dijabat oleh perempuan)



Tanggal 31 Januari 1840, James Brooke berkunjung ke rumah Arung Penrang. Orang-orang duduk bersila dengan kaki yang disilangkan. Ia dijamu dengan berbagai makanan. Nasi, daging kerbau, berbagai makanan berbumbu, telur, ikan dan sebagainya. Keesokannya (1 Februari 1840) ia diundang oleh young rajah pajumparuah (raja muda PajumperoE, kelak menjadi Arung Matoa). Mereka berdiskusi tentang suksesi Sidenreng sejak 1832, namun James Brooke menekankan bahwa ia tidak terikat dengan satu pemerintah apapun. Tanggal 2 Februari 1840, ia bertemu Datu Lompulle (Lapatongai) beserta rombongan. Ikut juga para Ponggawa. Ponggawa tidak masuk dalam struktur Arung PatappuloE namun memiliki hak veto dalam menentukan keikutsertaan dalam perang.

cek :

James Brooke menggambarkan penampilan orang Bugis kala itu. Para lelaki mengenakan pakaian yang indah mirip orang melayu. Celana dibawah lutut diatas mata kaki. Dengan balutan sarung dan hiasan keris. Tidak lupa cincin yang banyak menghiasi jari jari mereka. Sementara para perempuan mengenakan sarung hingga mata kaki. Kain muslin (baju bodo) yang hiasannya lebih sedikit. Rambut yang panjang

Orang Bugis digambarkan James Brooke sebagai orang yang berpikir simpel, cerdas, bahkan kadang licik namun tidak akut. Ia juga percaya bahwa orang Bugis itu pembual dan pengganggu terhebat dinusantara. Di saat yang sama juga ia percaya bahwa orang Bugis adalah yang paling berani dan ras paling energik. Menurutnya orang Bugis tak dapat dibandingkan dengan orang Eropa apapun. Ia menambahkan, khusus orang Inggris akan menyenangi karakter orang Wajo yang terbuka.

Keesokannya (3 Februari 1840) saat hujan deras turun. Ia melihat lelaki yang berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian lelaki dan mengikuti karakter pakaian tersebut. Pada dasarnya ia sedang melihat gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai). Di hari itu pula ia bertemu lagi dengan La Patongai Datu Lompulle (Lappa Tongi) yang bercerita tentang klaimnya tentang tahta Sidenreng.


Pasar Tosora dikunjungi James Brooke pada tanggal 4 Februari 1840. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Tempe. Arung Tempe saat itu adalah Permaisuri dari Datu Lompulle. Di pesisir sungai ia temukan banyak pohon asam (tamarind) dan pohon coklat (cocoa nut). Ia singgah di Tampurnung (Tampangeng) lalu Amsangan (Amessangeng) dan Singkong (Siengkang) lalu akhirnya mencapai Tempe. Ia menyebut air berhulu dari Lumpu Batang (Lompobattang) dan Latimojong. Tempe berpenduduk padat. Puncak Latimojong berdiri kokoh berpadu dengan keindahan danau. Esoknya ia dikunjungi Arun Ujongs (Talibe Ali Arung Ujung)

Acara pemakaman digambarkan mirip dengan Melayu. Para Imam/Bissu memanjatkan doa doa. Nisan disebut umumnya dari batu kasar. Sedang nisan para nakodah yang kaya terbuat dari kayu yang diukir elegan.

Beberapa hari kemudian, James Brooke ke Wage yang berada dibawah pemerintahan Ranreng Talotenreng. Ia mencatat sebanyak 250 rumah disana. Selain itu juga tercatat sebanyak 600 rumah di Sengkang, 500 rumah di Tempe, 75 rumah di EmpagaE, 100 rumah di Impa Impa, Pajalele 250 rumah, UjungE 120 rumah, Tancung 300 rumah, Bontouse 40 rumah, Nepo 40 rumah, Lowa 450 rumah. Untuk sekitar pesisir Danau Tappareng Karaja, James Brooke memperkirakan sekitar  2,055 rumah dan 30.825 jiwa.


Rumah Daeng Matara (yang ia temui di Singapura) di Bontouse dijadikan tempat tinggal sementara oleh James Brooke dan rombongannya. Lalu di Pajalele. Setelah sekian lama, James Brooke mengunjungi Wettareng dan Teteaji di Sidenreng lalu bertemu Lapanguriseng (Lappa Gnurisang). Setelah itu kembali ke Pajalele. Ia mencatat berbagai unggas sebagai hewan endemik di danau Tempe.

(bersambung)

Perjalanan James Brooke ke Sulawesi Selatan 1840 (Bagian I)

(Bagian I)
Pertemuan dengan Petta PonggawaE dan Datu Lompulle

James Brooke adalah petualang Inggris. Meninggalkan Inggris di November 1838 beserta 19 kru lainnya. Berlayar menuju Rio de Janiero Brasil dan melanjutkan ke India dan Singapura. Di Singapura, berangkat ke Kalimantan khususnya Sarawak kemudian kembali lagi ke Singapura.

Tahun baru, 1 Januari 1840 James Brooke kemudian berlayar ke Sulawesi. Dalam catatannya, (sebagaimana para pelaut) ia menyebut puncak bantaeng (bonthain hill) atau lompobattang sebagai titik selatan Sulawesi. Ia kemudian disambut oleh aparat Belanda. Daeng Matara (dain matarah), menjadi guide James Brooke sepanjang perjalanannya. Dari Bantaeng, James Brooke melanjutkan perjalanannya ke Bulukumba.

Dari Bulukumba, James Brooke berlayar menyisir teluk Bone hingga ke berlabuh di BajoE, dengan harapan agar bisa bertemu dengan Arumpone. James Brooke melalui penerjemahnya Mr. Poon mengirim surat dan diterima Tomarilaleng (Perdana Menteri). Keduanya berkorespondensi. James Brooke ~sambil menunggu kesempatan audiens dengan Raja Bone~ mempelajari sistem pemerintahan Kerajaan Bone yang disebutnya kerajaan terkuat di Sulawesi.

