Showing posts with label sosial budaya. Show all posts
Showing posts with label sosial budaya. Show all posts

Cara membuat Status FB menurut Kearifan Lokal Bugis

Dalam kurun dua dekade terakhir, kita menyaksikan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat. Baik perangkat lunak (Software) maupun perangkat keras (Hardware) dengan cepat berkembang.

Cek : NETGEN

Sebagian besar manusia, tidak menyadari dampak dari kemajuan tersebut. Yaitu obesitas informasi. Ya, Obesitas Informasi. Terlampau banyak informasi yang kita serap dalam sehari saat kita online. Sehingga bahkan informasi yang kita tidak butuh dan tidak penting pun kita konsumsi.

Salah satu buku yang menghimpun kearifan lokal Bugis
Beberapa sosial media tersedia, seperti Twitter, G+, dan yang paling populer Facebook. Saat ini memiliki pengguna hampir 2 Milyar akun aktif. Yang tiap hari membuat status, komentar, grup, mengupload gambar, mengiklan dan seterusnya.


Obesitas Informasi ini bukan hanya karena terbukanya ruang yang egaliter untuk aktualisasi diri. Sehingga tiap person punya hak sama untuk memasang status atau bahkan memamerkan ibadahnya. Obesitas Informasi ini juga karena adanya "tantangan" dari penyedia Sosial Media sendiri untuk menuliskan apa yang kita pikirkan.

Nah, dari titik ini. tiap orang (yang punya akun) punya kesempatan untuk membagi yang baik atau yang buruk, tergantung pada pemikiran yang bersangkutan.

Pada dasarnya, semua manusia baik. Manusia diciptakan dengan fitrah kemanusiaannya. Kejujuran, kebenaran, keadilan dan semua kualitas kebaikan lainnya merupakan hal yang terintegrasi pada diri manusia.

Namun, manusia bukan malaikat. Manusia memiliki emosi yang kadang stabil kadang sebaliknya. Banyak faktor yang memengaruhi emosi manusia. Namun yang penting untuk dipikirkan adalah, akibat dari kondisi emosi kita kepada orang lain.


Pada kasus sosial media. Bila kita menulis status atau komentarAda kemungkinan bias yang dapat disalahpahami oleh pembaca. Latar belakang, pengetahuan, dan kondisi emosi akan mempengaruhi penangkapan atas status atau komentar yang dibaca. Selanjutnya, status/komentar balasan (baik yang menyerang atau menyindir), dapat saja tertulis dan berakhir penyesalan.

"Narekko engka kedo ri atimmu, itai riolona, itai rimunrina, kira kirai tengngana, muinappa pegauk i, dek na tu naolai sesse kale. Pogaukni madecengnge, tettanni majak e, napojinotu Puang MappancajiE, apa ianatu riaseng pappakedo Puang".

Terjemahan :
Jika ada yang terlintas didalam hatimu, amatilah penyebabnya,lihatlah akibatnya, perkirakanlah pelaksanaannya, baru kemudian engkau lakukan. Tidak akan berakhir dengan penyesalan. Lakukan yang baik, tinggalkan yang buruk. Maka engkau akan disukai oleh Tuhan yang Maha Pencipta, karena itulah petunjuk dari Tuhan.
sumber : PANGAJAK TOMATOA 
Dihimpun oleh : Zainuddin Hakim

Ada baiknya kearifan lokal diangkat kembali. Meski sudah tua, namun belum usang. Pentingnya untuk melihat awal, akhir dan tengah suatu persoalan. Ternyata bisa diterapkan dalam menulis status dan komentar. Bersosial media, tidak memperturutkan hawa nafsu dan kebencian. Tetapi memikirkan matang matang sebelum diposting. Mempertimbangkan perasaan orang lain bila dibaca. Dan paling penting adalah jangka panjangnya. Yaitu ketika kita tutup usia tetapi tidak sempat tutup akun.


Perang, dalam tradisi Bugis Makassar


....the Bugis Makassar sources structure the motivations for warfare around cultural concepts of shame (siriq), commiseration and solidarity (pesse/pacce), and on the maintenance or restoration of proper relationships wthin the human community and between states....

L. Andaya


Perang, adalah bagian dari dinamika sejarah manusia. Dimana pertentangan antara satu kelompok dengan kelompok lain yang tidak bisa diselesaikan secara diplomatis, kemudian berujung konflik bersenjata.


Sulawesi Selatan di masa lalu, pernah mengalami banyak peperangan. Namun, ada kekhasan yang didasari oleh kebudayaan setempat. Seperti yang dikatakan Andaya, motivasi Siriq dan Pesse/Pacce adalah motivasi utama. Meski dibalik itu terdapat kepentingan dominasi politik dan kepentingan ekonomi. 


Akan tetapi, perang di Sulawesi Selatan di masa lalu, tidak melulu disebabkan dorongan ekonomi politik. Terkadang ada perang yang disebabkan hal yang mungkin dianggap aneh. Yaitu syarat diterimanya sebuah lamaran.

