Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

To Lanca, Qadhi ketiga Wajo

Setelah Wajo menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan ditahun 1609, maka Arung Matoa La Sangkuru meminta agar Datuk Patimang di Luwu agar bersedia mengajarkan Islam. Datuk Patimang kemudian diangkat menjadi Qadhi (Kali) pertama di Wajo. Maka disusunlah struktur Parewa Sara' mulai dari Khatib, yaitu La Mallalangeng, Imam, Bilal, Doja dan Amil. Demikian pula tugas masing-masing jabatan lengkap dengan penghasilan pertahun.
Namun Datuk Pattimang ingin kembali ke Tanah Luwu melanjutkan dakwahnya. Sehingga Arung Matoa meminta pada Sultan Alauddin agar kiranya dikirimkan Datuk ri Bandang untuk menggantikan posisi Datuk Patimang. Sultan Alauddin mengiyakan. Kemudian diangkatlah Datuk ri Bandang menjadi Qadhi kedua di Wajo. Setelah beberapa lama, Datuk ri Bandang hendak ke Luwu . 

Mesjid tua Tosora sebelum renovasi

Beliau bersama Arung Matoa serta perangkat Adat Wajo berkumpul untuk membahas pengganti Datuk ri Bandang. Dalam LSW disebut "naengka mungking riaseng To Lanca iyana najello dato i bandang sullei kali, kuniro rita akkuwallinna dato' nasaba iya To Lanca mukingwi. (dan ada seorang mukim bernama To Lanca dan dialah yang ditunjuk oleh Datu ri Bandang menggantikannya sebagai Qadhi, disitulah dilihat kewalian Datuk sebab To Lanca adalah seorang Mukim). Sehingga diangkatlah To Lanca sebagai Qadhi ketiga.

Dengan disebutkannya kata Muking (Mukim) berarti To Lanca bukan penduduk setempat. Namun dilihat dari namanya, To Lanca adalah nama khas Sulawesi. Kemungkinan besar beliau adalah orang Wajo yang tidak berdomisili di Tosora, atau dari kerajaan lain di Sulawesi Selatan (bisa jadi Luwu) yang berdomisili di Tosora mengikuti rombongan Datuk Patimang

To Lanca melanjutkan apa yang telah Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang lakukan. Terutama tentang ibadah dan syariat. Kutipan pesan Datuk ri Bandang pada To Lanca apabila ada Arung Matoa, Ranreng dan Pabbate Lompo meninggal adalah sebagai berikut :

Makkedatoi Dato I Bandang, o To Lanca issengngi kasiwiyangna gurue, 
narekko matei arungmatoae, ranrengnge, bate lompoe, lattu ri ana mattolae,
 solo kasiwiyangngi asenna gurue. 
Bettuanna mupokasiwiyangngi menre e katte'na bilala'na mangaji angka tellumpennie, 
mauko tennaobbi, mauko tennapanre, 
tempeddittokko temmenre angka tellumpennie. 
Iyana riaseng mangajikasiwiyang. 
Mupowassalangngi narekko tennamupigaui.
Narekko leppe'ni tellumpenni, mangajisolosiko patampenni, napanre ko kiya. 
Iya sanra siseng beppa, mujagatoiwi abbacadoangenna ri tellumpenninna, ri patampenninna, 
ri duapitunna, dipatappulona risiratuna. 
Iyakiya sipulungko ri narekko riwettunna riabbacadoangenna ri masigi'e. Mutajengngi surona, mupowassalangngi rekko de muwenre

cek : Pendidikan Agama Islam di Tanah Bugis

Berkata pula Datuk ri Bandang. Oh To Lanca, ketahuilah ibadahnya guru.
Apabila Arung Matoa, Ranreng, Batelompo hingga putra mahkota meninggal
Solo Kasiwiyang namanya
Artinya, engkau mengibadahkan naik khatib dan bilal mengaji hingga tiga malam
Apakah engkau tidak dipanggil atau tidak diberi makan, 
engkau tidak boleh tidak naik hingga tiga malam
Inilah yang disebut mengibadahkan (pahala) mengaji
Engkau bersalah jika tidak engkau lakukan
Apabila lepas tiga malam, Mangajisolo lagilah dimalam keempat, tapi engkau harus dijamu
Dijamu dengan kue. Engkau jaga baca doa dimalam ketiga, malam keempat
malam keduapuluh tujuh, malam keempat puluh dan malam seratus
Tetapi berkumpullah di mesjid pada waktu membacakan doa. Engkau menungguh utusannya
Engkau salahkan dirimu bila tidak naik (melakukannya)

Luwu di Masa Lalu (Resensi Buku : Kerajaan Luwu Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F.Van Braam Morris)

Salah satu kunci sejarah Sulawesi Selatan adalah Luwu. Betapa tidak, Luwu termasuk kerajaan tertua yang memiliki wilayah yang sangat luas. Dengan tanah yang subur lagi kaya, memungkinkan Luwu menjadi salah satu kerajaan terkemuka dalam sejarah.

Buku berjudul Kerajaan Luwu, Catatan Gubernur Celebes 1888 D.F. Van Braam Morris, memuat gambaran sang gubernur tentang kerajaan Luwu. Antara lain tentang sejarah, negeri, penduduk dan pemerintahan. Buku yang sejatinya berjudul Het Landschaap Loehoe, Getrokken uit een Rapport van den Gouverneur van Celebes, deen her adalah catatan sang gubernur Morris. Hal ini menunjukkan kinerja sang gubernur yang bukan hanya mengelola pemerintahan namun merangkap sejarawan, antropolog sekaligus politisi.

Sejarah
Sang gubernur Morris mencatat beberapa hal penting. Tentang adanya sumber lisan sejarah Luwu abad ke-10 hingga 14. Kemudian, era Tunipallangga, era Perang Makassar, era Batari Toja, era perang VOC melawan Wajo (1741), hingga era Pajung Luwu dimasanya (Iskandar Aru Larompong Datu Luwu). Van Braam Morris juga bercerita tentang Ilagaligo, mulai dari To PalanroE, Batara Guru, Sawerigading, Sang Hyang Serri, Anakaji, Mancapae, hingga susunan Datu Luwu 14 (masuk Islam) hingga Datu Luwu 29 Iskandar Aru Larompong. Khusus tentang Mancapae, sang gubernur mengangkat beberapa pendapat tentang daerah yang juga bernama Mancapae selain Majapahit. Satu di Pattiro Bone, dan yang satu di antara Paria-tanasitolo.


Van Braam Morris juga mengaitkan antara Datu Luwu saat itu dengan Datu Soppeng (Tonampeng Arung Sengkang Matinroe ri Watu) sebagai berpotensi merugikan Kompeni. Van Braam Morris mengatakan : "Oleh karena Aru Sengkang dan Aru Larompong dari pihak ibu berasal dari keturunan Wajo, menjelaskan bahwa sekalipun tidak secara terang-terangan, tetapi waktu dapat berbuat (doengelden) yang merugikan kita di Luhu dan terutama dalam urusan memenuhi kontrak Wajo disaat itu akan memberikan nasehat pada Luhu supaya menolak" (hal : 4). Nampaknya sang Gubernur mengurai secara sistematis mulai dari awal sejarah Luwu hingga analisa politik terkininya.

Negeri
Van Braam Morris menyebut batas-batas kedatuan Luwu. Mulai di selatan (sungai buriko), tobungku (keresidenan ternate), poso dan tojo (keresidenan manado), ajatappareng, massenrempulu, mandar (sebelah barat). Juga disebut bahwa Danau Poso adalah wilayah kedatuan Luwu yang dihuni orang Toraja yang biasa memberikan penghormatan pada Datu Luwu yang baru.

Wilayah Luwu yang dicatat Gubernur adalah, Mengkoka, Lelewau, Ussu, Wotu, Baebunta, Panrang, Rongkong, Seko, Bua, Olang, Masamba, Walenrang, Larompong, Suli, Cimpu, Bariko. Ibukota Palopo dan sekitarnya  yang secara umum dinamai WARA, merupakan bagian tersendiri. (hal : 16-17).

Selanjutnya termasuk wilayah Luhu yaitu hampir semua suku Toraja atau negeri negeri di Sulawesi bagian tengah (7 wilayah). Di sentral sulawesi (4 wilayah), ujung barat laut teluk Bone (21 wilayah), dari Palopo ke arah selatan (8wilayah), dan Palopo ke arah timur (27 wilayah).

Sang Gubernur juga mencatat tentang nama-nama sungai, aktivitas ekonomi di sungai tersebut, musim, kopi, tanaman, binatang, kerajinan, komuditas perdagangan, taksiran produksi sagu, hingga alat transaksi.