Pelayaran James Brooke dilanjutkan ke Tanjung Palette. Ia bertemu dengan sekelompok orang Bajo. Didepan Sungai Cenrana, Daeng Matara dikirim untuk mengumpulkan informasi Wajo dan kembali.James Brooke bersiap untuk bertemu dengan Petta PonggawaE (rajah pengawa)

Sekitar 50-60an perahu berbagai ukuran mengiringi Petta PonggawaE. Pertemuan dengan James Brooke dimulai dengan saling memuji oleh keduanya. James Brooke menjelaskan posisinya sebagai petualang yang tak terikat dengan satu pemerintahan apapun. Dan terjadilah dialog yang mengesankan bagi James Brooke

PP (Petta PonggawaE) : Apa yang menyenangkan anda sehingga datang dari jauh ?
JB (James Brooke) : Sulit bagi anda memahami betapa banyak orang Inggris yang suka mengunjugi berbagai negeri. Mereka semua adalah petualang. Termasuk saya. Senang untuk mengunjungi luar negeri
PP : Apakah anda menerima bayaran ?
JB : Tidak
PP : Apakah anda berdagang
JB : Tidak
PP : Ketika anda di Inggris, apakah anda berdagang ?
JB : Tidak
PP : Bagaimana cara anda hidup ?
JB : Saya mengikuti keberuntungaku
PP : Maka anda harus punya relasi dengan ratu ?
JB : Saya tidak memiliki kehormatan tersebut
PP : Mana yang lebih kuat, Inggris atau Belanda ?
JB : Tentu "Inggris"
PP : Apakah mereka (Inggris dan Belanda) bersahabat ?
JB : Ya
PP : Apakah Rusia adalah negara yang sangat kuat ?
JB : Ya
PP : Apakah sekuat Inggris ?
JB : Rusia sangat kuat, tapi dalam pendapat saya, Inggris dan Prancis adalah yang terkuat
PP : Apa yang terjadi pada (Napoleon) Bonaparte setelah Inggris memenjarakannya
JB : Ia meninggal di St. Helena
PP : Bagaimana Inggris menyerahkan Jawa dan negeri negeri lain kembali pada Belanda setelah menguasainya ?
JB : Inggris mengambil negara negara tersebut dari Prancis (Prancis mengalahkan Belanda saat perang Bonaparte) dan setelah perang usai, Inggris menyerahkan kembali pada Belanda.
PP : Apakah Belanda membayar upeti kepada mereka ?
JB : Tidak

James Brooke menggambarkan Petta PonggawaE sebagai orang yang berusia sekitar 45 tahun, berkulit gelap dan bertubuh agak pendek, berwajah ekspresif, Petta PonggawaE ditemani oleh Daeng Palawa (dain palawa) yang lebih muda dan berwajah tampan. Ia menggambarkan iring-iringan yang berjumlah sekitar 600 orang itu dengan perahu yang bervariasi dan dilengkapi busur panah.

Setelah pertemuan itu, tiba utusan yang membawa surat dari La Patongai. La Patongai menjelaskan bahwa ia tidak dapat hadir secara langsung berhubung ibundanya (We Muddariyah Ranreng Talotenreng) sedang sakit parah. Tanggal 21 Januari 1840, James Brooke mengirim utusan untuk membalas surat tersebut. Balasan dari La Patongai (Lappa Tongi) bahwa ibundanya telah meninggal dunia. Ia meminta James Brooke agar menuju Peneki, Beberapa hari kemudian, setelah lepas jangkar di Manruluwatu, James Brooke menuju Batu Manu (Batu Mano = perbatasan) menuju Tanjong Setange dan menurunkan jangkarnya di Pantai Peneki.

Seminggu kemudian, terjadi pertemuan pertama La Patongai dengan James Brooke di Doping. Lapatongai diiringi pengikutnya dan dua raja lainnya. Ia menggambarkan La Patongai sebagai orang yang berusia 45 atau 48 tahun yang berwajah melankolis dan tenang. Mengenakan baju beludru dengan hiasan bunga emas. Baju jas tutup hingga tenggorokan. Tiap lengannya dihiasi emas yang melingkar. Bercelana dibawah lutut diatas mata kaki yang agak longgar dari bahan yang sama. Celana yang dihiasi sekitar 6-8 real emas. Mengenakan sarung dibordir emas biru melilit dipinggangnya yang terselip keris emas berhias permata. Tutup kepala dari emas berukir

(bersambung)

Todilaling, Maraqdia Pertama Balanipa

Telah menjadi tradisi di Balanipa Mandar dizaman dahulu kala. Apabila ada dua lelaki yang berselisih, maka diselesaikan dengan cara baku tikam keris. Apabila ada yang terlebih dahulu terluka, maka dilerai dan dianggap bersalah. Apabila ada yang terbunuh, maka yang hiduplah yang dianggap benar.


Apabila ada dua perempuan Mandar yang berselisih, maka dimasak air hingga mendidih. Lalu kedua perempuan yang berselisih itu disuruh masukkan tangannya dalam air mendidih tersebut. Barangsiapa yang terlebih dulu mengangkat tangannya dari air mendidih tersebut, itu yang dianggap bersalah. Begitupun sebaliknya.

Hal tersebut terus berlangsung hingga dizaman Todilaling, Maraqdia pertama Balanipa. Todilaling menyaksikan langsung hal tersebut bersama Tomakaka di Nepo. Setelah itu, beliau bersedih. Sebab memikirkan masa depan negerinya. Bila hal itu terus berlangsung, maka lelaki di Balanipa akan berkurang. Sementara para perempuan tidak bisa berbuat banyak sebab tangannya sakit.

Untuk mengatasi hal tersebut, Todilaling mengutus I Puang di Pojosang ke Gowa untuk meminta hukum adat. Sesampai di Gowa, I Puang di Pojosang naik ke istana bertemu Karaeng Gowa dan menyampaikan maksudnya. Karaeng ri Gowa pun menanyakan bagaimana hukum adat di Balanipa Mandar. I Puang di Pojosang menjawab secara seksama dan Karaeng pun mengerti.