Tradisi Bugis Makassar tidak memulai perang bila tidak dideklarasikan terlebih dahulu. Perang kilat (Blietzkrieg) ala Jerman atau serangan mendadak Jepang ke Hawaii adalah contoh perang modern yang tidak dikenal di masa lalu. Deklarasi perang ditandai dengan dikirimkannya pernyataan dari satu pihak yang disebut Timu-timu. Pesan singkat berisi pernyataan akan menyerang satu pihak ke pihak lain yang dikirimkan Timu-timu.

cek :
Para ksatria, pejuang, dipanggil melalui Bila bila musu yang berisi waktu dan tempat akan diadakannya peperangan. Pada saat itulah diadakan prosesi Mangngaruq yaitu sumpah setia pada pimpinan. Tak jarang, diadakan prosesi Macceraq yaitu pelumuran darah kepada Bate atau bendera/panji perang. Dengan harapan diberi kemenangan.

Sisi Mistis dan Metafisika pada Perang
Perang dalam tradisi Bugis-Makassar, tidaklah sekadar persoalan kuantitas dan kualitas pasukan. Bukan pula sekadar ragam senjata yang digunakan. Seperti tombak, alameng, sinangke, bangkung, tappi/gajang/sele, badiq/kawali,seppu dan sebagainya. Tetapi juga persoalan metafisika. 

Contoh Tombak yang digunakan komandan pasukan

Senjata, dalam hal ini Parewa Bessi/Polobessi, bukan sekadar tajam dan bisa difungsikan. Akan tetapi terkadang ditambahkan zat zat tertentu agar lebih beracun (mausso). Sissiq atau karakter dasar senjata sangat dipertimbangkan. Bessi Malela, sangat umum digunakan dalam peperangan.

Pappoq, sejenis siluman wanita, terlibat dalam perang 1859. Picunang, adalah sebuah ilmu mistik. Dimana peluru hanya diletakkan di tangan. Kemudian dirapal mantra dan ditiup ke peluru. Peluru itu akan terbang mencari sendiri sasarannya. Sementara Kulawu juga digunakan, khususnya Kulawu Bessi agar tidak mempan senjata. Atau Kulawu wai (air), agar luka dapat cepat menutup sebagaimana air.

Dalam sebuah tradisi tutur, tombak yang berlubang di tengahnya, digunakan dalam menyeleksi pasukan yang akan diberangkatkan. Komandan pasukan memegang tombaknya kemudian melihat pasukannya dari celah lubang pada tombaknya. Bila seorang pasukan terlihat tak lengkap anggota tubuhnya, maka ia dilarang pergi perang. Sebab diyakini yang bersangkutan akan tewas pada perang nantinya.


Medan Pertempuran
Perang antar kerajaan berarti ada jarak yang harus ditempuh sebelum terjadi pertempuran. Oleh karena itu, dibangunlah kubu yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan sebelum pertempuran dimulai. Tampakuku.atau kubu, dibangun ditempat strategis dan biasanya tidak jauh dari sungai, agar memudahkan penyerangan dan memuat peralatan tempur seperti meriam serta logistik pasukan.

Tampakuku ini dibuat dari kayu dan dipersenjatai dengan meriam kaliber kecil yang disebut dengan Lela Rentaka. Tampakuku tidak dibuat sebagai bangunan permanen. Ia dibangun dengan cepat. Bila kondisi terdesak, Tampakuku ini juga bisa dipindahkan dengan cepat sebagai bagian dari taktik perang.

Pasukan penyerang akan meninggalkan Tampakukunya dan bertemu dengan pasukan lawan yang biasanya berada di bentengnya. Pada pertempuran, biasanya komandan akan berhadap-hadapan dengan komandan musuhnya. Begitupun dengan pasukan. Peperangan akan diakhiri apabila ada komandan lawannya tewas.

Ilustrasi Perang Makassar 1667-1669. Nampak penggunaan Sumpit beracun


Pasca Perang
Perang baru dikatakan berakhir, bila ada upacara resmi. Pihak kalah akan Ripabbua Tappi yaitu menyerahkan keris emas pada pihak pemenang. Sebagai simbolitas pengakuan akan kekalahan. Selain itu, pihak kalah perang akan membayar Sebbu Kati yaitu denda perang. Menyerahkan sepasang gelang, sarung dan benda benda lainnya.

Pada pihak yang dianggap setara, perang diselesaikan dengan sebuah perjanjian atau Maqkuluada. Ditandai dengan di letakkannya pusaka kerajaan dua belah pihak secara berdampingan.