Penduduk
Secara sederhana, Van Braam Morris hanya membagi dua penduduk Luwu. Pertama, orang Luhu yang disebut sebagai To Oegi dan orang Toraja yang mendiami pegunungan. Van Braam Morris mengutip pendapat Junghun dan De Hollander tentang asal usul To Luhu.

Pola hidup, kebiasaan serta prilaku negatif To Luhu pun tak lepas dari catatan Van Braam Morris. Demikian pula pembagian kelas di masyarakat, gelar kebangsawanan dan sapaan, derajat kebangsawanan, aktivitas perdagangan budak, bentuk rumah, bahasa, aksara, jumlah rumah di Palopo dan Mengkoka, hingga jumlah penduduk secara keseluruhan.


Pemerintahan
Susunan pemerintahan Kedatuan Luwu disebutkan Van Braam Morris secara lengkap. Mulai dari syarat, hukum pewarisan jabatan, kemestian adanya calon dan pelantikan Pajung. Demikian pula penjelasan tentang Opu Cenning, dan Majelis Tertinggi yang terdiri dari Opu Patunru, Opu Pabbicara,Opu Tomarilaleng dan Opu Balirante. Adapun Opu Cenning, termasuk dalam Majelis ini (hal : 86). Dahulu kala, mereka digelari To Maraja yang kemudian dihapuskan oleh Gubernur Sulawesi (kemungkinan di era Speelman). Adapun Opu Patunru juga digelari Makkadangnge Tana.

Selanjutnya Majelis rendah dalam Kedatuan Luwu disebutkan Ade AseraE yang terdiri dari Opu Maddika Ponrang, Opu Maddika Buwa, dan Opu Maddika Baebunta sebagai bagian tertinggi. Kemudian dibawahnya ada Opu Wage, Opu Cenrana, Opu Goncingnge, Opu Macangnge, Opu KamummuE, dan Opu Lalantonro.

Menariknya, tupoksi dari tiap jabatan pun dipaparkan Van Braam Morris. Seperti tugas Opu Pabbicara, Opu Tomarilaleng dan Opu Balirante. Sementara Pangadereng MacowaE yaitu Opu Wage bertugas sebagai Anregurunna Pammpawa Epu dan Opu Cenrana bertugas sebagai komandan pasukan istana atau Anregurunna Ana Rioloangnge.

Adapun vassal Luwu dikepalai antara lain : Opu Palempa to Rongkong (Rongkong), Opu Palempa to Ussu (Ussu), Mangkole ri Matana (Matana), Opu Mencara Oge (Wotu), Opu Mencara Malili (Lelewau ). Opu Palempa to Bentuwa (Bentuwa. Datu (Aru) Larompong (Larompong), Opu Palempa to Suling (Suling), Opu Maddika ri Masamba (Masamba), Opu Maddika ri Panrang (Panrang), Opu to Paninggowang (Paninggowang dan Seko), Opu Olang (Olang), Opu Palempa to Walenrang (Walenrang), Opu Mencara Borau (Borau), Opu Cimpu (Cimpu) dan Aru Bariko (Bariko). Adapun suku Toraja masing masing mempunyai seorang Madika sebagai kepala dibantu dengan Tomakaka.(hal : 90). Kewajiban daerah vassal (kepala daerah dan rakyatnya) kepada Datu juga disebut. Misalnya To Rongkong diserahi urusan mengenai keselamatan raja. To Masamba dalam hal membawa ramuan dan membangun/merenovasi istana (LangkanaE).

Sedang, model pemungutan pajak, peran dan fungsi bissu, peran dan fungsi Parewa Sara (Kali, Imang, Doja dst) juga dipaparkan secara sepintas. Juga disebutkan tentang kewajiban orang Toraja tiap tahun untuk mempersembahkan semua produksi dalam negerinya seperti emas, besi, kelewang, lilin, madu hingga bakul (hal : 96)



Demokrasi Lokal ala Sulsel

Luka taro arung, Telluka taro ade’
Luka ade’, telluka taro anang
Luka taro anang, telluka taro tomaega

Batal pendapat raja, tidak batal pendapat adat/konstitusi
Batal pendapat adat/konstitusi, tidak batal pendapat wakil masyarakat
Batal pendapat wakil masyarakat, tidak batal pendapat orang banyak

Demokrasi pada dasarnya kekuasaan rakyat. Sebuah negara demokrasi memiliki konsep tentang bagaimana menjadikan kepemimpinan bukan sebagai tirani terhadap rakyat. Namun lebih jauh, demokrasi sangat tergantung pada paradigma yang dianut masyarakat. Sehingga kita bisa melihat berbagai konsep demokrasi saat ini. Mulai dari sosialisme hingga liberalisme sama sama mengklaim diri sebagai paling demokratis.

Tapi terlepas dari faktor ideologi tersebut, kepemimpinan adalah hal yang mutlak bagi setiap komunitas, tak terkecuali bagi masyarakat Bugis-makassar dimasa lalu. Pada tulisan sederhana ini dipaparkan tentang bagaimana kekuasaan raja ditujukan untuk kebaikan rakyatnya. Sehingga kekuasaan tidak menjadi tirani yang menindas rakyatnya.

Atraksi Bissu dalam sebuah acara adat
Di sebutkan pada berbagai kronik, secara umum terjadi kondisi chaos yang disebut dengan istilah sianre baleni tauwe (=orang saling memangsa laksana ikan). Terjadi pertentangan antara komunitas-komunitas adat selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan semua komponen masyarakat kala itu ditambah dengan pertarungan untuk merebut sumber produksi menjadi penyebab. Kondisi itu terus berlangsung hingga kedatangan tokoh fenomenal yang disebut To Manurung.

To Manurung inilah yang kemudian diangkat menjadi pemimpin (tepatnya raja) dari beberapa komunitas adat sehingga terbentuk kerajaan. To Manurung tersebar dihampir seluruh Sulawesi Selatan. To Manurung inilah yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan atau konstitusi kerajaan yang secara umum dikenal sebagai Ade’, Rapang, Wari, Bicara. Ade’ berarti hukum dasar, Rapang berarti yurisprudensi, Wari berarti aturan keprotokuleran, dan Bicara berarti permufakatan. Hingga terintegrasinya syariat Islam pada abad ke-17, konstitusi itu ditambahkan dengan sara’ yaitu syariat.

Ketika To Manurung diangkat sebagai raja, terjadi kontrak sosial yang mengatur hubungan antara raja sebagai penguasa dan rakyat yang diwakili oleh para matowa. Inti dari kontrak sosialnya adalah kewenangan yang diberikan pada penguasa dan kewajiban penguasa melindungi rakyatnya. Seorang raja mesti berjanji agar menjaga rakyatnya dari ketakutan dan kemiskinan. Artinya, seseorang diangkat menjadi raja karena  upayanya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Pada periode berikutnya, ketika To Manurung telah berketurunan, ia dikabarkan menghilang. Kepemimpinan berikutnya diwariskan secara genetik. Meski demikian, seorang raja tetap dipilih secara terbatas oleh dewan adat yang masa lalu adalah matowa-matowa. Dalam pemilihan itu, tetap dipertimbangkan kualitas individual, seperti Lempu (kejujuran), Acca (kepandaian), Warani (keberanian) dan Getteng (konstensi).

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang raja tetap diawasi oleh dewan adatnya. Seperti Bate Salapang di Gowa, Ade’ Seppulo Dua di Luwu, Ade' Pitue di Bone, Ade' Aruwa di Sidenreng, Arung Patappuloe di Wajo, Pappangeppa di Soppeng. Apabila seorang raja dianggap berhasil, maka ia akan dipertahankan dalam menjabat posisi tersebut. Apabila seorang raja dianggap melanggar hak-hak rakyat, maka melalui mekanisme persidangan dewan adat, raja itu akan ditegur secara halus. Jika tetap dilanggar, teguran itu diperkeras. Bahkan jika memang raja tersebut sangat lalim, tak jarang diupayakan proses eksekusinya. Ada beberapa raja dibeberapa kerajaan di sulawesi selatan yang rajanyat terbunuh oleh rakyatnya sendiri akibat tidak mengindahkan dan melanggar adatnya. Banyak pula raja yang dipecat dari jabatannya, atau mengundurkan diri karena tidak mampu mengemban amanah. Ini merupakan pengejawantahan prinsip Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge' mainge' pi nafaja.

Apabila seorang raja lalim sangat kuat posisinya dan tidak bisa ditegur atau dijatuhkan, telah menjadi tradisi bagi orang bugis makassar untuk mallekke dapureng yang secara harfiah berarti berpindah penghidupan ditempat lain. Dalam hal ini merantau. Sebab bagi orang bugis makassar, lebih baik menderita dinegeri orang, lebih baik keluar merantau daripada hidup menjadi budak dinegeri sendiri. Jiwa kemerdekaan begitu melekat dalam sanubari orang Bugis makassar.