Dengan persetujuan Gallarang, maka Karaeng ri Gowa pun menitahkan pada Gallarang agar menuliskan di lontara ikhwal hukum adat. I Puang menerima lontara tersebut, berterimakasih dan pamit. Oleh Karaeng ri Gowa, memberi bekal pada I Puang untuk perjalanan pulang bersama pelaut Makassar.

Pantai Mandar
Sesampai di Balanipa, Maraqdia bersama hadat Balanipa duduk bersama dan mendengarkan isi lontara hukum adat tersebut dan disepakati dijadikan sebagai pusaka. Pusaka yang diwariskan turun temurun. Adapun pelaut Makassar tersebut diminta untuk menginap di Balanipa, namun ditolak dengan halus sebab kapalnya sedang membawa barang yang harus diantarkan. Todilaling pun meminta pada pelaut Makassar yang mengantar I Puang tersebut agar bila selesai mengantar barang, hendaknya singgah di Balanipa sebelum pulang ke Makassar.
Todilaling kemudian meminta kepada hadatnya agar mengumpulkan hasil bumi untuk dikirim ke Makassar sebagai bentuk terimakasih pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Beberapa hari kemudian, tibalah pelaut Makassar di Balanipa yang telah mengantar barang. Ia menghadap menemui Todilaling. Oleh Todilaling, berpesan agar hasil bumi dari Balanipa tersebut dikirim pada Karaeng ri Gowa dan Gallarang. Sekaligus menitip salam rindu untuk Karaeng ri Gowa yang memang telah lama Todilaling tak bersua dengannya.

 ~ disadur dari Transliterasi dan Terjemah O DIADAQ O DIBIASA (NASKAH LONTAR MANDAR)

Diaspora Bugis-Makassar di Singapura

Terletak di jalur pelayaran samudra Pasifik dan samudra India, antara Tiongkok, Nusantara, dan Asia Barat, menjadikan posisi Singapura menjadi sangat strategis bagi perdagangan dunia. Singapura menjadi terminal persinggahan bagi para pedagang dimasa lalu. Untuk membawa hasil bumi dari nusantara ke asia barat dan eropa. Produksi keramik, sutra dan sebagainya dari Tiongkok. Produksi kain dari India. Serta berbagai komuditas dunia hilir mudik melalui pelabuhan Singapura.

Dahulu kala, Singapura dikenal dengan nama Temasek. Pernah menjadi wilayah kekaisaran Sriwijaya, disusul kemudian Raja Cola dari India. Kerajaan Majapahit pun pernah mengklaim Temasek sebagai wilayahnya hingga kesultanan Johor. Hingga kemudian Inggris melalui EIC membangun bandar dagang di tahun 1819 di Singapura.

Hubungan dengan melayu diperkirakan sejak runtuhnya benteng Malaka oleh Portugis. Migran melayu tersebar dipesisir barat Sulawesi Selatan. Di Siang (pangkep) hingga Makassar. Besar kemungkinan, dari hubungan ini membuat kebijakan luar negeri kerajaan Makassar memberi prioritas sektor maritim. Kerajaan Makassar pun berjaya sebagai kerajaan maritim di nusantara.

Relasi kerajaan Makassar tidak semata mata politik, namun juga ekonomi. Ini yang kemudian menyebabkan pergesekan dengan VOC kelak, yang hendak memonopoli dagang. Posisi Makassar yang strategis menjadi tempat transit ideal untuk rempah dari Maluku yang dipasarkan ke barat. Demikian pula teripang di selatan (australia utara) ke Tiongkok melalui selat Makassar.

Imbas Perang Makassar 1667-1669 menyebabkan banyak migran Bugis Makassar tersebar diberbagai pelabuhan Nusantara. Misalnya pangeran Gowa dan rombongan yang ke Thailand. Komandan Wajo yang ke Samarinda, dan sebagainya. Seiring dengan waktu, gelombang migran pun mencapai Tumasek alias Singapura.

Meski demikian, diaspora bugis-makassar tidak didominasi oleh pihak kalah perang saja. Namun termasuk kerajaan utama yang lain di Sulawesi Selatan yaitu Bone dan Luwu. Di era 1720-an, nama 5 Opu begitu mendominasi di Selat Malaka. 5 Opu membantu kesultanan Johor dalam perang melawan Kesultanan Siak. Efek dari itu, orang Bugis menguasai Kepulauan Riau. Otomatis perdagangan laut yang bebas pun dikuasai. Hal ini menyebabkan VOC gusar sehingga ditahun 1784 memutuskan untuk menduduki Riau demi mengontrol perdagangan. Orang Bugis pun bermigrasi ke Singapura, sebuah pulau yang kurang penduduknya di saat itu untuk menghindari dominasi VOC.

Pergesekan di Eropa berimbas di Nusantara. Kekuasaan Belanda melalui VOC beralih pada Inggris melalui EIC. Hingga situasi berubah, Inggris menyerahkan nusantara kembali pada Belanda ditahun 1819 yang disesali Raffles. Sebelumnya, Sultan Johor menjual pulau Singapura pada Inggris. Sehingga meski nusantara dikuasai Belanda, tetapi pelabuhan penting Singapura tetap dikuasai oleh Inggris.

Patung Bugis, Tiongkok dan Inggris di Singapura


Berbagai komoditas, seperti hasil pertanian, hasil perkebunan, bahkan budak menjadikan perdagangan laut sangat intens. Arus ekspor impor di Sulawesi Selatan melalui pelabuhan Singapura menjadi tinggi. Terbukti dengan banyaknya kapal dagang yang merapat. Hal ini tentu didukung oleh dua hal. Pertama, Singapura sebagai wilayah yang dikuasai Inggris yang merupakan saingan Belanda. Kedua, kehadiran orang Bugis Makassar di Singapura yang menjadikan hubungan dagang dengan kerabatnya di Sulawesi terus eksis.