Buta Huruf, dulu dan sekarang

Dahulu kala, hampir semua leluhur kita mampu membaca dan menulis aksara serang/jawi dan aksara lontara. Ilmu pengetahuan di sampaikan melalui naskah lontara kepada generasi berikutnya.
sebab, keterbatasan manusia untuk menyampaikan langsung ilmu/pengetahuan kepada manusia lainnya. keterbatasan itu berupa keterbatasan ruang dan waktu


Aksara latin telah dikenal seiring dengan kedatangan bangsa eropa ke nusantara. namun setelah adanya "sekolah" latin mulai menjadi aksara standar komunikasi. demikian pula penggunaan kalender masehi yang menggeser penggunaan kalender hijriyah
Orang-orang tua yang tidak bersekolah (sekolah formal) tidak mampu membaca aksara latin namun mampu mengaji dan menulis aksara lontara dicap BUTA HURUF.
Selama sekian puluh tahun, akhirnya aksara latin (seperti yang kita gunakan saat ini) menjadi aksara keseharian kita. dan kita tak lagi selancar atau malah tak mampu membaca aksara lontara. perlahan, kita makin tercerabut dari akar ilmu/pengetahuan kita...dan kita kemudian perlahan menjadi "orang lain"....
==================================================================
Transformasi pengetahuan dari generasi lalu ke generasi berikutnya melalui media tutur yaitu Pappaseng dan tulis yaitu Lontara. Disini pentingnya penggunaan dan pelajaran Bahasa Daerah. Namun pada kenyataannya, pelajaran Bahasa Daerah semakin berkurang di banyak sekolah dasar dan menengah. Sementara di rumah, penggunaan Bahasa Indonesia semakin massif sehingga banyak anak anak yang kurang mampu berbahasa Daerah.

Naskah tentang Fiqhi dan Senjata ditulis 1257H

Bila ini terus berlanjut, dapat diprediksi bahwa Pappaseng yang berfungsi sebagai pembentukan karakter akan hilang. Terlebih lagi lontara, kondisinya semakin memprihatinkan.
Banyak naskah tua. Ada yang tersebar di rumah penduduk. Ada di gedung arsip. Ada pula di museum luar negeri dan beberapa tempat lainnya. Naskah yang ada dirumah penduduk, kebanyakan kondisinya sudah memprihatinkan. Rapuh dan sulit terbaca. Itupun kalau diizinkan dibaca. Sebab terkadang perlakuan yang terlalu sakral justru membuat naskah terproteksi dari pembacanya. Ini dengan catatan, naskah tersebut selamat dari berbagai peristiwa luar dugaan seperti kebakaran, banjir, perang dan lainnya. Naskah yang ada di gedung arsip, museum apalagi di luar negeri juga sulit diakses karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mencari informasi.
Akibatnya, Pappaseng akan perlahan terlupakan. Lontara pun tak terbaca. Generasi muda akan gagal mewarisi ilmu pengetahuan dari leluhurnya. Kedepan, generasi muda akan kehilangan identitas dan akan mewariskan ketidaktahuannya pada identitas serta pengetahuannya pada generasi berikut.
Oleh karena itu, sangat penting melakukan revitalisasi. Menyemarakkan kembali penggunaan Bahasa Daerah di rumah dan di masyarakat. Mendorong agar Bahasa Daerah tetap diajarkan di sekolah. Naskah naskah tua di transliterasi, diterjemahkan dan diterbitkan menjadi buku agar mudah dibaca oleh segenap kalangan tanpa merusak fisik naskah yang sudah rapuh tersebut.
==================================================================
Memberantas Buta huruf...ternyata membuat kita justru buta huruf terhadap aksara dan pengetahuan lokal kita...Ironis

The Turning Point : Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan

Judul Asli : THE TURNING POINT Science, Society and The Rising Culture. Bantam Book, New York
Penulis : Fritjof Chapra
Penerbit : Cetakan Pertama tahun 1997 sampai cetakan keenam 2004 - Penerbit Bentang
Cetakan Ketujuh, Mei 2007 - Penerbit Jejak
Tebal : 571 halaman + xxiii

Kemajuan teknologi membawa manusia pada peradaban yang maju di satu sisi. Namun disisi lain, membawa manusia ke pinggir jurang kehancurannya. Chapra, menulis hal ironis ini dengan kalimat, "Pengeluaran militer dunia kira kira 425 Milyar Dollar....Sementara itu lebih dari lima belas juta orang meninggal karena kelaparan, lima ratus juta lainnya kekurangan gizi dengan serius"(hal 4).

Perlombaan senjata nuklir negara adidaya, menghabiskan dana besar. Sementara, dampak yang diakibatkan oleh senjata nuklir sangat mengerikan bagi bumi kita. Bahkan, terlepas dari ancaman nuklir, bencana ekologis mengancam ekosistem kita. Udara, tanah, air, perlahan dipenuhi limbah beracun sebagai dampak dari kemajuan teknologi tersebut.

Chapra menuliskan tentang pola perkembangan peradaban, mulai Sumero-Akadia, Mesir, Aegean, Syiria, Yunani, Islam, Kristen Ortodoks dan Barat dalam bentuk grafik yang berkembang, puncak dan perlahan menurun. Mengutip Toynbee, Chapra mengatakan "Terjadinya suatu peradaban itu sendiri dari suatu transisi dari kondisi statis ke aktivtas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atauu disintegrasi satu peradaban atau lebih ke generasi yang lebih tua" (hal.11)
Pengaruh pemikiran taoisme pada Chapra kemudian tergambar pada bagaimana peradaban itu berkembang dan menurun. Chapra menilai, peradaban kita lebih dominan aspek Yang atau maskulin. Sistem patriarki didorong dengan budaya bendawi mengarahkan pada ketidak-seimbangan budaya dan menjadi akar dari krisis peradaban kita. 
Pada bagian kedua yang terdiri dari dari dua bab, Chapra mengurai tentang Paradigma pengetahuan. Bab pertama tentang paradigma mekanistik yang berjudul "mesin dunia ala Newton". Sedang bab kedua tentang fisika baru. 