Perjuangan Rakyat Massenrempulu Melawan Pasifikasi Belanda

Setelah Makassar dan daerah-daerah tetangga, yakni Ajatappareng, TellumpoccoE dan Luwu diserang pasukan Belanda, Massenrempulu mendapat giliran berikutnya. Namun kondisi alam yang berbukit dan pegunungan serta banyak hutan, tentu akan menyulitkan siapapun yang mencoba menyerang Massenrempulu. Kondisi tersebut menyebabkan Massenrempulu adalah pertahanan ideal dan terakhir bagi kerajaan tetangga yang bersahabat dengan Massenrempulu.
Massenrempulu adalah konfederasi kerajaan-kerajaan di daerah Enrekang sekarang. Terdiri dari Enrekang, Kassa, Batulappa, Duri dan Maiwa. Kabar buruk yang menimpa kerajaan dan konfederasi sahabat Massenrempulu menyadarkan bahwa Massenrempulu untuk segera memperkuat pertahanannya. Londe-londe, Kaluppini, Rangnga, Bambangpuang dan Kotu adalah benteng pertahanan Massenrempulu untuk menyambut Pasifikasi Belanda.

Buttu Kabobong - Enrekang

Enrekang, adalah ibukota Massenrempulu, menjadi target pertama serangan pasukan Belanda. Namun untuk dapat merebut Enrekang, pasukan Belanda harus menaklukkan benteng Londe-Londe, Rangnga dan Kaluppini. Setelah melalui pertempuran sengit selama berhari-hari dan memakan banyak korban, akhirnya ketiga benteng itu jatuh. Mayor de Wijs datang sendiri ke Enrekang, pada tanggal 1 Maret 1906. Melalui La Patiroi Arung Soreang, suami We Pancaitana Arung Enrekang, Mayor de Wijs membujuk agar ratu Enrekang menandatangani Korte Veklaring, sebagai bentuk pengakuan kekuasaan Belanda. Demi menghindari korban lebih banyak, dengan berat hati ratu We Pancaitana Arung Enrekang menandatangani Korte Veklaring.

Namun perang belum usai. Rakyat Enrekang bersama rakyat Massenrempulu masih mengangkat senjata. La Rangnga, seorang Maddika menggalang kekuatan bersama Duri dan Maiwa, anggota konfederasi Massenrempulu lainnya.

Melalui sebuah serangan dadakan saat malam 24 Maret 1906, La Rangnga dan laskarnya berhasil menewaskan banyak pasukan Belanda di tangsinya di Enrekang. La Rangnga pun berhasil merebut banyak senjata untuk memperkuat perlawanannya. Kemenangan yang disambut suka cita oleh rakyat Massenrempulu dan berhasil memperkuat semangat perlawanan. Perjuangan rakyat Massenrempulu menjalar ke Maiwa, Kotu, Mandatte, Duri, dan Buntu Batu.

Menanggapi perlawanan rakyat Massenrempulu yang semakin menghebat, Komandan tertinggi pasukan Belanda Kolonel Michielse di Makassar tiba ke Enrekang membawa pasukan besar di tanggal 24 Maret 1906. Empat hari kemudian, Mayor de Wijs langsung memimpin sebuah pasukan menyerang benteng Kotu. Menggunakan meriam, de Wijs menembaki benteng Kotu dan dilanjutkan pertempuran sengit dalam benteng. Banyak korban berjatuhan, hingga benteng Kotu jatuh setelah dipertahankan mati-matian.

Benteng Mandatte, dipertahankan oleh pejuang perempuan Massenrempulu yaitu Indo Cabba dan Indo Rangnga. Benteng ini baru dapat direbut pasukan Belanda setelah jatuh korban yang banyak dikedua belah pihak, akibat perlawanan mati-matian rakyat Massenrempulu.
Benteng Ranga dan Benteng Kaluppini pun jatuh ditangan pasukan Belanda. Hingga akhirnya, pemimpin laskar rakyat Massenrempulu, yaitu Maddika La Rangnga memindahkan pusat pertahanannya ke Benteng Bambapuang. Mempertimbangkan banyaknya korban, Belanda mencoba mengajak La Rangnga berdamai. Namun ditolak dengan tegas. Pasukan Belanda mau tidak mau, harus merebut Benteng Bambapuang jika ingin menguasai Massenrempulu secara menyeluruh.

April 1906, pasukan Belanda menyerang Benteng Bambapuang. Namun pasukan Belanda butuh waktu 3 bulan untuk mengepung benteng tersebut untuk bisa direbut. Itupun setelah kembali mendatangkan pasukan tambahan serta tembakan meriam dalam jangka waktu lama.

Di pihak laskar, banyak korban berjatuhan termasuk salah seorang komandan pasukan yaitu Puang Sappu setelah menewaskan seorang Letnan Belanda. Akhirnya Benteng Bambapuang jatuh, La Rangnga semakin melemah dan memaksanya untuk meneruskan perang secara gerilya. La Rangnga akhirnya ditangkap tahun 1915, setelah sembilan tahun bergerilya dan tak tersentuh pasukan Belanda. Beliau wafat tahun 1928 di usia 98 tahun. Berakhirnya perlawanan La Rangnga, bukannya mengakhiri perjuangan rakyat Massenrempulu melawan pasukan penjajah Belanda. Namun menyemai perjuangan berikutnya ditahun 1946-1949 melawan pasukan NICA - Westerling.

(arm - disarikan dari buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan)

Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Pasifikasi Belanda

Tanah Mandar dizaman dulu, merupakan konfederasi yang terdiri dari 14 kerajaan. 7 kerajaan dipesisir disebut Pitu Babanna Binanga dan 7 kerajaan dipegunungan yang disebut Pitu Ulunna Salu. Balanipa merupakan kepala persekutuan Pitu Babanna Binanga. Oleh karena itu, Belanda merasa penting untuk memaksakan kehendaknya pada Maraddia Balanipa.


Usaha itu dimulai di tahun 1890, namun ditampik oleh Baso Baroa Tokape Daenna I Tammanganro Maraddia Balanipa. Sehingga berujung pada persengketaan dan akhirnya Maraddia Balanipa dibuang ke Jawa.

Dua bersaudara, Calo Ammana I Wewang Raja Alu sekaligus panglima perang Balanipa dan Kaco Puang Ammana Pattolawali memimpin perlawanan rakyat Mandar ditahun 1905. Tanggal 7 Juni 1905, kedudukan Belanda di Majenne diserang Calo Ammana I Wewang. Serangan yang berhasil menewaskan banyak orang Belanda dan merampas senjata. Kontrolir Belanda segera melarikan diri ke Pare-Pare, sementara klerk Belanda tertangkap dan dibunuh.


Tidak terima atas serangan tersebut, Belanda menyusun rencana serangan balasan pada posisi Calo Ammana I Wewang di Alu. Namun rencana tersebut terbaca, pecah pertempuran tanggal 13 Juni 1905 dan pasukan Belanda dipukul mundur. Untuk kedua kalinya, Belanda dikalahkan.

Untuk ketiga kalinya, Asisten Residen Vermeulen meminta tambahan pasukan Belanda dari Makassar untuk kembali menyerang Calo Ammana I Wewang. Namun tetap saja pasukan Belanda selalu dikalahkan hingga pertengahan tahun berikutnya, 1906.

Selanjutnya, serangan besar-besaran dilancarkan pasukan Belanda terhadap benteng Adolang, Tundung dan Kayu Mangibang. Kali ini, tepat 6 Juli 1906 Kaco Puang Ammana Patolawali gugur sebagai kusuma bangsa.

Pukulan berat pasukan Belanda terhadap Calo Ammana I Wewang menyebabkan pasukannya berkurang dan direbutnya posisi strategis. Terpaksa berperang gerilya untuk melawan pasukan Belanda, hingga akhirnya ditahun 1907, beberapa pengikutnya menyerahkan Calo Ammana I Wewang kepada Belanda di Tinambung. Beliau kemudian dibuang ke Belitung dan baru kembali ke Mandar di tahun 1943.


Demmatande kepala kampung Paladan memimpin perlawanan rakyat Mandar di Pitu Ulunna Salu. Perlawanan ini dipicu atas pajak dan kerja rodi yang merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah Belanda. Perlawanan ini berlangsung antara 1914-1916.

11 Agustus 1914, pasukan Belanda dipimpin Vraagan melancarkan serangan ke Benteng Salubanga, posisi Demmantande. Namun serangan ini gagal, rakyat Mandar memenangkan pertempuran. Leys Coortes memimpin serangan kedua tanggal 9 Oktober 1914 setelah mendapat tambahan perbekalan dan pasukan dari Majene dan Makassar. Sekali lagi, pasukan Belanda dikalahkan. Rakyat Mandar kembali memenangkan pertempuran. Tidak ingin gagal ketiga kalinya, 20 Oktober 1914 kembali melancarkan serangan pada Benteng Salubanga setelah mendapat tambahan pasukan, persenjataan dan amunisi dari Pare-Pare, Makassar, Mamuju dan Enrekang. Tembakan meriam akhirnya menjebol Benteng Salubanga, Demmatande akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa.