Dinamika ekonomi politik di nusantara, yang melibatkan bangsa Eropa, Tiongkok, India, Melayu, Arab-Persia dan tentunya Bugis Makassar, menyebabkan Singapura berkembang. Dari sebuah pulau kecil, menjadi pelabuhan penting bahkan hingga hari ini. Saat ini, orang orang Bugis di Singapura sebagian masih menjalin hubungan dengan kerabatnya di Malaysia dan Sulawesi Selatan

Struktur Parewa Sara di Wajo abad 17

Setelah Musu Selleng (bgs) atau Bundu Kasallanga (mks) usai, Arung Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji meminta pada Sultan Alauddin agar diberi Anreguru. Hal itu dilakukan agar orang Wajo dapat mempelajari Islam lebih dalam. Maka, Sultan Alauddin pun mengirim Datok Sulaiman (yang saat itu berada di Luwu) agar ke Wajo.


Sesampainya di Wajo, terjadi dialog antara Arung Matowa La Sangkuru dengan Datok Sulaiman tentang tauhid. Setelah itu, dilanjutkan dengan penjelasan umum kenabian dan hal hal umum. Seperti makanan yang diharamkan dan dosa dosa besar. Arung Matowa beserta hadat Wajo melakukan ritual mandi di telaga "Takkumelawe" sebagai bentuk sumpah janji untuk setia pada ajaran Islam.


Setelah Datok Sulaiman bermusyawarah bersama Arung Matowa dan Hadat Wajo, maka dibentuklah struktur Parewa Sara. Parewa Sara adalah pejabat yang bertugas mengurusi persoalan syariat. Dalam struktur itu terdiri satu orang Qadhi (Petta KaliE) yaitu Datuk Sulaiman sendiri. Mengingat Kerajaan Wajo terdiri dari 3 limpo (distrik) maka struktur pegawai sara pun mengikuti struktur pemerintahan. Qadhi membawahi 2 orang Khatib dan 2 orang Bilal. 1 Pangulu Limpo, 1 Amele, tiap limpo
Berikut ini perbandingan antara Struktur pemerintahan dengan Struktur Parewa Sara



Abdul Qahhar Mudzakkar, Dari Patriot Hingga Pemberontak

Salah seorang legenda dari tanah Luwu yaitu Abdul Qahhar Mudzakkar (sering disebut Kahar Muzakkar saja). Lelaki perkasa ini terlahir dengan nama La Domeng. Hijrah ke Jawa karena dipaoppangi tanah oleh kedatuan Luwu, menjadi awal perkembangannya menjadi tokoh yang legendaris.

cek juga : Luwu di Masa Lalu

Tergabung dalam kelaskaran, ia adalah putra Sulawesi Selatan pertama yang mencapai pangkat tertinggi yaitu Letnan Kolonel. Dimana pejuang asal Sulawesi Selatan lainnya hanya berpangkat Kapten atau Letnan saja. Ia menunjukkan kualitasnya saat mengawal Soekarno di lapangan Ikada. Berbekal parang, ia menembus barikade tentara Jepang yang bersenjata lengkap agar Bung Karno dapat berpidato. Demikian pula pasukannya, Grup Seberang, telah menunjukkan taringnya saat Serangan Umum 11 Maret yang legendaris itu.

Buku karya Dr. Anhar Gonggong ini, merupakan buku yang paling tuntas membahas tentang gerakan DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Dengan kapabilitas keilmuan, referensi data yang mumpuni, serta sikap obyektif dalam pemaparannya, membuat buku ini menjadi referensi ilmiah bagi yang tertarik mengkaji tentang hal hal yang berhubungan dengan DI/TII.

Bab I buku ini yaitu pendahuluan. Berisi alasan pemilihan subyek, permasalahan, pendekatan teori dan orientasi isi.

Penulis memperdalam tentang latar belakang Sulawesi Selatan di Bab II. Berbagai tinjauan sebagai pengantar agar pembaca dapat memahami konteks secara menyeluruh. Latar belakang meliputi kondisi geografi, sosial ekonomi, pendidikan dan agama.

Adapun tentang kondisi adat istiadat dan sosial budaya, dibahas di Bab III. Penulis membahas tentang pangadereng (adat istiadat), nilai Siri na Pesse dan sistem kekerabatan di masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini makin memudahkan pembaca untuk benar benar memahami konteks yang ada dibalik berbagai peristiwa.

Partisipasi masyarakat Sulawesi Selatan dalam perjuangan kemerdekaan dibahas pada Bab IV. Bab ini membahas tentang bagaimana awal mula kemerdekaan yang kemudian disusul kedatangan sekutu dan Belanda. Hingga kemudian, dibentuk berbagai laskar untuk mempertahankan kemerdekaan serta dinamika hubungan antar gerilyawan. Bab ini juga membahas awal mula kemunculan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Tokoh sentral DI/TII di Sulawesi Selatan, yaitu Kahar Muzakkar, tentu memiliki pandangan ideologis tersendiri. Pandangan ideologis tersebut dibahas pada Bab selanjutnya yaitu Bab V. Ada perbedaan pendapat antara para founding fathers RI yang notabene seperjuangan dengan Kahar Muzakkar. Dalam kutipan suratnya pada Soekarno, Kahar menulis :

Bung Karno jang saja muliakan!
Alangkah bahagia dan agungnja Bangsa kita dibawah pimpinan Bung Karno djika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai pemimpin besar Islam, Pemimpin besar bangsa Indonesia, tampi ke muka menjeru Masjarakat Dunia jang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala AdjaranNja jang ada didalam kitab sutji Al-Qur'an dan kitab sutji agama lainnja. (hlm : 141)

Masih di bab ini, penulis mengatakan : "Dalam pandangan Abdul Qahhar Mudzakkar Pancasila adalah sesuatu yang dipaksakan oleh Soekarno sebagai dasar negara". Dalam pada itu, terjadi pertentangan penafsiran tentang Pancasila sehingga menjadi argumen dalam pemberontakan DI/TII. Selain itu, bab ini juga berisi kritikan Qahhar Mudzakkar terhadap komunisme yang diberi ruang oleh RI, yang secara ideologis sangat bertentangan dengan DI/TII. Juga kritik terhadap Majapahitisme, yaitu paham penjajahan suku tertentu terhadap suku suku lain dinusantara yang menyaru dalam konsep keindonesiaan kala itu.