"Antara tahun 1500-1700 terdapat suatu perubahan dramatis pada cara manusia menggambarkan dunianya dan dalam keseluruhan cara berpikir mereka. Mentalitas dan persepsi baru tentang kosmos memberikan sifa sifat pada peradaban barat yang menjadi karakteristik peradaban modern. Mentalitas dan persepsi tersebut menjadi dasar paradigma yang telah mendominasi kebudayaan kita selama tiga ratus tahun yang lalu dan kini sudah hampir berubah" (hal.43)


Thomas Aquinas memadukan sistem alam ala Aristoteles dengan teologi dan etika Kristen dan menetapkan kerangka konseptual selama abad pertengahan. Hingga kemudian, kemunculan Nicholas Copernicus yang membantah pandangan geosentrik Ptolemy. Kemudian dilanjutkan dengan Galileo yang memperjelas hipotesa Copernicus tersebut.

Berikutnya, seorang Inggris, Francis Bacon merumuskan metode ilmu empiris yang menyerang filsafat tradisional. Disinilah perubahan mendasar pandangan terhadap alam. Alam dalam pandangan tradisional adalah "ibu" atau "kawan", berubah menjadi "Budak yang ditaklukkan". Chapra kemudian menilai adanya pemikiran patriarki pada pemikiran Bacon.

Rene Descartes dan Isaac Newton, menyempurnakan pemikiran Bacon. Mengutip Descartes : "Kita menolak semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan, dan kita berpendirian bahwa ita hanya percaya pada hal hal yang benar benar diketahui dan tidak ada keraguan tentangnya". (hal : 49). Kebenaran menurut Descartes adalah sesuatu yang pasti secara matematis. Kebenaran mestilah dapat dihitung dan terukur. Hal ini dilandasi keyakinan Descartes bahwa bahasa alam adalah matematika. Sumbangan besar Descartes terhadap ilmu pengetahuan adalah keraguan yang mendasar sebagai metode. Kelak menjadi "hipotesa" dalam penelitian kualitatif skripsi mahasiswa.

Sebagaimana Galileo dan Descartes, Isaac Newton juga menyakini bahwa semesta sistem mekanis yang bekerja sesuai dengan hukum matematika. Keberhasilan Newton adalah mempersatukan dua kecenderungan metode dimasanya. Yaitu metode empiris induktif yang diwakili oleh Bacon dan metode rasional deduktif yang diwakili oleh Descartes. Sampai pada titik ini, paradigma mekanistik dibangun dari pemikiran Copernicus, Galileo, Bacon, Descartes hingga dikunci oleh Newton. Mulai dari sistem semesta, metode induktif  dan deduktif, atom, gravitasi hingga mekanika Newton.

Gagasan tentang kosmos kemudian mulai bergeser, saat Einstein memperkenalkan teori relativitasnya. Ia bersama tokoh macam Niels Bohr, Max Planc, Heisenberg dan sebagainya mulai mengkritisi model atom klasik warisan Newton. Temuan terbaru saat itu seperti teori quantum, partikel sub atom dan seterusnya, kemudian mempengaruhi cara pandang terhadap alam semesta.

Generasi Einsten dan kawan kawan, adalah generasi yang memperkenalkan fisika baru dan perubahan paradigma pengetahuan tentang alam semesta. Mengutip Heisenberg : "dengan demikian, dunia tampak sebagai sebuah JARINGAN PERISTIWA YANG RUMIT, dimana hubungan berbagai jenis bertukar atau tumpang tindih atau bergabung sehingga menentukan tekstur secara keseluruhan" (hal : 79)


Dapat dipahami bahwa, paradigma mekanistik yang diusung Newton dan kawan kawanlah yang membangun peradaban kita saat ini. Mulai dari fisika, biologi, psikologi, ekonomi dan sebagainya. Warisan yang masih dapat dirasakan saat ini adalah mahasiswa mengerjakan skripsi, dan menggunakan metode kuantitatif. Penggunaan hipotesa, model induksi dan deduksi, serta penggunaan statistik adalah ciri kuatnya. Terlepas dari kemajuan yang merupakan dampak dari paradigma mekanistik, peradaban manusia di sisi lain berada di jurang kehancuran.

Kritik terhadap pandangan dunia mekanistik kemudian melahirkan pandangan dunia baru yang disebut pandangan dunia sistem. Atau sering juga disebut paradigma holistik. Gagasan dasarnya disebutkan Chapra : "Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat unit yang lebih kecil. Pendekatan sistem tidak memusatkan pada balok balok bangunan dasar atau zat zat dasar melainkan lebih menekankan pada prinsip prinsip organisasi dasar"(hal : 319).