Namun itu bukan akhir perjuangan rakyat Mandar. Daeng Palenna salah satu komandan Demmatande melanjutkan perang gerilya hingga akhirnya tertangkap ditahun 1916.



(arm. Sumber : Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan)

Sistem Pemerintahan di Kerajaan Wajo

SISTEM PEMERINTAHAN DI KERAJAAN WAJO

Terbentuk berdasar kontrak sosial Perjanjian Majauleng “Assijancingeng ri Majauleng” dibawah bayang-bayang pohon Bajo. Wajo merupakan kelanjutan dari kerajaan Cinnotabi. Wajo berdiri didaerah migran Cinnotabi yaitu Boli yang disebut Lipu Tellu Kajurue atau Tellu Turungeng Lakka

baca : 

Mengangkat La Tenribali sebagai Batara Wajo I, ketiga sepupunya sebagai Paddanreng yaitu La Tenritau Paddanreng Bettempola I mengepalai Limpo/Distrik Majauleng, La Tenripekka Paddanreng Talotenreng I mengepalai Limpo/Distrik Sabbamparu dan La Matareng sebagai Paddanreng Tuwa I mengepalai Limpo/Distrik Takkalalla. Sistem bersifat monarki absolut, kekuasaan tertinggi ditangan Batara Wajo
Masing-masing distrik membawahi empat sub distrik (ana limpo). Tiap ana limpo diangkat Pabbate Caddi (komandan pasukan)



Setelah La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III, terjadi kekosongan kekuasaan (Vacuum of Power) dan terjadi kontrak sosial yang disebut “AllamumpatuE ri Lapaddeppa”. Dilakukan dibawah pohon asam Lapadeppa berisi pengakuan hak-hak dasar rakyat Wajo.
Diangkat La Tiringeng to Taba Arung Simentempola sebagai “Inanna To WajoE”. Bertugas untuk bersama raja wajo berikutnya yang bergelar Arung Matowa untuk memimpin demi kebaikan rakyat Wajo.  Kepemimpinan Arung Matowa bersifat monarki konstitusional.
Dibentuk struktur Arung PatappuloE terdiri dari : satu orang Arung Matowa, tiga orang Paddanreng (Bettempola, Talotenreng dan Tuwa), tiga orang Pabbate Lompo (Pilla, Patola dan Cakkuridi sebagai panglima perang tiap distrik/limpo), sepuluh orang Arung Mabbicara tiap limpo (empat orang dari tiap limpo Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo ditambah enam orang Arung Mabbicara yang tidak menguasai wilayah). Tiga orang Suro tiap limpo sebagai utusan hadat Wajo pada daerah bawahan.
Tiap limpo diangkat Ponggawa yang bertugas mengantarkan Arung Lili (kerajaan bawahan) pada kerajaan induk yaitu Wajo. Selain itu juga bertugas untuk mengorganisir pasukan dari daerah bawahan apabila Wajo berperang. Ponggawa tidak masuk struktur Arung PatappuloE
Arung Matowa, Paddanreng dan Pabbate Lompo disebut Petta i Wajo. Paddanreng dan Pabbate Lompo disebut Arung Ennengnge. Arung Bettempola adalah jabatan berbeda dengan Paddanreng Bettempola. Nanti di era To Maddualeng Arung Bettempola, merangkap jabatan Paddanreng Bettempola dari To Angkone. Demikian hingga meleburnya Kerajaan Wajo pada NKRI


Pada masa La Tadampare Puangrimaggalatung Arung Matowa Wajo 4 (1491-1521), wilayah Wajo sangat luas. Banyak daerah palili (bawahan) Wajo. Ada beberapa daerah yang dikoordinir langsung oleh pemerintah pusat Wajo, ada yang sebagai “adik” Wajo, dan ada pula yang dikoordinir langsung oleh Limpo (distrik)

Pada masa La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Matowa Wajo 12, Wajo menerima Islam sebagai agama resmi (1607-1610). La Tenrilai Tosengngeng Arung Matowa Wajo 23 (1670), Wajo menolak perjanjian Bongayya dan berperang habis-habisan melawan VOC.  La Salewangeng Totenriruwa AMW 30 (1715-1736) membentuk koperasi dan meningkatkan kesejahteraan orang Wajo. La Maddukkelleng AMW 31 (1736-1756) memerdekakan Wajo. La Koro Arung Matowa 41 (1885-1891) membentuk struktur baru dalam kemiliteran yaitu Jenerala (tancung, tempe, impa-impa dan gilireng), koronele, manyoro dan kapitengnge. Ishak Manggabarani AMW 43 (1900-1916) menandatangani korte veklaring yaitu pengakuan kedaulatan belanda akibat kekalahan pasukan gabungan lokal melawan belanda.

Andi Oddangpero AMW 44, pemerintahan Wajo mengadopsi sistem modern. Wajo dibagi 4 distrik yaitu Majauleng (Majauleng, Gilireng, Tanasitolo, Tempe, Belawa, Maniangpajo) dikepalai Andi Makkaraka Ranreng Bettempola. Sabbamparu (Sabbamparu, Pammana) dikepalai Andi Makkulawu Ranreng Talotenreng. Takkalalla (Takkalalla, Bola, Penrang, Sajoanging) dikepalai Andi Ninnong Ranreng Tuwa. Distrik keempat adalah Pitumpanua (Pitumpanua dan Keera). Paddanreng dan Pabbate Lompo selain kepala distrik (camat) juga sebagai kepala dinas misalnya Andi Makkaraka kepala dinas pembangunan umum.
Setelah Konfrensi Meja Bundar, dibubarkan Negara Indonesia Timur (NIT). Wajo berbentuk Swapraja  (1950-1957) yang dikepalai Andi Pallawarukka sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN). Kemudian diganti Andi Magga Amirullah kemudian kembali ke Andi Pallawarukka. Berdasar SK dari Pemerintah Pusat, Wajo dari Swapraja terpisah dengan Bone dan menjadi Kabupaten. Sebagai bupati pertama yaitu Andi Tanjong.
Pada masa itu, Wajo yang terbagi empat distrik/kecamatan (Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla dan Pitumpanua), berubah menjadi sepuluh distrik/kecamatan (Tempe, Tanasitolo, Maniangpajo, Belawa, Majauleng, Sajoanging, Pitumpanua, Takkalalla, Sabbamparu dan Pammana)

Stempel Kepala Pemerintahan Negeri
Tahun 2000, Wajo dimekarkan menjadi empat belas kecamatan seperti saat ini dengan tambahan Penrang (pecahan Sajoanging), Keera (pecahan Pitumpanua), Gilireng (pecahan Maniangpajo) dan Bola (pecahan Takkalalla) 
(ARM)

Kearifan La Tadampare Puangrimaggalatung

La Tadampare bergelar Puangrimaggalatung, menjadi Arung Matowa Wajo setelah tiga kali menolak tawaran. Setelah La Pateddungi Batara Wajo III meninggal, orang Wajo bersepakat untuk mengangkatnya sebagai Arung Matowa, namun ditolak. Alasannya, beliau tidak ingin disebut berambisi pada jabatan. Hal itu terulang saat Arung Matowa II, dan III terpilih. Setelah AMW III La Tenri Umpu meninggal, orang Wajo kembali mendaulat La Tadampare. Akhirnya La Tadampare tidak kuasa menolak dan menganggap jabatan itu adalah kehendak Dewata.


Selama kurang lebih 30 tahun kepemimpinannya, Wajo mencapai zaman keemasannya. Wilayahnya luas, penduduknya banyak dan sejahtera. Hal itu disebabkan karena kearifannya dalam memimpin. Banyak literatur yang mencatat pesan-pesan beliau. Berikut ini adalah salah satu dari pesan-pesan beliau :


Makam Puangrimaggalatung
Makkedai Puwang rimaggalatung, O Tonampe. Narekko engka bicara muoloi aja mutimbangngi narekko engka bara' seuwana mengkaiko. Seuwani cakkarudduko, maduwanna mawesso senna'ko, matellunna malupu'ko, maeppana malasao, malimanna mariyoko, maennenna macaiko, mapitunna labuni essoe. Soroko riyolo' mulewu munawa-nawa madecengngi na bajapa muoloi bicarae. Naiya naengka bara seuwana mengkaiko aja murette'i bicarae. Napusolangi matu wija-wijammu lettu ri paddimunrimmu enrengnge ri waramparammu. Narekko mapaccinni ri iko Tonampe sikuwaero murette'i bicarae iyanaritu riaseng bicara tongeng tellu. Naiya decengna bicara tongengtellue masempo manengngi dalle'na toriwawota. Naiya arungnge malampe sunge'i tetteri wanuwa naparumpa. tellao boto napabeta.