Langkah-langkah penyelesaian oleh pemerintah, dibahas pada Bab VI. Didalamnya dijelaskan tentang ajakan damai dari pihak pemerintah (perdana menteri Mohammad Natsir) dengan mengajukan beberapa syarat antara lain :
- Para Pedjuang nasional di Sulawesi Selatan diterima sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia
- Tidak akan diadakan tuntutan terhadap tindakan tindakan yang dilakukan sebelum masuk. (hlm : 152)
Setelah itu, anggota KGSS diangkat menjadi CTN (Corps Tjadangan Nasional) yang berbagi beberapa batalyon. Tanggal 24 Maret 1951, Abdul Qahhar Mudzakkar beserta batalyon batalyonnya dilantik oleh Letnan Kolonel Suwido yang mewakili menteri pertahanan.

April-Juli 1951, terjadi pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Kapten Lapanu Dg Manati dan Batjo Dg Sikki. Menyikapi hal ini, komandan CTN (Abdul Qahhar Mudzakkar) mengajukan agar diberi kepercayaan untuk melakukan operasi pembersihan (hlm 154). Namun usul ini ditolak oleh pimpinan APRIS sehingga terjadi ketegangan. Berbagai langkah diplomatis dilakukan untuk meredakan ketegangan hingga akhirnya opsi terakhir yaitu operasi militer pun diambil.

Operasi Tumpas dipimpin langsung oleh Panglima Komando Indonesia Timur yang mempunyai komando tempur dengan nama Komando Operasi Kilat yang dipimpin langsung oleh Pangdam XIV Hasanuddin, Kolonel Andi Muhammad Yusuf (hlm : 170). Operasi Kilat ini berlangsung hingga 5 April 1964 yang difokuskan untuk menyerang posisi Andi Selle yang kemudian meninggal karena sakit jantung. Sehingga fokus berikutnya selama April 1964 hingga 2 Februari 1965 difokuskan untuk menyerang posisi Abdul Qahhar Mudzakkar. Dalam keterangan resmi, Abdul Qahhar Mudzakkar dilaporkan meninggal ditembak oleh Kopral Sadeli.

Bab VII sebagai bab terakhir berisi  melemahnya Abdul Qahhar Mudzakkar serta kelemahan gagasan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) yang digagasnya. Mulai dari keluarnya Andi Selle dari CTN disusul Andi Sose kemudian Usman Balo. Ketiganya merupakan bekas komandan Abdul Qahhar Mudzakkar yang tentu melemahkan posisinya. Selanjutnya menyusul "tangan kanan" sang komandan, yaitu Letnan Kolonel RPI Bahar Mattaliu yang didahului beberapa perbedaan pendapat dengan sang komandan, Kolonel RPI Abdul Qahhar Mudzakkar. Bab ini ditutup dengan penjelasan terhadap akibat yang ditimbulkan gerakan DI/TII baik skala nasional maupun lokal. (arm)

Judul : Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak
Penerbit : PT Grasindo, Jakarta 1992
Penulis : Dr. Anhar Gonggong
Tebal : 252 halaman

Sifat Merakyat La Tadampare Puangrimaggalatung (bagian I)

La Tadampare Puangrimaggalatung, adalah putra La Tompiwanua dan We Tenrilawi. Terpilih menjadi Arung Matowa Wajo keempat. Menjabat sekitar tahun 1491 hingga 1521. Dimasa pemerintahannya, Wajo mencapai keemasannya. Wilayah yang luas, pemerintahan yang berpihak pada rakyat, panen yang melimpah ruah dan sistem peradilan yang berkeadilan.
Pada Lontara Sukkuna Wajo (LSW), mencatat banyak peristiwa dan pesan pesan beliau. Berikut ini kutipan dari LSW poin 462.



Naia gau'na Puang ri Maggalatung, angkanna tettong Arung Matoa, kutoni temmatinrona matanna essowenni mellaui ri Dewata Seuae adecengenna Wajo. Asalamakenna to wajoe. Naia alempurenna tekkacinna cinnai. Napappada pada maneng ana rijajianna to wajoe. Nasappareng deceng, naellauang alampereng sunge' ri Dewata Seuae. Naia accana nasapparengngi adecengenna waramparanna to wajoe nasalama watakkalena. Iatopa gau'na ia natangngorai matanna essoe, laoni maggulilingi wanuae , tattellu anana' nasilaongeng. Seddi tiwi care care, seddi tiwi anre anre. Narekko napoleiwi anana'e mallojo lojo, nawerengngi care care. Narekko mallipa mui nawerengngi anre-anre nasuroi lisu ribolana. Narekko napolei anana'e massasa napappengngi. Narekko tomatoa napolei tudang ri pallawangengnge, nasuro lao ribolana nawa nawai pallaonna ri baja sangadie...

Terjemahan
Adapun prilaku Puang ri Maggalatung sejak diangkat menjadi Arung Matoa, siang malam tidak tidur matanya meminta pada Dewata Seuae kebaikannya Wajo. Keselamatan orang Wajo. Adapun kejujurannya adalah tidak suka terhadap harta orang lain. (ia memperlakukan) sama semua baik anak kandung maupun orang wajo. Mencarikan kebaikan, dimohonkan panjang umur pada Dewata Seuae. Adapun kecakapannya adalah mencarikan kebaikan harta orang Wajo dan selamat dirinya. Yang dilakukan pula bila matahari hampir terbenam di ufuk barat adalah pergi berkeliling negeri. Ia membawa tiga orang anak. Satu membawa pakaian, satu membawa makanan. Apabila mendapati anak anak bermain petak umpet, diberikan pakaian. Apabila (anak tersebut) pakai sarung, (maka) ia berikan makanan kemudian menyuruh pulang. Apabila mendapati anak-anak bertengkar, maka dilerainya. Apabila orang tua duduk dijalan, disuruh pergi kerumahnya untuk memikirkan pekerjaannya besok....