Adanya kesaling hubungan dan kesaling terpengaruhan sebuah entitas dengan entitas lainnya sebagai sebuah sistem adalah sesuatu yang penting dalam pandangan dunia sistem ini. Pandangan ini lebih dari sekadar sains dan ilmu humaniora. Bahkan menjangkau pemikiran timur macam Taoisme. Chapra dengan cermat mencoba menghubungkan antara sains, humaniora dengan taoisme dan melihat adanya interkoneksitas pada disiplin yang berbeda. Chapra sangat rajin meminjam pendekatan taoisme dan timur dalam membedah banyak hal.

Ia memotret adanya fenomena perkawinan metode barat dan timur sebagai dampak dari pandangan dunia sistem : "karena tradisi tradisi filosofis dan religius timur selalu cenderung memandang jiwa dan tubuh sebagai suatu kesatuan, maka tidaklah mengherankan bahwa sejumlah teknik untuk mendakati kesadaran dari tingkat fisik dikembangkan di timur, signifikansi terapeutik dari pendekatan pendekatan meditatif ini semakin diperhatikan di barat, dan banyak terapis barat menyatukan teknik kerja tubuh timur macam Yoga, Ta'i Chi, dan Aikido ke dalam perlakuan mereka" (hal 427)

Munculnya sistem pertanian organik, metode penelitian kualitatif, adalah contoh terapan dari pandangan dunia sistem. Pandangan dunia yang spiritnya adalah menjaga dunia dari kesombongan manusia atas ilmu pengetahuannya.

Rokok, Budaya Merokok dan Hubungan Sosial di Sulawesi Selatan

Di masa lalu, tradisi makan sirih (mangota) adalah jamak bagi masyarakat nusantara, termasuk di Sulawesi Selatan. Tradisi ini dilakukan setiap saat, apalagi menjamu tamu. Tamu akan disuguhkan sirih beserta perangkatnya sebagai bentuk keakraban pada hubungan sosial di masa lalu. Namun seiring zaman, rokok diperkenalkan ke nusantara. Perlahan tradisi makan sirih beralih ke tradisi merokok. 

Rokok sejatinya dapat dinikmati bersama minuman seperti teh dan kopi. Gencarnya kampanye anti rokok yang didukung berbagai regulasi, akhirnya menyebabkan perokok kian tersudutkan. Sedikit demi sedikit, terjadi perubahan paradigma tentang rokok dan merokok dalam beberapa dasawarsa terakhir. Walaupun merokok bukan perbuatan yang menyehatkan di satu sisi, namun merokok dapat membantu suasana rileks yang mengkondisikan dialog yang serius maupun ringan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, merokok umumnya dilakukan oleh laki laki dan perempuan tua. Merokok bukan hanya sebagai "alat bantu suasana rileks", akan tetapi perekat hubungan sosial. 

Saat berada di ruang sosial yang baru. Salah satu cara untuk memulai pembicaraan dengan orang orang yang tidak dikenal adalah dengan menawarkan rokok. Setelah itu, baru dimulai beberapa dialog yang pada akhirnya menciptakan keakraban diantara orang orang yang ada disekitarnya.

Dalam budaya merokok di Sulawesi Selatan, ~pada ruang sosial yang anggotanya saling mengenal~ menaruh rokok dikantong saat bercengkrama dianggap pelit. Rokok selalu ditaruh di meja dan dipersilahkan kepada semua orang untuk mengisapnya. Saat menawarkan rokok, kedua tangan terbuka dan menyodorkan rokok ke arah orang. 




Sepertinya tradisi menyuguhkan sirih dimasa lalu telah bermetamorfosa di tradisi merokok. Ketika ada orang minta rokok, etikanya ia tidak akan langsung mengambil rokok tersebut. Ia akan bertanya siapa pemilik rokok. Bila pemilik rokok mengatakan "rokokku", maka orang itu tidak akan mengambilnya. Namun bila pemilik rokok mengatakan "rokokta" (maksudnya rokok kita), maka orang itu akan memulai merokok.

Wacana kenaikan harga rokok yang tentu tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan perokok untuk membeli rokok, akan menyebabkan perubahan tradisi merokok di Sulawesi Selatan. Perubahan itu kira kira dengan tidak ditawarkannya rokok di tempat umum. Pemilik rokok akan menyembunyikan rokoknya menghindari teman yang minta rokok. Kalau perlu rokok batangan di simpan didompet demi memenuhi kebutuhan merokok saat persediaan rokok di ruang sosial semakin kurang. Sederhananya, orang di Sulawesi Selatan, akan pelit dengan rokoknya masing masing. Sehingga keakraban, kesantunan dan kedermawanan antara sesama perokok akan tergantikan dengan prinsip "untukmulah rokokmu dan untukkulah rokokku". 