Terjemahan Bebas
Berkata Puwang rimaggalatung. O Tonampe. Apabila ada perkara kau hadapi, jangan kau pertimbangkan saat ada salah satu pada dirimu. (Yaitu) Pertama, mengantuk. Kedua, terlalu kenyang. Ketiga, lapar. Keempat, sakit. Kelima, (terlalu) senang. Keenam, marah. Ketujuh, saat senja. Istirahatlah dulu dan pikirkan baik-baik. Nanti keesokan harinya baru melanjutkan perkara. Apabila ada salah satu pada dirimu saat memutus perkara maka akan merusak kelak keturunan dan hartamu. Apabila telah bersih pada dirimu dari hal-hal demikian, itulah yang disebut Tongeng Tellu. Adapun kebaikan Tongeng Tellu yaitu rakyat murah rezki. Adapun penguasa panjang umur. Tak menyerang negeri (lain) ia (jebol) taklukkan. Tak pergi berjudi tapi menang.


Pesan yang ingin disampaikan adalah agar kepada pengambil kebijakan/pemutus perkara, hendaknya berada pada kondisi sebaik mungkin. Agar pertimbangannya bisa lebih baik karena tidak terganggu hal-hal yang bersifat fisik. La Tadampare menekankan pentingnya pengambilan kebijakan/pemutusan perkara, tidak asal-asalan. Karena, jika keliru dalam mengambil kebijakan/memutus perkara, maka dapat merugikan harta benda dan keluarga yang bersangkutan. Bahkan hingga anak cucu kelak.(arm)

BUDAK (ATA) Di Sulawesi Selatan

Pada dasarnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka. Namun, sesama manusialah yang menciptakan sistem yang memperbudak manusia lain. Budak, orang yang dikontrol oleh orang lain untuk kepentingan kerja dan seks. Budak tidak memiliki hak atas dirinya dan sepenuhnya dikontrol oleh orang lain.
Di Sulawesi Selatan, kata "Budak" dapat disepadankan dengan kata "ATA" meski maknanya tidak 100% sama. ATA di zaman dulu terjadi karena beberapa hal
  1. Peperangan.
    Saat kerajaan-kerajaan utama berkembang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, relasi antara kerajaan utama (induk) dan kerajaan kecil (anak) bervariasi. Ada yang diibaratkan ibu-anak dan tuan-majikan. Adapun hubungan kesetaraan diibaratkan "kakak-adik". Pihak yang kalah perang akan diambil tanah dan orang-orangnya (jowa). Ia akan dipekerjakan pada lahan tersebut. Status orang-orang tersebut adalah ATA. Terkadang, mereka berkembang biak, sehingga menjadi ATA MANA atau budak yang diwariskan. Sejak zaman kemerdekaan, banyak diantara mereka dimerdekakan. Bahkan tak jarang mengambil/merebut/membeli lahan bekas tuannya tempat leluhurnya mengabdi sebagai budak. Kata Slave berasal dari kata Slavia, yaitu bangsa yang kalah perang dan dijadikan budak. Nampaknya, peperangan sebagai asal perbudakan adalah hal yang bersifat umum dimasa lalu.
  2. Wanprestasi.
    Sejak bangsa Eropa datang, penggunaan uang sebagai alat transaksi semakin massif. Akibatnya adalah pola hidup juga berubah. Utang yang tak dapat dibayar, menjadi alasan perbudakan. Sehingga orang yang punya utang harus membayar utangnya dalam bentuk bekerja dalam jangka waktu tertentu.
  3. Komuditas Ekonomi.
    Aktifitas ekonomi kerajaan di tahun 1700-1800an yang terganggu dengan kehadiran VOC di Makassar (Fort Rotterdam), menyebabkan penguasa lokal menjadikan pelabuhan Cenrana (Bone) dan Pare-pare sebagai pelabuhan alternatif untuk perdagangan antar pulau. Di era itu, manusia (budak) adalah komuditas ekonomi yang menguntungkan. Maka ramailah penangkapan manusia untuk diperdagangkan. Mereka bisa saja budak orang lain, orang merdeka bahkan kerabat istana yang ketiban sial. Dari cerita tutur yang pernah kami dengar, seorang putri bangsawan sedang memetik kapas, tiba-tiba serombongan menangkapi dan menjualnya. Hingga akhirnya dibeli oleh bangsawan lokal lainnya. Beberapa waktu berselang, orang tuanya dengan pakaian kebesarannya yang bertabur emas datang untuk membeli kembali putrinya.
Dalam ketatabahasaan Bugis klasik, ATA dapat pula diartikan "keluarga". Kata ATA digunakan saat menyebut person yang lebih rendah dari lawan bicara (orang kedua tunggal). Sebagai contoh pada konteks
  • Bangsawan rendah memperkenalkan diri pada bangsawan tinggi 
Iyya' ATAnna Petta/DatuE, napoanakka sangATAkku (nama orang tua person)
Saya hambanya=keluarganya Petta/Datue. diperanakkan oleh sesamaku hamba=keluarga
Bangsawan tinggi yang mengerti etika/tata krama/tata bahasa, akan mengerti bahwa yang bersangkutan adalah keluarga dekatnya. Meski yang bersangkutan mengaku "budak" tapi dalam terminologi bangsawan tinggi justru mengerti bahwa yang bersangkutan adalah "orang dekat". Maka setelah memperjelas siapa nama orang tua yang bersangkutan (Sangatakku) maka bangsawan tinggi tersebut (Petta/Datu) akan menghubungkan silsilah yang bersangkutan dengannya lalu memberinya tempat duduk yang pantas, meski yang bersangkutan ingin duduk dibawah/lantai.

Apabila memperkenalkan diri dengan kalimat sebagai berikut :
Massijingki tu Pung Datu = Kita berkeluarga Pung Datu
Dianggap kurang etis/kasar sebab bahkan bangsawan tinggi yang setara tidak menggunakan kalimat seperti diatas. Dan secara otomatis bangsawan tinggi tersebut akan menilai bahwa yang bersangkutan kurang mengerti etika/tata krama yang menjelaskan bahwa bukan berasal dari kalangan istana
  • Sesama bangsawan memperkenalkan anak/kemenakan/cucu pada bangsawan lain
YinaE ATAtta ri asengnge xxxx
Inilah hamba=keluarga anda=anak saya" kita dinamai xxxx 
YinaE ATAmmu puang ri asengnge xxxx
YinaE ATAnna Petta/DatuE ri asengnge

 
Simpulan
ATA secara denotatif memang ada dalam sejarah Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya dinamika ekonomi-politik yang mempengaruhi status sosial seseorang/kelompok. Namun, ATA juga dapat dipahami sebagai "kata ganti orang pertama atau orang ketiga" dalam etika berbahasa.

Kearifan Karaeng Pattingalloang

Karaeng Pattingalloang lahir pada tahun 1600 dan wafat pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bonto Biraeng. Menurut sumber lain, beliau wafat tanggal 15 September 1953. Beliau pernah menjadi Tumabbicara Butta Gowa yang pada saat itu antara Gowa dan Tallo menganut prinsip 1 rakyat 2 raja (se're ata rua karaeng)


I Mangadacina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang, adalah salah satu raja cendekiawan di nusantara. Beliau menguasai banyak bahasa asing. Menggandrungi ilmu pengetahuan, yang di era itu melalui pelaut Eropa beliau memantau perkembangan teknologi di Eropa. Beliau juga memiliki visi pemerintahan dan politik luar negeri yang sangat baik.


Di eranya, kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) mencapai zaman keemasan. Kerajaan Makassar menjadi kerajaan terkuat dinusantara dengan wilayah kekuasaan dan koordinasi yang luas. Di sisi ekonomi, dengan dijadikannya pelabuhan Makassar sebagai pusat perdagangan dan transit, maka Makassar berkembang menjadi kerajaan maritim yang sangat maju dizamannya.
Beliau meninggalkan suatu Teori Keruntuhan Negara, yakni merumuskan 5 Faktor Penyebab Runtuhnya Negara yang meliputi:

1.Punna taenamo naero nipakainga' Karaeng Manggauka
(Apabila Kepala Negara/Pemerintahan tidak mau dinasehati)

2.Punna taenamo tumangngasseng ri lalang Pa'rasangangnga
(Apabila tidak ada lagi Cendekiawan/Intelektual di dalam negeri);

3.Punna meajai gau lompo ri lalang Pa'rasanganga
(Apabila sudah terlampau banyak kasus besar dalam negeri);

4.Punna angngallengasengmi soso' Pabbicarayya
(Apabila banyak hakim dan pejabat negara/pemerintahan suka makan sogok);

5.Punna taenamo nakamaseyangngi atanna Manggauka.
(Apabila Kepala Negara tidak lagi menyayangi rakyatnya).