Dari kutipan diatas jelas disebut, bahwa Puang ri Maggalatung sangat merakyat, bahkan dimulai sejak diangkat menjadi raja. Ia selalu memikirkan kebaikan negeri dan rakyatnya. Setiap sore berkeliling negeri memberikan pakaian dan makanan pada anak-anak dan menyuruhnya pulang. Tak segan segan, beliau langsung melerai anak-anak yang bertengkar lalu menasehatinya. Bila bertemu orang dewasa yang hanya duduk dipinggir jalan, beliau meminta agar lebih produktif dengan cara memikirkan pekerjaannya.

(bersambung)

3 Peletak Fondasi Kebesaran Kerajaan Bone

3 Peletak Fondasi Kebesaran Kerajaan Bone 

Bone menjadi kerajaan terbesar di abad ke-17, tidaklah terjadi secara kebetulan. Akan tetapi, melewati proses panjang dan berat selama ratusan tahun. Berbagai peristiwa yang terjadi telah menggores sejarah Bone.  Proses perkembangan kerajaan Bone sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi awal yang membentuk fondasi kerajaan Bone.
Berikut ini, 3 peletak fondasi kerajaan Bone diawal terbentuknya hingga mulai berkembang.

MatasilompoE Manurungnge ri Matajang

Setidaknya ada dua pendapat tentang kata Matasilompoe. Berhubung aksara lontara berbasis suku kata, maka dalam penulisannya dapat dibaca Mata+Silompoe yang berarti mampu mengetahui jumlah orang dalam satu padang. Juga dapat dibaca Mattasi+Lompoe yang berarti telah mengarungi lautan luas.

Disebutkan bahwa telah tujuh generasi mengalami kondisi chaos yang diistilahkan sianrebale. Carut marut tatanan sosial tersebut bisa diredakan dengan kehadiran Matasilompoe.  Terbentuklah kerajaan Bone atas dukungan dan inisiatif tujuh matoa.   
Diawal terbentuknya, kerajaan Bone adalah kerajaan kecil. Sehingga dengan mudah menata pemerintahan. Tata kelola pemerintahan adalah hal niscaya dalam membangun stabilitas sosial. Struktur kerajaan Bone dibentuk seiring terbentuknya kerajaan. Matasilompoe berposisi sebagai Arumpone, dan ketujuh matoa  menjadi Arung Pitue sebagai anggota dewan pemerintahan.

Setelah menata pemerintahan, langkah Matasilompoe adalah mendekritkan hak milik. Langkah ini memberi kepastian hukum terhadap kepemilikan. Dengan demikian, potensi konflik semakin kecil dan menjamin stabilitas sosial. Untuk mengukuhkan kewibawaan kerajaan, dibuat tanda (bate) berupa bendera yang bergelar Worongporongnge.

Selama sekitar 32 memerintah, beliau berhasil membawa masyarakat Bone pada keadilan dan kesejahteraan. Tata kelola pemerintahan, stabilitas sosial dan kesejahteraan sosial adalah  syarat dasar menuju perkembangan Bone berikutnya.
 
Situs Tana BangkalaE Watampone

La Ummasa Petta Panre Bessie

Beliau adalah putra Matasilompoe, terpilih menggantikan ayahandanya setelah Mallajang. Keberhasilan Bone mensejahterakan masyarakatnya di era sebelumnya, mempermudah usaha beliau menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil disekitar. Tercatat, Biru, Maloi, Anrobiring dan Matajang mulai tergabung ke Bone. Pelan tapi pasti, Bone semakin berkembang. 

Di masanya, industri metalurgi berkembang. Bahkan baginda digelari Petta Panre Bessie. Teknologi penempaan besi yang maju menjamin ketersediaan senjata untuk pertahanan negara, dan alat pertanian untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena diera sebelumnya telah diterapkan aturan tentang kepemilikan. Sehingga masyarakat Bone dapat bekerja dengan tenang tanpa kekhawatiran konflik, dan kemajuan teknologi terbaru dizamannya.

Seiring perkembangan ekonomi dan politik kerajaan Bone, militernya dibangun secara perlahan. Baginda mengembangkan kerajaan Bone secara politik melalui penggabungan daerah lain. Kelak, lebih banyak lagi daerah lain yang bergabung dengan Bone hingga menjadi kerajaan besar dengan daerah yang teramat luas. Baginda memajukan industri penempaan besi. Kelak, bahkan ketika kerajaan Bone berganti menjadi kabupaten, tradisi penempaan besi itu masih bertahan. Persenjataan yang cukup, ,memungkinkan kuatnya pertahanan negara. Peralatan pertanian yang cukup, meningkatkan produktifitas hasil pertanian.

Keberhasilan Bone dibidang persenjataan militer dan agraris, adalah fondasi utama peninggalan baginda yang masih bertahan beberapa ratus tahun kemudian. Bahkan hingga hari ini.

La Saliyu Kerampelua

Ibunya merupakan saudara baginda La Ummasa, sedang ayahnya adalah La Pattingki Arung Palakka. Baginda mewarisi tahta Bone dan tetangga kuat Bone saat itu, Palakka. Sangat wajar bila pamandanya yaitu La Ummasa berusaha agar baginda La Saliyu menjadi penggantinya kelak. Dengan demikian, terbentuk sebuah hubungan unik antara Bone dan Palakka. Hubungan unik tersebut kelak akan memudahkan langkah-langkah baginda La Saliyu dalam memperluas wilayah Bone.

Terlahir dengan tanda-tanda khusus keberanian, yaitu rambut lebat yang tegak, La Saliyu kelak tak hanya sekedar raja yang memerintah. Namun memiliki keperwiraan yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat kewibawaan negara kerajaan Bone saat itu.