Cerita tentang lembaga adat

Saat pertama mendengar wacana pembentukan lembaga adat 12 tahun lalu (Maret 2004), lembaga adat adalah hal yang amat asing. Sumbernya pun dari orang yang tak terduga, yaitu orang orang tua yang konon mendapat petunjuk. Beberapa orang memiliki gagasan pendirian lembaga adat, bahkan jauh lebih awal. Sekira pertengahan tahun 1980an.
Zaman orde baru, zaman dimana ada orang berada pada kungkungan ketakutan untuk berpendapat. Ego pengetahuan saya kesampingkan. Niat baik dan cita cita mulia yang membuat saya tertarik. Perlahan, saya menemukan rasionalisasi terhadap sesuatu yang awalnya “berbau mistik” tersebut.Tentu tidak mudah mengusung gagasan tersebut, apalagi memperjuangkannya. Berbagai cibiran harus diterima dengan lapang dada. Mulai dari tuduhan “tindak subversif ala orde baru”, hingga “menghidupkan kembali feodalisme”. Hal itu mesti ditanggapi dengan baik. Lembaga Adat bukanlah mendirikan kerajaan yang bermaksud merongrong NKRI, malah sebaliknya, justru menguatkan NKRI dalam bingkai ke bhinekaan. Malah, mulai dari amandemen UUD 1945 yang memberi perhatian terhadap lokalitas, hingga Permendagri no/71 tahun 2001.Tidak mudah untuk mendirikan lembaga adat.

Orang orang pasti kaget. Masyarakat kita 21 tahun dalam kuasa Orde lama dan 32 tahun dalam kuasa Orde baru yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap pembentukan lembaga adat. Namun seiring waktu, keterbukaan informasi di era reformasi, membangun kesadaran untuk membangun identitas kebangsaan melalui budaya, spesifiknya pendirian lembaga adat.Pada titik ini, mendirikan lembaga adat perlu diperbaiki fondasinya. Yaitu bangunan dasar pemikiran pentingnya pendirian lembaga adat. Sebab jika keliru, tentu fondasinya lemah. Lembaga adat mestilah sejalan dengan aturan yang berlaku di NKRI. Lembaga adat, mestilah menjadi pusat syaraf budaya yang disalurkan ke masyarakat sehingga ada ketahanan budaya dan identitas kebangsaan ditengah gempuran budaya asing.

Lembaga adat mestilah berkontribusi terhadap pembangunan, khususnya manusia Indonesia. Lembaga adat mestilah bervisi kemanusiaan, sebab merayakan keberindonesiaan kita berarti menghapuskan praktek feodal dan perbudakan. Nah untuk itu, perlu kajian mendalam untuk mensinergiskan antara budaya, sejarah dan konteks kekinian. Mendirikan lembaga adat, tidak berarti kembali ke masa kerajaan dan masa penjajahan.

Ia harus kekinian. Lembaga adat harus kekinian, tetapi tidak berarti harus mempermaklumkan pola pola organisasi yang tidak mengacu pada sistem adat budaya setempat. Disini menariknya.Seiring waktu, makin banyak yang tertarik dengan lembaga adat. Malah, perkumpulan lembaga adat juga makin beragam. Mungkin orang kagum dengan “bergaya tradisional” saat festival keraton. Kelihatan gagah mungkin pikirnya.

Tetapi terpikirkah bahwa dibalik balutan “gaya adat” itu terdapat beban adat istiadat yang berat ? Ah sudahlah. Kurang bijak menilai orang lain. Itu haknya.Saya senang, banyak orang ingin mendirikan lembaga adat. Setidaknya, saya bisa berhenti untuk memikirkan dan mengusahakan mendirikannya. Pengorbanan selama 12 tahun, baik material maupun non material, biarlah Tuhan yang tahu. Yang saya pahami, andai berdiri lembaga adat, saya hanyalah seseorang yang duduk diluar pagar sambil tersenyum melihat para pembesar pembesar adat menjadikan dirinya “adat yang berjalan”.

Mari minum kopi, merayakan kebahagiaan. Memaafkan dan memaklumi orang yang lupa diri. Semoga kita tidak ikut lupa diri gara gara lembaga adat. Untuk menjadi sebaik baik manusia (yang paling banyak manfaatnya), masih banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya, dikehidupan yang fana ini, sudah berusaha meski itu sederhana.

Tanya jawab seputar Lembaga Adat


Tanya (T) : Bagaimana posisi lembaga adat di era sekarang ?
Jawab (J) : Sebuah negara akan kuat, bila pemerintah dan rakyatnya bersatu. Memaksimalkan peran masing masing dalam pembangunan. Lembaga adat, adalah organisasi non pemerintah yang eksistensinya diatur oleh Permendagri, merupakan mitra pemerintah dalam pelestarian budaya. 

T : Peran apa yang harus dilaksanakan oleh lembaga adat ?
J : Peran sebagai mitra pemerintah diatur dalam Pasal 4 Permendagri no.39 tahun 2007 antara lain Inventarisasi adat, seni, budaya daerah, kekayaan budaya dan peninggalan sejarah. Penyusunan rencana pengelolaan dan pengembangan, pemeliharaan serta pendayagunaan aset budaya. Penelitian dan sebagainya. 

T : Apakah mendirikan lembaga adat berarti menghidupkan neo-feodalisme ?
J : Kita kembali ke definisi Feodal yang berarti tuan tanah. Masalah pertanahan diatur oleh negara. Kita kembalikan pada aturan yang berlaku.