Dapat dipahami bahwa, jika penguasa tak mau lagi dinasehati maka penguasa tersebut telah berbuat zalim yang melampaui batas. Otomatis hal tersebut akan memicu perlawanan masyarakat maupun perangkat negara dalam bentuk pemberontakan.


Adapun ketiadaan cendekiawan dalam sebuah negara menyebabkan kurangnya gagasan-gagasan visioner dalam pembangunan negara. Akibatnya, sebuah perkembangan negara akan stagnan dan akhirnya semakin lama semakin melemah.

Kejadian-kejadian besar dalam sebuah negara, misalnya wabah penyakit atau bencana alam, dapat mengurangi populasi penduduk secara drastis.  Jika hal itu berlangsung terus menerus maka perekonomian negara akan merosot dan akhirnya jatuh.

Sementara, apabila hakim/pejabat negara menerima sogokan, menyebabkan keputusannya tidak obyektif. Sehingga melahirkan ketidakadilan pada masyarakat yang pada gilirannya menyebabkan ketidakpuasan dan pemberontakan.


Jika penguasa tak lagi menyayangi rakyatnya, maka penguasa akan menindas rakyatnya. Maka rakyat punya dua pilihan yaitu melawan atau meninggalkan daerahnya. Jika rakyat melawan, terjadi pemberontakan yang menyebabkan ketidakstabilan pengelolaan negara. Jika migrasi penduduk dalam jumlah besar terjadi sehingga populasi merosot drastis, maka roda pemerintahan tidak berjalan dengan baik.

Pesan Karaeng Pattingalloang beberapa ratus tahun lalu, masih relevan untuk dijadikan pelajaran untuk generasi kita saat ini. Demi upaya penguatan kebangsaan.

Kearifan La Tenritatta Arung Palakka

Bisa dikatakan, Arung Palakka adalah tokoh terbesar dalam sejarah Sulawesi Selatan. Lahir disituasi politik yang tidak menentu, menjadi ombak besar dalam kehidupannya yang menjadikan "nakhoda" terkuat dalam sejarah. Berbagai sumber mengisahkan perjalanan hidupnya, baik catatan kronik kerajaan hingga tradisi tutur.


Foto lukisan Arung Palakka di Museum Lapawawoi Bone

Lahir dari orang tua yaitu La Pottobunne Arung Tanatengnga Datu Lompulle dan We Tenrisui Datu Mario, beliau adalah cucu Arumpone La Tenriruwa Sultan Adam MatinroE ri Bantaeng.

Bernama dan bergelar lengkap, La Tenritatta To Appatunru Daeng Serang Datu Mario Arung Palakka Arumpone Sultan Sa'aduddin Petta MalampeE Gemme'na MatinroE ri Bontoala

Kisah beliau umum berkisar tentang sisi heroiknya. Namun pada kesempatan ini, kami mencoba untuk mengangkat sisi kearifannya yang tertulis dalam naskah.

Berikut pesan Arung Palakka yang dihimpun oleh bapak A.M.Ali :

Makkedai "Petta MaLampe'e Gemme'na":
Patampuangeng aja' murennuangngi,seuwa'e awaraningengnge,maduanna accae,metellunna asugirengnge,maeppa'na darae. Apa' aju tabu'sa tu sikuwae. Iya aju tabu'e, ritaroi ritanae bebbu'i, ritaroi ri uwae masiga'i atamang, ri taroi ri apie masiga'i puppu'.
 


Terjemahan bebas 

Berkata "Petta Malampe'e Gemme'na":
Empat hal yg jangan engkau harapkan. Pertama Keberanian, Kedua Kepintaran,Ketiga Kekayaan, Keempat Derajat Kebangsawanan. Sebab keempatnya bagai kayu lapuk. Adapun kayu yang lapuk, ketika di tanah termakan rayap, ketika di air cepat kemasukan air, ketika di letakkan diatas api akan cepat habis.



Kalimat sederhana pesan beliau memiliki makna yang sangat dalam. Jelas sekali betapa beliau berpesan agar keberanian, kepintaran, kekayaan serta derajat kebangsawanan hendaknya jangan diandalkan. Beliau mengibaratkan keempatnya tak lebih dari kayu lapuk. Keempat hal tersebut adalah kelebihan, namun dapat menyebabkan kesombongan yang justru menjerumuskan manusia dalam kehancurannya.



Pada dasarnya, melihat sejarah kehidupan Arung Palakka, keempat hal tersebut ada pada dirinya. Beliau adalah seorang pemberani yang memiliki kecerdasan dalam mengatur pergerakannya. Kemenangan atas peperangan dan posisi politiknya sebagai orang nomor satu membuat Arung Palakka menjadi berlimpah harta. Dan tentu bahwa dalam dirinya mewarisi darah kebangsawanan yang memantaskan dirinya menjadi seorang pemimpin terkemuka dizamannya.




Akan tetapi, beliau berpikir jauh kedepan terhadap respon masyarakat akan prestasinya. Demikian pula bersikap, manusia hendaknya saling menghormati. Sehingga beliau mengajak pendengarnya untuk lebih rendah hati. Keberanian mesti dilandasi kerendahan hati. Kecerdasan mesti dilandasi kerendahan hati. Kekayaan mesti dibarengi kerendahan hati. Derajat kebangsawanan mesti dibarengi kerendahan hati.


AMW ke-30 La Salewangeng To Tenriruwa

Terpilih menjadi Arung Matowa ke-30 ditahun 1715, La Salewangeng To Tenriruwa menggantikan La Tenriwerung. La Salewangeng menghadapi tugas yang sangat berat, yaitu membangun Wajo yang porak-poranda pasca perang. Sebelumnya, gelombang migran Wajo telah tersebar dibeberapa tempat di nusantara. Oleh La Salewangeng, ia mengelola hal tersebut menjadi jaringan bisnis antar pulau yang sukses. Tercatat adanya kapal dagang Wajo yang beroperasi dipelabuhan utara Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Singapura (Tumasek).

Untuk menopang hal tersebut, di bangun semacam koperasi atau bank untuk meminjamkan modal pada pengusaha, yang hasil keuntungan dagang tersebut digunakan untuk membeli mesiu dan peralatan perang. Di tiap limpo (distrik) dibuat Geddong yaitu gudang senjata. Rakyat dilatih tembak menembak. Pengadaan peralatan perang juga dilakukan di zamannya melalui perdagangan antar pulau yang massif.

Bukan hanya itu, dibuat Sefe' yaitu semacam saluran air yang digunakan untuk mengaliri persawahan untuk meningkatkan produksi pertanian.

Sefe' = Saluran Air


Boleh dikata, Arung Matowa yang paling sukses dalam sejarah Wajo adalah La Salewangeng To Tenriruwa. Selama kurang lebih 20 tahun memerintah, La Salewangeng berhasil mengangkat perekonomian rakyat Wajo sehingga terbentuk lapis menengah yang mapan. Beberapa ratus tahun kemudian, stigma Orang Wajo sebagai Pedagang adalah hasil dari kebijakan ekonomi di eranya.

Mengawal pembangunan ekonomi selama 20 tahun akhir membuat Wajo siap untuk berperang. Namun ia sudah terlalu tua untuk bertempur. Di tahun 1736 sehingga ia mengutus Arung Ta La Dalle (anggota Arung PatappuloE dari limpo Talotenreng) untuk memanggil La Maddukkelleng, kemenakannya untuk menjadi Arung Matowa menggantikannya.

Makam La Salewangeng AMW30 (1715-1736)

B.F. Matthes, Misionaris-Antropolog yang sangat Berjasa


BF Matthes, Misionari-Antropolog yang Sangat Berjasa


Mungkin bisa dikatakan, orang bule yang paling memahami orang bugis-makassar adalah B.F. Matthes. Betapa tidak, karya-karyanya tentang orang bugis-makassar sangat lengkap. Mulai dari kamus bugis-makassar-belanda, penulisan ulang epos Ilagaligo, atlas hingga terjemahan bibel dalam bahasa bugis. Matthes pulalah yang pertama membuat sekolah di Makassar, tepatnya di gedung Mulo saat ini.


Lahir tanggal 16 Januari 1818 putra seorang pendeta H.J Matthes, pria ini mewarisi kesalehan keluarganya. Saat berusia sekitar 17 tahun (1835) beliau terdaftar sebagai mahasiswa sastra dan theologia di Leiden. Kelak, pengetahuannya tentang dunia kesusastraan, bukan hanya membantunya dalam memahami sastra bugis-makassar, namun juga menyelamatkan Epos terbesar dunia, Ilagaligo.