Beliau menjadi raja saat masih bayi. Kedua sepupunya masing-masing  To Suwalle mewakili baginda dalam urusan internal kerajaan. To Suwalle bergelar Matoa Ciung. Kelak jabatan tersebut digelari Tomarilaleng. Sementara To Salawakka menjadi Matoa Araseng, yang mengurusi eksternal kerajaan. Kelak jabatan tersebut dikenal sebagai Makkedang Tana. Dengan demikian, terjadi perkembangan struktur pemerintahan kerajaan Bone. Seolah akan mempersiapkan tantangan administrasi pemerintahan yang semakin kompleks seiring akan semakin bertambahnya luas wilayah kerajaan Bone.

Setelah baginda dewasa, militer diorganisasikan. Dibentuk tiga satuan pasukan. Di bawah bendera Woromporongnge berkumpul rakyat Majang, Maraonging, Bukaka, Kawerang, Pallengoreng, dan Mallari. Pasukan ini dipimpin oleh Matoa Majang. Rakyat Lemoape, Masalle, Macege, Belawa dipimpin oleh To Suwalle dibawah bendera Bate Cella’e ri Atau (bendera merah dikanan). Sedangkan Bate Cella’e ri Abeo (Bendera Merah di kiri) dipimpin oleh To Sulawakka berkumpul rakyat Araseng, Ujung, Katumpi, Padaccengnga dan Madello. To Sulawakka bergelar Matoa Araseng.

Rakyat telah solid dan sejahtera. Tata kelola pemerintahan semakin baik dengan disesuaikannya perkembangan struktur dengan perluasan wilayah. Persenjataan telah cukup. Militer telah terorganisir dengan baik. Difinalisasi dengan raja pemberani, La Saliyu Kerampelua.

Penutup

Tiga raja pertama Bone, tampil dengan keistimewaan masing-masing dan menjawab kondisi zamannya. Sehingga dengan prestasi ketiganya, membawa sekelompok masyarakat yang awalnya chaos, berubah menjadi kerajaan besar dan berwibawa. Dimulai dari tata kelola pemerintahan yang baik, kepastian hukum tentang kepemilikan, perluasan wilayah secara damai, teknik metalurgi untuk menopang perkembangan pertanian dan militer. Pengorganisasian militer dan dikunci oleh peran sentral raja pemberani, La Saliyu Kerampelua.

Hal-hal tersebut menjadi fondasi kerajaan Bone. Sehingga, raja-raja berikut tidak perlu banyak mengubah struktur pemerintahan, dan tinggal melanjutkan usaha-usaha ketiga raja pertama tersebut.



(arm:sebuah kado yang terlambat untuk hari jadi Bone)

Kewalian To Lanca

Menuju Tanah Suci
Lebih setahun menjabat sebagai Qadhi, To Lanca memohon izin pada adat Wajo agar kiranya diperkenankan menunaikan ibadah haji. Adat Wajo mengizinkan,dan di Arammeng,  To Lanca bertolak. Sehabis salat Isya, beliau turun ke danau namun tidak menemukan perahu. Ia akhirnya terpaksa berjalan diatas air, tetapi murid-muridnya tidak mampu mengikuti. 
Sesampainya di Pare-Pare, beliau berjalan lagi diatas laut sampai disebuah gundukan pasir. To Lanca duduk menunggu kapal yang lewat. Tak lama kemudian sebuah perahu menghampiri, nakhodanya memanggil dan mengira To Lanca adalah korban selamat sebuah kapal yang tenggelam. Tak seorangpun yang mengetahui kewalian To Lanca. Sehingga To Lanca disuruh untuk membersihkan air kotor kapal tersebut kemudian beliau tidur.

Saat waktu untuk menimba air kotor tiba, To Lanca dibangunkan lagi untuk mengerjakan tugas tersebut. Namun To Lanca tetap tidur, sehingga semua anak buah kapal marah kepadanya. To Lanca dianggap orang malas. Akan tetapi, nakhoda kasihan melihatnya dan menyuruh anak buahnya agar membersihkan air kotor. 
Ternyata air kotor kapal itu sudah kering sama sekali. Padahal seharusnya secara berkala, saat itu adalah waktu air kotor kapal untuk ditimba. Ketika To Lanca dicari, beliau menghilang. Hingga beberapa tahun, kapal tersebut tetap kering dari air kotornya hingga sampai ditujuannya.

Tiba di Mekkah
To Lanca tertidur didekat ka'bah lalu terbangun dan duduk. Datanglah Rasulullah SAW didekatnya dan berkata "E To Lanca engka balanca murala" (Hai To Lanca, ambillah harta ini untuk belanja). To Lanca menyimpan harta berupa emas itu selama beberapa malam sebelum membelanjakannya.

Setelah lewat setahun, emas yang ada pada pedagang itu dikenali oleh seorang waliyullah dan menanyakan asal emas tersebut. Si pedagang menyebut To Lanca, bahwa To Lanca lah  yang membelanjakan emas tersebut padanya. Penguasa Mekkah kemudian tiba, dan menyuruh si pedagang mencari To Lanca.
To Lanca ditangkap dan diinterogasi Penguasa Mekkah. To Lanca ditanya, darimana mendapatkan emas yang ia belanjakan tersebut. To Lanca terdiam. Penguasa Mekkah mengulang pertanyaannya, namun To Lanca tetap diam. Penguasa Mekkah menuduh To Lanca telah mencuri emas tersebut, akan tetapi To Lanca hanya geleng tanda kata tidak. Segera penguasa Mekkah mencabut pedangnya mengancam akan memenggal leher To Lanca jika tidak menjawab. To Lanca akhirnya menjawab, bahwa Rasulullah yang memberinya emas tersebut. Lalu To Lanca langsung menghilang dihadapan penguasa Mekkah.
Sadar akan kewalian To Lanca, penguasa Mekkah menanyai semua orang Jawa yang ada di Mekkah. Akan tetapi tak seorangpun jemaah haji asal Jawa yang mengenal To Lanca. Seorang jemaah haji lain kemudian berbicara pada penguasa Mekkah. Bahwa ia pernah satu kapal dengan To Lanca. Ia pun bercerita tentang awal ditemukannya To Lanca diatas gundukan pasir dilepas pantai Pare-Pare. Orang itu juga bercerita tentang disuruhnya To Lanca menimba air kotor kapal, keringnya air kotor kapal hingga beberapa tahun sejak dibersihkan To Lanca, sampai pada menghilangnya To Lanca.