T : Tetapi spirit demokrasi memberikan ruang yang sama kepada warga negara, sedang lembaga adat berarti kita memediasi trah politik masa lalu. Bagaimana dengan itu ?
J : Pada zaman sekarang, masih ada trah politik kok. Bukan cuma di Indonesia. Bahkan di negara yang katanya paling demokratis yakni AS. Bisa dijelaskan mengapa pernah presidennya dari bapak ke anak ? Kita mesti berpikir jernih. Negara ada dua jenis. Pertama republik, kedua kerajaan. Negara Republik tetap memediasi trah politik tertentu, cuma suksesinya melalui pemilu. Sedang kerajaan nusantara dimasa lalu, suksesinya melalui penunjukan oleh raja sebelumnya, atau melalui mekanisme pemilihan adat secara terbatas. Namun kita mesti ingat bahwa Lembaga adat bukan kerajaan. Akan tetapi dalam pemilihan anggota dan pemimpin lembaga adat mengacu pada aspek historisnya.

T : Iya benar, lembaga adat adalah organisasi non pemerintah. Tetapi strukturnya tidak memediasi diluar trah politik masa lalu untuk turut berpartisipasi didalamnya
J : Struktur lembaga adat masih bisa dikembangkan. Ia tidak kaku. Artinya, selain mengacu pada struktur kerajaan dimasa lalu, bisa juga ditambahkan struktur yang bersifat fungsional dan profesi. Misalnya bagian ekonomi, pertanian, perikanan dan sebagainya. Sehingga orang orang yang diluar keturunan atau trah politik masa lalu, dapat berpartisipasi dibidang sesuai kemampuannya.

T : Membahas tentang struktur. Disitu kan disebut tentang wilayah kekuasaan dan pemerintahannya. Apakah ini tidak berarti tumpang tindih dengan pemerintahan daerah ?
J : Kembali lagi ke bentuk lembaga adat. Lembaga adat bukanlah kerajaan. Lembaga adat bukan negara dalam negara. Tetapi lembaga adat adalah organisasi non pemerintah yang menjadi mitra pemerintah dalam pelestarian budaya.

T : Tetapi pelestarian budaya tidak berkaitan dengan ekonomi, perikanan seperti yang disebutkan sebelumnya 
J : Budaya harus dipahami secara luas. Selain itu, lembaga adat harus berkontribusi terhadap pembangunan agar negara kita kuat.

T : Bagaimana hubungan antara perpolitikan di daerah dengan lembaga adat serta tokoh adat
J : Ini bagian penting dan sensitif. Namun jika kita berpikir jernih, seharusnya tokoh adat dan lembaga adat berperan sebagai benteng budaya. Nilai nilai budaya harus terimplikasi pada lembaga adat dan prilaku tokoh adat. Sehingga bisa menjadi perekat masyarakat. Di sisi lain, bangsa kita masih belajar berdemokrasi, dan cost sosialnya mahal. Betapa banyak masyarakat kita yang dulunya rukun, akrab, bersahabat, menjadi jauh bahkan bermusuhan hanya karena beda pilihan politik. Belum lagi beberapa kasus pembakaran kantor KPUD dan kantor pemerintahan pada beberapa pilkada. Pada ajang pilkada sering kita lihat retaknya sebuah keluarga. Nilai gotong royong dan kebersamaan semakin pudar. Nah pada titik ini, lembaga adat dan tokoh adat mestinya berperan sebagai perekat sosial, bukan sebagai tim sukses dan pendulang suara calon tertentu. Sehingga seharusnya tokoh adat dan lembaga adat itu netral. 

T : Bagaimana dengan dualisme tokoh adat sekaligus kepala daerah seperti di Yogya?
J : Kita tidak menyoal tentang Yogya yang punya histori dan regulasi tersendiri. Kepala daerah dengan wewenang yang sangat besar di era otonomi daerah ini, punya tugas yang sangat berat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak perlu terlalu banyak dibebani dengan tugas tugas adat dan budaya. Sementara tokoh adat punya peran yang juga besar sebagai simbol adat budaya. Kedua jabatan itu punya tugas yang berat. Sulit menjalankan dengan sukses secara simultan.

T : Berarti bisa tidak simultan ?
J : Ya benar. Seorang tokoh adat punya hak politik sebagai warga negara. Dia berhak ikut pada kontestasi politik daerah. Namun, ia harus melepaskan jabatan dulu agar bisa fokus dengan tugas yang baru. Demikian pula sebaliknya. Seorang kepala daerah harus demisioner terlebih dahulu untuk dapat dipilih dewan adat sebagai pemimpin di lembaga adat tersebut. Agar juga bisa fokus dengan tugas beratnya yang baru.

T : Terkesan bahwa lembaga adat yang dijelaskan merupakan pemimpin kultur ?
J : Iya benar, lembaga adat dan tokoh adat harusnya bisa merekatkan masyarakat. Terutama yang beragam pilihan politik. Dibutuhkan pemimpin kultur yang bisa menengahi dan memediasi kemungkinan konflik horizontal.

T : Tetapi kan sudah ada Polri dan Pemda ?