Enam tahun kemudian, Matthes ditahbiskan sebagai pendeta Lutheran Injili. Lalu bersama Snouck Hurgronye, beliau dikirim ke Indonesia. Snouck ke Aceh, Matthes ke Sulawesi selatan. Lelaki yang bernama lengkap Benyamin Fredricus Matthes ini menginjakkan kaki di Tanete (Barru) sekitar tahun 1852 dan bertemu Colliq PujiE Ratna Kencana Arung Pancana Toa. Ia sangat tertarik untuk mengetahui Epos Ilagaligo dan mengantarkannya pada wawancara mendalam dengan Colliq PujiE. Dari Colliq PujiE lah, Matthes dapat mengumpulkan serakan-serakan Sure' galigo hingga terkumpul menjadi 300.000 baris. Entah sadar atau tidak, Matthes telah sangat berjasa menyelamatkan warisan budaya dunia. Sebuah karya sastra terbesar didunia.

Bisa dikatakan, Colliq PujiE adalah guru bahasa Matthes. Sehingga bukan hanya mengumpulkan Sure' Galigo, namun Matthes juga berhasil menyusun kamus Bugis-Makassar-Belanda (terbit 1874). Menyusun Atlas Etnografi, yang menggambar dengan sangat teliti bentuk rumah, peralatan ritual bissu, peralatan besi, peralatan penangkap ikan dan berbagi kehidupan sehari-hari orang bugis makassar. Nyata sangat nampak keahlian Matthes dalam menggambar dan mewarnai.

BF. Matthes berumur sekitar 90 tahun dan meninggal 1908. Beliau meninggalkan banyak karya yang kelak menjadi referensi penting bagi mereka yang ingin mempelajari budaya bugis makassar.(arm)

Sampul  Bibel Kitab Raja-Raja Terjemahan Matthes

Halaman Pertama Bibel Kitab Raja-Raja Terjemahan Matthes

Buku Atlas Etnografi
Ilustrasi Matthes tentang peralatan penangkapan ikan tradisional

Ilustrasi Matthes tentang peralatan tenun



Ilustrasi Matthes tentang peralatan rumah tangga


Ilustrasi Matthes tentang senjata, tameng dan baju besi

PENGANTAR MEMAHAMI MITOLOGISASI TOKOH SEJARAH

Pada dasarnya, tiap zaman melahirkan tokohnya sebagai manusia besar. Individu yang memiliki pemikiran visioner, tindakan yang mempengaruhi masyarakatnya yang selalu dikenang sepanjang sejarah. Masyarakat setelahnya pun memujanya sebagai pelepas kerinduan akan sosok manusia sempurna pada konteks tertentu. Dalam artian bahwa, perlunya idola hadir pada masyarakat sebagai motivator yang terintegrasi dengan paradigma individu. Maka dengan adanya kondisi demikian, seorang tokoh sejarah yang telah meninggal puluhan,ratusan bahkan ribuan tahun lalu, akan tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat.

Ketika masuk dalam kajian sejarah, maka terkadang terjadi kontroversi tentang seorang tokoh sejarah. Untuk memudahkan pemaparan, maka ada baiknya kita melihat skema berikut :



Tentu seorang individu (selain Tuhannya sendiri) lebih memahami dirinya dibanding orang lain, apalagi orang yang hidup ratusan atau ribuan tahun setelahnya. Aktivitas, perilaku, tutur kata dan tindak tanduk orang tersebut akan dicatat atau dituturkan. Secara umum, pencatatan sejarah (meski tidak terlepas dari subyektifitas penulis) dianggap lebih valid ketimbang tradisi tutur (yang lebih rawan terhinggapi subyektifitas penutur.

Seorang peminat atau penggali sejarah, (jika tokoh sejarah bersangkutan telah meninggal) maka akan menemukan skrip atau kisah tentang tokoh sejarah tersebut (yang sudah bercampur dengan subyektifitas penulis/penutur). Hal itu yang kemudian membentuk asumsi dasar terhadap tokoh sejarah tersebut. Biasanya sulit menemukan asumsi berimbang. Kalau tidak sekalian dipuja bak dewa, sekalian dicaci bak iblis. Kalau tidak sekalian ditutupi kekhilafannya (entah sengaja atau pura-pura tidak tahu), sekalian dihujat habis-habisan (seolah tak punya kebaikan sedikit pun).

Kita gunakan skema tersebut untuk menganalisis tokoh. Kita pinjam Kartini sebagai sampel.

1)Tentu Kartini yang lebih memahami dirinya ketimbang orang lain. Pada titik ini, Kartini sebagaimana adanya, tanpa ada tafsiran, tanpa ada asumsi. Asli Kartini.

2)Kita dapat gambaran melalui tulisan yang berisi gagasan atau perasaan Kartini yang terdokumentasikan. Kita juga bisa mendapat gambaran bagaimana ketokohan kartini melalui tradisi tutur saksi sejarah.Pada titik ini, terkadang bermain subyektifitas penulis/penutur. Bisa jadi penulis/penutur hanya menekankan atau mengulang sisi positif dan abai terhadap sisi negatif. Sebaliknya bisa jadi penulis/penutur yang mengangkat sisi negatifnya saja.

3)Melalui data yang terdokumentasi maupun tuturan tersebut (yang telah berat sebelah model penulisan atau penuturannya) diolah sedemikian rupa sehingga membentuk asumsi "Kartini" dalam benak seseorang. Tentu, akan berbeda Kartini sebagaimana dirinya, "Kartini" dalam dokumen, "Kartini" dalam kisah tutur, dan "Kartini" dalam benak seseorang.

4)Pada titik ini, ketika ditransformasikan pada ranah sosial, dimana ada proses hegemoni pemikiran sehingga membentuk mitologisasi. Hegemoni itu bekerja secara halus. Mulai dari bagaimana Mister Abendanon mengumpulkan surat Kartini (yang dianggap citra ideal perempuan hindia belanda) untuk dijadikan bacaan publik dalam bentuk buku. Lalu, melalui musik, Wr Supratman mengelola citra Kartini. Melalui rezim orba, lagu itu dipaksa untuk diajarkan disekolah untuk dihafal plus posternya dipasang didinding kelas (sampai sekarang kalau ada orang belajar memainkan alat musik, biasanya lagu pertama yang dimainkan adalah ibu kita kartini, do re mi fa sol mi do dst). Dilanjutkan dengan ritual tahunan tiap 21 April untuk bermode bak kartini dengan sanggul dan kebayanya. Dilanjutkan dengan cocologi Kartini, misalnya lomba lari maraton putri memperebutkan piala kartini (emang kartini suruh perempuan lari maraton?)

Pada titik ini, (kalau kita mau jujur dan obyektif) kita akan temukan ketimpangan antara KArtini selaku person, dan Kartini selaku mitos. Mitos ini bekerja dialam bawah sadar individu akibat proses hegemoni pemikiran. Sehingga memang perlu data-data historis yang cukup, analisa yang rasional, serta jiwa yang besar untuk menerima fakta apa adanya, untuk dapat terlepas dari belenggu mitos tersebut. Namun disisi lain, mitos itu mampu membangun kesadaran masyarakat untuk diarahkan sesuai kepentingan tertentu. Misalnya, pedagang konde dan kebaya akan mendapat keuntungan dari proses kebayaisasi dan kondeisasi tiap 21 April yang masyarakat digerakkan dengan mitologi kartini dalam alam bawah sadarnya.===>ARM<===

Hubungan Gowa-Bone-Wajo-Bulo Bulo dan Batulappa dalam KVW

Ada beberapa naskah yang mengupas tentang sejarah Wajo terutama tentang perang. Namun yang paling detil adalah naskah yang ditransliterasi dan diterjemahkan oleh J.Noorduyn dalam Een Achttiende-Eeuwse Kroniek Van Wadjo (Buginese Histografie) terbitan 1955. Sebanyak 3 halaman (230,232,234) yang membahas tentang peristiwa politik dalam dinamika kerajaan yang melibatkan Wajo dalam upaya Gowa merebut bulo-bulo.

cek :

Berhubung KVW ini diterjemahkan dalam bahasa Belanda, maka kami menterjemahkan transliterasinya dalam bahasa Bugis ke bahasa Indonesia pada bagian masa pemerintahan Arung Matowa 9 La Mappauli to Appamadeng MassaolocciE sekitar tahun 1547-1564 yang berhubungan dengan Gowa, Bone, Bulo-bulo dan Batulappa.