Mesjid tua Tosora

Penutup
Dato ri Bandang yang menunjuk To Lanca sebagai Qadhi penggantinya. Tentu Dato ri Bandang mengetahui kualitas To Lanca. Orang-orang mulai sadar tentang kewalian To Lanca sejak beliau meninggalkan Wajo menuju Arammeng. Ia berjalan diatas air saat tidak menemukan perahu untuk menyeberang danau. Di Pare-pare, ia berjalan lagi diatas laut hingga disebuah gundukan pasir duduk menunggu kapal.

Sebagaimana waliyullah umumnya, tidak pernah menyebut dirinya sebagai wali. Namun orang-oranglah yang menyebutnya wali karena kemampuan yang ia miliki. Seorang wali selalu memberi manfaat bagi orang lain meski ia dikasari atau dibentak. Seorang wali tentu tidak pendendam saat dikatakan sebagai pemalas. Namun manfaat yang ia berikan adalah bersihnya kapal yang ia tumpangi dari air kotor hingga beberapa tahun. Padahal dalam sehari secara berkala air kotor kapal dibersihkan sebanyak tiga kali.
Sebagai seorang wali, tentu tidak lagi memperhatikan harta duniawi. Ia hidup sebagai fakir di Mekkah demi menunaikan ibadah haji. Kondisi yang memprihatinkan ini menyebabkan Rasulullah sendiri yang memberikan emas untuk dibelanjakan. Ketika ada waliyullah lain yang mengenal emas tersebut menyebabkan kewaliannya diketahui orang banyak termasuk penguasa Mekkah. Ketika terpaksa untuk menyebutkan siapa yang memberinya emas, To Lanca terpaksa menghilang. Sebab kewaliannya telah diketahui orang-orang di Mekkah.

Disarikan dari Lontara Sukkuna Wajo

Dialog Datuk Sulaiman dengan Arung Matowa La Sangkuru tentang Tuhan

Di awal penyebaran Islam, terjadi dialog antara Datuk Sulaiman atau Datuk Pattimang dengan Arung Matowa Wajo saat itu yaitu La Sangkuru Patau Mulajaji tentang Tuhan. Dialog itu terekam dalam Lontara Sukkuna Wajo, yang menggambarkan bagaimana kepercayaan dimasa lalu. Adapun kutipan dialognya sebagai berikut


Alqissah naiya riwettu engkanana Dato Sulaiman ri Wajo sitani Arung Matowae La Sangkuru nakkutanani Arung Matowae tampu'na asellengengnge. Makkedai Dato, iko pauwanga riolo aga akkasioremmu. Ri poadanni ri Arung Matowae bicaranna Dewata Seuwae Puang Seuwae. Iyami mappakangka, mappade'. Patuo Pauno, Puweng memengngi tekepammula tekkepaccappureng. De nakkeonrong sangadinna akkelo, na agi agi apoelo iyatoni nangoloi ati sibawa watakkale. Makkoniro akkatenningeng ri pomanae ri Arung Matowae La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kananna napomana massossoreng


Alkisah diwaktu kedatangan Datuk Sulaiman di Wajo, bertemu dengan Arung Matowa La Sangkuru. (Maka) Bertanyalah Arung Matowa (tentang) kandungan (ajaran) Islam. Berkata Datuk Sulaiman, anda (sebaiknya) mengatakan terlebih dahulu apa pegangan anda. Dikatakanlah oleh Arung Matowa perihal Dewata Seuwae Puang Seuwae. Dialah yang menciptakan dan menghancurkan. Menghidupkan (dan) Mematikan. Tuhan tak berawal (dan) tak berakhir (abadi). Tidak bertempat kecuali kehendakNYA. Apapun kehendaki itu juga yang dihadapkan hati dan tubuh. Demikianlah pegangan (kami) yang diwarisi dari Arung Matowa La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kannana diwarisi turun temurun.


Makkedai Dato, madecengnisatu usedding tampu'mu Arung Matowa iyatu muasenge Dewata Seuwae Puang Seuwa iyanaritu Allah Taala majeppu de'duanna tenrijajiang teppajajiang de'to sikupu seuwa, de to risompa sangadinae. De' patuo pauno sangadinae, nae madecengngi muwalai anunappesangkangnge naharange nabitta Muhamma, nakado Arung Matowae


Berkata Datuk Sulaiman, saya rasa keyakinanmu Arung Matowa yang anda maksud Dewata Seuwae Puang Seuwae adalah Allah Ta ala yang sesungguhnya tidak ada duanya tak dilahirkan (dan) tak melahirkan dan tidak ada yang menyamainya, tidak ada disembah kecuali DIA. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan kecuali DIA. Maka baiklah anda meninggalkan apa yang dilarang (dan) diharamkan nabi kita Muhammad SAW. (dan) Mengangguklah (tanda setuju) Arung Matowa

Mesjid Tua Tosora

Dari dialog diatas dapat disimpulkan bahwa Datuk Sulaiman tidak mengajarkan tentang konsepsi Ketuhanan kecuali menegaskan kembali. Datuk Sulaiman menyamakan makna kata "Dewata Seuwae Puang Seuwae" dengan "Allah Ta ala" setelah dijelaskan oleh Arung Matowa. Sehingga konsekwensi dari menyembah Tuhan adalah meninggalkan segala larangannya dan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW. 
Menyesuaikan dengan tradisi Bugis, Arung Matowa beserta perangkat adat dan rakyatnya mengadakan "mandi suci" kemudian bersumpah. Setelah itu tanggal 15 Shafar 1019 barulah beliau bersyahadat bersama Timurung, Pammana (La Mappapoli to Pasajoi Datu Pammana), Gilireng, Belawa dan Pitu riawa

(sumber : LSW)
Terjemahan bebas