J : Kalau sebuah masalah bisa diselesaikan secara baik baik, mengapa mesti dibawa ke ranah hukum ? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang cinta damai dan suka gotong royong? Setidaknya lembaga adat dan tokoh adat dapat membantu tugas Kepolisian dan Pemda

T : Bisa dipertajam tentang peran Pemda terhadap lembaga adat
J : Jelas dalam permendagri tentang pedoman fasilitasi lembaga adat.



T : Bisa dipertajam tentang istilah "Benteng Budaya" di konfrontasikan dengan pernyataan banyak orang bahwa "budaya menghambat pembangunan"
J : Baik. Kita berada di zaman teknologi informasi. Beda di zaman orba dulu, akses internet masih sangat terbatas, dan media dikontrol penuh oleh pemerintah. Saat ini, banyak perubahan sikap generasi muda akibat akses internet yang kurang sehat dan tayangan media yang kurang baik. Sementara masyarakat selalu butuh publik figur yang pantas diteladani. Sayangnya, publik figur yang diangkat bukan lagi tokoh agama atau orang yang berprestasi, tetapi orang yang pintar menyanyi, pintar acting. Sayang sekali, yang dipublish sering masalah keluarga mereka yang tidak mendidik, misalnya perceraian. Kita punya modal sosial, yaitu nilai budaya kita. Nah untuk menerapkan nilai budaya itu lewat edukasi. Baik secara teoritis melalui pendidikan formal maupun praktek melalui prilaku, sikap dan tindakan tokoh adat di sebuah lembaga adat. Bila lembaga adat bisa berjalan seperti ini, maka lembaga adat menjadi benteng budaya kita terhadap gempuran budaya asing. 

T : Belum terjawab pertanyaan tentang "Budaya menghambat pembangunan"
J : Entah pernyataan itu darimana. Namun berbicara budaya, baik lokal maupun asing ini perlu didialogkan. Kita setuju, kedisiplinan dan ketertiban ala barat itu baik diterapkan. Tetapi tidak untuk pergaulan bebasnya. Sementara budaya lokal, yang tidak relevan misalnya perbudakan, itu harus ditinggalkan. Tetapi nilai seperti gotong royong, kebersamaan, justru harus dikembangkan. Itu yang sulit ditemui dibarat yang cenderung pragmatis masyarakatnya. Nah kalau sudah begini, jelas mana yang menghambat mana yang tidak menghambat pembangunan.

T : Bagaimana dengan UU No.6 Tentang Desa yang menyebut tentang lembaga adat tingkat desa
J : UU No.6 tentang Desa ini perlu disesuaikan dengan konteks daerah mengingat histori daerah di Indonesia tidak seragam. Mengacu ke aspek histori sebuah daerah. Ada kabupaten yang bekas kerajaan yang dahulu membawahi kerajaan kerajaan kecil. Ada kabupaten yang gabungan kerajaan yang masing masing juga membawahi bekas kerajaan kecil. Untuk saat ini, lebih mudah mendirikan lembaga adat tingkat kabupaten bila kabupaten itu bekas sebuah kerajaan. Untuk gabungan kerajaan, ini butuh kajian khusus. Agak sulit mendirikan lembaga adat tingkat desa dengan pertimbangan bahwa banyak pewaris yang migrasi ke kota. Tentu sulit meminta mereka kembali ke desa untuk mendirikan lembaga adat di desanya. Sementara bila diisi orang lain, justru muncul kemungkinan konflik. Nah ini harus dihindari. Lembaga adat mestinya merekatkan masyarakat, bukan menciptakan konflik. Tetapi bila ada desa yang pewaris sahnya tinggal didesa itu. Tidak menjabat sebagai kepala desa, tentu sangat relevan mendirikan lembaga adat tingkat desa seperti amanah undang undang. Tetapi tentu masalah tiap desa di Indonesia tidak sama. Kita belum lagi membahas tentang bekas kerajaan kecil yang menjadi desa, kemudian dibelakang hari terjadi pemekaran desa. Ini juga membutuhkan kajian serius.

T : Mengapa kita menolak orang orang yang dianggap raja palsu ?
J : Kita memahami prinsip "right man on the right place" biarkan orang yang tepat menduduki posisi yang pantas. Sebab jika tidak, kita hanya menunggu kehancuran. Bisa dibayangkan kalau raja sebagai pemimpin adat (bukan kepala negara) diduduki oleh orang yang sekadar ingin mereproduksi status, orang yang ingin bergaya ala adat tanpa mengemban amanah, maka tunggu kehancuran adat budaya di daerah itu.

T : Berarti tidak setuju kalau kepala daerah otomatis menjadi ketua lembaga adat (raja) atau sejenisnya ?
J : Jelas. Kembali ke pembahasan diatas. Tugas kepala daerah untuk mensejahterakan rakyat itu sangat berat. Jangan lagi dibebani dengan tugas tugas kultural yang sebenarnya masyarakat bisa berpartisipasi sebagai mitra pemerintah. Lagi pula kurang apa wewenang sebagai kepala daerah di era otonomi ini ? Kepala daerah yang bijak adalah memahami posisinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi didaerah, bukan turun kelas menjadi ketua sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak bidang adat budaya. Posisi pembina atau penasehat itu sangat layak bagi kepala daerah