Berikut transliterasi dan terjemahannya :
+Natellutaung Arung Matowa MassaolocciE nangka surona Karaengnge muttama ri Wajo makkeda : "Ia nasuroangnga Karaengnge, Arung Matowa : Laoko muenrekiwi Batulappa. Naiya dekkua murumpa'i Batulappa, ssoroni riangngatangenna to WajoE. Naiyadekko temmurumpa'i Batulappa, kecengngi angngatanna to Wajoe. Adjamuna musossong ri Bulo-bulo; sossong ri batulappa muno ri ompona ulengnge"
=tiga tahun (menjabat) arung matowa, MassaolocciE, datanglah utusan Karaeng (gowa) masuk ke Wajo berkata : "Adapun yang dititahkanKaraeng kepada saya ditujukan pada Arung Matowa (adalah) : Pergilah kau naiki Batulappa. Apabila tidak kau kalahkan batulappa, maka mundurlah (persiapkan diri) Wajo (untuk menerima sanksi gowa). Apabila tidak kau kalahkan Batulappa, perkuat pertahananmu wahai orang Wajo (untuk menerima serangan gowa). Tidak perlu kau menyerang bulo-bulo. (cukuplah) kau turun di awal bulan menyerang batulappa.

+Nakkeda Arung Matowae :Ia mulapattu suro ri Karaengnge : nawettagisi ulukku to RajaE, kurumpuangi langi lipu'na.
=Berkata Arung Matowa : Adapun yang kau sampaikan (wahai) utusan pada Karaeng : ...... kepalaku orang besar. Kuasapi langit negerinya
+Natelumpenni surona Karaengnge na rewe. Naompo uleng nalao ri musu to Wajoe sipalili tteriwi batulappa. Nasewuleng mammusu narumpa Batulappa. Napanganroi sipalili. Narewe ri wanuanna to wajoe. Nasiduppa surona karaengnge kkua ri wajo. nakkeda surona karaengnge
=tiga malam (menginap di wajo) utusan karaeng, kemudian kembali. (ketika tiba) awal bulan, pergilah orang wajo bersama palilinya berperang melawan batulappa. setelah sebulan berperang akhirnya batulappa kalah. (batulappa) menyerah bersama palilinya. Kembalilah orang wajo ke negerinya.Bertemu dengan utusan karaeng di wajo. dan berkata utusan karaeng :

+Ia nasuroangnga karaengnge : laoko mualai to wajoe ri batulappa. Dekkua tennaullei rumpa'i batulappa, nawelaimuni nalao ri bulo-bulo
-Adapun yang dititahkan karaeng pada saya : pergilah menjemput orang wajo di batulappa. Apabila tidak mampu mengalahkan batulappa,maka tinggalkan dan pergilah ke bulo-bulo

+Nakkeda Arung Matowae : purani kurumpa batulappa, kupanganro sipalili
-Berkata arung matowa : saya telah mengalahkan batulappa, dan memaksanya menyerah berikut palilinya

+Nakkeda to Maddualeng : aja mutangku tekke, arung matowa. Madecekko lao ri bulo-bulo mupedapiri karaengnge.
-Berkata to maddualeng : jangan engkau.... wahai arung matowa. ada baiknya jika kamu menghampiri karaeng di bulo-bulo

+Nakkeda Arung Matowa : Taroi Arung Bettempola, mappesau pitungesso tainappa llao ri bulobulo
-Berkata arung matowa : Biarlah dulu Arung bettempola, (kita) beristirahat tujuh hari baru kita pergi ke bulo-bulo

+Nasituru to Wajoe. Nakkeda Arung Matowae : Laono matu riolo suro, muakkeda ri karaengnge rimunripi towajoe
-Bersepakatlah orang Wajo. Berkata Arung Matowa : Berangkatlah duluan wahai utusan, dan sampaikan pada karaeng bahwa orang wajo akan menyusul dibelakang.

+Nadapini pitungngesso nalaona rimusu to wajoe. natellumpenni nalattu ri bulo-bulo. Napoleiwi situdangeng Arumpone Karaengnge. Nakkeda Karaengnge : Purani murumpa Batulappa arung matowa ?
-Tibalah hari ketujuh, berangkatlah orang Wajo ke peperangan. Selama tiga hari (perjalanan) akhirnya sampai di bulo-bulo. didapati arumpone duduk bersama karaeng. berkata karaeng : sudah kau kalahkankah batulappa arung matowa ?

+Nakkeda Arung matowae : purani kurumpa, karaeng. kupanganro sepalili, kuwelaiwi.
-berkata arung matowa : telah kukalahkan, karaeng. kutaklukkan dengan palilinya, (kemudian) kutinggalkan.
+Natellumpenni lettuna to wajoe ri bulo-bulo nassuro karaengnge leleang potto setenrong, sekati werre'na, ripasseajingenna gowa, nakkeda : Amaseangngi mennang, karaengnge. mualai ceddena gowa. narekko murumpai bulo-bulo masseajikko gowa.
-tiga malam sesampainya orang wajo di bulo-bulo,menyuruhlah karaeng mengirimkan gelang satu tenrong/pasang, satu kati beras (sebagai bentuk) perkerabatan gowa dan berkata : kasihanilah karaeng, ambillah sedikitnya dari gowa. apabila engkau kalahkan bulo-bulo (maka kunaikkan derajatmu) bersahabat dengan gowa.

+Nade tau maelo malai pottoe. na la mungkace malai tassewalinna Bangkaibottoe ane'na arung peneki. napasangi pottoe nangaruna nakkeda :
-Dan tak seorang pun yang (Berani) mengambil gelang tersebut. hanya La Mungkace mengambilnya satu bersama Bangkaibottoe putra arung peneki. dipasangi gelang kemudian menyatakan sumpah berkata :

+Riwettaga sia bana kurumpa bulo-bulo
-Walaupun aku ditebas,akan kukalahkan bulo-bulo

+nakkeda suroe : anaga kupalattu ri karaengnge
-dan berkata utusan : apa yang kusampaikan pada karaeng

+Nakkeda arung matowae : yenaro mupalettu suro, ri karaengnge adanna ane'ku ye dua
-berkata arung matowa : adapun yang kau sampaikan wahai utusan pada karaeng yaitu perkataan dua anakku tadi (La mungkace dan bangkaibottoe)

+Napura manre wenni tauwe nalaona to uda (Lamungkace to udamang) duai bangkaibotto madduppulo sintinro sepajjowareng.
-Setelah makan malam, pergilah to uda bersama bangkaibotto dua puluh berombongan

+Na tengnga benni mua naoseng to wajoe na denniari nasuppengi bulo-bulo. namappappa bajae nanganro to bulo-buloe ri karaengnge ri arumpone.
-Saat tengah malam,berangkatlah perang orang wajo. dan dini hari direbutlah bulo-bulo. saat pagi hari, menyerahlah orang bulo-bulo pada karaeng dan arumpone

+naompo essoe naengka surona karaengnge arumpone tampaiwi arung matowae nakkeda suroe : talao gare puang tasitudangeng karaengnge arumpone "
-dan muncullah hari datanglah utusan karaeng bersama arumpone mendatangi arung matowa dan berkata utusan : sudilah kiranya tuan datang duduk bersama karaeng dan arumpone

+nalaona arung matowae nalettu'na situdangeng iya tellu. nakkeda karaengnge to ri pallangga : O Arung matowa, iyana muwarekkeng masse' : assikadoangetta ri topaceddo. Ia sininna palili mumemeng alamanenni, tasseajing madeceng, mualai toi doko inanre temmawari : Baringeng sepalili silaong malluse saloe, mupallejjaku alau ri bulobulo.
-berangkatlah arung matowa dan sampai duduk bersama bertiga. berkata karaeng tunipallangga : O arung matowa, inilah yang kau pegang teguh : Perjanjian kita di topaceddo. Semua palilimu (yang kurebut) ambillah semua. kita berkerabat dengan baik. ambil pulalah "bekal nasi tak akan basi" (yaitu) : Baringeng dengan palilinya bersama malluse saloe, sejak engkau menginjakkan kakiku di timur di bulo-bulo
+Nakkeda arung matowae. yenaritu uwarekkeng adammu karaeng, kuampu ku galagala. nasabbi dewata seuwae.
-Berkata arung matowa. itulah yang kupegang teguh perkataanmu karaeng,......di persaksikan dewata yang tunggal
+Natellumpenni purana manganro to bulo-buloe. nasorona karaengnge, tobonee, to wajoe, to luwue.
-tiga malam setelah menyerahnya orang bulo-bulo,kembalilah karaeng, orang bone, orang wajo orang luwu
+natelumpuleng purana manganro to bulo-buloe, nalao mabbawine La Mungkace ri sidenreng siala ane'na Addatuangnge ri Sidenreng.
-Tiga bulan setelah menyerahnya orang bulo-bulo, pergilah La mungkace beristri di sidenreng menikah dengan anak addatuang ri sidenreng